Gadis Mafia Ku
...“Terkadang keluarga juga bisa menjadi sumber luka terbesar dalam hidupmu dan aku merasakannya:)”...
...~Reina Nerlissa Andara~...
...----------------...
Di sebuah rumah yang sangat megah, tinggal satu keluarga—Keluarga Rynan Andara yang di kenal sangat harmonis. Hingga suatu hari keharmornisan itu tiba-tiba sirna setelah fakta yang mengejutkan terkuak. Dimana keharmonisan yang di kira tulus rupanya hanyalah sandiwara belaka dan tidak pernah terpikirkan sama sekali oleh siapapun, terutama seorang gadis kecil yang merupakan si bungsu keluarga Rynan.
Flashback On
Saat itu semua anggota keluarga Rynan sedang berkumpul di ruang keluarga. Di antara mereka, terdapat seorang gadis kecil yang sedang menangis pilu.
"Kenapa kalian tega berbuat seperti ini padaku!?" seru gadis itu di sela tangisannya.
Dia—Reina Nerlinda Andara, si bungsu keluarga Rynan yang sebentar lagi berusia 17 tahun. Ia memiliki wajah nan cantik, pintar dan hampir sempurna secara keseluruhan. Tentu saja itu sudah menjadi rahasia umum kalau keturunan Andara tidak pernah gagal.
"Kenapa kami harus tidak tega dengan mu, heh!? Kau itu bukan anak kandung dari ku!" seru pria paruh baya—Rynan Andara sambil berdecih sinis.
Di sertai senyuman mengejek sang istri dan kedua anaknya yang tengah duduk santai di sofa.
"Jika aku bukan anak kandung ayah, lalu siapa orang tuaku yang sebenarnya?" tanya Reina mendongakkan kepalanya, menatap dengan air mata yang terus saja menetes ke arah pria tersebut.
Pria tersebut tampak berdecih malas tapi tak ayal langsung memberitahu. "Kau anak dari kakakku—Reyhan Nendra Andara,"
Fakta itu kembali mengejutkan tapi Reina berusaha menahan suara tangisnya dan bertanya kembali. "Kalau benar aku anak dari kakak ayah, lantas kenapa ayah tega berbuat seperti ini padaku?"
"Hei Anak kecil! Kau ingin tahu mengapa suamiku berbuat seperti ini padamu? Baiklah—Aku akan memberitahumu!" bukan tuan Rynan yang berucap, melainkan sang istri—Nyonya Melissa yang sudah beranjak berdiri dari duduknya.
Nyonya Melissa tampak bersedekap dada menatap ke arah Reina. "Suamiku berbuat seperti ini karena ayahmu!"
"A—Apa maksud ibu?" Reina tidak mengerti maksud ucapan nyonya Melissa.
"Ya, karena ayahmu lebih sukses dari suami ku! Kesuksesannya membuatmu dan ibumu hidup dengan bergelimang harta. Sedangkan sebaliknya, kami justru hidup dengan bergelimang derita! Sangat berbeda sekali," geram nyonya Melissa mengingat betapa beratnya kehidupan yang di jalaninya dulu.
Nyonya Melissa menghela nafasnya dengan kasar, sebelum lanjut berbicara. "Hingga suatu hari ayah dan ibumu mengalami kecelakaan. Sebuah keberuntungan yang tidak terduga. Dimana kami langsung bersedia mengasuhmu karena dengan begitu, kelak hartamu akan menjadi milik kami!"
"Tapi sangat di sayangkan kau sudah mengetahui rencana kami sebelum umur mu 17 tahun," timpal tuan Rynan melengkapi ucapan istrinya.
Sekali lagi Reina di kejutkan dengan sebuah fakta yang tidak pernah terlintas di pikirannya. Sontak tangannya mengepal kuat menahan rasa sakit yang kian bertambah di hatinya.
"Ja—di, selama ini kalian mengasuhku karena hanya ingin harta milik ayahku?" tanya Reina dengan bibir kian bergetar.
