Vengeance Of The Idol: Love, Sacrife, And Justice
“Aku bukan pembunuh,” ucapku dengan tegas pada semua orang, entah itu para wartawan, para penggemar semua member grupku yang telah aku bunuh, maupun kepada polisi-polisi yang berjejer di samping kanan-kiriku. Memastikan aku tidak melarikan diri.
Beberapa hari yang lalu, aku bekerja di sebuah industri huburan yang penuh gemerlap dan pesona, yaitu aku adalah seorang idol dari sebuah grup yang sangat populer. Grupku yang terdiri dari tujuh anggoda muda dengan bakat yang luar biasa di bidang menari, menyanyi, dan akting. Semua member menonjol, termasuk aku. Namun, aku memilih mengakhiri semua kepopuleran itu dengan membunuh semua anggota grupku.
Suasana selepas aku mengucapkan hal tersebut menjadi riuh. Mereka menghujaniku dengan tatapan-tatapan sinis beserta celaan-celaan yang meluncur dari mulut mereka karena aku tidak mengatakan apa yang diekspektasikan semua orang di dalam kepala mereka, apalagi para penggemar. Harusnya aku mengucapkan minta maaf kemudian menceritakan kronologi bagaimana aku membunuh. Namun, aku malah mengatakan hal tersebut karena bukanlah aku yang bersalah.
Mereka yang telah kubunuhlah yang bersalah. Aku hanya menyelamatkan hal berharga terakhir yang aku punya. Anindya, anakku, yang kini tidak memiliki siapa-siapa akibat kematian ayah tirinya dan ayah kandungnya yang sampai sekarang menjalani hidupnya seolah dia tidak memiliki anak. Menikmati kehidupan perkuliahannya sambil mencicipi satu persatu gadis-gadis di kampus maupun para penghibur di klub malam. Aku tidak bersalah, mereka yang bersalah. Aku akan menyelamatkan hal berharga terakhir yang aku punya, anakku.
Untuk mengatasi keriuhan yang terjadi karena ucapanku, polisi mengambil alih mikrofon yang aku pegang, kemudian menceritakan kronologi kasus pembunuhanku. Pihak kepolisian tidak dapat menyebutkan apa motif dari kasusku ini dan meminta agar para wartawan tidak menerbitkan berita spekulasi karena pihak kepolisian masih menyelidikinya. Setelah konferensi pers, aku dibawa ke kantor polisi. Pastinya dengan penjagaan ketat oleh para polisi dari tangan-tangan para penggemar yang berusaha menjambak maupun mencakarku.
Aku pikir aku akan langsung dimasukkan ke dalam sel. Ternyata aku masih dibawa ke ruangan bercat serba hitam. Di dalam ruangan itu ada seorang pria dewasa, berambut cepak dan berjambang. Warna kaos yang dia pakai terlihat kontras dengan warna tembok di ruangan penyidik, yaitu kaos warna putih. Ya, walaupun warna celananya menyatu dengan tembok.
“Yaho, kita bertemu lagi,” sapanya sambil menunjukkan raut muka ramah kepadaku. Dia adalah penyidik yang menanyaiku macam-macam terkait dengan kasus pembunuhanku beberapa hari yang lalu dan kini bertemu kembali. Oleh petugas, aku digiring menuju kursii dan didudukkan di kursi dengan kasar sehingga pantatku membentur besi kursi tersebut yang membuatku mendesis kesakitan. Bola mata penyidik itu membulat melihat perlakuan kasar petugas itu kepadaku.
“Walaupun dia adalah seorang tahanan, tetapi dia juga adalah seorang perempuan. Jadi perlakukanlah dia dengan lembut, ya,” tegurnya lembut dengan bibir yang terangkat ke atas, namun sorot matanya tidak menunjukkan kelembutan.
Petugas itu langsung membungkukkan badan dan meminta maaf kepada penyidik itu. Penyidik itu menggeleng, masih mempertahankan ekspresi yang sama sambil menunjukku. Paham apa yang ia maksud, penyidik itu melakukan hal yang tadi dia lakukan kepada penyidik, kepadaku. Jiwa-jiwa tidak enakanku pun muncul, walaupun rasanya ingin marah karena diperlakukan begitu, aku tetap memaafkannya. “Ah, tidak apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan.”
