Kerajaan Kristal Merah
Rembulan bersinar terang menyinari Istana kerajaan Kastala. Istana itu menjulang tinggi dan menampakkan keindahannya ketika dinding peraknya mengkilat berhiaskan cahaya.
Di sekitar istana tersebut terdapat pemukiman warga yang terlihat sepi. Hanya ada beberapa pendaran lampu kecil karena para warga sedang terlelap di dalam tempat tinggal mereka. Beberapa orang tampak berjalan menyusuri sekitar area pemukiman karena adanya beberapa petugas yang melaksanakan kewajiban mereka sebagai penjaga malam.
Terlihat bayangan lima Penyihir berjalan bersamaan di atas sebuah bukit tidak jauh dari pemukiman Istana. Kemudian, mereka menghentikan langkah dan berdiri sejajar sambil memandangi pemukiman yang tampak sunyi.
Beberapa saat kemudian, kelima Penyihir tersebut merentangkan tangan mereka ke arah istana sembari mulai mengucapkan mantra.
Cahaya lemah keemasan berpendar dari telapak tangan kelima Penyihir tersebut ketika barisan – barisan mantra mereka ucapkan dengan suara lantang.
Perlahan, cahaya tersebut semakin terang dan semakin terang. Akhirnya, sinarnya menyebar dan membutakan pandangan.
Setelah rapalan mantra dihentikan, pendaran cahaya itu perlahan meredup dan menghilang. Pemukiman tersebut tampak tenang seperti sedia kala.
Para Penyihir tersebut berputar arah. Mereka berjalan menuju seorang pria tua yang sedang berdiri sambil menyandarkan diri di bawah pohon. Setelah menghampiri pria tersebut, mereka membungkuk hormat.
“Tugas sudah selesai, Tuan Faraq!” kata salah seorang Penyihir.
“Bagus, Rafael!” kata Faraq sambil mengangkat tangannya, isyarat untuk menyudahi penghormatan mereka. “Kita hanya tinggal menunggu tindakan Raja Endan terhadap hal ini.”
“Kapan kita bisa memperoleh kekuasaan atas Istana Kastala?” Rafael melangkah maju, menampakkan rambut pendek dan luka sayatan mendatar di dahinya.
“Kalian perlu sabar sebentar, Rafael!” Faraq tersenyum, lalu melanjutkan dengan suara seraknya. “Kekuasaan ini akan menjadi milik kita dan kalian akan kuberi bagian – bagiannya.”
“Kami percayakan sisanya kepadamu, Tuan Faraq. Jika kau butuh bantuan, kami akan senantiasa siap sedia,” kata Rafael.
Faraq bersedekap dengan rasa puas. “Tentu saja.”
Rafael memandang kalung hijau yang dikenakan oleh Faraq. “Bagaimana kau mendapatkan Jimat itu, Tuan Faraq?”
Faraq menggenggam kalung yang dikenakannya. “Aku sudah berkeliling ke kelima kerajaan di seluruh Namaril karena memang itu adalah tugasku sebagai Petinggi Bagian Hubungan Antarwilayah. Kutemukan Jimat ini di pemukiman Kerajaan Rimasti. Semuanya berjumlah enam. Aku memegang satu buah. Sisanya sudah kuberikan kepada kalian.”
“Betapa mudahnya kau menyerahkan Jimat ini kepada kami, Tuan Faraq?” kata Rafael. “Apakah kau memang memberikan kepercayaan begitu besar kepada kami?”
Faraq menghela. “Kalian tidak perlu membicarakan soal kepercayaan, Rafael. Aku hanya beruntung karena aku menemukan orang – orang yang mau diajak bekerja sama.”
Faraq mengedarkan pandangan ke arah seluruh Penyihir. “Bisakah kau berdiri dengan kawan – kawanmu yang lain?” pintanya. “Aku akan menunjukkan secercah keajaiban Jimat ini.”
Rafael mengangguk. Ia mundur dan berdiri sejajar dengan Penyihir lain.
Setelah itu, Faraq memandang para Penyihir dan menyapukan tangannya ke arah mereka. Jimat batu kehijauan yang terkalung di masing – masing leher mereka berpendar lemah.
Terlihat tiga Penyihir laki – laki dan dua Penyihir perempuan yang merasakan kehangatan yang dipancarkan cahaya tersebut. Perlahan, kehangatan tersebut berubah menjadi kekuatan yang semakin lama semakin berlipat ganda.