"Bisa di bilang seperti itu tapi ya sudahlah—Jika kau sudah tau, kami tidak perlu membuang waktu lagi untuk menampungmu di sini!" jawab tuan Rynan membuat kening Reina mengernyit.
"Maksud ayah?"
"Tidak mengerti, heh? Maksudku tentu saja kau tidak perlu tinggal di sini lagi!" ucap tuan Rynan memperjelas maksudnya.
Hal itu membuat Reina terkejut, sekaligus dirinya yang tiba-tiba merasa emosi—Tidak terima. Apalagi dari yang tuan Rynan katakan, jelas sekali kalau rumah ini merupakan harta ayahnya yang sekarang telah menjadi miliknya.
"Apa yang ayah katakan!? Bukankah rumah ini milikku yang ayahku tinggalkan? Ayah tidak bisa mengusirku
"Hei gadis jelek! Ini bukan lagi rumahmu. Rumah ini sudah menjadi rumah keluargaku. Jadi ayahku bebas mengusirmu," ejek seorang gadis yang lebih tua dari Reina. Ia—Anak sulung tuan Rynan, Ersya Nerlissa Andara.
"Haha... Benar. Ini bukan rumahmu lagi, gadis jelek. Pergi saja kau jauh-jauh dari sini!" laki-laki yang duduk di sebelah Ersya, ikut menimpali sembari menatap penuh ejekan. Ia, Bryan Andara—Anak kedua tuan Rynan.
Reina ingin berujar tapi lebih dulu di sela tuan Rynan bersamaan dengan langsung menarik tangannya.
"Kau sudah dengar kan apa kata anak-anak ku? Pergi kau dari sini!"
Tetapi sebelum benar-benar di tarik pergi, Reina menghempaskan tangan yang selama ini menggenggamnya dengan penuh kehangatan meski nyatanya palsu.
"Aku bisa pergi sendiri! Tidak usah menarik tanganku dengan tangan kotormu itu, tuan Rynan!" serunya.
"Kau—" tuan Rynan mengeram penuh amarah mendengar ucapan Reina.
"Aku telah salah karena menganggap kalian sebagai rumah. Bagaimana mungkin ada orang seperti kalian yang memperlakukanku seperti ini hanya demi harta? Kalian benar-benar serakah!" erang Reina meluapkan emosi yang tengah meluap di antara rasa terkejut, kecewa dan marah.
"Berani sekali kau berbicara seperti itu padaku!? Sudah lupa dengan selama ini yang telah kami berikan padamu!?" bentak tuan Rynan.
"Ayah—Oh tidak! Maksudku tuan Rynan Andara. Aku pernah merasa bahagia karena hidup bersama kalian dan untuk itu aku—Berterima kasih. Tetapi, saat ini kalian telah membuatku kecewa," ucap Reina tersenyum getir. Bahkan air matanya masih tampak menetes.
"Kami sama sekali tidak peduli dengan rasa kecewamu itu! Tidak perlu buang-buang waktu untuk memberitahukannya dan cepatlah pergi!" ujar nyonya Melissa yang sudah menghampiri sang suami.
Reina tampak mengepal kuat, sebelum kembali berucap sembari menatap tuan Rynan. "Walaupun Anda adalah adik ayahku tapi aku tidak akan memaafkan apa yang telah Anda dan keluarga Anda lakukan padaku!"
"Aku—Reina Nerlissa Andara, mulai hari ini melepas nama Nerlissa Andara dari namaku!Dan—Aku bersumpah suatu hari nanti akan membalas atas apa yang kalian lakukan padaku!" sambungnya dengan lantang dan emosi yang bercampur aduk.
Kemudian ia pun berjalan keluar dari rumah Keluarga Andara sembari membawa satu tas berisi barang-barangnya yang sebelumnya sempat di lemparkan nyonya Melissa padanya. Ia melangkah pergi dengan isakan tangis yang terdengar begitu pilu.
“Ayah, ibu, kenapa mereka tega berbuat seperti ini padaku? Hiks... hiksss... Hiksss...," Reina berucap di sela terisak.
...》Bersambung《...
