SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Talak Di Malam Pertama (Kesucian Yang Diragukan)

Talak Di Malam Pertama (Kesucian Yang Diragukan)

1 : Tudingan Di Malam Pertama

Merupakan bagian dari novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga. Ini kisah mas Aidan.

🌿🌿🌿

Pernikahan Arimbi dan Ilham berlangsung sederhana. Mereka melakukan ijab kabul di KUA dihadiri oleh pihak keluarga Arimbi juga beberapa tetangga. Pernikahan tersebut tak sampai memiliki pesta bahkan sekadar syukuran. Arimbi sempat meminta agar mereka melakukan syukuran karena semacam syukuran pernikahan, ibarat ungkapan dari rasa syukur mereka kepada Sang Pemilik Kehidupan. Namun, Ilham berdalih akan melakukannya di pesantren tempat Ilham bernaung. Tentu Arimbi menurut dan wanita itu tak mungkin menuntut karena memang ternyata Ilham sudah menyiapkan semuanya.

Termasuk juga ketika Ilham meninggalkannya di rumah, tapi tak kunjung kembali hingga malamnya. Arimbi masih menunggu sang suami pulang, di rumah berdinding bilik milik sang mamak, sambil menyiapkan sayuran untuk bahan pecel jualannya besok.

“Mbi, Ilham belum pulang juga? Sudah mau pukul sebelas malam, loh,” ucap ibu Warisem selaku mamahnya Arimbi.

Wanita bertubuh kurus kecil dan jalannya sudah tongkok, menyarankan kepada Arimbi untuk segera menyusul Ilham ke rumah orang tuanya. Jarak rumah mereka memang dekat karena mereka masih bertetangga. Tak ada lima menit, hanya jalan kaki sudah sampai.

“Takutnya dia sakit apa gimana. Selama ini kan dia sibuk di pondok. Takutnya memang dia sakit, tapi enggak cerita ke kamu karena dia enggak mau kamu khawatir,” lanjut ibu Warisem.

“Sebentar kalau begitu Bu, aku beresin ini dulu.” Arimbi berniat membereskan sisa pekerjaannya yang tinggal sedikit, tapi sang ibu langsung mengambil alih.

“Itu biar Ibu yang beresin. Tapi, kamu berani enggak pergi ke rumah Ilham sendiri?” tanya ibu Warisem.

Karena selain rumah mereka ada di belakang rumah para tetangga dan memang jauh dari jalan utama, jalan setapak menuju rumah mereka selalu becek sekaligus licin, apalagi jika di musim hujan layaknya sekarang. Kendati demikian, Arimbi tetap pergi menyusul sang suami dengan berjalan kaki.

Arimbi mengandalkan senter di ponselnya sebagai sumber penerangan lantaran suasana di sana benar-benar gelap. Karena selain waktu yang sudah larut, sebagian lampu luar di rumah tetangga juga sudah dimatikan.

Sambil berlindung di bawah payung mengingat kini hujan ringan masih berlangsung, akhirnya Arimbi sampai di depan rumah orang tua Ilham. Berbeda dengan rumah orang tua Arimbi, rumah orang tua Ilham letaknya menghadap jalan utama di perkampungan mereka tinggal. Namun jika dari depan sana, rumah orang tua Arimbi masih terlihat.

Tak beda dengan rumah tetangga, rumah orang tua Ilham juga sudah gelap gulita. Tak ada lampu yang dinyalakan termasuk itu lampu di teras rumah semi permanen berukuran minimalis itu.

Arimbi berniat mengirimi sang suami pesan WA, walau lima pesan WA sebelumnya belum pria itu baca apalagi balas.

Arimbi : Mas, ... Mas di mana? Mas baik-baik saja, kan? Kok pesan aku belum ada yang dibaca apalagi balas?

