Pewaris Kuyang
Desa Legi Putih.
Kuuuk...
Kuuuk..
Suara burung hantu dengan tenang sedang bertengger di atas pohon. Ditemani cahaya bulan yang menandakan hari sudah semakin malam.
"Aaaahhhh... Eeeemm... Aahhhh..." teriak Bu Sumi yang sedang sekuat tenaga mengeluarkan bayi yang sudah siap lahir malam ini.
"Lagi, ayo, dorong lagi!" ucap Nyai Rukmini menyemangati.
Pak Karso bersama Pak Lek Aji sedang was-was menunggu di luar.
"Aaahhhh..."
"Iya, lagi dorong terus!"
Oeeek Oeeeek Oeekkkk
Suara tangis bayi mungil yang baru lahir menjadi penanda bahwa kehidupan barunya di dunia akan segera dimulai.
Dengan senyum sumringah, Bu Sumi memanggil suaminya, "Mas!"
"Ya," tentu saja Pak Karso dengan senang hati menyahut lalu melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah.
Grrrooooaarrrrr....
Namun yang terjadi malah sebaliknya.
Senyuman indah Bu Sumi pudar seketika, saat mendengar suara aneh yang jaraknya begitu dekat, lalu perlahan ia melihat ke arah dukun beranak tersebut.
Nampak Nyai Rukmini yang tengah menggendong anaknya memutarkan kepalanya dengan sangat cepat.
Putar..
Putar..
Lalu seperkian detik selanjutnya kepalanya berhenti dan menjulurkan lidah panjangnya ke arah Bu Sumi.
Di depan sana Pak Aji yang mendengar suara aungan yang mengerikan lantas bergumam, "Sepertinya sudah waktunya," ia lalu menatap ke arah bulan yang hampir sempurna.
Sedangkan Pak Karso yang sangat antusias karena kelahiran anaknya, langsung membuka pintu kamar sambil tersenyum dan berseru, "Sumi!"
Tapi kenyataan menyeramkan yang harus mereka dapati.
Dukun beranak tersebut berubah menjadi sesuatu yang kepala dan tubuhnya sudah lepas terbagi dua.
"Aaaaaakkk..." teriak suami istri tersebut bersamaan.
Tubuh Pak Karso lemas di depan pintu kamarnya.
Dia terduduk lemas tak berdaya melihat perubahan Nyai Rukmini yang ternyata dia adalah Kuyang yang selama ini meresahkan para warga.
Dan seketika itu juga, Pak Karso yang ketakutan langsung berlari pergi meninggalkan nyawa anak dan istrinya yang sedang terancam bahaya.
Niat hati ingin mencari pertolongan kepala desa dan seluruh warga.
Tapi sayangnya ia telah salah.
"Mas....!" rintih ketakutan Bu Sumi saat dia tahu suaminya lari meninggalkannya. Ingin ikut berlari namun keadaan memaksanya untuk berdiam diri.
Dan selanjutnya.
"Aaaakkkk...." suara teriakan seorang ibu yang baru melahirkan anaknya tapi langsung meregang nyawa, menggema dikeheningan malam.
Pak Aji yang sudah tahu apa yang terjadi segera masuk ke dalam dan menggendong tubuh yang sudah tak berkepala untuk pergi meninggalkan rumah tak berpenghuni tersebut.
Pak Aji membawa tubuh Nyai Rukmini sambil berlari kecil. Sesekali dia melihat ke arah lain, takut ada orang yang telah melihat dan menemukan mereka.
Lelaki tua berperawakan pendek tersebut harus cepat membawa pulang tubuh tak berdaya Nyai Rukmini dengan mencari jalan tercepat menuju kediamannya.
Tong..
Tong...
Suara kentongan dipukul berulang-ulang yang menandakan sesuatu hal yang genting telah terjadi, dan seluruh warga diharapkan secepatnya berkumpul.
"Wahai penduduk Desa Legi Putih. Sudah tiba waktunya untuk kita menghapus malapetaka yang melanda kampung kita ini!" teriak Kepala Desa dengan lantang.
"Bunuh! Serbu!" seru para warga sambil memegang obor di tangannya.
Semua lelaki dari yang muda hingga yang tua telah berkumpul di depan rumah kepala desa.