Petugas itu mengucapkan terimakasih kemudian keluar dari ruangan. Penyidik itu menghela napas panjang dan meminta maaf kepadaku. “Petugas yang tadi adalah petugas yang berbeda dari pertama kamu diantarkan ke mari karena petugas itu masih bertugas pada tahanan lain,” katanya.
“Tidak apa-apa, aku tidak terganggu dengan hal itu, kok,” aku menenangkan kekhawatirannya.
Penyidik itu menanyakan bagaimana kabarku, hanya untuk basa-basi, pembuka intrograsi. Aku menjawab basa-basi itu dengan baik dan jujur, “Sejujurnya, aku agak lelah dan aku ingin secepatnya ingin beristirahat.”
Penyidik itu mengangguk maklum, “Aku tahu apa yang kamu rasakan. Tubuh dan psikologismu merasa sangat lelah dan ingin segera memejamkan mata. Aku juga merasakan hal itu kadang-kadang,” sahutnya.
Penyidik itu mulai menggali informasi dariku tentang motif di balik kasus pembunuhan yang aku lakukan. Awalnya aku menolak untuk berbicara apa motif di balik kasus pembunuhanku, tetapi aku tidak menolak jika diminta untuk menceritakan ulang proses aku membunuh mereka. Penyidik itu tergelak, katanya, kalau informasi itu sudah ia dapatkan. Tinggal informasi motifnya yang belum ia dapatkan.
“Oke, oke. Aku ganti pertanyaan, ya,” katanya dengan sabar. “Bagaimana perasaanku setelah membunuh para korbanmu?”
Aku memandang sebentar ke arah tembok bercat hitam sebelum akhirnya aku menatap matanya dan berkata, “Aku lega. Dengan kematian mereka, dendamnya sudah terbalaskan lewat tanganku.”
Dahi penyidik itu berkerut. “Maksudnya?”
“Maaf, aku tidak bisa menjelaskan lebih lanjut. Tidak apa-apa jika aku dihukum berat.”
Penyidik itu menghela napas panjang dan sesi interograsi dihentikan untuk sementara.
***
Petugas itu tadi mengantarkanku ke dalam sel penahananku. Dia membuka sel itu dan mempersilahkan aku masuk. Kali ini dia memperlakukanku dengan lebih lembut. Ketika aku masuk, dia menutup pintunya kembali. Aku tinggal sendirian di dalam sel itu karena aku terjerat kasus yang cukup berat, pembunuhan berantai. Sel yang aku huni sekarang sangat sempit dan pengap. Karena aku baru pertama kali ditahan, aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku memutuskan untuk tidur.
Di dalam sel sudah disediakan bantal guling bau apek, tetapi aku cuek saja dan kemudian memejamkan mata. Aku membuka mataku kembali ketika mendengar selku dibuka oleh petugas pengantar makanan. Petugas pengantar makanan itu menaruh makanan di dekat kakiku. Aku lihat makanan apa yang aku dapatkan. Ternyata roti seharga dua ribuan dan sebotol kecil air mineral.
Melihat wajahku yang kebingungan, petugas itu akan mengubah menuku jika ada sanak keluarga yang membayar uang iuran lapas. Setelah itu dia menutup pintu selku. Ah, pastinya tidak akan yang membayar. Satu-satunya keluarga yang masih tersisa adalah anakku yang berusia empat tahun. Sekarang dia dibesarkan oleh dinas sosial karena dia dianggap sebatang kara. Jadi aku harus puas dengan makanan dan minuman minim begini. Pastinya juga tidak akan ada yang mengunjungiku.
