SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Catatan Dinasti Seribu Tahun

Catatan Dinasti Seribu Tahun

01. Celah di Langit

Lucia dan Jean sedang berkuda melewati Ceruk Bintang. Daerah luas yang terdapat sebuah jurang besar dan tebing yang terbentuk, karena konon ada bintang yang jatuh diatasnya. Mereka dari kota Varun yang ada di dataran selatan, dua hari perjalanan dari tempat ini. Dan mereka masih perlu dua hari lagi untuk melewati wilayah ini. Wilayah Pharos.

Cuaca sangat terik siang ini, matahari tak segan membakar semua hal yang ada di atas bebatuan. Ditambah daerah gersang nya yang tidak memiliki satu tempat pun untuk berteduh, membuatnya tidak salah bila wilayah ini dikenal dengan sebutan Tanah Mati.

"Panas sekali, Jean," ucap Lucia seraya membenahi tudung surbannya.

"Siapa kemarin yang tidak ingin naik kapal laut?" saut Jean yang sudah menutup rapat wajahnya dengan surban.

Lucia hanya terdiam menekuk wajahnya menghilang dibalik kain surban yang tebal, karena perawakannya yang mungil. Menyisakan warna biru matanya yang berkilatan mengawasi jalanan.

"Padahal cuma perlu dua hari di atas laut, dan tidak terbakar matahari sampai seminggu penuh seperti sekarang," tambah Jean.

Berbeda dengan Lucia, Jean punya perawakan yang gagah untuk seorang perempuan. Terlihat baju pelindungnya menyembul di sela-sela kain surban yang ia balutkan ke seluruh tubuh. Berkilauan di bawah panas yang terik.

"Iya-iya, aku yang salah," jawab Lucia membuat wajah sebal dibalik surbannya.

"Lagian apa yang Anda takutkan dengan berada di atas lautan, Putri?" Jean bertanya dengan nada tidak senang.

"Aku hanya tidak suka tidak menginjak daratan terlalu lama. Itu saja," elak Lucia kemudian. Padahal sebenarnya, gadis itu tidak tahan dengan goncangan saat berada di atas laut.

Perbincangan mereka kemudian dihentikan oleh suara gelegar halilintar yang tiba-tiba saja terdengar.

"Suara halilintar?"

"Di Tanah Pharos?"

Dan tak jauh dari tempat mereka berdiri, langit mendadak berubah gelap. Seolah awan mendung yang bergulung dengan sangat cepat.

"Apa itu, Jean?" Lucia terheran-heran dengan fenomena aneh tersebut.

"Entahlah, kurasa kita harus menjauh. Saya merasakan hal yang tidak enak," saut Jean yang juga tidak mengerti melihat hal ganjil tersebut.

Kemudian dari pusat awan itu bergulung, muncul percikan cahaya yang kemudian membentuk seperti lorong dengan cahaya ungu kebiruan yang berputar dalam kegelapan pekat.

Lucia dan Jean belum bergerak dari tempat mereka, saat kemudian gulungan awan mendung itu lenyap seketika bersamaan dengan suara seperti retakan ranting namun terdengar kencang menggema.

Dan terlihat sesuatu jatuh dari lingkaran cahaya aneh tadi tepat sebelum lenyap.

"Aku melihat ada yang terjatuh dari awan itu, Jean."

"Iya. Saya juga melihatnya, Putri."

"Ayo kita lihat." Belum juga mendapat reaksi dari Jean, Lucia segera memacu kudanya melaju.

"Putri, tunggu!" Segera Jean menyusul.

Meski terlihat seolah dekat, namun jarak dari tempat mereka menuju tempat di mana sesuatu tadi terjatuh ternyata cukup jauh. Itu karena mereka harus memutari sebuah tebing terlebih dahulu untuk akhirnya tiba di tempat tersebut.

Tampak di dataran gersang yang luas di hadapan mereka, dua pemuda sedang sibuk memunguti barang-barang yang berserakan.