Malam ini mereka harus berjuang menumpas iblis yang telah mengorbankan nyawa seorang ibu dan bayi yang baru lahir.
Sedangkan para ibu dan anak lain tetap berjaga di rumah mereka masing-masing.
Maklum desa ini dipenuhi banyak hutan. Ada air laut juga di sekitarnya.
Desa Legi putih sangat jauh dari kota. Ibarat kata Desa ini masih terbilang perkampungan.
"Kita tidak bisa berdiam diri lagi. Kita bunuh iblis yang sudah banyak mencelakai istri dan anak kita," seru warga lainnya.
"Kita bunuh dia."
"Ayo, kita bakar!" timpal semua orang menggebu-gebu.
Tiba-tiba dari atas kepala mereka nampak kepala terbang dengan wujud apinya sedang melintas, dan seperti hendak kembali ke kediamannya.
"Kuyang," seru salah seorang warga sambil menunjuk sesuatu yang baru saja melintas di atasnya.
Melihat iblis yang baru saya melewati tempat mereka berkumpul, seketika langsung membuat nyali mereka menciut.
Hati bimbang, ragu juga ketakutan menjadi satu dan melemahkan semua saraf tubuh juga pemikiran mereka.
"ALLAHUAKBAR ALLAHUAKBAR..."
Tiba-tiba, suara pemuda kecil yang baru berusia 10 tahun tersebut, telah melumpuhkan pandangan mereka yang tadinya menatap takut si kuyang, lalu beralih melihatnya yang sedang mengumandangkan azan.
Hati mereka antara damai dan takut menjadi satu.
"Bunuh Iblis!" seru seorang di antara mereka sambil mengangkat obornya tinggi-tinggi. Lelaki yang satu ini harus memberanikan diri dan membawa kembali keberanian yang sempat berubah menjadi sebuah ketakutan.
"Allahuakbar..." sahut lantang para warga beramai-ramai sambil ikut menaikan obor mereka tinggi-tinggi.
Semua penghuni Desa Legi Putih termasuk kepala desa, telah memutuskan untuk terus maju, lalu menghakimi iblis berkedok manusia yang telah banyak menelan nyawa.
Mereka berjalan melewati hutan belantara beramai-ramai, sambil berteriak menyebut Asma ALLAH berulang-ulang.
"Allahuakbar..."
"Allahuakbar..."
Sedangkan di rumah kumuh yang hanya terbuat dari anyaman bambu tapi memiliki dua tingkat di dalamnya.
Kenanga duduk di sudut dekat almari dengan penuh ketakutan. Dia memeluk erat kedua lututnya sambil menundukkan kepalanya.
Seluruh tubuhnya gemetaran saat sang nyai mulai melancarkan aksinya.
Setiap malam selalu begini dan Kenanga masih belum membiasakan diri untuk menghadapi ketakutan yang dia alami.
Dia adalah seorang gadis yang sedari kecil di asuh oleh Nyai Rukmini.
Dikala kedua orang tuanya pergi menghadap sang Ilahi, hanya Nyai Rukmini yang dengan sepenuh hati mau menerima Kenanga dan akan menjadikan dia pewarisnya kelak.
Wajah Kenanga seperti terinfeksi penyakit kulit. Ada semacam bisul yang hampir memenuhi seluruh wajah dan tubuhnya, tapi tidak berbau.
Keseharian hidup tanpa teman. Dan hanya mengenakan baju panjang lusuh sebagai penghangat tubuhnya.
Hanya Nyai Rukmini dan Pak Aji yang selalu bersama menemani setiap senang dan susahnya kehidupan seorang Kenanga yang malang.
Bruaaak...
Suara jendela belakang yang ada dilantai bawah terbuka dengan sendirinya.
Ada sebuah tong besar yang terbuat dari tanah liat yang sudah dipenuhi air di dalamnya.
Kepala Nyai Rukmini yang masih terbang lalu masuk dan tenggelam di dalamnya.
Wahai dedemit.
Bersatulah bersamaku.
Bersatulah dengan ragaku.
Suara Nyai Rukmini melengking nyaring namun menakutkan.
Sedangkan Pak Aji dengan perlahan meletakkan tubuh Nyai di atas kasur amben yang dialaskan tikar di bawahnya.
