SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
My Beloved Ex-wife

My Beloved Ex-wife

Bab 1

Zetta menatap ke arah luar jendela kamarnya dengan pandangan yang agak kosong. Hujan sedang turun dengan cukup deras sejak tadi, membuatnya agak enggan untuk beranjak, apalagi turun ke lantai bawah rumahnya. Perempuan itu membiarkan dirinya terbaring di atas sofa sambil menikmati gemercik air hujan yang terdengar agak sendu di telinga, sesendu perasaannya saat ini.

"Dasar menantu pemalas tak tahu diri. Bisa-bisanya tidak menyiapkan makanan untuk sarapan. Apa dia ingin membuatku kelaparan, lalu mati? Begitu? Entah dosa apa aku bisa sampai memiliki menantu seperti dia. Sudah mandul, tak punya kemampuan apa-apa pula. Bahkan mengurus pekerjaan rumah tangga saja tidak becus!" Nyonya Brenda, ibu mertua Zetta memaki sang menantu dari lantai bawah. Suaranya begitu nyaring, sampai-sampai terdengar dari lantai atas, tempat kamar Zetta berada.

"Apa-apaan ini?! Semua bahan-bahan mentah masih belum dimasak sama sekali? Memangnya apa yang dilakukan oleh perempuan mandul itu sampai tidak memasak? Apa jangan-jangan dia masih tidur di kamarnya? Benar-benar pemalas!"

Terdengar suara benda terjatuh. Sepertinya Nyonya Brenda naik pitam dan melempar sesuatu karena mendapati menantunya benar-benar tidak menyiapkan makanan apapun untuk dirinya sarapan.

"Aku membesarkan putraku dengan sepenuh hati, berharap dia bisa hidup bahagia. Tapi yang kulihat saat ini, dia harus menikah dengan perempuan rendahan yang rahimnya saja sekering gurun pasir. Bagaimana bisa putraku harus menghabiskan hidupnya dengan istri tak berguna seperti itu? Harusnya jika memang tak memiliki kemampuan apa-apa, setidaknya bisa mengandung dan melahiran pewaris untuk keluarga ini, bukan hanya bisa menumpang hidup saja. Dasar sampah!" Sekali lagi Nyonya Brenda mengumpat dengan penuh emosi.

Tersirat kebencian yang amat besar pada kata-katanya yang Nyonya Brenda tujukan untuk Zetta, seakan menantunya itu memang benar-benar sosok yang tak ada nilainya sama sekali.

Dan tentu saja, dari dalam kamarnya, Zetta bisa mendengar dengan jelas makian yang dilontarkan oleh sang mertua untuknya. Setiap kali Nyonya Brenda merasa tak senang karena Zetta dinilai melakukan kesalahan, perempuan setengah baya itu sudah pasti akan mengucapkan kata-kata yang begitu menusuk hati tanpa merasa segan sedikit pun.

Zetta hanya bisa menghela nafas sembari memejamkan matanya sejenak. Perih, itulah yang dia rasakan setiap kali mendengar penghinaan yang mertuanya tujukan padanya. Tak peduli sekeras apapun dia berusaha untuk mengambil hati Nyonya Brenda, tetap saja hanya kebencian dan tatapan rendah yang dia dapatkan. Bahkan kesalahan paling kecil sekalipun akan membuatnya mendengarkan kata-kata yang tak sepantasnya diucapkan oleh mertua kepada menantunya. Lalu, semua itu pada akhirnya akan membuat Nyonya Brenda mengungkit tentang Zetta yang tak juga memberikan keturunan untuk putranya.

Jika saja Zetta tidak kunjung hamil karena benar-benar mandul, mungkin dia akan menerima begitu saja penghinaan itu. Tapi kenyataannya, dia bukanlah perempuan mandul. Selama enam tahun lamanya menikah dengan sang suami, tak sekali pun lelaki itu sudi menyentuhnya. Lalu, bagaimana dia bisa hamil begitu saja?

Dia sungguh sedih jika mengingat fakta ini, tapi tentu saja semua itu hanya dipendamnya seorang diri saja hingga saat ini tanpa bisa mengatakannya pada orang lain.

"Kak Zetta!! Kenapa tas dan bukuku belum siap? Aku, sudah mau berangkat ke sekolah, tahu!" Sekali lagi terdengar teriakan dari lantai bawah. Kali ini Griselle, adik perempuan suami Zetta yang melengkingkan suaranya.

