SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
JULI

JULI

Bab 1

Aku, Julia ayda. Biasa di sapa Lia. Aku anak pertama dari dua saudara. Umurku, dua puluh delapan tahun. Pendidikan terakhirku sekolah menengah atas. Anak dari keluarga miskin. Hidup sangat kekurangan di tengah kota. Hidup penuh perjuangan untuk kami mengubah nasib baik.

Bukan anak kota, hanya ikut orang tua merantau di kota untuk mengadu nasib saat masih menginjak umur tujuh tahun. Bukan keinginan untuk tinggal di kota. Tapi Keterpaksaan untuk mengikuti orang tua yang ingin merantau dan menjadi orang sukses di kota besar.

Bukan kesuksesan yang di dapat. Melainkan banyaknya pertengkaran, perselisihan, kekerasan rumah tangga hingga trauma pada anak yang sekarang sudah menginjak dewasa.

Semua berubah. Tidak ada lagi kenyamanan dalam keluarga, tidak ada lagi kasih sayang dan canda tawa dalam keluarga dulu. Hanya ada pertengkaran, pertengkaran, dan pertengkaran hingga menuju kdrt ( kekerasan dalam rumah tangga).

Bukan ibu saja yang di siksa, tapi juga aku, anak yang paling trauma mendapatkan kekerasan pada orang tua lelaki. Hingga kini, masih ada trauma dan takut meski sudah mencoba melupakannya.

Bukan hanya rasa trauma saja. Mungkin hati ini juga dendam dan sulit untuk melupakan masa-masa kelam penuh dengan siksaan dan tangisan anak kecil yang sangat memilukan.

Apa aku butuh seorang Psikiater. Mungkin, karena aku tak pernah mencurahkan hati gelisah aku pada siapapun. Termasuk ibu aku sendiri. Hanya bisa memendam, memendam dan mencoba biasa saja. Meski sebenarnya ketakutan ku begitu nyata hingga berakhir setumpuk kebencian yang sangat mendalam.

Ketika anak itu takut, jari-jari kukunya akan berdarah. Dada akan berdebar cepat, mata mengembun tapi tak berani untuk menangis. Dan terkadang hanya bisa diam tanpa bersuara.

Nyata, sangat nyata hingga masih mempunyai bekas siksaan yang sulit untuk di hapus dari ingatan. Tak ada yang tau bagaimana menderitanya masa kanak-kanak ku ini. Sampai aku sudah dewasa dan mandiri hingga aku bisa menjadi wanita beruntung mendapatkan kebahagian yang sengat luar biasa.

Bangga, tentu bangga dengan kecapaian aku sendiri. Tapi, aku merasa hati ini masih sedih dan tak sebahagia yang orang kira.

Bagaimana, bagaimana aku harus memaafkan. Bagaimana, bagaimana aku harus ikhlas bila trauma ini masih ada.

Walau Ibuku pernah berkata. " Sejahat jahatnya bapak kamu, dia masih orang tua kamu. Dan tidak ada yang namanya bekas orang tua Nak."

Ya, memang. Tak ada yang namanya bekas orang tua. Dia masih orang tuaku. Tapi sungguh Tuhan, benciku terhadap beliau dan traumaku untuk menemuinya masih terbawa hingga dewasa.

Ada yang pernah bilang. " Memang memaafkan itu tidak mudah, tapi mencoba pelan-pelan apa salahnya. Setidaknya kamu sudah berusaha, dan biarkan rasa trauma itu pergi dengan sendirinya meski sedikit memaksa."

Ya, sedikit memaksa. Memaksa rasa trauma hilang dari pikiran dan hati. Pelan tapi pasti, aku bisa memaafkan dan terima akan masa lalu kelam hingga trauma itu pergi begitu saja dalam pikiranku.

Andai, aku tidak bertemu dengannya. Mungkin, sampai aku berusia dua puluh delapan tahun akan masih membenci beliau. Dan mungkin aku tidak akan bisa memaafkan dengan sepenuh hati dengan trauma berat yang aku dapat di masa lalu.

Terima kasih, untuk kamu yang selalu ada di saat aku sedih, di saat aku butuh bantuan, butuh sandaran, dan butuh ketenangan.

Kamu selalu ada. Kamu yang bisa mengerti dan kamu yang bisa membuat aku paham Pada akhirnya memaafkan itu gampang dan perlu di paksa agar hati tenang, beban di pundak kita akan hilang begitu saja. Ikhlas, dengan masa lalu dan lupakan semuanya untuk memulai lembaran baru.

Akan aku ceritakan masa lalu ku dan masa kini. Agar aku tak sendiri, memendam rasa sedih dan bahagiaku. Agar semua tau, betapa aku bahagia menjadi JULIA dan menjadi anak miskin dengan kasih sayang ibu yang luar biasa. Dan beruntungnya aku mendapatkan lelaki seperti kamu yang menerima aku apa adanya.

Dear, masa lalu.

bab 2

" Pak, sudah pak. Jangan mukulin ibu pak. Sudah pak! Jangan mukulin ibuk!"

" Ibuk! Ibuk!"

" Ampun pak! Ampun pak!"

" Ibuk! Ibuk!!!"

Menangis dan melindungi ibu aku dari pukulan bapak. Pukulan, injakan dan tendangan dari bapak begitu keras mengenai tubuh ibu yang sudah tak berdaya. Sungguh, keji dan menakutkan melihat bapak mengamuk tanpa ampun.