Wajah menyeramkan dari Hantu Kuyang yang mengejutkan kita dengan isi badannya. Sebelum dia kembali masuk dan menyatu dengan bagian tubuh lainnya.
Dia harus berendam sejenak untuk mendinginkan hawa panas di bagian wajah juga organ dalamnya. Biarkan dia menyegarkan diri terlebih dahulu.
Pak Aji akan setia menunggu Nyai Rukmini pulih kembali.
Kenanga yang malang dengan rasa takutnya berinisiatif untuk pergi dan meninggalkan rumah kutukan yang dia tinggali selama ini.
Dia lelah juga muak.
Dengan jantung yang berirama dan panas dingin tubuhnya bercampur aduk jadi satu. Dia melangkahkan kakinya untuk menggapai sebuah pintu yang jaraknya hanya tiga belas jengkal.
Sreeek..
Kreeekk....
Namun suara langkah kaki Nyai terdengar sedang menaiki anak tangga. "Kenanga," panggilnya lirih.
Kenanga yang sudah sampai depan pintu dan hampir berhasil membukanya langsung menghentikan tangannya.
Ada suara Nyai.
Dengan rasa khawatir dan iba, gadis itu membalikkan tubuhnya dan mendapati Nyai sedang berjalan perlahan menghampirinya dengan payahnya.
"Jangan...Tinggal-kan Nyai!" ucapnya terbata-bata, lalu tubuhnya ambruk karena nyawanya sudah di ujung tanduk.
Nyai Rukmini tahu bahwa waktunya tinggal sebentar lagi.
"Nyai..!" teriak Kenanga lalu lari menghampiri tubuh yang hampir tak bernyawa dengan tergesa.
Kenanga memeluk erat tubuh Nyai karena takut kehilangan. Dia menangis, takut. Tapi dirinya sudah enggan tinggal disini lagi.
"Jangan tinggalkan Nyai, Kenanga!"
Gadis itu hanya bisa menggeleng tanpa bersuara. Air matanya jatuh tanpa bisa dihentikan.
"Mreneo..." tiba-tiba suara Nyai yang lirih terdengar mematikan di telinga Kenanga.
Perasaannya buruk malam ini.
Tangisannya juga terhenti.
Apa yang akan Nyai lakukan?
"Bersatulah dengan pewarisku! Mreneo dadi siji karo ahli warisku, bersatu!" ucap Nyai Rukmini dengan lantang sambil memandang lekat wajah gadis yang sedang memeluknya.
Glegaaarr...
Cetaaas....
Suara guntur tanpa hujan datang secara tiba-tiba.
Angin kencang disambut dengan suara petir menambah kesan menakutkan di malam yang sudah mengutuk nasib malang seorang gadis tanpa dosa tersebut.
Sontak saja Kenanga langsung mendorong tubuh lemah Nyainya dengan paksa. Rasa takutnya sudah menggerogoti seluruh aliran tubuhnya.
Apa maksud ucapan Nyai?
Napasnya sesak, jantungnya berdegub cepat.
Wuuusss....
Bruaaakkk....
Angin kencang telah memporak-porandakan gubuk kecil tersebut namun tak roboh.
Tiba-tiba datang suara yang menyahut tanpa wujud.
"BERSATULAH...
BERSATULAH NYOWO LAN ROGOMU...
DADI SIJI KARO AKU !"
Kenanga menoleh kesana kemari tapi tak menemukan apapun. Niatnya ingin mencari sumber suara yang terdengar menakutkan di telinga.
Namun hanya ada angin kencang yang berhembus masuk ke dalam rumah, juga seekor burung hantu yang baru saja muncul dan berdiri tepat di tengah jendela yang sudah terbuka.
Tak ada apapun yang bisa dilihatnya.
Dengan isak tangis pilu, Kenanga sudah paham perbuatan Nyai padanya. Dia berkata dengan sedih, "Sampai hati Nyai berbuat begini padaku. Huu huuuu...."
"Bakar mereka! Bunuh mereka!" teriak orang-orang di luar sana.
Para warga sudah sampai di depan rumah Nyai Rukmini, yang dikenal sebagai dukun beranak namun ternyata kedoknya adalah jelmaan kuyang.
"Keluar kau setan kuyang!" teriak salah satu warga.