Gadis itu masih sangat belia, tapi tak memiliki rasa hormat sedikit pun pada sang kakak ipar. Selain manja karena semua keinginannya selalu dituruti, mulutnya juga tajam seperti ibunya, Nyonya Brenda.

"Cepatlah turun dan bereskan tasku, Kak Zeta! Nanti aku telat!" teriak Griselle lagi dengan suara yang naik satu oktaf daripada sebelumnya.

Tak ada yang bisa Zetta lakukan selain hanya menghela nafasnya sekali lagi. Dia tak punya pilihan selain segera beranjak dan turun ke lantai bawah sebelum suasana menjadi semakin tak terkendali. Kegaduhan pagi ini tidak akan selesai jika dirinya tak melakukan apa yang mereka inginkan. Untung saja suaminya sekarang sedang tidak berada di rumah. Jika tidak, Zetta pasti akan semakin dipojokkan atas yang terjadi pagi ini.

Tatapan mata nyalang dari sang mama mertua langsung menyambut Zetta di lantai bawah, tapi tak begitu Zetta hiraukan karena sedikit banyak dia telah terbiasa dengan hal itu. Zetta langsung membereskan buku-buku milik Griselle dan menyiapkan tasnya. Setelah itu, dia juga langsung pergi ke dapur untuk memasak.

Tak butuh waktu lama, beberapa hidangan lezat telah tersaji di meja makan. Zetta langsung memanggil mertua dan adik iparnya untuk sarapan. Meskipun masih merasa kesal pada Zetta, tentu saja kedua manusia culas itu langsung makan karena masakan Zetta terlalu enak untuk dilewatkan.

Tapi memang pada dasarnya Zetta telah tidak disukai sejak awal, meski telah menyiapkan makanan enak pun tetap tak membuatnya mendapatkan ucapan terima kasih. Yang ada, Nyonya Brenda masih saja tidak puas terhadap Zetta. Kali ini hanya karena Zetta diam saja dan tak berbicara sedikit pun saat perempuan setengah baya itu sedang makan.

"Kenapa kamu diam saja sambil menekuk wajahmu begitu? Kamu tidak terima karena harus menyiapkan makanan untukku dan Griselle?" tanya Nyonya Brenda dengan raut wajah masam.

Zetta hanya menggeleng pelan tanpa memandang ke arah mertuanya itu sama sekali. Memang selalu seperti ini posisinya di rumah ini. Bicara salah, diam pun juga salah. Entah apa yang harus dia lakukan agar bisa sedikit dihargai oleh keluarga suaminya, Zetta benar-benar tak tahu.

"Kalau kamu memang merasa tidak senang, kamu bisa pergi kapan saja, Zetta. Tak ada yang melarangmu untuk pergi." Nyonya Brenda kembali menambahkan.

Lagi-lagi, yang bisa Zetta lakukan hanyalah menghela nafasnya dan sekuat tenaga menahan diri. Tak ada gunanya berdebat. Bukannya menang, dirinya malah akan semakin dipojokkan jika sedikit saja menyanggah kata-kata mertuanya itu.

"Mungkin Kak Zetta marah karena Kak Keenan tidak pulang, Ma. Sepertinya Kak Keenan benar-benar harus membawa Kak Helia untuk tinggal bersama kita supaya Kak Zetta tahu posisinya di rumah ini," ujar Griselle dengan santai dan tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Mata Zetta sedikit melebar. Dadanya langsung berdenyut nyeri mendengar nama Helia, perempuan yang menjadi alasan kenapa suaminya tak sedikit pun melihat ke arahnya selama enam tahun ini.

"Oh, iya. Aku lupa memberi tahu Kak Zetta. Semalam juga Kak Keenan tidak pulang karena menemani Kak Helia di rumah sakit. Kak Keenan pasti sangat senang karena dokter sudah memperbolehkan Kak Helia pulang." Griselle kembali menambahkan sambil tersenyum mengejek ke arah Zetta.

Mendengar itu, raut wajah Zetta tampak sedikit berubah. Seperti ada sebuah batu besar yang menimpa hati Zetta saat ini, rasanya benar-benar sakit dan menyesakkan. Tentu saja dia merasa marah dan kecewa mengetahui suaminya tidak pulang karena menemani perempuan lain di luar sana. Ingin rasanya Zetta berteriak, namun lagi-lagi dia tetap menjaga etikanya dengan diam dan tak melampiaskan emosinya begitu saja.

