SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Jiwa Ksatria

Jiwa Ksatria

Alas Roban Ini adalah season ke 2, lanjutan dari "Badai Di Gunung Ciremai"

Pertengahan hari dari awal bulan pertama, terlihat suasana yang tidak biasa di Alas Roban, ada pertemuan keluarga yang sudah Tiga tahun ini tidak pernah terjadi.

Tubagus Wiraguna dan Nyai Ambarukmo menyambangi Alas Roban tempat dimana Wiratama beserta keluarganya berada, mereka di sambut langsung oleh Wiratama dan Putri Retno Ningsih

Ada yang sangat berbeda dari penampilan yang di tunjukan Putri Retno Ningsih.

Ia kini di tidak di balut dengan pakaian yang mewah dan selalu menjaga sikap layaknya seorang Putri Panglima Utama Mataram.

Istri dari Wiratama tersebut kini mengenakan pakaian ringkas layaknya seorang pendekar wanita, sederhana dan sangat bersahaja. Senyumnya selalu mengembang di bibir menandakan kebahagian selalu bersamanya.

"Aissh...Kakang Wiraguna! lama tidak bersua, angin apa yang membuatmu datang ke hutan kami?" Wiratama dan Putri Retno menyambut kedatangan Tubagus Wiraguna dan Nyai Ambarukmo.

Wiratama kemudian memeluk saudara seperguruannya dengan hangat dan membawa ke pendopo mereka di tengah-tengah Hutan Alas Roban.

Makanan-makanan tersaji, percakapan yang hangat terdengar dari mulut mereka menandakan kerinduan yang mereka alami.

"Gusti Putri, kami menyampaikan salam kerinduan dari Gusti Panglima Utama kami, beliau selalu berharap kedatanganmu untuk membesuknya!"

Putri Retno Ningsih menganggukan kepala dan tersenyum, "Kerinduan romo pasti tidak akan ada habisnya, baru saja dua purnama yang lalu kami mengunjungi beliau bersama Kangmas Wiratama, sayang kami tidak menjumpaimu Ki Sampang!"

"Oh..ya, mohon maaf Gusti Putri, saat itu aku sedang bertugas ke daerah Kertosono sehingga tidak dapat menjumpaimu dengan Dimas Wiratama."

"Tidak mengapa Ki Sampang, kami memaklumi tugas-tugasmu sebagai pimpinan dari Pasukan Bayangan sangatlah tidak mudah!"

Setelah mereka bercakap lama melepas kerinduan, keesok harinya Wiratama menanyakan maksud dan tujuan dari Ki Sampang mengunjunginya, "Kakang, jika aku tidak keliru, pastinya ada tujuan lain selain kalian ingin melepas kerinduan kepada kami?"

"Ha..Ha..Ha, batinmu sekarang lebih lunuwih Dimas! weru sadurunge winarah!" apakah tebakanmu bisa di lanjutkan Dimas?" Tubagus Wiraguna alias Ki Sampang tersenyum penuh arti.

Wiratamapun membalas dengan senyuman, "tidak Kakang, kau harus menyatakannya secara gamblang, aku tidak seperti yang kau kira bisa mengetahui apa yang akan terjadi!"

"Dimas Wira, seperti yang telah kau ketahui, Kerajaan Mataram sekarang ini adalah sebuah kerajaan besar, Susuhunan berniat memperluas wilayahnya ke daerah Priangan, tetapi engkaupun tahu, aku berasal dari mana, tidak mungkin aku berdiam diri sedangkan tanah air yang ku cintai akan menjadi daerah kekuasaan kerajaan yang lain!"

Wiratama mendengarkan dengan penuh antusias dan tidak mengatakan apapun, karena ia tahu, posisi Ki Sampang atau Tubagus Wiraguna dalam situasi dilema.

"Aku meminta izin kepadamu Dimas, untuk meminta pertolongan Wirayudha menyampaikan hal ini kepada para pimpinan yang berada di Priangan, sementara aku tetap tinggal di Mataram, berusaha mencegah peperangan ini supaya tidak terjadi!"

"Dimas Wira, saat ini Mataram benar-benar telah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pajang dan sudah menguasai Demak, Pasuruan, Tuban dan Madiun dan masih berusaha untuk menguasai daerah lebih ke timur seperti Madura dan Surabaya. Untuk menguasai daerah Priangan sepertinya masih membutuhkan waktu yang lebih lama lagi, tetapi semuanya pasti akan terjadi!"

