Inspirasi Petani Sukses Banjarnegara
Di desa kecil Masaran RT03 RW1, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara, hidup Pak Woto bersama keluarganya dalam harmoni dan keceriaan. Pak Woto, pria paruh baya dengan tubuh kekar dan senyum lebar, bersama istrinya Bu Sisur, yang selalu ceria dan penuh energi. Mereka memiliki anak, Puthut, menantu Marni, dan cucu kecil mereka Kanza.
Setiap pagi, Pak Woto dan Puthut berangkat ke sawah di Jlengut-Nangkasepet, sementara Bu Sisur dan Marni sibuk menyiapkan sarapan. Suatu hari, Pak Woto memutuskan untuk mengejutkan Puthut dengan peralatan baru yang katanya akan "mengubah cara bertani".
"Ini dia, Puthut! Traktor terbaru!" seru Pak Woto dengan bangga.
Puthut menatap traktor itu dengan curiga. "Pah, ini lebih mirip robot raksasa dari film-film daripada traktor."
Pak Woto tertawa. "Jangan khawatir, ini akan bikin pekerjaan kita lebih mudah!"
Saat mereka mencoba traktor itu, masalah mulai muncul. Traktor yang tadinya tampak megah, tiba-tiba mengeluarkan bunyi aneh dan mulai bergetar keras.
"Pak, traktor ini sepertinya punya mood sendiri!" kata Puthut sambil menahan tawa.
Pak Woto mencoba untuk menenangkan traktor tersebut, tetapi malah membuatnya semakin berisik. "Mungkin traktor ini cuma mau joget," ujarnya sambil menari-nari konyol.
Bu Sisur dan Marni yang mendengar kegaduhan di luar pun datang. Bu Sisur langsung berkata, "Pak Woto, jangan-jangan traktor ini lebih suka joget daripada bekerja!"
Marni menambahkan, "Atau mungkin traktor ini cuma butuh vitamin C, Pah!"
Keluarga mereka tertawa terbahak-bahak melihat Pak Woto yang terus berusaha mematikan traktor dengan berbagai cara aneh. Akhirnya, traktor itu berhenti sendiri setelah beberapa menit "berjoget".
Kemudian, saat sore hari, mereka berkumpul di rumah. Kanza, cucu mereka yang baru berumur empat bulan, mulai menangis. Pak Woto, yang merasa sangat percaya diri, mencoba menenangkan Kanza dengan menyanyikan lagu-lagu tradisional.
Pak Woto bernyanyi dengan penuh semangat. "Ayam jantan, ayam jantan, jangan berkokok di pagi buta..."
Kanza terus menangis, membuat Pak Woto semakin bersemangat. "Apa ini?! Ayo Kanza, dengarkan lagu kakek, ini hit terbaru!"
Bu Sisur dan Marni tidak bisa menahan tawa. Bu Sisur berkata, "Pak Woto, rasanya Kanza lebih suka lagu pop daripada lagu tradisional. Lagunya kayak suara traktor aja!"
Marni ikut bersuara, "Atau mungkin Kanza mau ikut joget sama traktor Pah!"
Pak Woto, yang tetap berusaha keras, berkomentar, "Kalau Kanza belum tenang, berarti aku harus nyanyi lebih keras lagi!"
Keesokan harinya, saat di sawah, Puthut tiba-tiba teringat untuk memperbaiki alat tanam yang rusak. Dengan terburu-buru, Puthut mengganti alat tanpa memeriksa dengan seksama. Saat alat itu dinyalakan, alat tersebut mengeluarkan suara keras yang sangat mirip dengan kereta api tua yang mogok.
Pak Woto menatap Puthut dengan bingung. "Puthut, apa alat ini punya baterai cadangan atau hanya butuh istirahat?"
Puthut yang sudah kepanasan, hanya bisa tertawa. "Pah, ini lebih mirip kereta api mogok daripada alat tanam. Mungkin alat ini cuma mau berlibur!"
Pak Woto kembali tertawa, "Kalau begitu, kita butuh jadwal liburan untuk alat ini!"
Suatu malam, saat mereka duduk bersama di teras, Pak Woto, yang melihat Kanza sedang tidur nyenyak di gendongan Marni, berkomentar, "Kanza tidur seperti bintang film. Kalian berdua, seperti ibu dan ayah dari bintang film yang sedang beristirahat."