"Keluar kau Nyai Rukmini! Kalau tak mau keluar, aku bakar rumahmu ini!" seru yang lainnya.
"Kita tunggu apalagi, Ketua Desa? Istri dan anak kami sudah menjadi korban setan dalam rumah itu," timpal Pak Karso yang baru saja menjadi korban kekejaman hantu Rukmini.
"Bakar... Bakar!" teriak semua warga.
Di dalam sana.
Kenanga sedang merintih kesakitan dan menjerit.
"Aaaaakkkk.....!"
Semua warga yang mendengar langsung merasa ngeri walau tak tahu pasti apa yang sedang terjadi.
Tiba-tiba nampak rumah tersebut bergoyang kencang dan banyak terdengar bunyi berisik di dalamnya.
Gubrak....
Para warga hanya bisa berdiri mematung dan memandang rumah yang seperti kena gempa tersebut dengan mata melotot dan jantung yang ikut berirama.
Ingin sekali mereka menangis.
Ada apa di dalam sana?
Gedubraaakk...
"Aaaaakkkk....!" suara nyaring nan mematikan tersebut menggema di seluruh Desa Legi Putih.
Di rumah kumuh itu, Kenanga yang lemah tiba-tiba sudah tergeletak tak berdaya dengan napasnya yang tersengal-sengal.
Air matanya juga ikut tumpah.
Lalu dia menatap Nyai Rukmini yang juga tengah menatapnya.
Kenanga berbalik badan dan dalam posisi telungkup.
Dia menyeret tubuh tak berdayanya untuk menghampiri Nyai yang sudah terkapar namun masih bernyawa.
"Nyai, ampun. Huu huuuu... Nyai," isaknya.
Kenanga menangis karena tak mau ikut menjadi makhluk mengerikan.
Gadis itu berusaha untuk duduk, dan dengan belas kasihan yang ia miliki, dipeluknya tubuh wanita yang merawatnya dengan penuh cinta dan kasih.
Mata Nyai Rukmini sudah layu dipangkuan Kenanga. Namun enggan terpejam.
"Nyai, hiks hiks..." ucap Kenanga sambil terisak.
Tiba-tiba secara perlahan tubuh Nyai melepuh. Dari wajah hingga tangan, kaki, semuanya.
Perubahan mendadak ini membuat Pak Aji yang baru muncul dan juga Kenanga menjadi sedih.
Nyai sudah tiada dengan mata dan mulut yang terbuka.
Dengan hati-hati sambil menangis, kenanga membaringkan tubuh Nyai dan membiarkannya menjadi busuk perlahan.
Namun burung hantu jadi-jadian yang tadi berdiri tenang di jendela, tiba-tiba terbang ke arah Nyai, lalu berubah menjadi puing hitam kecil-kecil, dan setelah itu berhamburan di atasnya.
Mirip seperti meletusnya kembang api.
Tapi ini adalah burung hantu yang menghilang musnah dan menaburkan serpihan warna hitam, lalu menjadikan tubuh tak bernyawa Nyai berubah busuk seketika itu juga.
Bahkan sudah nampak belatung yang merayapi dagingnya.
Percayalah sudah tak punya kulit.
...****************...
Jika anda terhibur, bolehkah minta bintang 5?
Terimakasih.
"Bakar... Bakar...!" teriak warga yang saling bersahutan.
"Bunuh iblis itu!"
"Bakar hidup-hidup!"
Kenanga dan Pak Aji sangat jelas mendengar keributan yang terjadi di depan rumah bambu mereka.
Sedari tadi para orang-orang berteriak tiada henti, dengan caki maki ataupun sumpah serapah yang diucapkan para warga untuk Nyai Rukmini.
Dua orang yang tengah diselimuti duka dan kini masih duduk lemas dengan ekspresi kosong di wajahnya.
Hanya suara napas yang terdengar sebagai tanda bahwa mereka berdua telah lelah dengan beratnya hidup yang mesti dijalani.
"Ayo, kita bakar saja! Tunggu apa lagi?" seru salah satu dari mereka dengan tak sabarnya.
"Pak Kades, Ayo, kita buka paksa saja pintunya! Jangan menunda waktu!" timpal yang lain.
