Perempuan Asing Di Samping Mayat
Tanah basah dengan genangan air di beberapa bagian. Derap langkah berirama dari sepatu-sepatu berwarna hitam mengabaikan tanah berlumpur. Hujan belum sepenuhnya berhenti, tetapi para laki-laki berseragam cokelat tua terlihat tidak peduli dengan tubuh yang mulai basah.
"Apakah tempatnya masih jauh?" tanya laki-laki yang berada di tengah barisan.
"Mungkin sekitar 500 meter dari sini Ndan," jawab laki-laki yang berada di barisan paling depan.
Sejumlah petugas kepolisian sore ini memang menyisir hutan pinus di sebelah selatan Kabupaten T. Berdasar laporan dari internal kepolisian, terjadi tindak kriminal di rumah seorang dukun yang tersembunyi di tengah hutan pinus. Tim khusus segera diterjunkan karena khawatir ada korban jiwa.
"Apa yang dia lakukan di tengah hutan begini?" tanya petugas yang dipanggil komandan. Di antara yang lain tubuhnya memang terlihat paling tambun. Tentu saja mendaki perbukitan terjal menyiksa dirinya.
"Entahlah Ndan. Banyak kejadian aneh akhir-akhir ini. Dan kurasa dia memang sudah kehilangan akal," sahut petugas di barisan belakang.
" Dia memang sudah kehilangan segalanya. Jadi tidak heran jika akhirnya harus kehilangan kewarasan." Petugas di bagian depan menimpali.
Komandan kali ini terdiam. Pandangannya fokus pada jalanan yang semakin menanjak. Sedangkan pikirannya mengawang jauh. Teringat pada salah satu petugas kepolisian yang baru saja diperbincangkan.
Sebagai seorang pimpinan dari unit reskrim, komandan merasa harus mengedepankan akal dan logika untuk mengidentifikasi sebuah masalah. Namun sayangnya, apa yang terjadi akhir-akhir ini di wilayah kerjanya sangat sulit dijelaskan oleh logika manusia biasa.
"Berhenti," ucap petugas di barisan paling depan. Tangannya terkepal ke atas. Semua orang pun berhenti.
Komandan sedikit berjinjit, mencoba melihat apa yang membuat anak buahnya memberi instruksi untuk berhenti. Suasana hutan pinus yang temaram ditambah cuaca sedang gerimis, membuat pandangan sedikit buram. Samar-samar terlihat seekor ular melintang di tengah jalan.
Kepala ular berwarna hitam legam itu tampak mekar. Tubuhnya yang panjang tegak berdiri seolah menatap gerombolan orang yang hendak melintas. Satu hal yang tampak tidak biasa dari ular itu adalah terdapat benjolan di bagian atas kepala yang menyerupai tanduk.
"Ular bertanduk," bisik salah satu petugas di samping komandan.
Beberapa detik yang terasa sunyi berlalu. Waktu seolah bergerak lebih lambat. Hingga akhirnya ular aneh itu menurunkan kepalanya, dan bergerak perlahan menyusuri tanah. Kemudian menghilang di antara rumput gajahan yang tinggi.
"Aku tidak salah lihat kan? Ular tadi bertanduk kan?" seru komandan, khawatir jika dirinya sedang berhalusinasi.
"Aku pernah dengar dari orangtuaku dulu, katanya ular yang sudah berusia sangat tua memang bertanduk," sahut petugas di bagian belakang.
Komandan menarik napas panjang. Bagaimanapun dia harus memberi instruksi agar timnya terus melangkah maju, mengabaikan hal-hal yang tidak berhubungan dengan tugas.
"Percepat langkah," perintah komandan dengan lantang. Kembali terdengar derap langkah kaki yang berirama.
Setelah sampai di ujung tanjakan tampak sebuah rumah joglo diapit oleh dua pohon beringin kembar. Komandan meminta timnya untuk bersiaga dengan langkah yang semakin dipercepat. Samar-samar di salah satu dahan beringin tampak sesuatu berayun-ayun. Semakin dekat semakin jelas, yang berayun itu adalah tubuh manusia yang digantung secara terbalik.
Cairan merah kental berceceran di bawah tubuh terbalut pakaian serba hitam. Rambut penuh uban tampak terikat kain udheng bermotif batik barong. Dapat dipastikan laki-laki itu sudah tidak bernyawa. Matanya melotot dengan lidah terjulur keluar. Deretan gigi yang menghitam dengan bibir terbuka lebar, seolah mayat itu baru saja tersenyum saat ajalnya tiba.
Di teras depan, tampak seorang perempuan cantik sedang menangis. Tubuhnya yang ramping terlihat menggigil hanya mengenakan kemben kain jarit cokelat muda. Aroma kembang menguar di udara. Bahunya yang putih mengkilap berguncang ringan seirama dengan isak tangisnya.
Komandan meminta timnya untuk menyebar, memeriksa rumah. Sedangkan dirinya mendekati perempuan yang dia kenali bernama Melati itu.
