SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
A Tale Of 'K&Q'

A Tale Of 'K&Q'

Kembang Api

"Hmm.. Bau harum apa ini?"

"Ini adalah bau kebebasan dari segala tugas yang.."

Bletak!

"Jangan banyak bicara dan bawa kemari mantelku."

Pria yang sebentar lagi pensiun dari kesatuan militer itupun melanjutkan berbenah setelah anak buahnya yang cerewet mengambilkan mantel hangat miliknya.

"Sepertinya Kapten Federick sudah tidak sabar bertemu Nyonya Federick."

"Itulah sebabnya dia menyemprotkan parfum secara berulang-ulang sampai aku merasa mabuk karena mencium baunya. Aku rasa kapten sedang di masa pubertas lanjutan."

"Aku dengar itu.."

Josh dan Peter pun saling pandang. Namun rupanya ucapan sang kapten tak lantas menyudahi percakapan tidak berbobot itu.

"Hei! Bagaimana dia bisa mendengar percakapan kita?!"

"Aku rasa dia menanam alat penyadap di tubuh kita saat kita tidur."

Kedua prajurit yang berbisik-bisik itupun langsung berhenti bicara. Mereka sudah bersiap untuk melarikan diri dari sang kapten begitu tahu bahwa kapten mereka kini memandang dengan sorot mata tajam.

Hup!

Mereka berdua terkejut ketika Federick melingkarkan tangan di bahu mereka.

"Hei.. Lain kali jika kalian ingin bergosip tentangku, jangan melakukannya dari jarak satu meter di depanku. Astaga.. Bagaimana bisa kalian berdua menjadi prajurit terbaik dengan otak kosong seperti ini?!"

Federick pun menghela napas panjang. Sebuah senyuman pun mengembang dari bibir pria itu ketika melihat ekspresi wajah prajuritnya berubah menjadi pucat pasi.

"Ya Tuhan.. Apakah aku semenakutkan itu? Aku hanya bercanda.. Ayolah! Malam ini adalah malam tahun baru! Bukankah kita harus beristirahat sejenak untuk menikmati suasana pergantian tahun? Lakukan seperti apa yang akan kulakukan, berkencan lah! Dasar kalian para prajurit kaku.. Ha ha ha.."

Pria itupun berlalu meninggalkan markas kebanggaannya menuju tempat yang sudah dijanjikan bersama sang istri tercinta.

"Sepertinya ucapanmu tempo hari benar Josh."

"Hmm?"

"Pria tua itu gila. Aku jadi merinding saat membayangkan dekapan kuatnya tadi. Bukankah dia sedikit meraba tubuh kita tadi?!"

"Kau yang lebih gila."

**

Pria tua itu segera menyambut kedatangan sang istri, Vivian. Sebuah pelukan dan ciuman pun tak lupa dia berikan untuk wanita yang telah mendampinginya sejak lama.

"Maaf sayang.. Jalannya sedikit macet. Kau tahu kan bagaimana antusiasnya orang-orang dalam menyambut pergantian tahun di sepanjang jalan?"

"Tidak masalah sayang.. Masih ada tujuh menit lagi sampai pergantian tahun."

Federick lalu memanggil pelayan untuk memesan makanan. Di sisi lain Vivian tengah asyik menikmati suasana malam yang ada di luar jendela.

Tak sengaja wanita itu tertarik pada sebuah gang kecil di dekat pusat kota. Sebuah sinar kecil terlihat dari sana.

Namun karena usia Vivian yang tak lagi muda, diapun kesulitan untuk melihat dengan jelas sinar apa itu gerangan. Wanita itu lalu mengambil kacamata dari tas dan memakainya.

Vivian lanjut melihat jam dinding restoran yang membuat alisnya berkerut.

"Ada yang salah sayang?"

"Hmm.. Tidak sayang. Aku hanya merasa aneh tentang sesuatu."

"Dan tentang apa itu?"

"Kembang api."

"Kembang api?"

"Aku berpikir jika jam dinding itu benar, seharusnya masih dua menit lagi perayaan pergantian tahun tiba. Tapi rupanya ada yang sudah tidak sabar untuk merayakannya lebih cepat."

"Ada yang sudah menyalakan kembang api sekarang?"

"Benar."

"Dimana?"

"Di sana."

Vivian pun menunjuk ke suatu tempat. Tepat ketika Federick mengikuti arah telunjuk sang istri, sebuah kilatan cahaya yang menyilaukan diikuti suara menggelegar pun terdengar.

Blam!

Vivian

Mata Federick terbelalak dengan pemandangan yang dia lihat. Sekujur tubuhnya kaku, jantungnya pun turut berdegup kencang tak beraturan.