Tak peduli aku yang masih berumur sepuluh tahun ikut mendapat siksaan bapak yang mengamuk tanpa sebab atau kesalahan kecil.

Tangisan pilu bukan hanya dari aku saja. Tapi dari saudaraku yang juga ikut menangis dan menyaksikan siksaan bapak, tapi tak berani untuknya melindungi ibu. Hanya diam dan menangis memanggil ibu.

Puas menyiksa, puas melihat anak-anaknya menangis dan puas mendengar ampunan, beliau pergi begitu saja tanpa rasa salah membanting pintu hingga keras.

Aku peluk ibu begitu erat, aku menangis dalam pelukan ibu bersama saudaraku. Rasa takut akan kehilangan ibu, rasa sedih dan tak tega melihat ibu yang mendapat pukulan suaminya.

Dalam hatiku selalu berkata. " Aku benci bapak, aku benci bapak!"

Aku menuntun ibu masuk ke dalam kamar aku dan saudaraku. Membaringkan ibu di kasur busa kecil tanpa ranjang.

Rumah kontrakan tak terlalu besar berukuran lima kali dua belas dengan dua kamar, satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu tanpa kursi.

Ibu berbaring, memeluk saudara kecilku untuk menenangkannya. Tentunya aku pun juga memeluk ibu dari belakang punggungnya. Menangisi beliau yang selalu mendapatkan pukulan.

Semenjak kami tinggal di kota, perlahan-lahan bapak berubah. Dari yang tak pernah taruhan uang, berjudi hingga meminum minuman keras.

Entahlah, aku tidak mengerti perlakuan bapak sedari dulu memang pemabuk atau tidak. Tapi yang pasti perubahan itu nyata saat kami berada di kota.

Meski ibu mendapat pukulan dari bapak. Ibu tetap melayani suaminya. Seperti pagi itu, memasak dan menyiapkan kopi untuk beliau yang entah kapan pulang dan masih tertidur di ruang tamu.

" Ini bekal kamu dan adik. Ibu gak ada uang buat kalian jajan. Nanti pulang sekolah saja ya, ibu kasih uang jajannya."

" Iya gak apa-apa buk." Jawabku mengangguk.

Tentu aku tau kenapa ibu tidak ada uang untuk kami jajan di sekolah. Itu semua karena suaminya semalam, mengambil paksa uang ibu di dompet, dan entah untuk apa.

Aku sangat mengerti, tapi aku merasa kasihan melihat adik aku meski dia mengangguk tapi matanya tidak bisa berbohong bila adikku ingin sekali menangis tidak mendapatkan uang jajan.

" Ya sudah, ayo makan. habis ini ibu antar ke sekolah."

Kami makan di dapur dengan pelan agar tidak membangunkan suami ibu yang masih tertidur pulas. Kami takut, bila akan membangunkannya dan membuat beliau marah. Dan mendapatkan bentakan.

Menaiki sepeda mini, ibu membonceng dua anaknya. Mengayuh pedal menuju tempat sekolah. Sepeda hasil jerih payah ibu bekerja, membeli sepeda bekas untuknya mengantarkan kami sekolah dan juga mengais rejeki menuju tempat kerja beliau.

Meski seluruh tubuh ibu sakit, beliau masih tetap bekerja. Karena apa, Karena itu semua demi kami bisa makan tanpa lagi kelaparan.

" Sekolah yang tekun ya Nak. Biar cita-citanya tercapai." Kata ibu. Saat kami sudah berada di depan gerbang sekolah.

Aku dan saudaraku mengangguk. Tentu, aku akan tekun belajar di sekolah. Dan aku ingin mengejar cita-citaku sebagai polisi. Itu dulu, sebelum aku menggantinya dengan cita-citaku yang sekarang.

Bergandengan tangan bersama saudaraku menuju kelasnya terlebih dulu. Sempat menoleh pada ibu yang masih setia menunggu anaknya masuk ke dalam sekolah.

Senyum beliau tak pernah luntur untuk anak-anaknya.

" Ini buat kamu jajan." Ku ulurkan uang pecahan seribuan dua lembar pada adikku. Yang aku ambil di tas sekolah ku.

" Mbak lia dapat uang dari mana." Tanyanya. Karena ia tau ibu tidak memberikan uang jajan.

" Itu uang jajan sisa kemarin." Jawabku.

" Oh.. Makasih!" Jawabnya tersenyum senang tak lagi murung.

Aku ikut tersenyum melihat saudaraku senang. Umur aku dan saudaraku hanya selisih tiga tahun. Dia berada di kelas satu dan aku berada di kelas empat. Sebagai kakak aku sudah harus belajar mengalah, melindungi dan juga menjaganya.

Tika Ramadani. Adik paling manis dan cantik yang aku punya. Saudara satu-satunya yang harus saling berbagi dan saling menyayangi.

Karena ibu pernah berkata. " Sesama saudara tidak boleh bertengkar. Harus saling menyayangi. Lia cuma punya Tika. Dan Tika juga punya Lia. Di jaga baik-baik ya adiknya."

Ya, aku cuma mempunyai saudara satu dan aku juga harus menyayanginya. Seperti ibu menyayangi kami tanpa membeda-bedakan kakak atau adik.

Di mata ibu, semua anaknya sama.

Terpopuler