Tak lama kemudian, terdengar suara mobil berhenti tepat di depan pintu rumah. Seorang lelaki turun dari mobil tersebut dan masuk ke dalam rumah. Keenan, lelaki yang memiliki wajah rupawan serta tubuh tinggi dan tegap. Sosok yang secara fisik tampak begitu sempurna, sangat mustahil untuk tak langsung jatuh cinta saat pertama kali melihatnya.

Zetta langsung bangkit mengetahui suaminya telah pulang. Dia bergegas ke ruang tamu bersamaan dengan Keenan yang melangkah ke arah berlawanan. Kedua orang tersebut sama-sama menghentikan langkahnya dan saling memandang satu sama lain. Jangan harap Keenan akan tersenyum hangat pada Zetta. Lelaki itu menatap Zetta dengan tatapan yang begitu tajam dan dingin, hingga membuat Zetta mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan perasaan pedih tak terkira.

Keenan berlalu begitu saja, menganggap seolah Zetta hanyalah seekor serangga yang tak perlu untuk dipedulikan.

Malam harinya, saat Zetta menyiapkan air untuk Keenan mandi seperti biasa, tiba-tiba saja terdengar lelaki itu mengajaknya bicara.

"Tidak perlu lagi mengurus keperluanku seperti ini," ujar Keenan dengan dingin. "Besok Helia diperbolehkan pulang dan akan tinggal di sini. Aku harap kamu sudah pergi dari rumah ini sebelum aku membawa Helia."

Zetta terkejut mendengar kata-kata Keenan. Bagaimana bisa lelaki itu mengusir dirinya karena ingin membawa pulang perempuan masa lalunya itu. Zetta tak bisa menahan hatinya untuk tak merasa hancur.

"Bagaimana kalau aku tidak mau?" tanya Zetta dengan lantang. Entah dari mana dia mendapatkan keberanian hingga sanggup menentang kata-kata Keenan.

Mendengar itu, Keenan tampak menatap Zetta dengan tatapan mengejek.

"Kamu sangat tahu kenyataan hubungan kita seperti apa, Zetta. Jangan pernah lupa penyebab kenapa aku bisa sampai menikahimu," sahut Keenan dengan tajam.

Zetta menatap Keenan dengan raut wajah yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Bagaimana dia bisa lupa alasan Keenan sampai bersedia menikah dengannya. Hal itu tidak lain karena saat Helia sekarat dan membutuhkan donor darah, hanya darah milik Zetta yang cocok dengan perempuan itu. Zetta bersedia mendonorkan darahnya untuk Helia hanya jika Keenan bersedia menikahinya.

Ya, begitulah cara Zetta untuk menjadi istri Keenan. Dia memang memanfaatkan keadaan sehingga Keenan mau tak mau mesti menuruti keinginannya. Namun, itu semua Zetta lakukan karena dia telah memendam rasa cintanya pada Keenan bahkan sejak dirinya masih SMA. Dan saat itu, menikah dengan Keenan adalah satu-satunya impian yang dia miliki.

Bab 2

Waktu itu, kondisi Helia benar-benar seperti tak ada harapan. Dia koma dan dokter yang menanganinya juga sudah pesimis perempuan itu akan terjaga. Bisa dikatakan, Helia hampir bisa dipastikan tidak akan pernah membuka matanya kembali. Karena itu, akhirnya Keenan bersedia menikahi Zetta sebagai balasan untuk setiap tetes darah Zetta yang mengalir di tubuh Helia.

Namun ternyata Helia mampu bertahan. Dia akhirnya selamat dari maut dan terjaga dari komanya. Tentu saja hal itu terjadi saat Keenan telah terlanjur menikahi Zetta, hingga Zetta pun harus menerima kenyataan jika dirinya tak pernah sedikit pun dianggap istri oleh Keenan. Lelaki itu tetap hanya melihat ke arah Helia saja, bahkan meskipun Zetta telah mengerahkan seluruh kemampuan yang dia punya untuk mengambil hati Keenan.