Rafael melihat telapak tangannya sambil menyeringai seakan - akan ia bisa melakukan apapun.
“Itu adalah salah satu kekuatan Jimat ini,” Faraq menjelaskan, “tetapi kita harus mengambil alih Kastala terlebih dahulu jika kalian ingin menggunakan kekuatannya yang sesungguhnya karena kekuatan ini tidak seperti sihir biasa.”
“Ini adalah sebuah tawaran menakjubkan.” Rafael menyeringai. “Kami tidak akan mengecewakanmu, Baginda.”
Faraq tersenyum. “Kuakui, sangatlah terhormat bagiku dipanggil dengan gelar Baginda oleh kalian. Namun aku bukanlah raja kalian. Belum. Kalian tidak perlu terburu - buru memanggilku dengan pangkat tinggi itu ketika kita belum mendapatkan hasilnya.”
Seorang Penyihir perempuan di belakang Rafael berujar, “Tapi kami menganggapmu sebagai Baginda sebagai pujian atas rencana ini.” Wajahnya masih tidak terlihat karena tertutup oleh bayangan malam.
“Pujian itu akan menyebabkan diriku menjadi arogan. Itu tidak perlu, Larisa.” Ujar Faraq. “Ketika kita sudah memiliki Kastala, yang lainnya tidak akan sulit.”
Larisa mengangguk. “Baiklah, Tuan Faraq.” Ia kembali menggenggam kalungnya.
Faraq melanjutkan, “Berkat Jimat ini, kita bisa melakukan hal ini walaupun sebenarnya kalian bukanlah Penyihir, bahkan aku pun bukan Penyihir.” Pria tua itu melepaskan kalung hijau itu dan menengadahkannya. “Ada berbagai macam rahasia yang terkandung di dalam Jimat ini. Namun, belum saatnya kuberitahu kepada kalian.”
“Betapa menakjubkan!” Rafael meninggikan suaranya. “Kita sudah mengerti tetang apa yang akan terjadi pada pemukiman ini.”
“Cukup sudah kita bicara!” Faraq mengalungkan kembali Jimatnya. “Mari kita pergi dari sini. Pengaruh sihir Jimat ini akan dimulai sebentar lagi.”
“Baiklah,” ujar Rafael. Ia segera memberitahu Penyihir lainnya. “Biarkan ini menjadi sebuah permulaan.”
Setelah itu, ia memimpin perapalan mantra, yang diikuti oleh rekan – rekannya. Perlahan, Percikan cahaya hitam bermunculan dan mengitari Faraq dan para Penyihir lainnya.
Sesaat kemudian, mereka berenam lenyap dari pandangan.
-
Tanah pemukiman Kastala bergetar. Seluruh Istana dan pemukiman di sekitarnya mulai berguncang. Getaran itu menimbulkan berbagai macam bunyi yang menyebabkan dinding – dinding rumah retak. Lampu – lampu berjatuhan. Tidak sedikit pula bangunan – bangunan tidak kokoh yang mulai roboh karenanya.
Tampak orang – orang berhamburan keluar rumah, mengabaikan rasa kantuk mereka. Tidak hanya bangunan, retakan- retakan kecil juga terbentuk di jalanan. Para penghuni pemukiman tersebut merasa panik dan menyelamatkan diri puing – puing bangunan yang berjatuhan.
Beberapa saat kemudian, gempa tersebut berhenti.
Satu persatu lampu – lampu perumahan dinyalakan. Malam itu, para petugas istana langsung bertugas untuk membantu warga yang bertebaran di luar tempat tinggal mereka untuk memeriksa kondisi dan situasi.
Warga yang terluka langsung dibawa ke sejumlah rumah sakit yang tersedia. Karena gempa ini, puluhan rumah sakit disekitar pemukiman tersebut mendadak menjadi sibuk karena bencana yang melanda mereka secara tiba – tiba untuk menampung mereka yang yang terluka, bahkan tidak sedikit juga yang kehilangan nyawa.
Dua hari kemudian, guncangan tersebut terjadi kembali.
Gempa itu terjadi pada siang hari. Para warga berhenti dari aktivitas mereka. Para warga yang sedang tinggal di pengungsian dan rumah sakit terpaksa mengeluarkan diri agar selamat, walaupun tidak mengetahui kemana harus berlindung.