"Sudahlah, bakar saja! Semua penghuni disana adalah iblis," sahut lainnya dengan semangat yang menggebu-gebu.
Bukan bermaksud jadi provokator, lagipula memang ada jelmaan setan di rumah itu, tak ada yang salah dengan ucapan mereka.
"Baiklah, kita masuk saja." balas sang tetua desa kemudian. Beliau setuju untuk masuk paksa tanpa sebuah izin yang berlaku.
Kreeekk...
Namun tiba-tiba pintu yang juga terbuat dari bambu itu sudah dibuka oleh sang pemilik rumah, dan menampilkan sosok Kenanga yang berdiri memandang para warga dengan wajah menyedihkannya.
Semua mata yang memandang hanya bisa berdiam tanpa bersuara.
Akhirnya...
Kenanga dan Pak Aji melangkahkan kakinya menyusuri sepanjang dataran pesisir laut, sambil sesekali memandang takjub lautan lepas tak berpenghujung tersebut.
Nampak indah dengan birunya warna yang bergerak menggelombang.
Lelaki tua yang usianya hampir setengah abad tersebut, akan senantiasa ada untuk Kenanga tanpa berniat meninggalkannya.
"Pak Lek, kemana kita harus pergi?" tanya gadis berpakaian usang tersebut, dihiasi dengan selendang tipis sebagai penutup bagian rambutnya.
Tubuhnya serasa lemah sebab kepasrahan tentang perubahan yang akan mengubah seluruh hidupnya sebentar lagi.
Pandangannya juga kosong. Ia melamun, entah apa yang dilihatnya.
Miris memang, bukan hanya penyakit kulit yang dia derita, pakaian compang camping yang tak layak pakai juga masih ia kenakan.
"Kenanga, berat mata memandang, berat lagi bahu memikul. Pak lek rasa, tempat ini sudah tak layak untuk kita huni. Seketul arang tak akan bisa menjadi putih walau dibersihkan dengan air satu ember sekaligus. Kita ini sudah buruk nama. Carilah kehidupan baru untukmu, Nak. Pak Lek yakin, Kenanga paham apa maksudnya."
Gadis itu hanya diam. Dia paham tapi rasa lelahnya membuat mulutnya tak mampu lagi berucap.
***********
Assalamualaikum warahmatullahi...
Seorang ustad tampan berperawakan tinggi, mempunyai kulit putih dengan hidung mancungnya. Dia tengah melaksanakan sholat sunnah dengan kusyuk.
Setelah selesai berdzikir dan berdo'a, dia dengan rapi melipat lagi sajadahnya.
Namanya Aiman.
Putra dari Kyai Husain pemilik Padepokan Cakar Geni.
Tempat beliau ini dimasukki oleh para pemuda pemudi yang ingin belajar ilmu seni bela diri.
Di desanya, entah itu ilmu kebatinan atau ilmu yang berhubungan dengan kekuatan tak kasat mata. Semua dari kalangan lelaki harus punya tameng untuk melindungi diri mereka sendiri.
Sejatinya memang tak ada yang abadi. Tapi jika punya ilmu untuk melumpuhkan lawan disaat kita butuh perlindungan. Senjata yang kita punya bisa jadi akan membantu diri sendiri untuk lolos dari yang namanya kebiadaban manusia yang tak punya kesadaran.
Kyai Husein mempunyai tiga putra. Nah, si Aiman adalah anak pertama yang sebentar lagi akan menjadi penerus untuk mengembangkan padepokan yang kini sudah menyebar ke berbagai tempat lain.
Tak jauh dari sana, ada perempuan cantik jelita yang berwajah Arab dengan mata lebarnya dan memakai hijab untuk menutupi auratnya.
Dia adalah Syarifah Zahara.
Perempuan muslimah tersebut datang bertamu ke rumah Aiman bersama dengan saudari lainnya.
"Assalamu'alaikum..."
"Walaikumsalam... Oh, Syarifah. Ada hal berkenaan apa sehingga engkau datang kemari?" tanya Yunus, anak kedua dari tiga bersaudara tersebut ketika ia mendapati bahwa tamunya adalah seorang wanita.
Putra yang satu ini juga sama. Tinggi dan tampan. Tapi keuletan dan gigihnya masih di atasnya Aiman. Bisa dikatakan dia lebih cekatan dibanding saudara lainnya.