..."Kemarin merasa bahagia, sekarang dibuat sangat kecewa. Dunia sedang mengajakku bercanda, ya?"...
...~Reiyana Rendra~...
...----------------...
Flashback Off
Setelah pergi dari rumah keluarga Andara, Reina pergi mencari taksi yang dengan cepat di dapatkannya. Lalu taksi yang di tumpanginya itu segera pergi menuju suatu tempat. Sepanjang jalan Reina tampak termenung memikirkan rangkaian kejadian yang sebelumnya terjadi begitu cepat. Ingin tidak percaya tapi semua itu nyata. Sekarang ia benar-benar hanya bisa menerimanya.
"Nona!?" panggil sopir taksi saat sudah tiba di tempat yang di tuju, tetapi Reina tidak kunjung merespon karena masih sibuk termenung.
Hingga memaksa sopir itu untuk memanggilnya kembali. "Nona!!?"
Ternyata panggilan kedua ini berhasil menyadarkan Reina yang langsung menatap ke arah sopir itu, lalu ke arah luar jendela.
"Sudah sampai?"
"Iya, nona. Sudah sampai," sahut sopir itu mengiyakan.
Reina mengangguk ringan sembari memberikan sejumlah uang pada sopir taksi itu. Beruntungnya tas yang di lemparkan nyonya Melissa berisi barang-barang penting miliknya. Termasuk uang dan ATM miliknya pribadi yang berisikan hasil tabungannya selama ini.
"Terima kasih, nona!"
Lagi-lagi Reina mengangguk sebab saat ini sudah lelah untuk bersuara.
Setelah itu, ia beranjak keluar dari taksi sembari membawa tas miliknya. Tanpa banyak berpikir, ia segera memasuki tempat itu. Dimana tujuannya langsung pada bagian resepsionis.
"Selamat malam, nona muda! Apa ada yang bisa saya bantu?" sapa wanita yang bertugas sebagai resepsionis di tempat itu.
"Aku ingin membeli mansion terbesar yang kalian miliki," sahut Reina to the point.
Sebelumnya ia sudah memikirkan hal itu dengan penuh pertimbangan. Soal uang? Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Ia sangat mampu untuk membeli mansion itu.
"Hah—Apa nona muda tidak salah bicara?" resepsionis itu tersentak kaget.
"Hmmm ya," jawab Reina singkat.
"Dimana orang tua mu gadis kecil?"Tanya resepsionis itu sambil melihat-lihat ke belakang Reina.
"Orang tuaku sudah meninggal. Jadi, tolong jangan membuang banyak waktuku!" Reina mengucapkannya dengan nada datar.
Biasanya Reina memang irit berbicara dengan orang lain, selain orang terdekatnya. Bukan ia sombong tapi hanya malas berbicara. Namun sekarang nada bicaranya teramat datar membuat siapapun akan terkejut mendengarnya.
"Ahhh—Baiklah, nona muda. Tunggu sebentar!" sahut Resepsionis itu dengan ragu
Reina tampak mengangguk pelan. Resepsionis itu segera menelpon atasannya dan berbicara secara singkat. Sebelum akhirnya Resepsionis itu kembali berbicara pada Reina, usai teleponnya terputus.
"Sebelumnya siapa nama nona muda?" resepsionis itu bertanya dengan sopan.
Sesaat Reina terdiam mendengar pertanyaan itu. Nama? Ia telah menghapus nama belakangnya sebelum pergi dari rumah keluarga Andara. Selain itu, tidak mungkin untuknya menggunakan namanya lagi untuk sekarang.
"Reiyana Rendra,"
Nama itu terlintas sekilas dalam pikirannya. Dimana masih terdapat namanya yang sebenarnya dan hanya di ubah sedikit. Sedangkan nama belakangnya itu di singkat dari nama ayahnya—Reyhan Nendra Andara.
`Maafkan aku, ayah. Aku terpaksa mengubah namaku agar keberadaan ku tidak di ketahui mereka,` batin Reiyana
[Note: Mulai saat ini nama Reina di ganti menjadi Reiyana]
"Baiklah, nona Reiyana. Silakan ikuti saya!"