Bu Sisur menimpali, "Bintang film yang beristirahat dengan penuh gaya! Pak Woto, kalau Kanza besar nanti, jangan-jangan dia juga jadi penyanyi dengan gaya joget seperti kakeknya."
Keluarga mereka terus menghabiskan waktu dengan penuh tawa dan kebahagiaan. Momen-momen lucu ini bukan hanya memberikan keceriaan dalam kehidupan mereka, tetapi juga memperkuat ikatan mereka. Sawah di Jlengut-Nangkasepet pun semakin produktif, berkat kombinasi antara kerja keras, kreativitas, dan tentu saja, tawa yang tidak pernah berhenti.
Keluarga Pak Woto dikenal tidak hanya karena keberhasilan mereka dalam pertanian, tetapi juga karena kemampuannya untuk menemukan kebahagiaan dalam setiap momen kehidupan. Mereka telah membuktikan bahwa bahkan di tengah kesulitan, ada selalu ruang untuk tawa dan kebersamaan.
Kisah Lucu di Sawah: Puthut dan Cacing Raksasa
Setelah hari yang panjang dan penuh tawa bersama traktor yang 'joget', keesokan harinya Puthut memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sawah. Udara pagi yang segar dan angin sepoi-sepoi membuat suasana di Jlengut-Nangkasepet terasa sangat menenangkan. Puthut menikmati pemandangan hijau di sekelilingnya, dan sesekali menendang batu kecil yang ada di jalan setapak.
Namun, tiba-tiba sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Saat Puthut sedang asyik melangkah, kakinya tiba-tiba menginjak sesuatu yang terasa lembek. Dengan cepat, ia menengok ke bawah dan terkejut setengah mati! Sebuah cacing besar, yang mungkin sebesar jari telunjuknya, bergerak-gerak di bawah sepatunya.
Tanpa pikir panjang, Puthut langsung melompat dengan kecepatan luar biasa. Saking tingginya lompatan itu, seolah-olah dia sedang berkompetisi dalam olimpiade lompat jauh. Tubuh Puthut melayang di udara, membuat bayangannya melintasi sawah.
"Aaaaahhhh!" teriak Puthut dengan panik, suaranya memecah keheningan pagi.
Pak Woto yang kebetulan sedang memeriksa tanaman padi di sawah sebelah, mendengar teriakan itu dan segera berlari mendekat. "Ada apa, Puthut? Ada ular?!"
Dengan wajah pucat, Puthut menunjuk ke arah cacing itu. "Cacing, Pak! Cacing raksasa!"
Pak Woto yang awalnya khawatir, seketika berubah ekspresi menjadi bingung dan akhirnya tertawa terbahak-bahak. "Puthut, masa kamu takut sama cacing? Itu kan cuma cacing biasa!"
Puthut, yang masih berdiri di atas batu besar untuk menghindari cacing tersebut, berkata dengan suara gemetar, "Pak, itu bukan cacing biasa, itu... itu monster kecil! Lihat, badannya gemuk dan panjang, seolah-olah dia mau melahapku!"
Pak Woto terus tertawa hingga ia harus memegang perutnya. "Puthut, kamu ini sudah besar, tapi takut sama cacing! Nanti bagaimana kalau kamu harus pegang ikan lele di pasar? Kan licin juga!"
Mendengar itu, Puthut hanya bisa meringis. "Pak, lele kan beda. Dia punya kepala yang jelas, kalau cacing... bentuknya aneh dan menggeliat-geliat!"
Di saat yang bersamaan, Bu Sisur dan Marni yang mendengar keributan itu juga datang menghampiri. Melihat Puthut yang berdiri kaku di atas batu, mereka langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Marni tersenyum kecil, lalu mendekati cacing yang disebut "raksasa" itu. "Puthut, masa takut sama cacing segede gini?" katanya sambil memungut cacing itu dengan dua jari. "Ini, cacingnya imut kok. Kalau kamu takut, aku bisa simpan di toples buat peliharaan."
Puthut semakin panik. "Jangan! Jauhkan dari aku, Marni!"
Bu Sisur tertawa kecil. "Puthut, kamu ini jago mengoperasikan mesin pertanian modern, tapi berhadapan dengan cacing aja takut. Bagaimana kalau ketemu lintah nanti?"
Marni sambil menggoda, "Atau mungkin Puthut lebih takut kalau cacing ini ternyata pacarnya lintah, bu?"