"Maaf jika saya tidak sopan telah bertandang kerumah seorang lelaki, tapi apakah ustad Aiman ada di dalam? saya ingin bertemu," jawabnya sambil menundukkan wajah yang ditutupi cadar tersebut.
Sedangkan teman wanita Syarifah berniat menunggu di luar, terdapat pohon besar yang ada ayunan bergelantungan disana.
"Ada, silahkan duduk di luar! Saya akan panggilkan sebentar."
"Terimakasih."
Yunus berjalan menuju kamar saudaranya. Dia mengetuk pintu dan menunggu untuk dipersilahkan masuk.
Tok..
Tok..
"Assalamu'alaikum, Mas. Sedang apakah engkau di dalam? Ada Syarifah datang berkunjung dengan tujuan hendak menemuimu."
"Walaikumsalam..." jawab Aiman sembari membuka pintu kamarnya.
Dengan ragu-ragu Yunus berkata sekaligus memperingatkan.
"Saudaraku, bukankah engkau tak mencintainya? Apakah harus melanjutkan ikatan suci tanpa sebuah rasa di dalamnya? Akankah engkau tak mau menjalani kehidupan dengan orang terkasih hingga ajal menjemput? Jangan sakiti diri sendiri! terlebih suatu saat nanti, engkau juga akan menyakitinya."
Mendengar ucapan adiknya, Aiman hanya menghela napas dan menjawab, "Saya menikah karena ALLAH, nanti suatu hari nanti, cinta itu akan tumbuh sendiri seiring berjalannya waktu yang menanti."
"Baiklah, jika itu keputusanmu. Saya harap engkau tak perlu memaksa. Dan jangan ada penyesalan di hari kemudian," balas Yunus yang memandang saudaranya dengan iba.
Pernikahan karena perjodohan.
Dari mata sudah bisa terlihat jika wanita bercadar tersebut sangatlah cantik. Tapi jika hati tak memilih kecantikan sebagai pelengkap kebahagiaan.
Apa yang patut dibanggakan dari sebuah keistimewaan?
"Ayo, kita temui bersama! Kasihan jika menunggu terlalu lama," ajak Aiman, lalu mereka berjalan menuju tempat Syarifah menunggu. Yaitu teras depan.
"Assalamu'alaikum Syarifah. Ada apa engkau bertamu kemari?" tanya Aiman lembut.
Perempuan cantik itu terpaksa menatap Yunus dengan tujuan agar dia paham jikalau obrolan ini bersifat pribadi.
Yunus yang mengerti langsung pamit undur diri. Lagipula pertemuan mereka bukan di dalam rumah melainkan di teras luar.
Menurutnya begitu.
Walau mereka paham jika dilihat dari segi mana pun, pertemuan dua orang yang belum ada ikatan tak bisa dipantaskan
"Saya tunggu di ruang tamu, Mas. Permisi!"
Aiman mengangguk. Dia yakin jika Yunus tak akan jauh dari jangkauannya.
"Maafkan kelancangan saya, ustad! Saya hanya ingin bertanya tentang sebuah kepastian, acara sakral yang akan mengikat tali sehidup semati di antara kita berdua. Sudikah engkau menerima saya seadanya?"
Pertanyaan ini benar-benar membingungkan Aiman.
Ingin jujur tapi tak sampai hati mengucapkan.
Andai dia bisa menolak keras dan bukan menjadi anak yang patuh pada orang tua. Mungkin detik ini juga Aiman pasti bisa melepaskan diri dari belenggu yang sebentar lagi akan mengikat erat jalan hidupnya.
"Syarifah Zahara. Pernikahan ini atas dasar kemauan orang tua kita. Saya tak berani mengatas-namakan Tuhan di dalamnya. Biarlah waktu yang akan mengubah segalanya. Dari yang buruk menjadi baik. Dari kebimbangan berubah menjadi keyakinan. Saya harap engkau mengerti maksud ucapan saya," jawabnya lembut tapi menusuk.
Berat sekali hati Syarifah mendengarnya. Gadis itu tanpa sadar menatap lelaki di depannya dengan mata sendu. "Ustad Aiman. Tidak adakah sedikit rasa cintamu untukku?"