Aku harus merencanakan apa yang harus aku lakukan di dalam sel selanjutnya agar tidak begini terus. Sebentar, aku merencanakan hal itu nanti karena aku akan makan terlebih dahulu. Aku membuka plastik roti itu. Walaupun roti murah, tapi baunya tidak terlalu buruk. Malahan, bau kacang almond yang manis dan menyengat menyeruak begitu kemasannya dibuka. Namun, ada sedikit aroma kimia yang tajam dan menusuk hidung. Ah, mungkin karena roti murahan, pasti ada saja kekuarangannya. Aku pun makan roti itu dengan perlahan, sangat menikmatinya karena aku tengah dilanda kelaparan.
Lima belas menit kemudian, aku merasakan hal yang aneh pada tubuhku. Awalnya aku mual, aku masih berpikir positif. Mungkin rotinya jamuran, jadi aku merasakan mual. Kemudian disusul vertigo, sulit bernapas, dan lama-kelamaan kesadaranku mulai menghilang serta detak jantungku mulai melemah. Aku baru menyadarinya. Bau kacang almond yang manis dan menyengat serta ada sedikit aroma kimia tajam yang menusuk hidung menandakan bahwa roti yang telah aku makan sudah ditambahkan racun sianida.
Sayang sekali aku mati tanpa melihat perkembangan anakku. Tetapi aku bersyukur aku akan bertemu seorang pria yang menganggap anakku sebagai anaknya. Walaupun hanya sebentar karena dia ada di surga, aku ada di neraka. Aku juga belum mengetahui pelaku yang telah membunuhku.
Harusnya aku sudah mati!
Itulah yang aku pikirkan ketika membuka mata di atas kasur king size dangan langit-langit rumah yang tampak sangat familiar di mataku.
Pintu kamar itu terbuka dan menampilkan sesosok wanita berumur lima puluh tahunan yang masih tampak cantik, walaupun rambut cokelatnya telah ditumbuhi uban yang cukup banyak. Netra itu menatapku tegas. "Nak, ayo segera bangun. Nanti terlambat datang ke sekolah," ujarnya dengan lembut.
"Mama?" gumamku tidak percaya ketika melihat sesosok wanita itu dan dibalas dengan lembut. "Ya, ada apa?"
"Sekarang tahun berapa?" tanyaku kepadanya.
"Ada apa denganmu, Nak? Sekarang tahun 2019," jawabnya. Tahun 2019, berarti ini adalah tahun terakhirku berada di SMA. Dimana aku masih belum menjadi idol. Tahun dimana jika aku tidak hamil duluan, aku akan lanjut kuliah di universitas, bahkan di universitas impianku.
Untuk memastikannya lebih lanjut, aku langsung turun dari ranjang dan bercermin yang menampilkan sesosok gadis remaja berambut pendek berponi dan memakai piyama serba merah muda. Itu adalah sosokku pada tahun itu karena di masa depan aku berambut panjang!
"Ternyata aku belum mati?" gumamku, takjub.
Aku menatap sosok Mama dan langsung menghambur kepadanya. Aku memeluknya dengan sangat erat sambil menangis. "Mama, aku sangat kangen sama Mama!!!"
Mama tampak kebingungan melihatku. Namun yang dia bisa lakukan adalah membalas pelukanku. "Sudah, sudah. Ayo segera bersiap, sarapan, kemudian pergi ke sekolah. Mama tidak akan kemana-mana." Dia mengusap rambutku dengan lembut.
"Aku belum mati," ucapku di tengah-tengah isak tangis. Tangan Mama berhenti mengusap rambutku. "Sudah, jangan terlalu banyak membaca novel atau komik. Kamu sudah kelas 12, beberapa bulan lagi ada ujian masuk universitas. Katanya mau dapat beasiswa, kan."
"Siap, Mama. Aku tidak akan pernah mengecewakan Mama."
Untuk kedua kalinya!
Bel rumah berbunyi, menandakan ada seseorang yang datang, siapa lagi kalau bukan pacarku saat SMA sudah datang. Mama menyuruhku bergegas bersiap pergi ke sekolah karena pacarku sudah datang. Sebelum keluar kamar, aku memegang pergelangan tangan mamaku dan memintanya bilang ke pacarku bahwa aku sudah berangkat sekolah. Dahi Mama berkerut, mungkin dia mengira aku sedang masa bertengkar dengan pacarku.