Bu Sisur menimpali, "Bisa jadi! Makanya, Puthut harus belajar dari sekarang. Mulai dengan berteman sama cacing dulu."
Mendengar candaan itu, wajah Puthut semakin memerah. Ia mencoba turun dari batu, tetapi tetap mengawasi cacing itu dengan hati-hati. Pak Woto, yang sudah berhenti tertawa, memegang bahu Puthut. "Santai saja, Puthut. Cacing ini lebih takut padamu daripada kamu padanya."
Namun, meski sudah diyakinkan, Puthut tetap menjaga jarak dari cacing itu sepanjang hari. Bahkan saat makan siang, ia memastikan tidak ada satupun makanan yang menyerupai bentuk cacing di piringnya.
Saat malam tiba dan mereka berkumpul di teras rumah, Puthut mencoba mengalihkan pembicaraan dengan membahas hal lain. Namun, keluarganya masih mengingat kejadian pagi tadi. Pak Woto berbisik kepada Bu Sisur, "Besok kita ajak Puthut ke kolam ikan, biar dia belajar memegang ikan yang lebih besar."
Bu Sisur tersenyum, "Ya, tapi jangan ada yang berbentuk seperti cacing, kasihan nanti."
Keluarga mereka kembali tertawa, menikmati kebersamaan dengan berbagai candaan yang tak ada habisnya. Meskipun Puthut sempat malu, dia akhirnya ikut tertawa bersama, sadar bahwa keluarganya akan selalu ada untuk menertawakan—dan mendukungnya—di setiap langkahnya, bahkan saat menghadapi cacing "raksasa".
Setelah drama cacing raksasa di sawah mereda, keluarga Pak Woto mulai merasa haus. Matahari semakin meninggi, dan keringat mulai membasahi dahi mereka. Pak Woto melihat ke arah pohon kelapa di sudut sawah, lalu dengan ide cemerlangnya, ia menyusun rencana.
"Eh, Puthut, mumpung kita di sini, ambilkan beberapa kelapa muda dari pohon itu. Sepertinya segar kalau diminum sekarang," kata Pak Woto sambil mengusap-usap tengkuknya yang mulai panas.
Puthut yang masih sedikit trauma dengan cacing tadi, menatap pohon kelapa tinggi itu. "Pak, pohonnya tinggi sekali. Kalau aku jatuh, nanti bukan cuma cacing yang takut padaku, tapi aku juga bisa takut sama pohon!"
Pak Woto tertawa. "Jangan lebay, Puthut. Kamu kan dulu jago manjat pohon waktu kecil. Masa sekarang takut juga?"
Puthut menarik napas dalam-dalam. Ia tidak ingin terlihat pengecut setelah kejadian cacing tadi. "Baiklah, Pak. Aku akan coba."
Dengan penuh keberanian, Puthut mulai memanjat pohon kelapa itu. Tentu saja, setiap kali dia melihat bayangan hitam kecil di pohon, dia teringat cacing dan melompat sedikit, menyebabkan pohon itu bergetar. Di bawah, Pak Woto hanya bisa menahan tawa melihat aksi Puthut.
"Awas, Puthut! Jangan sampai kamu malah bikin pohon itu joget kayak traktor kemarin!" teriak Pak Woto sambil tertawa.
Puthut terus memanjat, hingga akhirnya dia sampai di puncak pohon dan berhasil memetik beberapa kelapa muda. Dia menjatuhkan kelapa-kelapa itu ke tanah dengan hati-hati. Namun, kelapa terakhir meluncur ke bawah lebih cepat dari yang dia kira dan hampir mengenai kepala Pak Woto.
"Waduh, Puthut! Kamu mau ngasih kelapa atau mau ngasih aku benjol?!" teriak Pak Woto sambil menghindar dengan sigap.
"Aku kira Pak lebih cepat dari kelapa!" jawab Puthut sambil cengengesan.
Setelah kelapa terkumpul, Pak Woto kemudian menyuruh Marni, menantunya, untuk pulang ke rumah mengambil wadah dan membeli es batu serta Marimas. "Marni, kamu pulang dulu ya, ambil wadah sama beli es batu di warungnya Bu Sumi. Jangan lupa beli Marimas juga, biar kelapa mudanya makin nikmat!"