"Hei, siapa kalian?!" teriak Lucia yang mulai memelankan laju kudanya.

Dua pemuda itu terkejut mendengar ada yang berteriak. Kemudian salah seorang dari mereka balik berteriak, namun Lucia dan Jean tak mengerti apa yang pemuda itu teriakan.

Pemuda yang satu lagi ikut berkata-kata begitu kuda Lucia dan kuda Jean berhenti dihadapan mereka. Namun perkataannya masih tidak bisa dipahami oleh Lucia dan Jean.

Berkulit sedikit coklat dengan rambut berwarna hitam bergelombang, Lucia menduga kedua pemuda itu adalah orang Morra.

Mereka mengenakan pakaian yang aneh. Terlalu tipis untuk dipakai melewati tanah gersang seperti ini.

Keduanya memakai baju yang hanya selembar berwarna putih, dengan bentuk yang tak lazim Lucia temui di dataran ini. Dan juga mengenakan celana panjang yang sama tipisnya berwarna biru langit.

Yang satu membawa sebuah tas yang di kalungkan menyelempang di pundak kanannya, sedang yang satu lagi menenteng seperti jubah berwarna biru gelap dengan bahan yang terlihat halus tapi tidak bersinar seperti kain sutra.

Mereka berdua juga memakai alas kaki yang tampaknya bukan terbuat dari kulit binatang ataupun rotan. Warnanya putih kusam dengan banyak tali dan gelangan besi kecil di bagian depannya.

"Siapa kalian?" tanya Jean kali ini.

Kedua pemuda itu menjawab bergantian dengan ucapan yang masih tidak bisa dimengerti.

"Apa kalian yang jatuh dari awan aneh tadi?" Lucia masih berharap mereka akan menjawab dengan bahasa yang dapat ia pahami. Tapi nyatanya tidak. Kedua pemuda itu masih berbicara dengan bahasa asing mereka.

Dan setelah saling mencoba berkomunikasi cukup lama, akhirnya mereka berempat menyerah.

"Mereka sama sekali tidak mengerti ucapan kita, Jean." Lucia terdengar sedikit kecewa.

"Benar. Apa mereka dari daratan di seberang daratan ini? Apakah awan aneh tadi, semacam sihir pemindah?" Jean terlihat serius berpikir.

"Mereka sepertinya tidak mengenal tempat ini. Lihat saja, bahkan mereka mengenakan pakaian seperti itu di wilayah ini," Lucia mengungkapkan hasil pengamatannya. "Apa mungkin mereka salah tujuan saat menggunakan sihir dari batu Arcane?" tebaknya kemudian.

"Mungkin saja." Jean menjawab cepat.

"Dan berarti kemungkinan besarnya mereka tidak akan bisa bertahan menyeberangi tanah ini sendirian," ujar Lucia menyimpulkan.

Jean juga sadar akan hal tersebut. "Lalu apakah Anda ingin mengajak mereka keluar dari tempat ini, bersama kita?" tanyanya kemudian.

"Benar. Setidaknya sampai mereka berada di luar Tanah Mati ini," ujar Lucia. "Bila tidak, bisa-bisa mereka mati diserang hewan buas di sekitar wilayah ini. Atau mati kehausan dan kelapan karena kelihatannya mereka tidak membawa bekal makanan dan senjata."

Jean menatap Lucia dengan tampang tidak suka. Memang benar dua pemuda itu tidak terlihat membawa senjata atau bahkan kantong air minum. Tapi hal tersebut tetap saja mencurigakan.

"Bisa jadi mereka adalah perampok gurun yang sedang berpura-pura. Dan begitu malam tiba, rekan mereka akan muncul dan mengambil semua barang kita," ujar Jean mengungkap kekuatirannya.

Lucia menatap Jean dengan wajah kesalnya. "Tapi jika ternyata bukan, berarti kita membiarkan mereka mati di tempat ini, Jean," ucapnya kemudian.