Setelah Mama keluar dari kamarku, aku mandi, memakai seragam, dan berdandan. Aku kira pacarku sudah berangkat ke sekolah terlebih dahulu, ternyata belum. Dia sedang duduk di ruang tamu. Begitu dia melihatku, matanya berbinar. Namun, aku tahu bahwa dia punya selingkuhan dari sekolah lain. Saking rapinya menyembunyikan selingkungannya itu, diriku di masa lalu baru mengetahui ketika aku tengah mengandung anaknya.
"Selamat pagi, My Love," sapanya dengan senyuman manis yang lebar. Diriku di masa lalu sangat menyukai senyuman itu, tapi diriku di masa sekarang, senyuman itu membuatku mual. Dasar serigala berbulu domba, dikira aku tidak tahu kelakuan busukmu?
Aku mengabaikan sikap manisnya. Aku memilih pergi ke teras, mengambil sepatu dan kaos kaki, dan memakainya. Tanpa menoleh ke arahnya, aku berjalan cepat menuju halte bus. Namun, sayangnya dia bisa menyusulku karena tinggi badannya yang menjulang.
Dia memanggil namaku, tetapi aku sengaja tidak menoleh. Ketika dia memanggil untuk kedua kalinya, aku masih tidak menggubrisnya. Namun, ketika dia memanggil namaku yang ketiga kalinya sambil menarik lenganku, membalikkan tubuhku sehingga wajahku berhadapan dengannya.
Dia bertanya mengapa aku diam saja pagi ini. Aku hanya menjawab dalam hati bahwa dia telah banyak melakukan kesalahan di masa lalu. Namun, aku menelan ludah dan tetap bungkam seperti saat interograsi saat itu. Raut wajahnya berubah, tampak marah karena telah diabaikan olehku.
"Jawab pertanyaanku atau putus?!" ancamnya dengan nada marah. Aku berbalik menghadapnya dan mendekatinya. Awalnya dia tampak senang ketika aku berbalik. Namun ketika aku berucap dengan tegas seperti ini, "Baiklah, ayo kita putus! Aku tidak mau menjadi pacarmu lagi, aku sudah bosan denganmu!", raut wajahnya berubah. Dia terkejut dengan keputusanku.
Cengkeramannya padaku melemah. Aku buru-buru masuk bis dan meninggalkannya. Meskipun hatiku terasa berat, aku tahu ini keputusan yang terbaik untuk kedepannya. Sambil duduk di dalam bis, aku merenungkan kembali apa yang terjadi pagi ini dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
***
Ketika sampai di kelas, aku langsung menuju bangkuku. Di samping bangkuku ada sahabatku. Aku menyapanya dengan riang, tapi sahabatku menatapku dengan aneh. Aku menaikkan alis, kenapa dia menatapku seperti itu. Sahabatku yang tahu kebingunganku langsung menyodorkan ponsel genggamnya, memintaku untuk melihat akun gosip sekolahku. Di sana ada berita bahwa aku dan pacarku telah putus dan yang memutuskan adalah aku. Pantas saja banyak yang melihatku ketika aku berjalan di koridor.
Sahabatku bertanya lagi, bahwa bukannya aku cinta mati sama pacarku dan aku mendapatkannya dengan susah payah, jadi kenapa diputusin. Aku teringat masa-masa mengejar cinta pacarku yang pagi ini sudah jadi mantan pacar. Di ungkapan perasaanku yang kedua puluh kali, kami baru berpacaran. Banyak gosip yang beredar, dia menerimaku karena cintanya bertepuk sebelah tangan dengan gadis popular dari sekolah lain, yang akhirnya tidak bertepuk sebelah tangan dan jadi selingkuhannya.
Aku meringis melihat diriku dahulu yang seperti mengorbankan harga diri demi cowok mesum, tukang selingkuh, dan tidak bertanggung jawab seperti mantan pacarku. Aku menjawab pertanyaan sahabatku itu bahwa ternyata dia adalah pria yang membosankan dan aku butuh tantangan. Sahabatku bereaksi dengan bertepuk tangan dan berwajah bangga. Dia mendukung seratus persen keputusanku untuk putus dengan mantan pacarku. Dia mempunyai firasat kalau mantan pacarku itu bukan cowok yang baik-baik dan aku mengamininya di dalam hati.