Padahal lumrahnya, sebagai pengantin baru, Ilham tak mendadak meninggalkannya tanpa kabar kecuali karena hal mendesak dan membuat pria itu terpaksa melakukannya. Terlebih kini, ... kini merupakan malam pertama mereka dan sudah sewajarnya mereka bersama.

Kendati demikian, Arimbi sama sekali tidak curiga apalagi berpikir buruk kepada sikap Ilham. Apalagi selain mereka bertetangga, mereka juga sudah berpacaran lama. Hubungan mereka sudah terjalin sejak kelas delapan SMP, dan semua tetangga sudah tahu juga. Terhitung sudah sebelas tahun hubungan mereka berlangsung. Tentunya, kenyataan Ilham yang juga sudah menjadi Gus muda sekaligus paham agama, membuat Arimbi selalu percaya. Tak mungkin Ilham tega apalagi sampai menyakitinya, pikir Arimbi.

Lima belas menit menunggu dan pesan juga tak kunjung dibalas, Arimbi memutuskan untuk menelepon Ilham. Alhamdullah, kali ini walau baru sambungan awal, ia sudah langsung mendapatkan balasan. Suara berat Ilham khas pria itu baru bangun tidur, menyapa pendengarannya dengan nada jengkel.

“Kamu ngapain, sih, sudah malam masih telepon?”

“Assalamualaikim, Mas?” Arimbi tetap menyapa walau sebelumnya, Ilham yang tak sampai menyapanya lewat salam wajib tersebut, sudah mengomel.

“Waalaikum salam!”

“Mas di mana? Kok aku WA, enggak dibalas-balas? Aku khawatir.”

“Aku di rumah orang tuaku. Aku sudah tidur, capek banget. Kamu ngapain jam segini masih telepon-telepon?”

Namun, pertanyaan ketus yang kembali terulang tersebut membuat Arimbi merasa perlu mengingatkan, bahwa dirinya memiliki alasan menelepon Ilham malam-malam, apalagi pria itu pergi tanpa kabar. “Aku kan istri Mas. Wajar kalau aku khawatir dan sampai cari Mas. Belum lagi seharian ini, sejak pagi kita beres ijab kabul, Mas enggak ada kabar.”

“Hufft!” Dari sebelah, Ilham tidak lagi membalas, tapi pria itu kerap menghela napas kasar, menegaskan Ilham masih kesal.

“Mas, aku sudah di depan pintu rumah orang tua Mas.” Tak lama setelah mengatakan itu, akhirnya Arimbi mendapati Ilham.

Ilham yang memakai sarung dipadukan kaus lengan pendek polos warna putih dan agak kedodoran, langsung melengos ketika tangan kanannya disalami dengan sangat takzim oleh wanita berhijab kuning dan memakai piama lengan panjang warna serupa di hadapannya.

Ada yang menyita perhatian Arimbi, di dalam ruang tamu yang juga menjadi ruang keluarga di sana. Di sana dihiasi banyak baki seserahan khas pernikahan, padahal pagi ini saat ijab kabul, Ilham hanya menjadikan uang dua ratus ribu sebagai emas kawin, benar-benar tanpa yang lain termasuk itu seperangkat alat salat atau malah cincin, dan biasanya menjadi simbol pengikat hubungan.

“Mbi, aku mau ngomong serius!” sergah Ilham.

Arimbi langsung mengangguk-angguk. Ia hendak masuk rumah yang selama ini selalu ia urus, meski baru per pagi ini, ia resmi menjadi menantu di rumah bercat putih itu. Namun, Ilham tak mengizinkannya masuk. Pria itu melakukan gerakan melarangnya masuk, tapi juga terlihat jelas tak sudi menyentuhnya.

“Mas kenapa, sih?” tanya Arimbi sembari menengadah dan menatap pria berdada terbilang bidang, di hadapannya.

“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji. Ilham tampak jelas tidak sudi untuk sekadar menatap Arimbi.