Sesaat kemudian, bencana itu berhenti.
Pegawai Kantor yang masih sempat bekerja di pemukiman tersebut mendapati gedung – gedung perkantoran mereka berserakan dengan puing – puing bangunan sehingga mereka memutuskan untuk meliburkan kegiatan mereka.
Para Prajurit dan Pegawai Istana kembali diutus untuk membantu warga.
Para penduduk pemukiman di sekitar istana tidak mengetahui kapan datangnya gempa. Namun, dua hari kemudian, setelah gempa ketiga yang terjadi di pagi hari, pihak istana mengumumkan kepada warga bahwa gempa terjadi selama dua hari sekali.
Perkiraan itu benar. Gempa itu terjadi secara berkala. Dua hari sekali.
Para Prajurit dan Pegawai Istana mulai dikerahkan untuk pengarahan tambahan tempat – tempat pengungsian bagi warga. Berbagai macam kegiatan ditiadakan, bahan makanan pokok dibagikan, walaupun ada beberapa oknum warga yang melakukan penolakan.
Situs – situs khusus untuk evakuasi juga bertambah sebagai bentuk perlindungan terhadap warga yang ingin selamat dari bencana, atau yang sudah kehilangan tempat tinggal serta keluarganya.
Seperti yang diucapkan oleh Rafael, bencana ini adalah sebuah permulaan.
Sudah dua minggu semenjak gempa berkala tersebut melanda Kerajaan Kastala. Bencana tersebut menyebabkan berbagai dampak buruk bagi istana dan rumah – rumah di pemukiman. Banyak tempat tinggal rusak. Tidak sedikit pula korban jiwa berjatuhan.
Alhasil, banyak warga berunjuk rasa kepada para pegawai istana dan meminta dukungan dan tambahan biaya atas penderitaan yang mereka alami akibat bencana ini.
Ratusan warga pemukiman berbondong – bondong ingin memasuki istana Kerajaan sambil berseru dan merutuk.
“Turunkan Raja!”
“Raja Endan tidak tahu diri!”
“Tidak ada aksi!”
“Kami kelaparan!”
“Hentikan gempa ini!”
“Berikan makanan!”
Para penghuni pemukiman merangsek masuk ke dalam gerbang istana. Namun, para Prajurit Resmi dikerahkan untuk mencegah mereka dan juga sejumlah Penyihir. Para Penyihir hanya diizinkan untuk melakukan serangan – serangan skala kecil agar warga tidak terluka.
“Kami ingin bertemu langsung dengan Raja Endan!” seruan itu dilontarkan berulang kali oleh para warga sambil merusak pagar betis yang sudah dipasang oleh para pegawai kerajaan.
Beberapa Prajurit kewalahan disebabkan banyaknya warga yang ingin memaksakan diri untuk masuk ke istana. Beberapa dari mereka juga harus bertindak tegas kepada warga yang berani melukai Prajurit.
Ros, Frigg, dan Heil, tiga orang warga berprotes, berhasil menyusup ke istana. Mereka bertiga berlari di menelusuri koridor.
“Raja Endan bodoh!” Ros merutuk sambil berlari dengan kedua kawannya. “Apa yang ia lakukan sampai – sampai keluarga kami jadi taruhannya?”
“Mungkin saja dia tidur seharian sehingga tidak sempat memperhatikan warga,” kata Heil yang berlari sambil mengacak - acak rambutnya karena tembakan pasir yang dilakukan oleh seorang Penyihir.
“Aku tidak tahu,” ujar Frigg sambil memainkan pedangnya. “Kita harus sampai kepada Raja Endan untuk menuntutnya secara langsung. Jika tidak, dia akan merasakan pedang tajam yang baru saja kucuri ini.”
Ketika mereka hampir sampai di ruang akhir koridor ke ruang utama, seorang Penyihir Wanita dan seorang Prajurit menghadang mereka.
Penyihir itu mengenakan jubah putih, sedangkan Sang Prajurit menggunakan tombak dan zirah merah khas Kastala.
“Rakyat bisa tidak boleh masuk tanpa izin resmi!” Prajurit itu memperingatkan.
“Kami ingin bicara langsung dengan Raja!” Ros membalas seruan itu dengan lantang.
“Baiklah, sampaikan kepada kami, kami berdua adalah petinggi.” ujar Penyihir itu. “Namaku Rena, petinggi Bagian Sihir dan Klerik.” Rena menunjuk Sang Prajurit. “Ini rekanku, Rowan, Bagian Pertahanan.”