Zetta memandang Keenan dalam. Dia amat sangat mencintai lelaki itu, bahkan jauh sebelum Keenan menjadi suaminya. Tapi sekarangn dia merasa asing dengan sosok yang berdiri di hadapannya ini. Keenan seperti menjelma menjadi orang yang berbeda semenjak mereka menikah, semua itu karena dia tak menginginkan kehadiran Zetta dalam hidupnya. Lalu kini, Zetta hanya mencibir dalam hati, merutuki kebodohannya selama ini yang rela diperlakukan dengan semena-mena hanya karena cintanya yang konyol.

Dengan segenap keberanian yang dia kumpulkan, Zetta mengangkat wajahnya yang selama ini hanya dia tundukkan di hadapan Keenan.

"Aku adalah istrimu, Keenan. Aku adalah orang yang paling berhak atas dirimu dan apapun yang kamu miliki. Lalu kenapa aku harus pergi dari rumah ini saat Helia kembali?" tanya Zetta dengan tak kalah tajam dari perkataan Keenan padanya.

Raut wajah Keenan tampak mengeras mendengar pertanyaan itu. Kedua tangannya mengepal dengan penuh emosi. Awalnya dia tidak mau ada keributan dan ingin meminta Zetta pergi secara baik-baik. Tapi rupanya perempuan di hadapannya ini berusaha menguji kesabarannya.

"Aku sudah tahu kebenarannya, Zetta, jadi jangan memaksaku menjadi orang jahat dengan menyeretmu paksa untuk keluar dari rumah ini," ujar Keenan dengan geram.

"Apa maksudmu?" tanya Zetta lagi.

"Helia sudah mengatakannya padaku jika ternyata kamu adalah orang yang telah membuatnya berada di rumah sakit sampai sekarang. Kamu adalah orang yang menabraknya enam tahun yang lalu!" seru Keenan dengan penuh emosi sembari mengertakkan giginya.

"Apa?" Zetta tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

Zetta tahu jika Helia sangat tak menyukainya, tapi bagaimana bisa perempuan itu mengatakan jika Zetta yang menabraknya? Bukankah itu terlalu berlebihan dan tak masuk akal?

"Setelah mengetahui hal itu, aku menahan diri untuk tak melakukan hal buruk padamu, Zetta, jadi lebih baik kamu pergi sebelum kesabaranku habis." Keenan tampak berujar dengan bersungguh-sungguh, seakan dia tak segan untuk melenyapkan Zetta dengan tangannya sendiri jika perempuan itu menolak pergi.

"Omong kosong macam apa itu? Apa otak Helia agak terganggu setelah koma sekian lama sampai mengatakan aku yang menabraknya?"

"Tutup mulutmu!"

"Aku tidak melakukannya, Keenan. Apapun yang terjadi pada Helia enam tahun yang lalu, semua itu tidak ada hubungannya denganku." Zetta menyangkal dengan tegas. Dia memang tak melakukan apapun terhadap Helia dan tak ada kaitannya dengan kecelakaan yang perempuan itu alami. Tentu saja dia tak terima jika Helia menuduh seenaknya seperti itu.

"Kamu memintaku menikahimu saat kondisi Helia kritis, tentu saja itu sudah menjadi indikasi yang kuat jika kamulah yang telah menyebabkan Helia seperti itu. Aku sungguh bodoh karena selama ini tak pernah berpikir ke arah sana. Meskipun tak menyukaimu, tapi aku tidak pernah menyangka jika kamu bisa sampai selicik dan sejahat itu." Keenan kembali berujar dengan dingin. Matanya menatap perempuan yang berstatus istrinya itu dengan tajam dan penuh kebencian.

Zetta bisa melihat betapa besar rasa tak suka Keenan terhadap dirinya. Dia tersenyum pahit mengingat semua perjuangan bertahan di rumah ini. Enam tahun Zetta mengorbankan masa mudanya demi mengabdikan hidupnya untuk sang suami tanpa pamrih, bahkan sampai menjadi seperti seorang pelayan. Tapi sekarang ini balasannya. Bukannya ucapan terima kasih, dia justru diusir dengan sangat menyakitkan.

"Kamu bisa pilih, mau pergi sendiri dari rumah ini atau kuseret keluar dengan cara paling memalukan," ujar Keenan lagi sambil berlalu dari hadapan Zetta.