“Loh, maksud Mas bilang begitu apa? Memangnya salah aku apa, Mas?” Jantung Arimbi sudah berdetak tak karuan. Ucapan sang suami barusan tak ubahnya petir di siang bolong untuknya dan memang sudah langsung berhasil menggosongkan hati sekaligus kehidupannya.

“Kamu masih pura-pura enggak tahu salah kamu apa? Dikiranya aku enggak tahu kelakuanmu di belakangku? Saat kamu kerja di Singapura maupun di tempat majikanmu yang lain ...?” sergah Ilham mengomel tapi dengan suara yang sengaja ditahan.

Arimbi yang mendengarnya langsung menggeleng tegas. “Aku enggak ngerti maksud Mas. Aku enggak ngerti jalan pikir Mas, kenapa Mas mendadak begini, padahal sebelum nikah, kita sama-sama sepakat buat cari modal kehidupan agar kehidupan kita jadi lebih baik. Aku jadi TKW ke Singapura dan kerja di tempat lain pun, semua uang murni buat biaya kuliah Mas. Mas sampai jadi sarjana, Mas mondok di pesantren ternama dan sampai jadi Gus, belum buat biaya hidup termasuk biaya pengobatan orang tua Mas, ... semuanya beneran ada bukti nyatanya, Mas. Jadi Mas jangan seenaknya nuduh, dong!”

“Kalau aku tahu itu uang harammm, aku juga enggak sudi pakai uang kamu, Mbi!” sergah Ilham makin emosional.

“Hah ...? Uang haram?” Arimbi sudah langsung menangis. Hatinya langsung remuk redam mendengarnya.

“Ya!” Ilham mengangguk-angguk membenarkan apa yang baru saja Arimbi ucap dan jelas tengah wanita itu pastikan kepadanya.

“Kamu sudah terbiasa ‘dipakai’ bos kamu, kan? Kamu sudah enggak perawan, dan sekarang kamu sedang hamil, makanya kamu mau-mau saja aku nikahi tanpa syukuran apalagi resepsi?”

“Lihat, ... dari bentuk tubuh kamu yang jadi melar apalagi perut kamu yang busung begitu saja sudah kelihatan, kalau kamu lagi hamil gara-gara kebiasaan maksiat kamu!”

Kedua kaki Arimbi sudah langsung gemetaran lemas mendengar tudingan tersebut. Namun, sejak dua bulan terakhir setelah ia kerap mengonsumsi obat gatal, berat badannya memang naik drastis. Tentunya, ia tidak sedang hamil terlebih tudingan yang Ilham layangkan tidak pernmenyarankan

2 : Talak

“Alasanku tetap menikahimu meski aku tahu kamu sedang hamil anak laki-laki lain karena memang aku peduli! Aku peduli ke kamu setelah bakti yang kamu lakukan selama ini. Aku ingin melindungi martabat kamu, walau andai aku tahu dari awal bahwa ternyata uang yang kamu berikan kepadaku adalah uang haram,” ucap Ilham masih emosional.

“Cukup, Mas! Berhenti menebarkan fitnah yang hanya akan membuat Mas makin salah kaprah!” tegas Arimbi yang langsung menghapus cepat air matanya menggunakan kedua jemari tangannya.

“Jangan menuduh tanpa bukti. Karena jika menurut Mas, tanda-tanda sudah tidak perawan sekaligus hamil hanya dilihat dengan fisik seperti yang Mas temukan di tubuhku, bagaimana dengan fisik yang lain, di luar sana? Bagaimana jika tanda-tanda itu justru ada di tubuh anak perempuan yang sebelumnya belum pernah mengenal dunia luar?”

“Andai memang di mata Mas aku serendah itu, sudah jangan dilanjutkan!”

“Karena daripada Mas menjadikanku sebagai istri yang haram disentuh, lebih baik Mas talak aku!” tegas Arimbi yang tak mau terluka lebih dalam lagi.