"Jangan mencintai sesama secara berlebihan, Syarifah! Jangan menduakan kasih sayangmu hanya untukku tapi enggan mencintai Tuhan kita! Apa engkau lupa bagaimana agama kita mengajarkan hal itu?"
"Bukan begitu..." jawab Syarifah lirih. Dia tak berani lagi memandang wajah lelaki di hadapannya, karena dia tahu pertanyaan yang dia ajukan adalah salah.
Karena rasa malu dengan pengakuan halus Aiman, akhirnya wanita cantik itu mundur tanpa harus melanjutkan lagi sesi tanya jawabnya.
"Baiklah, Ustad. Saya undur diri dulu. Saya berharap hatimu bisa terbuka dan menerima kekurangan saya seadanya. Assalamu'alaikum!"
"Walaikumsalam...! jawab kedua lelaki bersamaan.
Yunus mulai menghampiri Aiman saat Syarifah sudah menghilang meninggalkan rumah mereka.
"Baguslah, itu jawaban yang jujur. Walau tak harus dijabarkan dengan panjang lebar, setidaknya niat hati hanya untuk berterus-terang tanpa menutupi sebuah kebohongan."
"Hatiku mencari sesuatu, Yunus. Tapi aku tak paham, apa yang aku cari? Dan kemana arah aku mencari?" keluhnya sambil menatap kosong halaman luas di depan rumah.
"Sudah berbulan-bulan engkau meminta petunjuk, Saudaraku. Percayalah, entah apa yang engkau cari. Suatu saat takdir yang akan menemukannya untukmu," jawab Yunus sembari memberi pengertian.
Sebagai saudara sedarah. Hanya kata-kata motivasi yang bisa dia bagi untuk membantu mendapatkan kembali hidup yang hampir mati.
***************
Sudah seharian mereka mengayunkan langkah melewati tengah hutan dengan alasan agar tak banyak orang yang melihat rupa buruknya.
Dari malam hingga jumpa pagi, lalu beralih ke sore hari.
"Bismillahirrahmanirrahim."
"Qul huwallāhu aḥad. Allāhuṣ-ṣamad. Lam yalid wa lam yụlad. Wa lam yakul lahụ kufuwan aḥad."
Terdengar suara anak-anak tengah melantunkan Surat Al-Ikhlas menggunakan mic dari surau tempat mereka mengaji.
Kenanga menghentikan langkahnya. Dia berusaha mendengar lantunan indah tersebut dengan senyum miris yang terukir dari bibirnya.
Bagaimana tak miris?
Akankah dia bisa belajar mengenal lantunan ayat yang selama ini dia dengar?
Bagaimanapun juga, dia adalah manusia biasa yang masih punya hati juga akal.
Tiba-tiba lamunannya kembali ke masa silam.
...****************...
Ketika dia masih sangat belia, setiap magrib terdengar suara Azan berkumandang dan lantunan Ayat Alquran yang dibaca oleh para anak kecil di surau sana selepas sholat.
"Bismillahirrahmanirrahim."
"Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa takhudzuhuu sinatuw walaa naum, la huu maa fis samaawaati wa maa fil ardh, mann dzal ladzii yasyfau indahuu illa biidznih, ya lamu maa baina aidiihim wa maa kholfahum, wa laa yuhiituuna bisyai im min ilmihii illaa bimaa syaa, wasia kursiyyuhus samaawaati walardh, wa laa yaudluhuu hifdzuhumaa, wa huwal aliyyul adziim."
Begitu kusyuk Kenanga mendengar.
Nyai Rukmini langsung mendekati Kenanga kecil lalu duduk di dekatnya, serta menutup kedua telinga gadis tersebut dengan kedua tangannya.
"Ojo dirungokke! Mung Nyai yang selalu ada untukmu. Mung Nyai yang senantiasa melindungimu."
Sambil menoleh sekilas ke arah suara yang sedang tadarusan, dia melanjutkan lagi kalimatnya. "Hanya Nyai seorang yang Kenanga punya, karena kaulah AHLI WARISKU."
...****************...
Lamunannya terhenti. Kenanga menitikan kembali air matanya.
Sekarang gadis itu mulai paham bahwa hidupnya telah di atur oleh seorang wanita yang telah membesarkannya. "Hidupku di tangan Nyai."