Zetta hanya melihat punggung suaminya yang menjauh itu dengan tatapan nanar. Dia tak menghalangi langkah Keenan meski tahu setelah ini lelaki itu pasti akan pergi menemui Helia lagi. Kini dia sadar jika selama ini dia telah melakukan hal yang sia-sia.

Keesokan harinya, Zetta bangun sedikit lebih siang daripada biasanya. Dia tak membereskan rumah, juga tidak memasak untuk sarapan. Yang dilakukannya saat turun dari tempat tidur adalah berendam dengan air yang dicampur dengan wewangian selama beberapa saat. Lalu begitu selesai mandi, dia mengenakan gaun yang indah dan berdandan cantik. Hal yang telah sangat lama tidak dia lakukan semenjak menikah dengan Keenan.

Zetta turun ke lantai bawah dengan anggun dan mendapati Griselle telah menunggunya sambil berkacak pinggang.

"Apa yang Kak Zetta lakukan pagi ini? Kenapa rumah belum terlihat rapi dan makanan belum siap di meja makan? Kakak tidak mau memasak lagi seperti kemarin?" tanya gadis itu dengan sangat kurang ajar.

Jika biasanya Zetta hanya diam saja diherdik oleh adik iparnya itu, kali ini dia mengangkat wajahnya dengan dengan sedikit angkuh.

"Kenapa aku harus melakukan semua itu?" Zetta balik bertanya.

Griselle membeliakkan matanya. Gadis muda itu heran kenapa pagi ini Zetta berani mendebatnya.

"Tentu saja Kak Zetta harus melakukan semua itu karena itu sudah menjadi tugas Kakak," sahut Griselle.

"Kata siapa itu tugasku? Itu semua tugas pelayan, dan aku bukan pelayan di rumah ini. Jika kamu dan Mama tidak mau melakukannya, maka suruh Kakakmu yang kaya raya itu untuk membayar seorang pelayan. Jika tidak, maka kerjakan sendiri. Kamu punya kaki dan tangan, kan? Lalu kenapa suka sekali meminta orang mengerjakan ini dan itu untukmu, seolah kamu itu hewan buntung yang tak bisa melakukan apa-apa." Zetta berujar tanpa rasa takut sedikit pun, membuat Griselle agak ternganga karena tak percaya.

"Mama!" teriak Griselle memanggil Nyonya Brenda.

Mendengar teriakan putrinya, Nyonya Brenda pun datang. Griselle langsung mengadukan apa yang Zetta katakan padanya tadi pada sang mama.

"Beraninya kamu berkata seperti itu pada putriku yang berharga. Dasar sampah!" maki Nyonya Brenda pada Zetta.

Nyonya Brenda yang tersulut emosi langsung mengambil batang rotan yang biasa dia gunakan untuk menghukum Zetta selama ini. Namun saat melayangkan satu pukulan ke tubuh Zetta, dengan sigap Zetta menahan dan mengambil alih rotan tersebut. Perempuan itu balik memberikan pukulan pada Griselle dan Nyonya Brenda menggunakan benda yang selama ini sering sekali digunakan untuk memukul tubuhnya.

Terang saja pasangan ibu dan anak itu menjerit kesakitan mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari Zetta. Mereka tampak syok dan ketakutan melihat keberingasan yang Zetta tunjukkan saat ini, padahal selama ini justru Zetta yang seringkali meratap dan memohon ampun pada mereka.

Sementara itu, Zetta tampak tersenyum puas mendengar Griselle yang menangis seperti anak kecil karena merasa sakit di beberapa bagian tubuhnya, sedangkan ibu mertuanya tampak meringis kesakitan meskipun tak sampai meneteskan airmata. Rasa sakit yang dipendam Zetta selama ini sedikit terbalaskan, dan itu membuat perasaan Zetta menjadi jauh lebih baik.

Setelah sedikit memberikan kata-kata ejekan pada mertua dan adik iparnya yang selama ini selalu bersikap arogan padanya itu, Zetta pun melempar rotan yang ada di tangannya ke sembarang arah, lalu melangkah pergi dengan anggun seakan tak terjadi apa-apa sebelumnya.

Begitu Zetta keluar rumah, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan pintu rumah dan tampaklah seorang lelaki dengan wajah menawan duduk di belakang kemudi. Lelaki itu melambaikan tangannya pada Zetta.

"Hai, Sayang. Ayo, kemari," panggil lelaki tampan itu.

Terpopuler