Sahabatku berkata, bahwa dia butuh cowok lagi, dia bisa mengenalkan kakak-kakak laki-lakinya kepadaku. Aku nekat menjawab iya dan dia terlihat begitu senang. Dia mengirimkan foto kakak-kakak laki-lakinya padaku dan aku disuruh memilih mana yang paling ganteng, nanti dia akan mempertemukan diriku dengan pilihanku. Aku melihat fotonya satu-satu dan melihat ada laki-laki yang tersenyum mirip seorang pria yang bersedia menjadi ayah dari anakku dan membuatku jadi idola. Aku menyebutkan namanya dan diketahui oleh sahabatku.
Sahabatku bertanya bagaimana aku bisa mengenal seorang laki-laki di dalam foto itu. Memang benar dia berarti, gumamku. Dengan cepat aku memilihnya dan meminta sahabatku untuk mencomblangi dia denganku. Aku ingin balas budi kepadanya. Selain itu, aku juga ingin menumpahkan rasa rinduku kepadanya. Sahabatku bertanya kenapa aku memilihnya, aku menjawab bahwa dia benar-benar tipeku. Sahabatku berkata bahwa seleraku unik karena dia adalah anak yang paling pendiam di keluarganya. Dia juga suka menonton anime dan membaca komik sehingga sering mengurung diri di kamar. Kerjanya pun ada di kamar.
Aku berkata aku juga suka menonton anime dan membaca komik seperti dia, siapa tahu kita berdua bisa cocok. Ah, diriku dulu selalu menutupi kalau aku suka membaca novel dan komik karena mantan pacarku tidak suka dengan seorang gadis yang membaca komik dan novel. Sahabatku kaget bahwa aku juga suka menonton anime dan membaca komik, padahal dulu aku anti banget sama yang begituan. Aku menjawab manusia tidak ada yang sama, pasti mengalami perubahan. Entah itu perubahan fisik atau perubahan sifat. Sahabatku menatap diriku dengan mata berbinar. Katanya dia seperti mendengarkan orang yang jauh lebih tua daripadanya.
Aku tertawa canggung dan mengalihkan perhatiannya dengan cara membahas pertandingan antar kelas yang akan diselenggarakan dua minggu lagi. Seorang wanita tua berbaju hijau dengan wajah yang familiar masuk ke dalam kelas. Mataku langsung melotot, bukannya dia telah mati? Tiba-tiba sahabatku menyenggol lenganku. Kini seisi kelas dan guru itu melihatku. Aku menelan ludah karena aku mengucapkannya keras-keras.
Guru itu berkata bahwa dia masih hidup dan sehat mangkanya dia bisa mengajar hari ini. Selanjutnya guru itu menulis soal matematika di papan tulis warna hitam menggunakan kapur putih. Katanya, kalau aku tidak menjawab pertanyaan di papan tulis itu, aku tidak diperbolehkan mengikuti kelasnya selama sebulan. Aku maju ke depan kelas kemudian mengambil kapur di meja guru. Aku menuliskan jawaban beserta rumus-rumusnya. Tidak sampai semenit, soal itu sudah selesai terjawab. Aku menghadap guru matematika itu, kemudian mengucapkan minta maaf karena telah mengatai mati guru itu.
Guru matematika itu tersenyum canggung dan bilang tidak apa-apa kemudian menyuruhku duduk kembali. Sebelum aku duduk, aku meletakkan kapur ke meja kembali. Ketika aku duduk di bangkuku, sahabatku bertepuk tangan tanpa suara sambil menatapku bangga. Aku hanya tersenyum simpul karena aku melakukan kecurangan karena aku menggunakan ingatan pada kehidupan yang pertama. Ketika kehidupan pertama, yang terkena soal itu bukan aku. Melainkan sahabatku itu karena dia ketahuan bermain ponsel genggam. Dan pelajaran pun berlanjut.