Tangan, kaki, kepala, bahkan potongan tubuh lain yang tak terkira jumlahnya berserakan dimana-mana ketika Federick dan Vivian tiba di pusat kota.

Jalanan yang indah seketika berubah menjadi mencekam dengan muncratan darah yang begitu banyak dari korban ledakan bom yang tak terduga itu.

"Sayang. Pulanglah lebih dulu."

Vivian pun mengangguk. Dia lalu berbalik meninggalkan Federick yang masih menatap potongan-potongan tubuh itu.

"Kapten!"

Josh dan Peter tiba beberapa saat kemudian. Mereka pun tak kalah terkejutnya dengan Federick.

"Astaga.. Orang gila mana yang melakukan semua ini?!"

Federick berjalan ke arah sesosok tubuh mungil yang tergeletak di sebelah gerobak yang sudah hancur.

Tubuh itu masih utuh, namun darah segar mengalir deras dari kepalanya yang menandakan sosok itu mengalami cedera kepala yang serius hingga mampu merenggut nyawanya.

"Kapten, diperkirakan jumlah korban sekitar dua ratusan orang!"

"Dua ratus?"

"Tidak salah lagi!"

Federick lalu mengusap wajah mayat anak kecil itu. Sepintas dia teringat akan putranya sendiri yang telah tiada karena kecelakaan. Amarah pun tak bisa terbendung lagi dari pria tua itu.

"Temukan orang gila yang melakukan semua ini bagaimanapun caranya!"

**

"Anda baik-baik saja nyonya?"

Sopir pribadi keluarga Federick begitu khawatir setelah melihat dari spion mobil bagaimana raut wajah majikannya sangat pucat pasi. Belum pernah dia melihat Vivian sepucat itu selama dia mengabdi di keluarga Federick.

Vivian pun meneguk air yang dia bawa. Dia lalu mengusap peluh di dahinya yang mungkin sudah sebesar biji jagung. Kaget, sedih, dan takut pun bercampur menjadi satu.

Jika dipikirkan lagi dia memang istri dari seorang kapten. Namun sejauh ini Vivian belum pernah melihat kejadian tragis secara langsung selama mendampingi Federick. Tentu saja apa yang baru saja dia lihat menjadi konflik batin tersendiri baginya.

Ckitt!

Mobil yang dinaiki oleh Vivian seketika berhenti ketika seorang pria bertopi tiba-tiba muncul menghadang.

"Hei! Apa yang kau lakukan?!"

Ketika sang sopir berniat turun dari mobil, pria misterius itu mengeluarkan sesuatu dari belakang tubuhnya dan..

Door!

"Arght!!"

Jeritan Vivian memecah keheningan malam. Setelah bom kini dia melihat sopirnya tergeletak tak bernyawa dengan kepala berlubang di depan matanya.

Wanita berumur itupun semakin histeris ketika sang pembunuh membuka pintu mobilnya.

"Sstt.. Kenapa para wanita itu selalu berisik? Diam atau ku lubangi tengkorak kepalamu."

Pria misterius itupun menyeringai ketika Vivian menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil menahan tangis. Dia lalu mengeluarkan lakban untuk mengikat kedua tangan dan kaki Vivian.

Kemudian pria itu menarik tubuh malang sang sopir dan mengendarai mobil itu dengan Vivian yang masih meringkuk di kursi belakang.

"Tolong lepaskan aku.. Kau bisa mengambil semua hartaku asalkan kau melepaskan ku.."

Vivian lalu menoleh ke kiri dan ke kanan sambil berteriak-teriak. Dia mencari mungkin masih ada orang disekitarnya yang bisa menolongnya dari pria itu.

Melihat gelagat Vivian, pria itupun kesal dan mengerem. Dia mengeluarkan pistolnya lagi yang kali ini langsung mengarah ke mata kanan Vivian selanjutnya di kerongkongan wanita itu secara bergantian.

"Hmm.. Yang mana dulu yang harus ku tembak? Ini atau ini? Ah.. Keduanya sama-sama membuatku kesal. Bagaimana kalau mata dulu saja?"

"Kenapa kau melakukan ini padaku tuan.." tanya Vivian untuk yang kesekian kalinya sambil menangis.

"Kenapa kau melihat kembang api itu?"

"Ke-kembang api?"

Wanita itu tertegun mendengar pertanyaan dari sang pria. Diapun berpikir sejenak dan beberapa detik kemudian wajah Vivian berubah semakin pucat.

"K-kau.."

Pria itu menyeringai kembali. Vivian baru menyadari bahwa yang terjadi padanya sekarang bukan sekedar perampokan biasa melainkan sesuatu yang lebih besar.