Heil berseru, “Kami tidak perduli dengan siapa kalian!”
“Kalian sudah dengar, kan?” kata Frigg dengan nada mengejek. “Kami ingin bertemu langsung dengan Raja.”
“Kalian tidak punya hak untuk berbicara langsung dengan Raja!” Rowan berseru dengan suara menggelegar. “Kalian bisa langsung keluar atau kami akan mencelakakan kalian.”
“Raja Endan Bodoh!” rutuk Frigg sambil menyapukan pedangnya seolah mengancam. “Apakah dia tidak tahu bahwa kami merasakan kesengsaraan karena dia tidak lekas bertindak? Kalau tidak, aku akan—”
“Tidak boleh ada seorangpun yang boleh menghina Raja!” seru Rowan sambil mengangkat tombaknya. “Berani – beraninya kalian!”
Sang Prajurit langsung berlari untuk menghujamkan tombaknya ke arah Frigg. Warga sipil itu bersiap dengan pedangnya. Namun, ia tampak linglung karena tidak pernah bermain pedang sebelumnya. Raut mukanya pucat.
Sebuah dinding air menjulang tinggi deras di antara Rowan dan Frigg, sehingga tombak Prajurit itu menembus dinding air tersebut.
Frigg, Ros, dan Heil terhempas jatuh ke belakang, lalu berusaha berdiri sambil tertatih. Wajah mereka ketakutan.
Pegangan tombak Rowan masih tetap kokoh dan tidak terpengaruh oleh dinding air itu. Rowan menoleh ke arah Rena yang sedang mengangkat tangan kanannya kedepan. Cahaya biru berpendar di telapak tangan Penyihir itu.
Setelah mencegah serangan Rowan, Rena meredupkan cahaya di telapak tangannya. Dinding air deras itu segera sirna. “Sesuai dengan titah Raja, kita tidak boleh menyakiti rakyat biasa.”
Rowan menghela nafas dalam – dalam sambil menarik tombaknya. “Ini sangat konyol!”
Ross, Heil, dan Frigg mundur teratur ke belakang sambil ketakutan. Keberanian mereka bertiga menyusut.
“Baiklah!” ujar Rowan sembari menengadahkan tangannya. “Setidaknya, kembalikan pedang itu!”
Karena melihat sihir air Rena yang telah lenyap, Frigg mencoba mengumpulkan keberaniannya. Ia berdiri dan melemparkan pedang yang dipegangnya ke arah Rowan dan tergeletak begitu saja. “Ini pedang bodohmu!”
Rowan kembali naik pitam dan menggeram. Renata menatap ketiga warga itu dengan kesal sambil menggerakkan tangannya.
Perlahan, sebuah pusaran air muncul dan mengalir deras mengelilingi Frigg, Heil, dan Ross. Mereka bertiga mundur berdekatan dengan satu sama lain dengan ketakutan untuk menghindar supaya tidak terkena. Lalu, lingkaran air itu meninggi dan membentuk kubah yang menutupi mereka bertiga. Walaupun bagian dalam aliran air di kubah itu masih berudara, namun mereka bertiga terjebak di sana.
“Seharusnya kau mengembalikannya dengan baik,” kata Rena dengan tenang, “bukan melemparkannya begitu saja.”
Rowan mengambil pedang itu dan memasukkannya ke sarung pedangnya. Kemarahannya mereda. Ia merasa puas dengan apa yang rekannya lakukan kepada mereka bertiga.
“Apakah barisan yang diutus untuk yang mencegah mereka belum cukup untuk menghadang mereka?” Prajurit itu berjalan menghampiri Rena yang masih melakukan sihir.
“Sudah aku umumkan bahwa gempa terjadi secara periodik. Selama dua kali sehari,” Rena menjelaskan, “Raja Endan sebelumnya menugaskanku untuk mengadakan rapat tertutup dengan para Penyihir Istana lainnya. Kejadian gempa periodik itu adalah salah satu maklumat yang kami simpulkan. Perihal ini juga sudah kusampaikan kepada Istandi.”
“Terlepas dari itu, banyak Prajurit yang sudah susah payah membantu dilukai oleh warga.” Rowan mendengus. “Hah! Kekacauan warga ini sangat tidak masuk akal!”