Marni yang dari tadi mengamati aksi Puthut dari bawah, hanya bisa mengangguk sambil menahan senyum. "Iya, Pak. Tapi aku ingatkan, kalau minum kelapa pakai Marimas, nanti Puthut malah lupa cara manjat pohon!"
Pak Woto tertawa. "Nggak apa-apa, biar dia lupa manjat, asal dia nggak lupa kalau ada cacing lagi!"
Dengan cepat, Marni bergegas menuju rumah untuk mengambil wadah dan membeli es batu serta Marimas. Sementara itu, Pak Woto dan Puthut mulai membuka kelapa-kelapa muda itu. Puthut menggunakan parang besar, tapi setiap kali dia menebas kelapa, dia seolah-olah sedang menebas bayangan cacing.
Pak Woto yang melihat itu, menepuk bahu Puthut. "Tenang saja, Puthut. Ini bukan kepala cacing, ini cuma kelapa. Kalau kamu terus begini, bisa-bisa kelapa ini nggak ada isinya nanti!"
Puthut mengangguk, mencoba fokus, dan akhirnya berhasil membuka kelapa-kelapa itu dengan baik. Saat Marni kembali dengan es batu dan Marimas, mereka segera menyiapkan minuman kelapa muda yang segar.
"Ini dia, es batu dan Marimasnya! Sekarang kita bikin kelapa muda rasa buah-buahan, biar segarnya dobel!" ujar Marni dengan antusias.
Pak Woto mengambil satu kelapa, menuangkan Marimas dan es batu ke dalamnya, lalu menyeruput. "Wah, segar sekali! Rasa kelapa muda yang manis berpadu sempurna dengan rasa Marimas!"
Puthut yang sudah tidak sabar, langsung mencoba. "Eh, ternyata bener, Pak! Rasanya lebih enak dari kelapa biasa!"
Marni tertawa sambil menyiapkan kelapa untuk dirinya sendiri. "Tapi inget, Puthut. Jangan sampai ketagihan, nanti kelapa di sawah habis, kita harus manjat lagi!"
Pak Woto menambahkan, "Dan jangan sampai kamu mimpi dikejar cacing raksasa yang mau minum kelapa muda juga!"
Mereka semua tertawa bersama, menikmati kelapa muda yang segar dengan sentuhan Marimas. Hari yang tadinya penuh kejadian aneh dan lucu, diakhiri dengan kebersamaan yang manis. Meski Puthut sempat ketakutan dengan cacing, dan hampir membuat kepala ayahnya benjol dengan kelapa, semua itu menjadi bahan cerita lucu yang akan mereka kenang setiap kali melihat pohon kelapa di sawah.
Dan sejak hari itu, kelapa muda dengan Marimas menjadi minuman favorit mereka setelah bekerja di sawah, serta pengingat akan hari penuh tawa dan kebahagiaan di Jlengut-Nangkasepet.
Petualangan Rasa: Gedang Goreng dan Dawet Ayu
Setelah mereka selesai menikmati segarnya kelapa muda dengan Marimas, rasa puas mulai muncul di wajah Pak Woto, Puthut, dan Marni. Namun, di tengah kebersamaan mereka, terdengar suara dari kejauhan.
"Pak, Puthut, Marni!" teriak Bu Sisur yang datang dengan langkah cepat. Di tangannya, dia membawa dua keranjang berisi sesuatu yang membuat hidung mereka langsung tertarik.
Pak Woto melirik ke arah Bu Sisur dengan senyum lebar. "Eh, Bu Sisur datang bawa apa tuh? Ada baunya yang enak banget!"
Dengan senyum bangga, Bu Sisur meletakkan keranjang di depan mereka. "Ini, Pak, Puthut, Marni, aku bawakan gedang goreng spesial sama Dawet Ayu yang terkenal se-Indonesia!"
Puthut langsung terperangah melihat pisang goreng yang begitu menggiurkan dengan warna kuning keemasan dan tekstur renyah yang mengundang selera. "Wah, Ibu bawa gedang goreng? Sudah lama aku nggak makan yang ini!"
Marni menambahkan, "Dan Dawet Ayu juga? Wah, ini kombinasi yang sempurna! Setelah minum kelapa muda, sekarang kita bisa makan cemilan!"
Pak Woto menggosok-gosok perutnya sambil menatap pisang goreng itu. "Bu, kenapa bawa banyak banget? Kita bisa habisin semua ini?"
