SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
PYGMALION (JAEYONG)

PYGMALION (JAEYONG)

PGML : CHAPTER 1

...WARNING!!!...

...INI CERITA BXB!...

...JIKA TIDAK SUKA, SILAHKAN TINGGALKAN CERITA INI!...

...TERIMAKASIH....

...SELAMAT MEMBACA!...

...----------------...

Malam itu hujan deras mengguyur seluruh penjuru kota, suara guntur bergemuruh menggelegar disertai kilat yang tampak ganas ingin menyambar.

Seorang pria terlihat sedang berteduh dihalte bus, duduk diam sambil menatap rintik hujan yang membasahi aspal. Helaan nafas pria itu hembuskan, sebelum tangannya merogoh saku hoodie yang dia pakai dan mengeluarkan sebungkus rokok.

"Aku benci hujan." Pria itu bergumam sambil menatap bungkus rokok ditangannya, tanpa mengambil satu batang pun, dia memasukan kembali bungkus rokok itu ke sakunya, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lalu terdiam.

TINTIN!—Suara klakson mobil mengagetkan pria itu, dia melirik ke depan pada mobil mewah yang berhenti didepan halte bus dan mobil itu terlihat familiar.

"Deon?"

Benar saja, setelah kaca mobil diturunkan, sosok yang dikenalnya tersenyum ke arahnya sambil melambai, itu Deon. "Masuklah Theo! Aku akan mengantarmu pulang."

Pria bernama Theo itu tersenyum senang, tanpa mau menunggu lama, dia berlari kecil ke arah mobil dan masuk ke kursi penumpang, disamping kemudi. "Syukurlah! Aku hampir mati karena kebosanan."

Deon terkekeh, menaikan kembali kaca mobilnya. "Kau selalu saja begitu. Sebenarnya, apa alasan yang membuatmu sangat membenci hujan?" Dia sudah lama penasaran, namun teman baiknya ini enggan memberi jawaban yang memuaskan.

"Merepotkan!" Theo menjawab singkat.

"Terserah kau saja, sialan!" Deon memutar matanya jengah, lalu mulai melajukan mobilnya.

Theo terkekeh, mengedikkan bahu acuh lalu tidak mengatakan apapun lagi, membiarkan keheningan tercipta diantara mereka berdua selama perjalanan.

"Kemana aku harus mengantarmu? Ke apartemenmu atau ke kafe?" Deon bertanya, memecah keheningan sambil melirik Theo memalui ekor matanya.

"Ke kafe saja."

Deon mengangguk.

Setelah memakan waktu selama sekitar 15 menit, akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Deon sampai dikafe, tempat bekerja paruh waktu Theo.

"Aku tidak mampir, aku masih ada urusan setelah ini."

Theo yang mendengar itu menaikan satu alisnya, sambil menatap Deon aneh. "Lagipula, siapa yang mengajakmu untuk mampir?"

Deon mendelik dan berteriak kesal. "Sialan, cepat turun dari mobilku, brengsek!"

Theo tertawa, cepat-cepat dia membuka pintu mobil dan keluar sebelum Deon semakin kesal dan berakhir mengamuk. Dia puas sekali karena untuk kesekian kalinya berhasil menggoda temannya itu.

"Terimakasih, De. Hati-hati!"

Deon membalas dengan mengacungkan jari tengahnya lalu dia melajukan mobilnya, meninggalkan Theo sendiri.

"Theo?"

Suara lembut itu membuat Theo menoleh, dia mendapati seorang wanita paruh baya berdiri diambang pintu kafe, ditangan wanita paruh baya itu terdapat plastik hitam besar, sepertinya beliau mau membuang sampah.

Theo cepat-cepat menghampiri dan mengambil alih plastik itu. "Biar Theo saja yang buang sampahnya. Ibu masuklah! Angin malam tidak baik untuk kesehatanmu."

Boana, ibu pemilik kafe mengangguk. "Nak Theo juga, setelah membuang sampah langsung masuk ke dalam kafe, ya."

Theo mengangguk dan mulai berjalan untuk membuang sampah saat Boana sudah masuk ke dalam kafe.

Tempat pembuangan sampah ada digang kecil disamping kafe dan tempat itu cukup gelap. Beruntung hujan sudah reda. "Semua tempat sudah penuh." Theo bergumam saat melihat semua tong sudah penuh.

Akhirnya Theo memilih untuk berjalan masuk lebih dalam ke gang, mencari tong yang masih kosong atau sesuatu yang bisa dia pakai untuk membuang sampah. Sebenarnya dia bisa saja membuang sampah ini secara asal, tapi dia tidak mau.