“Memang sangat disayangkan.“ Rena menghadap ke bawah dengan rasa kecewa. “Kukira keputusan Raja Endan sudah cukup baik. Pemantauan perkembangan adalah cara yang tepat walaupun desakan warga seperti ini memang tidak disangka – sangka.”
“Biarpun begitu,” ujar Rowan, “aku percaya penuh dengan segala keputusan Raja Endan.”
Rena mengangguk. “Aku juga sejalan denganmu, Rowan.”
Tiba – tiba, seorang Petugas Istana datang menghampiri Rowan dan Rena. Sepuluh orang Prajurit juga mengikutinya dari belakang.
“Apakah kalian tidak apa – apa?” tanya Petugas itu kepada Rowan.
Rowan berdehem sambil menunjuk pada kubah pusaran air. “Kau bisa lihat sendiri, Istandi!”
“Unjuk rasa di luar istana sudah berakhir,” Istandi terheran. “Apa yang terjadi?”
Rowan dan Rena memberitahukan tentang apa yang terjadi baru saja pada Istandi.
“Itu benar,” kata Rowan. “Laporkan pada bahwa ada tiga orang penyusup yang ingin menentang Raja.”
“Apa mereka memang ingin menentang Raja?” Istandi meragukan rekannya.
“Mereka hanya ingin aspirasi mereka di dengar,” kata Rena, “tetapi mereka melampaui batas.”
Sesaat kemudian, Penyihir itu meredupkan cahaya sihir di tangannya. Kubah air yang mengelilingi Frigg dan lainnya segera sirna. Rowan menyuruh Prajurit bawaan Istandi untuk menggiring ketiga warga sipil tersebut keluar istana.
“Aku tahu bahwa kita juga perlu melihat bencana ini dari sudut pandang warga,” Rowan memandangi Frigg dan kedua temannya yang sedang dituntun keluar. “Sebagai Petinggi Bagian Kemasyarakatan, itu selalu kau junjung tinggi, bukankah begitu?”
Istandi mengangguk. “Itu benar.”
Rowan membalikkan tombaknya. “Namun, para warga yang berdemonstrasi hanya ingin memperburuk kondisi kerajaan dengan pengabaian mereka, padahal kita sebagai pihak istana juga tidak ingin dengan sengaja mencelakakan mereka.”
Istandi memasukkan tangannya ke saku celana. “Kurasa memang Raja Endan sudah menilai dan membutuhkan waktu untuk membuat keputusan, Tuan Rowan,” ujarnya. “Jika ia langsung memutuskan untuk membangun kembali bangunan – bangunan yang rusak, hal itu akan jadi sia –sia.”
“Ada banyak hal yang tidak terduga dan tidak bisa ditebak,” Rena mengusap rambutnya. “Istandi, sebaiknya kau ceritakan kepada Raja Endan tentang apa yang terjadi barusan.”
Istandi menggaruk kepala. “Dimana Raja Endan sekarang?”
“Aku bertemu Raja Endan tadi pagi,” Rowan mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Beliau bilang bahwa beliau ada di teras lantai atas.”
Istandi mengangguk. “Baiklah! aku akan segera melapor.” Ia langsung berjalan cepat meninggalkan Rowan dan Rena.
-
Raja Endan berdiri di teras lantai lima istana sambil memandangi keadaan pemukiman dan memilin janggutnya. Ia sedang tenggelam dalam lamunan tentang kejadian janggal yang terjadi di Kastala.
Pandangan Sang Raja memindai rumah – rumah yang tampak rusak dan tidak tertata, bahkan dari ketinggian. Ia sudah mengetahui bahwa warga sudah berunjuk rasa mengenai keputusannya untuk melihat keadaan. Sebagai bentuk perhatiannya kepada warga, ia sudah memberi titah kepada para bawahannya untuk memantau masyarakat, terutama warga pemukiman di sekitar istana.
Beberapa saat kemudian, Istandi menghampiri Sang Raja dan melapor. “Selamat siang, Baginda.”
“Silahkan, Istandi!”
“Baginda…” Istandi memulai. “Menurut laporan dari para Petugas Kemasyarakatan Istana, gempa ini sudah banyak menimbulkan korban dan tidak sedikit pula warga yang kesulitan karena tidak bisa menjalankan kegiatan mereka dengan tenang.”
“Rena sudah mengumumkan pada bencana ketiga bahwa gempa ini terjadi secara berkala,” kata Endan. “Selama dua hari, bukankah begitu?”
