SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Arsitek Pembunuhan

Arsitek Pembunuhan

Bab 1 : Lembar Biru Kematian

Malam itu, langit di atas kota Jakarta gelap gulita, hanya diterangi oleh kilauan lampu gedung-gedung tinggi. Di antara hiruk-pikuk kehidupan urban, Alex Rahardian, seorang arsitek muda berbakat, menatap layar komputer di kantornya yang sepi. Dia menggeser mouse dengan hati-hati, fokus pada cetak biru yang terbuka di layar. Setiap garis, setiap sudut, seolah-olah mengisahkan rahasia yang hanya dia yang bisa baca. Tapi kali ini, cetak biru itu bukan hanya tentang bangunan yang akan dibangunnya ini adalah rencana yang jauh lebih gelap.

Alex telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Dia tahu, dalam dunia arsitektur, semua harus dirancang dengan teliti, dan kali ini dia mengambil prinsip yang sama untuk rencananya. Di hadapannya, rencana untuk sebuah pembunuhan terungkap, tertata rapi seperti desain sebuah gedung megah. Garis-garis halus di layar menciptakan gambaran mental yang jelas; setiap detail dipikirkan dengan cermat.

Dia memandangi nama-nama yang tertera dalam daftar korban. Masing-masing memiliki alasan tersendiri, masing-masing membawa beban yang harus dihapus. Alex merasa seolah-olah dia adalah dewa yang mengontrol takdir, memutuskan siapa yang layak hidup dan siapa yang tidak. Dia menghapus nama-nama yang telah selesai dari daftar, seperti seorang arsitek yang mencoret bagian dari rencana yang sudah tidak sesuai.

Kebisingan kota di luar jendela membuatnya tersadar dari lamunannya. Dia menyesap kopi dingin yang tersisa di cangkir, merasakan pahitnya menyatu dengan rasa bersalah yang semakin menghantuinya. Dia tahu apa yang dilakukannya tidak benar, tetapi hatinya bergetar dengan kegembiraan setiap kali dia memikirkan rencananya. Ini adalah tantangan, sebuah permainan yang harus dimenangkan.

Alex menutup laptopnya dan beranjak dari meja.

Dia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin terlalu banyak berpikir. Dia berjalan ke jendela, menatap jalanan yang dipenuhi kendaraan, dan merasakan semilir angin malam yang membawa aroma kehidupan. Tetapi di dalam dirinya, hidupnya telah dipenuhi dengan kegelapan. Dia mengambil telepon pintar dari saku celananya dan membuka aplikasi pesan.

"Semuanya sudah siap?" tulisnya, mengirim pesan kepada seorang rekan yang dia percayai untuk membantu dalam rencananya. Tidak ada jawaban. Dia tahu harus bersabar. Semua langkah harus diambil dengan hati-hati.

Sementara itu, di sudut jalan, seorang wanita paruh baya berjalan menyusuri trotoar, membawa tas belanjaan. Dia tidak menyadari bahwa dia adalah bagian dari rencana Alex. Wanita itu, Maya, adalah mantan atasan Alex yang telah mengabaikannya dan tidak memberikan promosi yang dijanjikan. Dalam pikirannya, dia sudah menghilangkan kesempatan terbaik dalam hidupnya. Kini, dia akan membayar harga yang mahal.

Di dalam kantor, Alex kembali ke laptopnya, membuka kembali cetak biru itu. Dia mengingat setiap detail rencana—waktu, tempat, dan cara yang akan dia lakukan. Setiap langkah sudah dipikirkan matang-matang. Dia memasukkan informasi baru tentang Maya ke dalam rencana, mencatat waktu dan lokasi.

Dia harus bertindak cepat. Rencananya akan berjalan pada malam minggu ini, dan semua harus sempurna. Dalam pikiran Alex, setiap rencana yang gagal bukan hanya mengancam hidup orang lain, tetapi juga merusak keindahan seni yang dia ciptakan. Dalam dunia arsitektur, setiap kesalahan akan menjadi cacat permanen.

Demikian pula, dalam rencananya, satu kesalahan dapat menghancurkan segalanya.

Setelah beberapa jam memikirkan setiap detail,

Alex memutuskan untuk pergi keluar. Dia merasa terkurung dalam dinding kantor, dan dia butuh udara segar untuk menjernihkan pikirannya. Dia mengenakan jaket kulitnya, keluar dari kantor, dan berjalan menuju kafe terdekat.