Tanpa membalas apapun, Reiyana segera berjalan mengikuti kemana Resepsionis itu mengarahkannya. Hingga akhirnya mereka tiba di depan pintu sebuah ruangan.
Tok... Tok.. Tok...
"Masuk!" seru seseorang dari dalam ruangan yang tidak lain adalah atasan dari Resepsionis itu.
Resepsionis itu pun segera membuka pintu ruangan dan mempersilahkan Reiyana untuk masuk.
"Permisi bos! Ini nona muda yang ingin membeli mansion tadi," ucap Resepsionis itu pada atasannya yang tengah duduk di meja kerjanya.
Atasannya itu merupakan pria paruh baya yang masih tampak awet muda. Sekilas tampak menatap Reiyana, lalu beralih melirik sang karyawan.
"Kau bisa pergi!"
"Baik bos!" Resepsionis itu bergegas keluar dari sana, usai di perintahkan.
Sehingga sekarang di dalam ruangan itu hanya tersisa Reiyana bersama pria paruh baya—Pemilik tempat tersebut.
"Silakan duduk!" ujar pria paruh baya itu dengan senyuman tipis.
Lagi-lagi, Reiyana tidak membalas dan langsung duduk di kursi yang ada di ruangan itu.
"Apakah benar nona muda ingin membeli Mansion terbesar yang kami punya??" tanya pria paruh baya itu to the point.
"Benar," jawab Reiyana membenarkan.
"Mansion seperti apa yang nona muda inginkan?" pria paruh baya itu bertanya dengan nada ramah tapi terdengar bersemangat.
"4 atau 5 lantai, berfasilitas canggih dan terletak di pinggiran kota," sahut Reiyana singkat tapi jelas.
"Ah—Kebetulan sekali kami memiliki Mansion seperti itu. Hanya saja itu satu satunya yang terbesar kami punya. Harganya yang fantastis membuatnya belum laku terjual sampai saat ini. Nona yakin ingin membelinya?" pria paruh baya itu memastikan terlebih dulu, sembari menahan perasaan bersemangat dalam dirinya.
"Tentu saja. Sebutkan harga yang perlu aku bayar untuk memilikinya!?"
"Harganya cukup fantastis mengingat kualitas dan juga fasilitasnya, sekitar 4 triliunan. Apa nona masih yakin untuk membelinya?" sekali lagi pria paruh baya itu bertanya untuk memastikan.
Dan—Apa yang Reiyana lakukan? Ia langsung mengeluarkan sebuah Blackcard dari dalam tasnya. Blackcard itu di berikan oleh bibi pengasuhnya beberapa bulan lalu, sebelum meninggal dunia. Bibi pengasuhnya memberikan 3 jenis kartu dengan Limit tidak terbatas. Dimana ia juga di beri pesan kalau itu merupakan titipan orang tuanya dan harus di simpan dengan baik. Dari situ pula Reiyana mulai merasakan kejanggalan dan menyelidiki semuanya. Hingga akhirnya ia menemukan fakta mengejutkan yang tidak pernah terbayangkan olehnya.
Kembali ke ruangan tadi...
Pria paruh baya itu melongo melihat Blackcard yang saat ini tengah ada di hadapannya. Jelas saja melongo karena tidak semua orang punya Blackcard itu di dunia ini. Lalu bagaimana Reiyana memilikinya? Itulah pertanyaan yang sedang pria paruh baya itu pertanyakan dalam pikirannya.
`Bagaimana bisa nona kecil ini bisa memiliki blackcard yang terbatas ini!? Tidak mungkin ia memilikinya kalau latar belakangnya sembarangan,' batin pria paruh baya itu.
Tapi—Sudahlah. Pria paruh baya itu memilih untuk tidak terlalu penasaran karena sekarang yang terpenting adalah melakukan transaksi menguntungkan ini.
"Baiklah, nona muda. Ikutlah dengan saya untuk melihatnya terlebih dulu!"
Reiyana mengangguk singkat. Lalu mereka berdua segera pergi dari sana menggunakan mobil paruh baya itu.
...•Bersambung•...