"Apa yang sudah terjadi, Melati?" tanya Komandan.
"Dukun itu mau membunuhku," jawab Melati singkat.
Sore yang terasa sunyi. Terdengar guntur beberapa kali menggertak di kejauhan. Angin bertiup cukup kencang menerbangkan sampah plastik yang tidak dibuang pada tempatnya. Debu pun beterbangan menempel pada kaca jendela yang pagi tadi baru dibersihkan.
Seorang petugas kepolisian menguap di balik komputer yang menyala. Petugas kepolisian bagian reserse kriminal di sektor K bernama Tabah Pradugo. Usia yang sudah menginjak kepala empat membuat beberapa uban sudah tampak putih mengkilap di kepalanya. Dengan perut maju yang menjadi ciri khas Bapak-Bapak penyuka mie instan.
Seharian Tabah hanya memainkan game Zuma karena laporan akhir bulan sudah selesai dia susun kemarin. Meskipun terlihat malas, sebenarnya laki-laki itu cukup rajin dibanding petugas yang lain.
Tabah merasa beruntung bertugas di kota kecil di wilayah pesisir. Keadaan kota yang aman dan damai membuatnya lebih sering bersantai. Dalam satu tahun terakhir, nyaris tidak ada kasus kejahatan berat yang ditangani. Kalaupun ada kasus, hanya permasalahan ringan seperti perkelahian remaja atau mungkin gadis dilarikan pacarnya.
Dari arah pintu luar terlihat rekan kerja Tabah sedang berjalan gontai. Laki-laki berusia 28 tahun bernama Andre. Polisi muda yang tampan dan digandrungi oleh banyak gadis, tapi dia terlalu penakut untuk menggoda perempuan.
"Ada apa? Wajahmu tertekuk kusut, mirip gombal amoh," seloroh Tabah saat Andre duduk di sebelahnya.
"Batu akik yang kemarin kutemukan di kali, dirusak sama tukang poles batu depan pasar," keluh Andre dengan wajah sendu.
Andre meskipun memiliki paras yang mirip bule dari Inggris, tetapi menyukai hal-hal klenik yang kadang bikin geleng-geleng kepala. Andre sangat mempercayai praktek perdukunan, batu-batu yang membawa khasiat, juga mantra-mantra kuno. Dia memiliki koleksi akik yang banyak di rumahnya. Salah satu yang paling disayang adalah akik kecubung wulung yang digunakan sebagai liontin. Selalu dipakai setiap hari.
"Bukannya tukang poles akik itu langgananmu?" tanya Tabah heran. Dahinya yang penuh kerutan semakin terlihat mengkerut.
"Hari ini yang mengerjakan orderan anaknya. Pas bagian yang mengkilap dipatahkan olehnya. Padahal aku sangat yakin jika batu itu berkhasiat," keluh Andre. Untuk kesekian kalinya dia menghela napas.
"Seyakin itu kamu pada sebuah batu. Aku yang berusia lebih tua darimu saja tidak terlalu percaya hal begituan," sahut Tabah santai. Andre mendengus kesal.
"Yang tidak kamu ketahui bukan berarti tidak ada Pak Dhee."
Andre terlihat benar-benar jengkel. Tabah terkekeh mendengar Andre memanggilnya Pak Dhe.
"Aku khawatir," ucap Andre kemudian.
"Khawatir apa?" tanya Tabah penasaran.
"Khawatir jika aku akan bernasib sial. Menyia-nyiakan sebuah batu akik jenis combong membuatku merasakan firasat yang buruk." Andre menyandarkan kepalanya di atas meja. Dia benar-benar kehilangan semangat.
"Daripada mikirin batu, lebih baik kamu memikirkan gadis mana yang mau kamu pilih. Setiap hari kiriman makanan ber kardus-kardus dari gadis yang menyukaimu. Kasihan kamu php in terus-menerus," sergah Tabah yang membuat Andre semakin kehilangan semangatnya.
Pertanyaan kapan punya pacar? Kapan nikah? Selalu menghantui Andre setiap saat. Bahkan yang paling parah ada yang bertanya, apakah Andre menyukai perempuan?
Menunda untuk menikah bukan berarti tidak tertarik pada lawan jenis. Andre hanya menginginkan pernikahan yang benar-benar siap. Agar nantinya tidak terjadi perpisahan. Dia merasakan sendiri bagaimana sulitnya secara mental tumbuh di keluarga yang tidak utuh. Andre tidak ingin nantinya hal itu dirasakan oleh anak keturunannya. Lagipula usia 28 tahun untuk seorang laki-laki belum bisa dikatakan terlambat untuk menikah.
"Aku benar-benar merasa tidak cocok bekerja dan tinggal di lingkungan seperti ini," keluh Andre.
"Hah? Apa maksudmu?" sergah Tabah. Dia masih asyik dengan game zuma di komputernya.