Di kafe, suasana ramai dan penuh kehidupan. Suara tawa, percakapan, dan musik mengisi udara. Alex memesan secangkir espresso dan memilih tempat duduk di sudut, jauh dari keramaian. Dia memandangi orang-orang di sekitarnya, berpikir tentang bagaimana hidup mereka berjalan tanpa ada yang menyadari bahwa mereka bisa menjadi korban berikutnya.

Sementara dia menikmati kopi, pikirannya kembali ke rencana pembunuhan. Dia tahu bahwa pembunuhan adalah hal yang jahat, tetapi ada kepuasan tersendiri dalam menyusun rencana dan mengamati setiap elemen berjalan dengan sempurna. Dia membayangkan saat-saat terakhir Maya, momen ketika dia akan menyadari bahwa hidupnya akan berakhir.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Alex terus mempersiapkan rencananya, menjaga jarak dengan orang-orang di sekelilingnya. Dia tahu bahwa untuk menjalankan rencana ini, dia harus mengisolasi diri, menjauh dari semua yang bisa menggagalkannya. Namun, kesepian itu mulai menghantuinya. Dia merindukan interaksi manusia, tetapi pikirannya selalu kembali kepada tujuan utamanya.

Akhirnya, malam yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dengan jantung yang berdegup kencang, Alex mengenakan pakaian gelap dan keluar dari apartemennya. Dia memeriksa kembali daftar perlengkapannya—alat yang dia butuhkan, segala sesuatu yang sudah disiapkan. Dia tidak akan membiarkan satu pun detail terlewat. Semua sudah terencana dengan baik.

Setelah beberapa waktu berjalan, Alex tiba di lokasi. Sebuah taman kecil yang sepi, dikelilingi oleh pepohonan tinggi. Suasana malam sangat tenang, dan hanya suara dedaunan yang berdesir dihembus angin yang terdengar. Dia tahu bahwa ini adalah tempat yang tepat. Dia memeriksa jam tangannya. Masih ada waktu sebelum Maya tiba.

Maya, tidak tahu apa yang menantinya, berjalan memasuki taman dengan langkah santai, membawa tas belanjaan. Dia terlihat lelah, seolah-olah hidupnya penuh dengan masalah.

Alex menunggu di balik pohon besar, bersembunyi dari pandangan. Dia merasakan adrenalin meningkat. Saat Maya semakin dekat, dia mengambil napas dalam-dalam, merasakan ketegangan di udara.

Saat Maya mendekat, Alex muncul dari bayangan. Dia tersenyum, mengingat semua kenangan buruk yang dia alami bersamanya.

"Maya," sapanya, suaranya tenang namun menakutkan. Wanita itu terkejut dan berhenti sejenak, tatapan mata mereka bertemu.

"Mengapa kamu di sini?" tanya Maya, mencoba menahan rasa takut yang mulai menjalar.

"Saya hanya ingin berbicara," jawab Alex, langkahnya mendekat. Di balik senyumannya, dia merencanakan serangan. Maya tidak memiliki kesempatan untuk menyadari apa yang akan terjadi.

"Ini tidak akan lama," dia melanjutkan, suaranya semakin rendah. Dalam sekejap, suasana berubah. Maya merasakan ancaman, tetapi sudah terlambat. Alex bergerak cepat, tangannya menjangkau tas yang dibawa Maya dan menjatuhkannya ke tanah.

"Maya, kamu harus membayar," katanya, dengan nada yang penuh dendam. Wanita itu mundur, tetapi Alex tidak memberikan kesempatan. Dia melangkah maju, dan tanpa ragu, dia menyerang.

Dalam sekejap, semuanya terjadi begitu cepat. Maya berusaha melawan, tetapi kekuatan dan keterampilan Alex lebih dari cukup. Dia telah merencanakan semua ini, dan dia tahu apa yang harus dilakukan. Dengan ketenangan yang menakutkan, dia mengakhiri hidup Maya, dan seolah-olah dia menghapus kesalahan dari hidupnya.