"Hmm...Maafkan aku Kakang, aku sendiripun telah berlepas diri dari segala kehidupan politik kerajaan dan tidak ingin mencampurinya lagi!" Wiratama berusaha berpikir keras dalam menimbang keputusan, apakah mengizinkan Wirayudha atau tidak untuk memenuhi permintaan dari Tubagus Wiraguna.

Setelah merenung sekian lama, akhirnya Wiratama mengajukan pertanyaan "Kakang, apakah kau tidak merasa keliru meminta Wirayudha yang akan melaksanakan tugas ini? Wirayudha masih seorang pemuda yang belum dewasa dan belum mempunyai pengalaman! apa yang menjadi alasanmu Kakang?"

"Dimas, Aku mengenalmu bukan baru kemarin sore, pastinya kau mengetahui niatku pasti jauh dari muslihat, dan aku sudah menganggap putramu seperti putraku sendiri, Sebelumnya aku tidak pernah berpikir sejauh ini, tetapi hari-hariku kemarin merasa terganggu dan cemas, ketika aku melakukan Pati geni selama sepekan, aku mendapatkan petunjuk akan terjadi Konflik antara Sumedang larang dengan Kesultanan Cirebon, aku tidak mengetahui dengan pasti apa yang menjadi penyebabnya."

"Sedikit yang aku ketahui, mungkin ini ada hubungannya dengan Pangeran Geusan Ulun yang pernah tinggal di kerajaan Pajang untuk menuntut ilmu!"

Wiratama mendengarkan seluruh keterangan dari Tubagus Wiraguna dan menjadi pendengar yang setia. Setelah Ki Sampang selesai bercerita akhirnya Wiratama berbicara menanggapi, "Kakang, aku tidak ingin Putraku terlibat dalam kecamuk permasalahan pemerintahan! apalagi ini menyangkut Kerajaan di luar daerah kita!"

"Aku juga merasa yakin Kakang! Panembahan Ratu yang memimpin Kesultanan Cirebon saat ini adalah seorang waskita, beliau pasti akan bisa menyelesaikannya dengan bijak jika ada kekacauan yang terjadi!"

"Benar Dimas, aku tidak meminta Wirayudha untuk ikut campur terlalu jauh, hanya sebagai pengingat kepada orang-orang yang berada di daerah Priangan agar mereka waspada terhadap peristiwa yang akan terjadi!"

"Kakang, aku mengerti maksudmu, Wirayudha tidak secara langsung menjadi duta kepada pemerintahan di sana, Kau hanya ingin menunjukan kepada kaum persilatan di Tatar Sunda agar tidak meremehkan kemampuan orang-orang tengah seperti kita, dengan sendirinya mereka akan waspada dan selanjutnya meningkatkan kemampuan olah kanuragan dan olah yudha mereka, bukan begitu Kakang?"

Ki Sampang menganggukan kepala tanda menyetujui apa yang di utarakan oleh Wiratama, "Tidak percuma kau pernah menjadi seorang Senopati Dimas! pemikiranmu hebat dan sangat jauh ke depan."

Sebelum mereka melanjutkan pembicaraan, Nini Sangga Geni masuk ke ruangan, "Maaf aku baru datang dan menguping pembicaraan kalian!"

Ki Sampang dan Nyai Ambarukmo bangun menyambut kehadiran Nini Sangga Geni, "Ah...Nini senang sekali kami bisa menjumpaimu, bergabunglah bersama kami!" terdengar suara Nyai Ambarukmo yang sedari tadi diam tidak mencampuri pembicaraan antara Ki Sampang dan Wiratama.

"He...He..He, Nyai sepertinya kau jenuh hanya menjadi pendengar pembicaraan kaum laki-laki tadi, marilah kita mencari tempat lain untuk kita berbincang!" Nini Sangga Geni mengajak Nyai Ambarukmo dan Putri Retno untuk keluar.

Ki Sampang hanya menggelengkan kepala melihat itu semua, "aku kira kau akan bergabung bersama kami melanjutkan pembicaraan tadi Nini!"

"Tidak Ki Sampang, yang harus kau ajak bergabung seharusnya Wirayudha! sebentar lagi mungkin ia akan menyusul kesini!"

"Baiklah Nini, kau nanti harus bergabung bersama jika sudah ada kesepakatan di antara pembicaraan kami!"

Kemudian Tiga wanita berbeda generasi tadi keluar untuk mencari tempat untuk bersua mereka.

Tidak lama kemudian terlihat pemuda dengan postur tinggi berambut panjang yang terkepang kuda berjalan mendekat, "Salam Hormat Aki beserta Nyai, Semoga kesehatan dan keselamatan selalu menaungi kalian berdua, paras rupawan itu menjura memberi hormat kepada Ki Sampang dan Nyai Ambarukmo.