“Benar, Baginda,” Istandi melanjutkan. “Seperti yang sudah diketahui, gempa memang terjadi dua hari sekali. Namun, Petinggi Rena juga tidak bisa memastikan waktu terjadinya gempa. Bisa siang, bisa malam, atau pun pagi. Beberapa warga juga membelot sehingga menimbulkan korban jiwa ketika gempa terjadi.”
“Bagaimana kabar tempat – tempat pengungsian?”
“Tentang tempat pengungsian…” Istandi terlihat ragu. “Banyak warga yang tidak patuh aturan karena mereka tidak nyaman di situs – situs tersebut. Beberapa dari mereka berkata bahwa mereka tidak nyaman jika harus memenuhi satu ruangan yang dipenuhi warga yang diungsikan. Apalagi, setelah mereka tahu bahwa gempa terjadi setiap dua hari sekali, mereka mencari celah untuk melanggar aturan. Alasannya adalah bahwa mereka tidak suka bepergian kesana – kemari ke tempat pengungsian.
“Beberapa rumah mereka ada yang tidak roboh karena bencana ini, sehingga mereka lebih percaya diri untuk tinggal di rumah mereka sendiri daripada tinggal di situs – situs pengungsian di mana mereka akan merasa tidak nyaman. Selain itu, mereka juga enggan meninggalkan rumah mereka karena, seperti yang sudah saya sampaikan, tempat – tempat pengungsian yang kami buat juga jauh dari tempat kerja mereka.”
“Apakah mereka masih tidak mengerti bahwa seluruh kegiatan seharusnya diliburkan?”
“Pengumuman resmi tentang kebijakan itu sudah tersampaikan. Tuan Rowan juga sudah memberi perintah untuk menutup paksa segala jenis aktivitas kerja.
“Namun, beberapa oknum warga masih mengadakan kegiatan untuk memperlancar bisnis mereka. beberapa pegawai kantoran pun masih bekerja dengan iming – iming pemasukan tinggi karena mereka tidak betah dengan hanya menerima bahan makanan pokok dari istana dan tinggal di pengungsian.”
“Begitu, ya?” Endan menghela cemas. “Mengapa mereka tidak menghargai hidup mereka sendiri?”
“Baginda…” Istandi mengangguk seolah merasakan apa yang dipikirkan Endan. “Apa yang harus kita lakukan?”
Endan terdiam sejenak sambil kembali memandangi pemukiman sambil memikirkan jawaban atas pertanyaan Istandi. Permasalahan ini cukup pelik. Bencana seperti ini belum pernah terjadi di Kastala. Apalagi, tidak semua warga mau mengikuti aturan yang telah diterapkan.
Istandi melihat Raja Endan termangu. Mungkin ini saatnya ia menyampaikan tentang apa yang baru saja terjadi. Sang Petinggi menambahkan, “Ada lagi, Baginda…”
“Ya?”
“Baru saja, ada tiga orang warga yang sangat ingin menemui anda, sampai – sampai mereka menyusup ke bagian dalam istana,” ujar Istandi. Kemudian, ia memelankan suaranya, “namun sudah dibereskan oleh Petinggi Rowan dan Rena.”
“Sudah kuduga,” kata Endan. “Mereka akan melakukan itu. Masalah ini tidaklah pelik. Namun aku sendiri juga masih belum bisa meraba – raba tentang kejadian ganjil ini.”
Setelah menenangkan diri, akhirnya Endan berujar, “Istandi, aku ingin mengetahui lebih tentang ini. Kita akan mengadakan rapat tertutup satu jam lagi. Panggil Hikin Sang Pixi! suruh dia untuk mengajak seluruh anggota Tujuh Petinggi, kau termasuk. Aku akan mengajak Ratu Sofia dalam rapat ini.”
“Baiklah, Baginda.” Istandi mengangguk. Kemudian, ia segera pamit dan pergi meninggalkan Sang Raja untuk memanggil Hikin.
Endan memandang pemukiman warga ke sekian kalinya. Ia berharap agar setelah ia mengetahui seluruh maklumat dan mengadakan diskusi dengan para petinggi istana tentang permasalahan ini, ia bisa langsung bertindak.
Sang Raja langsung berbalik untuk memanggil Ratu Sofia dan bersiap untuk mengadakan rapat tertutup.