Setelah kejadian itu, Alex mundur dari taman, meninggalkan jejak yang tidak terlihat. Dia merasa lega, seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya. Rencana yang sempurna berjalan tanpa hambatan, dan semua yang dia inginkan kini menjadi kenyataan. Tetapi di balik kepuasan itu, ada bayang-bayang gelap yang mulai merayap ke dalam pikirannya. Dia tahu, setiap tindakan ada konsekuensinya, dan dia baru saja memulai permainan yang lebih besar dari yang dia bayangkan.

Ketika dia kembali ke apartemennya, jantungnya masih berdegup kencang. Dia duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong. Dalam pikirannya, dia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dia adalah arsitek kematian, dan malam ini adalah lembar biru pertama dari rencananya yang lebih rumit. Semua yang akan datang akan mengguncang dunia di sekitarnya, dan dia sudah tidak sabar untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bab 2 : Pembunuh Tak Berwajah

Malam berganti hari, tetapi kota Jakarta tetap hidup dengan hiruk-pikuknya. Suara kendaraan bermotor dan percakapan orang-orang yang sibuk menjadi latar belakang sehari-hari yang tidak pernah berhenti. Namun, bagi Alex Rahardian, setiap suara itu kini terasa berbeda. Setiap deru mesin dan tawa riang mengingatkannya akan apa yang telah dia lakukan semalam. Dia, sang arsitek, kini juga dikenal sebagai pembunuh—tanpa wajah.

Pagi itu, Alex duduk di meja kerjanya dengan secangkir kopi hangat. Sinar matahari menembus jendela besar kantornya, menciptakan cahaya yang hangat, tetapi hatinya dingin. Dia memandangi layar laptopnya, di mana berita tentang kematian Maya telah mengisi laman-laman portal berita lokal. Judul-judul mencolok dengan kalimat seperti “Pembunuhan Mengerikan di Taman Publik” dan “Korban Terakhir Seorang Wanita Berita Terkait Kasus Hilangnya Para Pejabat.”

Dia merasa seolah-olah dia adalah pengamat dari jauh, melihat karyanya sendiri yang tertulis di media. Tidak ada yang tahu siapa pelakunya. Dan itu adalah bagian terbaiknya—dia adalah pembunuh tak berwajah.

Dia tahu bahwa dia harus melanjutkan hidupnya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Rencana-rencana lain telah disiapkan di dalam kepalanya. Satu pembunuhan tidak cukup untuk membuatnya merasa berkuasa. Dia ingin lebih, ingin merasakan setiap detik dari perencanaan yang rumit dan setiap kegembiraan saat mengeksekusi rencananya.

Namun, ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Ketika dia membaca berita, dia merasa sedikit bergetar. Apakah ini semua benar? Apakah dia benar-benar melakukan semua ini? Ketegangan itu terasa aneh, tetapi dia segera menepisnya.

Di saat yang sama, Dimas, seorang detektif muda yang cerdas dan penuh semangat, baru saja memasuki kantor kepolisian. Dia adalah bagian dari tim yang bertanggung jawab untuk menyelidiki kasus pembunuhan terbaru yang mengguncang kota. Dimas telah mengikuti kasus ini sejak hari pertama, dan ia merasa bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik kematian Maya.

“Dimas!” suara atasannya, Inspektur Haris, memanggilnya. “Ayo, kita butuh semua informasi tentang pembunuhan ini. Ini bisa jadi kasus besar.”

Dimas mengangguk, lalu segera duduk di mejanya dan membuka berkas-berkas yang ada. Foto-foto TKP dan laporan saksi mata berserakan di meja. Dia membaca setiap detail, mencatat informasi penting. Kematian Maya bukanlah kebetulan. Dia merasakan ada yang tidak beres.

Dimas menemukan bahwa tidak ada jejak DNA atau barang bukti yang tertinggal di lokasi. Semua terlihat terlalu bersih, terlalu sempurna untuk menjadi kasus pembunuhan biasa. Dalam pikirannya, ada satu hal yang jelas—si pelaku adalah seseorang yang sangat pintar dan berpengalaman.

Sementara itu, Alex memutuskan untuk meninggalkan kantornya. Dia tidak ingin terjebak dalam pikirannya yang gelisah lebih lama lagi. Di luar, dia menghirup udara segar, mencoba menenangkan jiwanya. Dia berjalan menyusuri trotoar, menikmati suasana kota yang hidup.