Mendengar ucapan dan wajah Lucia, Jean hanya bisa menghembuskan nafas pasrah. Ia tau gadis keras kepala itu tak akan merubah keputusannya. "Tapi Anda harus tetap waspada, putri. Kita tidak tahu apa tujuan mereka yang sebenarnya."

"Siap, Jean Sang Mirthil. Aku akan berhati-hati," jawab Lucia dengan senyuman. Yang di balas dengan tampang lesu oleh Jean.

Tanpa perlu turun dari atas kuda, Lucia mengeluarkan dua kain surban cadangan dari dalam tas di samping pelananya, kemudian melemparkan ke dua pemuda itu. Setelahnya Lucia mulai melakukan gerakan seperti sedang memakai surban tersebut, dan menunjuk ke arah matahari.

Itu adalah cara Lucia untuk berkomunikasi tanpa menggunakan bahasa ke kedua pemuda itu. Dan tampaknya dua pemuda itu memahaminya. Mereka mulai memakai kain surban tersebut sebagai pelindung dari sengatan matahari.

Melihat kedua pemuda itu paham akan isarat dan maksud dari gerakannya, Lucia kemudian meminta kedua pemuda itu untuk mengikutinya. Dan akhirnya mereka berempat mulai berjalan meninggalkan tempat tersebut.

-

02. Percobaan yang Gagal

Terlihat Aksa duduk sambil dengan seksama mengamati layar laptop di hadapannya. Mendorong kembali kacamatanya yang jatuh ke ujung hidung, kemudian mulai menekan keyboard untuk melakukan pemeriksaan sekali lagi.

Pemuda ini memang tak terbiasa memakai kacamata bila tidak sedang di depan laptopnya. Hingga kacamata tersebut selalu terasa tidak pas saat dipakai.

Sedang Nata berada di ujung ruangan sedang memeriksa panel yang terlihat rumit. Memastikan bahwa tidak ada jaringan yang salah posisi.

Rambutnya yang panjang sedang itu dikuncir ke atas sekenanya dengan karet bekas. Agar tidak mengganggu saat ia harus menunduk memeriksa kabel-kabel dibalik panel tersebut.

"Kau yakin dengan hal ini, Nat?" tanya Aksa terlihat sedikit bimbang.

"Sudah, tenang saja," ujar Nata.

"Terakhir kau bilang tenang, kita berakhir dengan seminggu penuh skorsing," balas Aksa.

"Tapi dengan begitu kita bisa dapat approval projek ini, kan?" Nata berpindah ke panel yang lain.

"Maka dari itu, kita sudah dapat lampu hijau untuk projek ini. Jadi kenapa kita masih melakukan percobaan secara sembunyi-sembunyi seperti sekarang? Pake malam-malam nyelinap ke dalam Lab, lagi." Aksa terlihat masih sibuk di depan layar laptopnya. Melakukan pemeriksaan ulang.

"Aks, kita perlu teori pendukung untuk mendapat persetujuan melakukan percobaan ini. Sedang kadang kita perlu melakukan percobaan terlebih dahulu untuk menciptakan teori yang sampai sekarang belum pernah kita ketahui itu ada," tukas Nata.

"Aku tahu itu, tapi bila percobaan ini gagal, kita bisa dicabut dari projek ini selamanya, Nat."

"Yah, resiko terburuknya sih, itu. Selain arus listrik setengah kota akan mati sebentar," jawab Nata dengan ringan. "Oke, kita mulai," ucapnya lagi seraya menuju ke arah mesih berbentuk kubus limas yang mempunyai tiga gelang yang saling bersinggungan di atasnya. Mesin itu terbuat dari campuran logam dan carbon. Warna perak dan hitamnya terlihat serasi.

Aksa hanya terdiam pasrah saat Nata mulai menarik tuas pengaktifan.