"Aku masih 28 tahun dan semua orang seperti menganggapku sudah seusia denganmu Pak Dhe. Laki-laki dua puluh delapan tahun, belum menikah itu hal yang wajar. Kenapa semua orang repot-repot mengurusi aku?" Andre meninggikan nada bicaranya. Dia berharap banyak orang yang mendengar keluhannya. Tapi pada kenyataannya di ruangan itu hanya ada Andre dan Tabah.
"Ya gimana, kamu udah mapan dan tampan. Bukankah aneh jika tidak menyalurkan hasratmu kepada yang sah dan resmi? Jangan terlalu banyak melubangi sabun di kamar mandi," sambung Tabah.
" Cocotmu Pak Dhe," balas Andre. Dia berdiri dari duduknya. Andre merasa melakukan kegiatan yang sia-sia berbincang dengan orang yang memiliki sifat suka mem bully dengan dalih bercanda.
"Kamu mau kemana?" tanya Tabah. Sedikit merasa bersalah karena telah mengolok-olok Andre.
"Mau beli kopi Pak Dhe. Berbincang denganmu membuatku kehilangan semangat bekerja. Butuh kafein biar melek lagi," ujar Andre sewot. Tabah tersenyum masam.
Saat Andre melangkahkan kakinya, telepon berdering dengan nyaring. Andre lebih dekat dengan gagang telepon yang terletak di meja dekat pintu keluar. Tabah memainkan alisnya, memberi kode agar Andre mengangkat telepon. Andre menghela napas, tidak memiliki alasan untuk menolak.
"Halloo, selamat sore dengan kepolisian sektor K. Ada yang bisa dibantu?" ucap Andre setelah mengangkat telepon. Tubuhnya bersandar pada dinding.
"Hallo? Ada yang bisa dibantu?" tanya Andre sekali lagi. Kali ini dia sedikit membentak. Tetap saja tidak ada sedikitpun suara yang terdengar.
"Sepertinya hanya orang main-main atau salah sambung," keluh Andre jengkel. Dia hendak meletakkan gagang telepon kemudian barulah terdengar sebuah suara lirih.
"Hallooo." Andre setengah berteriak kesal.
"Orang iseng tuh. Atau seorang penggemar kangen denger suaramu," ledek Tabah. Andre meletakkan telunjuk di depan bibirnya, meminta Tabah untuk diam.
"Tolong."
Terdengar suara parau dan lirih. Angin bertiup dari luar ruangan. Terasa dingin berhembus membelai tengkuk Andre. Bulu kuduk laki-laki itu meremang.
"Maaf bisa dijelaskan, apa yang bisa kami bantu?" tanya Andre bersungguh-sungguh.
Beberapa detik berikutnya panggilan telepon kembali sunyi. Hingga akhirnya terdengar suara kran dibuka. Bunyi gemericik air terdengar jelas di telinga Andre.
"Tolong! Ada mayat!" pekik suara dalam telepon.
"Bisa dijelaskan detailnya?" Andre berusaha tetap tenang. Meski batinnya bergejolak. Tabah pun beranjak dari duduknya, menghampiri Andre. Laki-laki dengan perut buncit itu ikut mendekatkan telinganya di gagang telepon.
"Mayat laki-laki Pak Polisi. Ada mayat. Aku takut, tolong. Ini sungguh mengerikan," ucap seseorang dalam telepon. Sesekali dia terdengar terisak. Sepertinya penelpon benar-benar ketakutan, terguncang batinnya.
"Tolong sebutkan saat ini Njenengan ada dimana? Kami akan secepatnya pergi kesana," tukas Andre mencoba menenangkan si penelpon.
Tabah meraih secarik kertas dan pulpen untuk mencatat. Penelpon terdengar menyebutkan sebuah alamat. Villa terbengkalai di bagian ujung Desa Karang. Tepat setelah alamat disebutkan, telepon dimatikan.
"Bagaimana ini Pak Dhe? Haruskah kita memeriksa ke tempat itu? Aku ragu dengan kebenaran informasinya, mengingat akhir-akhir ini seringkali ada penelpon yang mengerjai kita," tanya Andre ragu. Dia teringat beberapa kali mendapat telepon ke nomor kantor dari orang-orang yang ingin menjodohkan putrinya dengan Andre.
"Aku sejujurnya juga khawatir ini hanyalah telepon iseng. Tapi kalau kita mengacuhkannya, lalu bagaimana jika disana benar-benar ada mayat atau seseorang yang membutuhkan bantuan? Kita bisa mendapat teguran tertulis karena dianggap abai. Dan di atas semuanya, sumpah kita pada pekerjaan dan pelayanan adalah yang paling utama," sambung Tabah bersungguh-sungguh.
Andre mengintip keluar ruangan melalui jendela. Langit di kejauhan benar-benar tampak hitam pekat. Dan villa yang dimaksud penelpon asing berada tepat di atas bukit yang terlihat sangat dekat dengan mendung yang bergulung-gulung.
"Kita perlu memeriksanya meski hanya sebentar saja. Ayo!" perintah Tabah menyambar kunci mobil di atas box depan layar komputer. Andre menghela napas dan terpaksa mengekor langkah Tabah.