“Tentu!” Ilham langsung mengangguk-angguk di tengah kenyataannya yang masih emosional. “Tentu aku akan menceraikanmu! Buat apa aku mempertahankan bekas banyak laki-laki, jika aku sudah memiliki istri yang suci?!”

“Istri suci?” Arimbi masih menatap tegas pria di hadapannya. Pria yang selama ini menjadi alasannya bertahan sekaligus berjuang menaklukkan kehidupan yang jauh dari kata mudah.

“Ya, Istri suci!” sergah Ilham mengangguk-angguk optimis.

“Asal kamu tahu, sebelum aku pulang kemarin, aku sudah menikahi Aisyah! Kamu tahu siapa Aisyah? Dia anak pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren aku mengabdi! Dia wanita cantik yang juga sangat suci! Wanita yang tentunya sangat pantas dijadikan istri, beda dengan kamu yang rendahan dan mau-maunya saja dipakai sembarangan!” geram Ilham di tengah telunjuk tangan kanannya yang menunjuk-nunjuk wajah Arimbi. “Kami akan menggelar resepsi pernikahan dua hari lagi. Jadi tolong, jaga sikap kamu!”

“Oh, jadi selama ini, Mas selingkuh dengan si wanita suci?” sergah Arimbi tersenyum getir bersama air matanya yang kembali sibuk mengalir. Sebelas tahun mengabdi, dan terakhir selama enam tahun Ia rela bekerja menjadi TKW di negeri orang, bekerja demi mengumpulkan modal membiayai pendidikan Ilham, tapi apa yang ia dapat? Ia dibuang, dianggap murahan dilengkapi fitnah yang begitu kejam!

“Bilang saja kalau ternyata Mas sudah dapat yang lebih dari aku! Bilang tanpa bikin lidah Mas lebih licin dari setrika baru! Lambemu (mulut kamu) kalau ngomong enggak lewat jalan!”

“Percuma Mas sekolah tinggi-tinggi sampai jadi sarjana. Percuma Mas memperdalam agama bahkan jadi guru agama! Percuma Mas merasa lebih berilmu, tapi sekadar memahami kesetiaan bahkan sekadar kejujuran saja, Mas enggak bisa!” Arimbi sungguh ingin mengamuk. “Ilmu dan agamamu hanya kamu jadikan tameng agar kamu mendapatkan kepuasan duniawi yang selama ini belum pernah kamu miliki, Mas!”

“Iya, aku sadar, aku bukan wanita suci,

... aku bukan anak petinggi pondok pesantren apalagi pemilik pesantren. Aku hanya anak janda renta, yang pas kemarin sakit, Mas bilang enggak bisa bantu. Lalu, setelah aku terpaksa meminjam ke orang dan menjadi pembantunya, Mas marah dan Mas bilang aku bikin malu! Dimintai bantuan enggak kasih bahkan sekadar kasih solusi saja enggak sama sekali, tapi giliran sudah kejadian, yang ada Mas cuma marah-marah.”

Setelah terdiam dan menghela napas dalam, Arimbi sengaja berkata, “Namun aku juga ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena sudah menyadarkanku lebih awal, hingga aku enggak jatuh lebih dalam!”

“Kalau kamu memang butuh bukti, nanti pasti akan terungkap semuanya!” tegas Ilham.

“Sekarang! Berikan bukti itu sekarang. Bereskan urusan kita sekarang juga! Jangan lupa, balikin semua uangku yang selama ini kamu pakai! WAJIB!” tegas Arimbi makin emosional. “Panggil orang tua Mas! Panggil pak RT dan juga saksi pernikahan kita! Kembalikan aku ke ibuku karena aku masih punya orang tua!”

“Kamu pikir sekarang jam berapa? Mikir, Mbi! Jam segini minta orang buat jadi saksi!” kecam Ilham.

“Yang harusnya mikir itu Mas! Tahu kejadiannya bakalan begini, tapi Mas tetap nekat! Mas dengan sengaja merusak kehidupanku! Tunggu, aku telepon Mas Agung dulu buat urus ini!”