Tak lama kemudian alat tersebut mulai bergetar pelan. Gelang-gelang yang bersinggungan di bagian atasnya mulai berputar berlawanan arah. Yang lama-kelamaan mulai terlihat menyerupai bentuk sebuah bola. Dan mulai menimbulkan percikan-percikan listrik di sekitarnya.

Terlihat senyuman mengembang di wajah Aksa dan Nata.

"Masukan ke fase berikutnya, Aks."

Tampak Aksa mulai melakukan sesuatu di depan laptopnya. Yang kemudian gelang-gelang itu mulai berdesing semakin cepat, hingga menimbulkan tiupan angin sepoi di dalam ruangan tersebut. Kertas-kertas yang ada di atas meja mulai berhamburan.

"Semua masih stabil, bersiap menambahkan akselerasi."

Kemudian mesin tersebut bergetar semakin cepat. Terus bertambah cepat, hingga akhirnya suara berisiknya mulai digantikan dengan suara dengungan yang konstan.

Namun tak lama kemudian, mulai terdengar suara seperti retakan-retakan ranting yang mengganggu dari pusat gelang-gelang mesin tersebut. Lalu disusul dengan munculnya sesuatu yang berbentuk seperti lorong cahaya yang menarik segala hal masuk secara cepat.

Belum sempat bereaksi, Aksa dan Nata tertarik masuk ke dalam lorong tersebut. Dan beberapa waktu kemudian, mereka sudah mendarat di tanah gersang dengan matahari terik tepat di atas kepala. Barang-barang dari laboratorium yang ikut tertarik oleh lingkaran aneh tadi tampak berhamburan di sekitar mereka.

Nata duduk terdiam di tempatnya terjatuh tadi. Ia sedang menganalisa situasinya sekarang. "Apa percobaan kita berhasil, Aks?" tanyanya kemudian.

Aksa memutar pandangannya ke sekitar. Tampak ia kehilangan kacamatanya.

"Entahlah Nat, kurasa hal ini bisa disebut juga sebagai keberhasilan. Karena kita tidak mati," jawab Aksa seraya menegakan tubuh dan menyilakan kedua kakinya.

"Benar juga. Tapi, di mana kita sekarang?" Nata masih mencoba mengamati sekitarnya.

"Yang jelas sih, bukan di komplek laboraturium lagi," jawab Aksa sekenanya.

"Dan apa tadi itu lubang cacing? Kenapa kita masih utuh setelah melewatinya? Apa teori gravitasi segala arah dari Black Hole itu tidak benar? Atau portal yang tercipta tadi adalah hal yang lain lagi?" ujar Nata yang mulai berdiri dan membersihkan debu dari celananya.

Mereka berdua terlihat masih mengenakan seragam institut tempat mereka belajar. Kemeja putih dan celana panjang biru langit.

"Apa sekarang kita ada di Axis 47, Aks?" tanya Nata kemudian.

"Entahlah, kita harus memeriksa posisi bintang terlebih dahulu." Aksa masih bersila seraya memperhatikan sekitarnya. Yang sejauh mata memandang adalah padang gersang. "Dan sekarang apa teori yang kau dapat dari percobaan kita barusan?" tanyanya kemudian dengan nada sinis.

"Ayo segera bergegas, Aks. Kita harus mencari tempat berteduh. Di sini panas sekali," ucap Nata seraya mulai mengumpulkan barang-barang yang berserakan di sekitar tempat tersebut, mengacuhkan pertanyaan sinis Aksa.

"Hanya dengan barang-barang seperti ini, bagaimana kita bisa kembali ke bumi?" keluh Aksa seraya ikut mengambil barang-barang seperti kertas, ballpoint, obeng, potongan kabel yang berserakan di sekitarnya.

Nata menghelai nafas, "Entahlah. Tapi setidaknya kita masih punya jaketmu dan tas punggungku," jawabnya seraya mengangkat jaket jumper biru gelap dan tas punggung yang terbuat dari kulit imitasi.