Tapi ketenangannya tidak bertahan lama. Dia merasa seperti ada yang mengawasinya. Seorang pria dengan penampilan biasa, mengenakan jas dan topi, tampak berjalan di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya. Alex mempercepat langkahnya, mencoba menyingkirkan perasaan aneh itu. Namun, pria itu tidak pergi. Dia tetap berada di belakangnya, semakin mendekat.

Alex menoleh, tetapi pria itu tampak berbaur dengan kerumunan. Dia berusaha untuk tidak panik, berpikir bahwa mungkin ini hanya perasaannya saja. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ketakutan mulai merayap di dalam dirinya.

Ketika dia mencapai sebuah kafe, dia memutuskan untuk masuk dan mengalihkan perhatiannya. Dia memesan secangkir espresso dan duduk di pojok, berusaha menyembunyikan diri dari pandangan pria itu. Sambil menunggu pesanan, dia melihat sekeliling dan mencoba mengenali wajah-wajah yang ada.

Beberapa saat kemudian, dia merasa sedikit lebih tenang. Aroma kopi yang kuat dan suara mesin espresso membantunya mengalihkan pikirannya dari paranoia yang menghantuinya. Dia membuka ponselnya dan mulai browsing berita terbaru, berharap mendapatkan kabar terbaru tentang kasus pembunuhan yang menggemparkan.

Di sela-sela browsing, dia mendapati video pendek di media sosial yang menunjukkan rekaman CCTV di taman tempat Maya dibunuh. Dia merasa tertarik. Rekaman itu menunjukkan bagaimana seorang wanita berjalan ke taman, tampak tenang dan tidak curiga. Namun, setelah beberapa detik, layar bergetar, menampilkan sosok seorang pria yang tidak dikenal muncul dari bayangan, menyergap wanita itu.

Mata Alex melebar saat melihat rekaman itu. Dia mengenali lokasi, tetapi pria itu… dia tidak dapat melihat wajahnya. Rekaman itu samar, dan pria itu tampak tak berwajah. Dia merasa terjebak antara rasa takjub dan ketakutan. Apa jika dia dikenali? Apa jika rekaman ini membawa penyelidik ke arahnya?

Dia segera menutup aplikasi dan memeriksa jam tangannya. Waktunya untuk kembali. Dia tidak bisa terlalu lama berlama-lama di tempat yang ramai ini. Dengan cepat, dia membayar dan bergegas keluar. Dia tidak ingin pria misterius itu muncul lagi.

Di dalam mobil, Alex berusaha mengumpulkan pikirannya. Dia harus mengendalikan situasi ini. Dia tidak bisa membiarkan siapapun menangkap jejaknya. Rencana-rencana lain harus segera dia lakukan. Namun, ketakutan mulai merayap kembali—siapa pria itu? Apakah dia sedang mengawasi?

Dimas terus menyelidiki. Dia menghabiskan malamnya di kantor, menganalisis setiap detail dari kasus Maya. Dia memeriksa rekaman CCTV di sekeliling taman, berharap bisa menemukan petunjuk yang lebih jelas. Dia menemukan beberapa rekaman, tetapi semuanya terlihat kabur dan tidak ada yang dapat mengungkap identitas pelaku.

Namun, saat dia memeriksa rekaman dari kafe terdekat, dia menangkap sosok Alex. Dimas tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menyelimuti dirinya. Dia pernah mendengar nama Alex dalam lingkaran arsitektur, seorang yang berbakat dan dikenal. Dimas merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi dia tidak memiliki bukti.

Dengan pemikiran itu, Dimas memutuskan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang Alex. Dia mencari informasi di internet dan menemukan profil Alex yang penuh pujian—seorang arsitek muda yang berbakat dengan banyak proyek yang sukses. Namun, dia merasa aneh melihat wajah Alex di berita, dalam konteks pembunuhan.

Di saat yang sama, Alex kembali ke apartemennya, berusaha menenangkan pikirannya. Dia memikirkan rencana-rencana baru yang harus dia buat. Dia sudah merasakan kepuasan dari pembunuhan pertama, tetapi dia tahu bahwa satu pembunuhan tidak cukup. Dia harus mengatur rencana lain dan melakukannya dengan lebih cermat.