Wirayudha Dalam Misi

Paras Wirayudha memang rupawan, tingginya melebihi Wiratama, sorot mata tajam dan garis wajahnya yang kuat membuatnya terlihat gagah, rambut panjang yang hitam hanya ia ikat di belakang dengan sederhana, itupun tanpa tali atau kain, hanya terikat dengan jalinan rambut dari sisi kanan dan kirinya.

Wajah pemuda itu terlihat tenang menandakan telah tertempa oleh segala macam rintangan dalam kehidupannya.

Ki Sampang yang berdiri menatapnya saja merasa terpana, "Wirayudha, darah Mataram membuatmu terlihat gagah, tetapi darah Priangan membuatmu menjadi rupawan, aaish...berapa puluh anak gadis yang akan jatuh cinta padamu nanti!"

Wirayudha hanya tersenyum mendapat sanjungan dari Ki Sampang.

Nyai Ambarukmo yang tadi sudah mau beranjak pergi karena ajakan Nini Sangga Geni dan Putri Retno, berdiri mematung saat melihat dan mendengar sapaan Wirayudha.

"Hei..Anakku, benar apa yang di katakan Kakang Wiraguna, kau sangat rupawan, aku yang uzur saja terpesona olehmu!" Nyai Ambarukmo ikut menyanjung paras Wirayudha.

"Ah..Nyai, kau jadinya ikut-ikutan seperti Ki Sampang menggodaku, berhentilah menggodaku!"

"Ternyata kau belum terbiasa dengan sanjungan, berkelanalah kau nanti keluar dari Alas Roban, kau baru akan tahu, banyak gadis-gadis akan memberikan senyuman kepadamu, Hik...Hik..Hik!" setelah bertegur sapa dengan Wirayudha akhirnya Nyai Ambarukmo kemudian benar-benar beranjak dari pendopo mengikuti langkah Nini Sangga Geni.

Wirayudha pun akhirnya duduk begabung bersama Ki Sampang dan ayahnya, mereka mengulang kembali pembicaraan tujuan dari Ki Sampang datang ke Alas Roban

"Begitulah Wira, aku telah bicara banyak dengan ayahmu, berharap pertolongan darimu untuk mencegah sesuatu yang akan terjadi nanti, memang dalam wangsit yang ku dapat, peperangan di wilayah tatar sunda tetap akan berkobar, tetapi menurutku kita tidak harus berpangku tangan dan tidak berbuat apapun, ini adalah misi pribadiku bukan tugas dari kerajaan Mataram, bagaimanakah menurutmu?"

Wiratama kemudian menambahkan "Aku tahu Ngger, sebenarnya kau mempunyai ikatan batin dengan tatar sunda, karena kau pun terlahir di sana, selain kau melaksanakan permintaan Ki Sampang, menurutku di sana adalah negeri yang damai dan sesuai jika kau ingin menambah pengalaman dan ilmu, baik itu ilmu pengetahuan ataupun ilmu Kanuragan."

Wirayudha termenung saat mendengar penuturan ayahnya, pikirannya kembali melayang ke masa lalu. Masa kanak-kanak di daerah tataran sunda, tepatnya di pedukuhan Jalaksana.

Terbayang wajah Saraswati ibunya, pelukannya hangat, tutur katanya lembut dan belaiannya sangat membuai, sehingga ia mudah terlelap jika dalam pelukan, setiap rengekannya tidak membuat ibunya marah, kelelahan akibat meracik obat setiap pagi sampai siang tidak menjadikan ibunya lalai dalam merawatnya.

Wirayudha semakin tenggelam dalam lamunan, kelembutan tangan ibunya serasa masih membelai kulit wajah dan rambutnya.

"Wira!....Sebuah teguran halus keluar dari Wiratama di tujukan kepada Wirayudha.

"Akh..Iya Romo, maaf...Aa...aku teringat Ibunda Saraswati!"

"Wira, saat ini kau telah menjadi pemuda kebanggaan romo, romo berharap kau bisa semakin dewasa dan tidak mudah hanyut ke dalam kedukaan, mengingat masa lalu bukan untuk di sesali kemudian terbenam dalam duka nestapa, tetapi pengalaman masa lalu seharusnya bisa untuk menjadi bekalmu saat menatap masa depan, untuk itu romo putuskan, kau memang harus mengelana untuk menempa dirimu agar menjadi laki-laki sejati!"

"Baik romo, aku patuh terhadap perintah romo! suara Wirayudha terdengar tanpa ragu.

Ki Sampang menatap dan mendengarkan pembicaraan ayah dan anak tersebut, hatinya ikut merasa tergetar dan kagum, melihat jiwa-jiwa Ksatria nampak di depannya.