Tapi setelah berjalan beberapa langkah, Theo mematung. BRAK!—plastik sampah yang dibawanya jatuh ke tanah dan isinya berhamburan keluar, pupil mata Theo melebar melihat pemandangan didepannya.

"AHH!"

PGML : CHAPTER 2

...----------------...

Didalam kafe, Boana merasa gelisah karena pegawai paruh waktunya tidak kunjung menampakan diri, padahal sudah 1 jam berlalu.

"Ibu tidak usah khawatir, Theo pasti baik-baik saja." Juan—pegawai kafe yang lain mencoba menenangkan Boana. "Lagipula gang itu dekat dengan kafe, jika ada sesuatu yang terjadi pada Theo, dia pasti akan berteriak minta tolong."

Itu tidak membantu. Boana tetap merasa gelisah, pasalnya beberapa minggu yang lalu digang itu telah terjadi kejadian yang mengerikan, yaitu pembunuhan. Dan pelakunya sampai saat ini belum diketahui, masih dalam penyelidikan kepolisian.

"Tapi ini sudah satu jam. Juan, bisakah kamu menyusul Theo? Ibu khawatir sekali."

Juan mengangguk mengiyakan, tapi saat dia hendak keluar, pintu kafe terbuka dan menampakkan Theo dengan cengirannya.

"Maaf, tadi kalungku jatuh saat membuang sampah, jadi aku harus mencarinya terlebih dahulu."

PLAK!—karena kesal, Juan memukul belakang kepala Theo dengan keras. "Lain kali kabari kami, bodoh! Kau membuat ibu khawatir!"

Theo memegangi kepalanya dan mengaduh kesakitan, tapi setelah mendengar perkataan seniornya, dia jadi merasa bersalah. "Maaf karena sudah membuatmu khawatir, bu."

Boana menghela nafas lega, lalu tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, ibu senang kamu baik-baik saja." Boana menepuk pundak Theo. "Ini sudah larut malam dan kafe sudah mulai sepi pengunjung, kita tutup saja dan pulang untuk beristirahat."

Juan dan Theo serempak mengangguk, lalu mereka berdua mulai membersihkan kafe.

Kafe milik Boana hanya memperkerjakan enam pegawai, tiga orang sift pagi dan tiga lainnya sift malam. Tapi karena satunya sedang izin karena sakit, maka yang mengurus kafe malam ini hanya mereka berdua, Juan dan Theo.

"The, bagaimana dengan tugas akhirmu? Apa kau sudah menemukan objek untuk patungmu?" Juan bertanya disela kesibukannya mencuci piring.

"Aku belum menemukannya." Theo menjawab pelan. Dia berdiri diambang pintu dapur, menunggu Juan.

"Aku saja bagaimana? Jika dilihat dari segi fisik, aku cukup sempurna untuk menjadi objek patungmu, kan?" Ini sudah kedua kalinya Juan mencoba membujuk Theo.

"Itu benar, dari segi fisik kau memang sempurna untuk menjadi objek pantungku." Theo menjeda ucapannya. "Tapi kau bukan tipeku."

JLEB!—hati Juan serasa tertusuk sesuatu, rasanya sakit sekali. "Kamu–ah, sudahlah! Kemarilah bantu aku, jangan berdiri saja dan menonton!" Ucap Juan kesal.

"Tidak mau!" Theo menyilangkan tangannya didepan dada. "Kita sudah mendapat bagian masing-masing, jadi jangan banyak bicara dan kerjakan saja!"

Tapi, walau berkata seperti itu, Theo berjalan mendekat, mengambil kain lap yang bersih dan mulai menyeka piring yang basah.

"Aku lihat-lihat semakin lama, kau semakin berani." Juan berkata sinis, tapi diam-diam dia tersenyum.

Karena dikerjakan bersama-sama, pekerjaan selesai dengan cepat. Setelah mengunci kafe, Juan dan Theo mulai berjalan bersama, karena rumah mereka searah.

Tapi ditengah perjalanan, Theo berkata dia harus mengambil arah yang berbeda saat tiba dipertigaan karena ada urusan yang harus dia urus, ini menyangkut tugas akhirnya.

Walau merasa sedikit curiga, Juan akhirnya hanya mengangguk dan berkata pada Theo untuk berhati-hati.

Theo mengacungkan jari jempolnya dan mulai berjalan ke arah yang berlawanan dengan Juan. Tapi setelah beberapa langkah berjalan, dia berhenti dan berbalik, memastikan jika Juan sudah benar-benar pergi.

Ini kesempatannya! Theo berlari kembali ke kafe, lebih tepatnya ke gang kecil yang ada disamping kafe. Dia celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mencari sesuatu.

"Wah, kau kuat juga!"