Bu Sisur tertawa kecil. "Tentu saja! Ini kan gedang goreng yang istimewa. Resep rahasia dari leluhur kita. Dan Dawet Ayu ini juga dibuat dengan bahan-bahan alami, bukan sembarangan."
Puthut yang sudah tak sabar langsung mengambil sepotong gedang goreng. Tapi, baru saja ia menggigit, ia langsung memekik. "Panas, panas! Ampun, ini baru digoreng ya, Bu?"
Bu Sisur tersenyum lebar, "Itu tanda kalau masih segar, Puthut! Makan pelan-pelan, nanti malah lidahmu kebakar."
Marni tak bisa menahan tawa melihat Puthut yang sibuk meniup-niup gedang goreng yang masih panas. "Puthut, kamu kayak anak kecil aja. Masa gedang goreng aja nggak sabar?"
Pak Woto pun mengambil sepotong gedang goreng dan mulai memakannya. "Wah, beneran enak ini, Bu. Pisangnya manis, tepungnya renyah. Ini sih bisa bikin kita lupa sama diet."
Sambil makan, Bu Sisur menuangkan Dawet Ayu ke dalam gelas. Cairan hijau dari dawet yang kenyal dan santan yang kental mengalir dengan sempurna, disertai es batu yang membuat Dawet Ayu itu semakin menggoda. "Nah, biar lebih nikmat, minumnya pakai Dawet Ayu ini, ya. Paduan yang sempurna!"
Puthut, yang akhirnya bisa menikmati gedang goreng tanpa kepanasan, langsung menyeruput Dawet Ayu dengan penuh antusias. "Wah, ini baru nikmat, Bu! Rasanya lembut dan segar. Pas banget buat penutup kelapa muda tadi!"
Pak Woto yang sedang mengunyah gedang goreng menimpali, "Kalau begini, kita bisa buka warung di sini. Jual kelapa muda, gedang goreng, sama Dawet Ayu. Dijamin laris!"
Marni, sambil menyesap Dawet Ayu, mengangguk. "Iya, Pak. Kita bisa jadi tempat wisata kuliner mendadak! Bayangkan, orang-orang datang ke Jlengut-Nangkasepet cuma buat makan ini."
Bu Sisur tertawa sambil menambahkan, "Kalau begitu, nanti kita buat spanduk besar di jalan masuk desa. 'Selamat Datang di Surga Gedang Goreng dan Dawet Ayu!'"
Semua tertawa mendengar ide Bu Sisur yang kocak. Namun, di balik canda itu, mereka semua menikmati setiap gigitan dan tegukan dengan sepenuh hati. Sambil makan, mereka melanjutkan obrolan ringan tentang keseharian di desa, sesekali diselingi oleh lelucon-lelucon yang membuat suasana semakin hangat.
Ketika Dawet Ayu dan gedang goreng hampir habis, Puthut berbaring di atas rerumputan sambil memandang langit. "Kalau tiap hari begini, aku bisa-bisa tambah gemuk, Pak."
Pak Woto menjawab sambil tertawa, "Yang penting kita bahagia, Puthut. Gemuk itu cuma bonus!"
Marni menggelitik Puthut dengan sendok Dawet Ayu yang dingin. "Kalau gemuk, nanti kamu takut manjat pohon kelapa lagi, apalagi kalau ada cacing!"
Puthut langsung duduk dengan ekspresi bercanda. "Wah, jangan gitu, Marni! Aku bisa gemuk, tapi jangan sampai takut sama cacing lagi!"
Bu Sisur menutup keranjang kosong dengan senyum puas. "Lain kali kita bawa makanan lebih banyak lagi ya, biar lebih seru. Siapa tahu, besok kita ketemu binatang lain yang bisa bikin cerita lucu lagi."
Pak Woto mengangguk setuju. "Iya, Bu. Kita kan keluarga yang penuh tawa. Apa pun yang terjadi, kita selalu bisa tertawa bersama."
Mereka semua tertawa bersama, mengakhiri hari dengan perut kenyang dan hati yang puas. Kebersamaan mereka adalah harta yang paling berharga, dan setiap momen, baik yang lucu maupun sederhana, menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Dan dengan itu, petualangan di sawah hari itu berakhir dengan manis, meninggalkan tawa yang menggema di antara pohon-pohon kelapa dan sawah-sawah yang hijau.