Kakang Wiraguna, aku minta kepadamu! sebelum putraku berangkat, berikanlah bekal pengetahuan yang cukup untuk dirinya!"

"Baik Dimas, aku mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada kalian berdua karena telah memenuhi permohonanku!" Ki Sampang berdiri dan menjura dalam-dalam kepada mereka berdua.

Keesok harinya Wirayudha mulai di bekali dengan segala pengetahuan tentang Tanah Sunda, mulai dari budaya, sikap perilaku penduduk dan sistem pemerintahan yang berlaku di sana.

Hampir sepekan Ki Sampang menjelaskan itu semua, sampai dengan Kanuragan ataupun senjata yang banyak di gunakanpun oleh umumnya para pendekar tanah sunda semua di jelaskan oleh Ki Sampang.

"Wira, pengetahuan ini memang seharusnya kau perlu tahu, jangan kau anggap semua ini hanya sekedar untuk persiapan menghadapi aral rintangan di sana, tetapi lebih dari itu semua, dengan pengerahuan ini, aku berharap kau dapat mengenal dan mencintai tanah kelahiranmu, karena darahmu pun sebagaian adalah darah Priangan, mohon kau dapat memahami semua yang ku jelaskan kepadamu!"

"Aku memahaminya Ki, karena aku juga sadar, aku tidak bisa di pisahkan dengan tanah kelahiran dari orangtuaku yang berasal dari tatar sunda!"

"Wira, tujuanmu nanti adalah Sumedang Larang, karena sebenarnya kerajaan Sumedang Laranglah yang banyak mewarisi semua kandega dari tahta Kerajaan Padjajaran di banding kerajaan lain yang berdiri di sana, kau di sana nanti hanya perlu menjadi seorang yang rendah hati tetapi tidak sampai mengorbankan harga dirimu, karena dari auramu aku yakin kau masih garis keturunan salah satu Ksatria Padjajaran."

"Untuk membuatmu semakin yakin, cobalah menyelidiki dari mana garis keturunan Ibumu, karena aku sangsi terhadap cerita dari ayahmu yang mengatakan, jika ibumu hanya putri seorang tabib di Jalaksana."

"Terimakasih Ki, sudah memberikan pengetahuan yang sangat penting untuk perjalanan kehidupanku nanti ke depan."

"Tidak perlu kau merasa sungkan Wira! ini sudah menjadi kewajibanku selaku yang mempunyai kepentingan!"

Malam semakin larut, cuaca dingin menyelimuti Alas Roban, membuat semua tertidur semakin lelap, tetapi tidak untuk Ki Sampang dan Wirayudha. Esok pagi adalah waktunya Wirayudha untuk berangkat.

Malam itu keduanya masih terlibat obrolan yang semakin serius, saat Rembulan akan mulai tergelincir, Ki Sampang mengeluarkan sepasang Mustika yang berbentuk batu yang memancarkan cahaya putih, "Wira, aku tidak meragukan kemampuan Kanuraganmu, tetapi izinkan aku memberikan sebuah bekal benda pusaka yaitu "Mustika Macan Kembar", setelah Mustika ini ada padamu, akan ada khodam Macan putih yang akan selalu mendampingimu berkelana, jika nanti kau berhadapan dengan salah satu pewaris ilmu Macan Lodaya, kau tidak perlu takut, karena jika Macan kembar putih menampakan wujudnya, kau akan di anggap sebagai salah satu saudara dari mereka! bersiaplah Wira!"

Wirayudha kemudian bersiap dengan duduk bersila, matanya terpejam dengan kedua tangan barpangku di kedua kakinya yang bersila.

Ki Sampang mengeluarkan Mustika Macan Kembar, Mantera Aji mulai terdengar sayup-sayup, sepasang batu Mustika semakin kuat cahayanya. "Grrrh.....Grrhhhh...Terdengar geraman suara Harimau, sepasang Macan kembar menampakan wujudnya di depan Wirayudha.

"Hiaath...Deshh...Deshhh!" dari kedua tangan Ki Sampang melesat dua cahaya menuju dada Wirayudha..."Heeegh!"

Tubuh Wirayudha terdorong ke belakang satu depa, terlihat cahaya itu masuk ke dalam dadanya, semakin lama cahaya itu semakin redup bersama hilangnya kedua ekor Harimau putih yang tadi berdiri di depan Wirayudha.

"Bukalah matamu Wira! kini kau telah bersatu dengan Aji Macan kembar, yang setiap saat akan datang saat di butuhkan.

Wirayudha membuka kedua kelopak matanya, "terimakasih Ki!"