Dia mulai menggambar cetak biru baru di laptopnya. Kali ini, dia berencana untuk membunuh seseorang yang lebih berpengaruh, seseorang yang dianggap kuat. Dalam benaknya, dia menggambarkan bagaimana semuanya akan berjalan—setiap langkah, setiap detail. Namun, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya.

Alex berdiri, memeriksa melalui lubang kunci. Dia melihat seorang pria di luar—pria yang sama yang mengikutinya di jalan. Alex merasa jantungnya berdegup kencang. Apa yang dia inginkan? Mengapa dia mencarinya?

Dengan hati-hati, Alex membuka pintu sedikit. “Siapa kamu?” tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang meski hatinya berdebar.

“Alex Rahardian?” pria itu bertanya dengan nada tegas. “Saya ingin berbicara dengan Anda.”

“Siapa Anda?” Alex balas, berusaha tidak menunjukkan ketakutannya.

“Saya Detektif Dimas. Kami sedang menyelidiki kasus pembunuhan Maya,” jawabnya.

Seketika, suasana menjadi tegang. Alex merasa seluruh tubuhnya kaku. Dimas mencurigainya. Dia mencoba menenangkan diri, tetapi pikirannya berputar dengan cepat. Dia harus berpikir cerdas.

“Masuklah,” kata Alex, membuka pintu lebih lebar, berusaha terlihat ramah. “Apa yang ingin Anda bicarakan?”

Dimas melangkah masuk, matanya mengamati setiap sudut ruangan. Alex berusaha menyembunyikan ketidaknyamanannya, namun dia tahu bahwa setiap gerakan Dimas adalah ancaman bagi rencananya.

“Saya hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan,” kata Dimas, bersikap santai. “Anda ada di taman saat kejadian, bukan?”

Alex merasa seperti terjebak di sudut. “Saya tidak ingat berada di

taman,” jawabnya, berusaha mengalihkan perhatian. “Saya sibuk dengan pekerjaan.”

Dimas menatapnya, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Kami mendapatkan rekaman CCTV yang menunjukkan Anda ada di kafe dekat taman. Apakah Anda melihat sesuatu yang mencurigakan?”

Alex berusaha berbohong. “Tidak, saya tidak melihat apa-apa. Hanya orang-orang yang lewat.”

Dimas mengangguk, tetapi Alex bisa merasakan bahwa dia tidak sepenuhnya percaya. “Baiklah, tapi jika Anda melihat sesuatu, beri tahu kami. Kami perlu semua informasi yang bisa membantu.”

“Ya, tentu,” jawab Alex, berusaha tetap tenang.

Dimas tidak langsung pergi. Dia masih mengamati Alex dengan saksama, dan Alex merasa bahwa tatapan itu menyelidik lebih dalam daripada sekadar pertanyaan biasa. Setelah beberapa saat, Dimas berpamitan dan meninggalkan apartemen, tetapi ketegangan masih terasa di udara.

Begitu pintu tertutup, Alex menumpahkan napas yang ditahannya. Dia harus lebih hati-hati. Dimas adalah ancaman yang nyata, dan jika dia terus menyelidiki, rencana-rencana yang telah dia buat bisa hancur dalam sekejap.

Dia kembali ke laptopnya, tetapi pikirannya tidak dapat fokus. Dia harus merencanakan langkah selanjutnya. Dia tahu Dimas tidak akan berhenti. Dimas adalah pemburu yang gigih, dan dia, sebagai pembunuh, harus bersembunyi di balik bayang-bayang.

Dengan rasa was-was yang menggerogoti, Alex menulis di kertasnya, mencatat setiap langkah yang perlu diambil untuk mengalihkan perhatian dari Dimas. Dia tahu bahwa jika ingin bertahan, dia harus menjadi lebih pintar, lebih licik. Dan yang terpenting, dia tidak boleh membiarkan wajahnya dikenal.

Alex menutup laptopnya dan berdiri. Dia tahu satu hal pasti: dia harus melakukan sesuatu untuk memastikan bahwa Dimas tidak bisa menyentuhnya. Dia adalah arsitek pembunuhan, dan tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang. Kegelapan yang mengelilinginya menjadi bagian dari dirinya. Dan dia bersiap untuk bermain permainan ini lebih dalam lagi.