"Kita bahkan tidak punya alat digital sama sekali," balas Aksa lebih lesu.

"Kurasa bila memang tempat ini adalah Axis 47, berarti secara teori ada kehidupan di sini. Jadi kita harus mencari seseorang terlebih dahulu," ujar Nata.

"Kuharap itu adalah orang," saut Aksa kemudian.

Kemudian di tengah perbincangan, tiba-tiba mereka berdua mendengar suara. Dan saat dicari tahu arah datangnya, terlihat dua orang berkuda sedang menuju ke arah mereka.

Aksa menatap Nata sebentar, "Itu orang di atas kuda, kan?" Kemudian memastikan ke Nata.

"Kurasa, iya."

"Hei! Halo! Kami perlu bantuan!" teriak Aksa kemudian seraya melambai-lambaikan tangannya ke udara.

"Sepertinya mereka punya bahasa sendiri, Aks," ucap Nata menyimpulkan, setelah mendengar balasan dari orang-orang di atas kuda itu.

"Ya, aku tahu. Kuharap tadinya itu adalah bahasa Klingon," jawab Aksa dengan lesu.

Dan setelah orang di atas kuda itu mendekat, baru terlihat bahwa mereka adalah dua orang perempuan. Yang satu lebih muda, dan yang satu lagi memiliki perawakan bongsor.

"Nat, kau lihat yang besar itu memakai pelindung tangan dan kaki dari plat besi, kan?" Aksa mulai terlihat antusias.

"Sudah, tidak perlu kau teruskan," sergah Nata yang tahu akan ke mana arah pembicaraan Aksa.

"Dia juga membawa pedang di pinggang, serta mengendarai kuda," tambah Aksa yang tidak perduli akan peringatan dari Nata.

"Sudah berhentilah, Aks."

"Aku yakin yang bongsor itu pasti seorang ksatria, dan yang mungil ini seorang putri."

"Cukup, hentikan delusimu itu, dasar geek."

"Yang berarti, sekarang ini kita sedang berada di dunia fantasy. Di tanah pedang dan sihir!" Aksa terus berucap dengan wajah yang semakin sumringah.

"lni yang bikin kamu ga pernah bisa punya pacar," timpal Nata kemudian.

Wajah Aksa segera berubah manyun setelah mendengar ucapan Nata tersebut. "Tunggu saja bila nanti aku sudah mendapat kekuatan sihir saat menyentuh relik legendaris, akan kubuat kau menelan ucapan mu barusan," ucap Aksa dengan sinis.

"Sekarang yang terpenting, kita harus bisa berkomunikasi dengan mereka. Sebelum kau meminta mereka menuntun mu ke relik legendaris yang kau impikan itu.," ujar Nata yang kemudian mencoba untuk berkomunikasi dengan kedua perempuan tadi. Mengacuhkan keberadaan Aksa.

Sedang Aksa hanya menatap Nata dengan sinis seraya menyipitkan matanya.

.

Dan setelah berusaha cukup lama, akhirnya mereka menemukan satu bentuk komunikasi yang berhasil. Yaitu dengan bahasa tubuh dan isyarat.

Perempuan yang mungil tadi memberi mereka lembaran kain untuk melindungi kepala dari sengatan matahari, lalu meminta mereka berdua untuk mengikutinya.

"Kurasa dia gadis yang baik. Dia ingin kita mengikutinya, pasti karena dia sadar kita bukan dari sekitar sini. Dan kita tak akan berhasil bertahan bila sendirian," ucap Nata saat ia dan Aksa sudah mulai berjalan mengikuti kedua perempuan berkuda tersebut.

"Aku berharap salah satu dari mereka punya semacam sihir untuk menciptakan awan," gerutu Aksa yang terlihat malas berjalan di samping Nata.

Sedang Nata ganti menatap Aksa dengan sinis seraya menyipitkan matanya.

-