“Jangan sekarang, Mbi! Tolong pengertiannya, Aisyah saja mau memahami posisiku dan dia izinin aku menikahi kamu ....”

“Mohon maaf, aku bukan Aisyah, jadi jangan samakan kami! Urusan kalian ya urusan kalian, bukan urusanku. Namun urusan Mas dan aku, mohon cepat diselesaikan. Uang yang selama ini Mas pakai dan Mas bilang uang haram juga tolong segera dikembalikan!” kesal Arimbi. Di hadapannya ia dapati, Ilham yang menatapnya dengan kesal. Pria berberewok tipis itu seolah akan menerkamnya hidup-hidup.

“Arimbi Cahyani Putri binti Sanusi, saya talak kamu ....”

“Ucapkan itu di hadapan orang-orang yang akan menjadi saksi nanti!” kesal Arimbi sengaja memotong ucapan Ilham yang terlihat makin murka kepadanya.

“Besok pagi aku janji akan membereskan semua ini. POTONG lidahku kalau aku sampai mengingkari. Jadi biarkan aku menalakmu sekarang juga!” tegas Ilham yang menatap Arimbi penuh kebencian.

“Tunggu!” tahan Arimbi yang langsung menelepon sang kakak. Walau di sambungan ke dua teleponnya baru tersambung, dari seberang Agung sang kakak malah mirip orang linglung.

“Talak bagaimana? Jangan bercanda, Mbi. Sudah malam, kamu istirahat.” Pria yang pagi tadi menjadi wali nikahnya itu menganggap kabar talak yang akan ia terima sebagai lelucon. Arimbi merasa wajar itu terjadi karena selama ini, hubungannya dan Ilham memang baik-baik saja.

“Aku serius, Mas. Besok pagi juga sekitar pukul tujuh, tolong Mas ke sini. Aku ingin semuanya beres,” ucap Arimbi masih meyakinkan.

“Kamu ngomong dong! Kenapa kamu melempem begitu, padahal tadi mulutmu selicin setrika baru?!” Kali ini Arimbi menatap mengejek Ilham.

Penuh emosi, Ilham merebut ponsel Arimbi. “Assalamualaikum, Mas? Maaf malam-malam ganggu.”

“Walaikumsalam, Ham. Ini ada apa, sih?”

Mendengar itu, Ilham melirik sebal Arimbi. “Arimbi hamil anak laki-laki lain dan sekarang dia minta talak, Mas. Jadi sekarang juga saya Ilham Ramdhani, dengan sadar menjatuhkan talak tiga kepada Arimbi Cahyani Putri binti Sanusi ....”

Ilham tetap berbicara panjang lebar. Tak hanya mengenai talak tiga yang langsung pria itu tegaskan, tapi juga sederet fakta yang bagi Arimbi hanya fitnah. Pria itu terus berbicara dengan versi kebenarannya, walau Arimbi sudah berisik sibuk menghentikan. Terakhir, Arimbi nekat menggunakan payung terbilang besarnya yang sengaja ia lipat untuk menghantam tengkuk Ilham sekuat tenaga.

Tak hanya sekali dua kali. Karena meski Ilham sudah tersungkur, Arimbi juga tetap memukuli pria itu menggunakan payungnya sekuat tenaga.

“Ya Alloh, aku enggak terima direndahkan begini. Bisa-bisanya fitnah dari mas Ilham begitu keji. Ibaratnya, Mas Ilham yang sudah jadi orang terpandang bisa dengan begitu mudah mempengaruhi orang. Ibaratnya, sekarang ini aku sedang jadi semut yang berusaha melawan gajah!” batin Arimbi sembari menatap kesal Ilham yang sudah sekarat akibat hantaman payung yang ia lakukan.

“Jujur, aku marah. Aku sangat marah. Aku sudah melakukan semuanya, aku membiayainya jadi sesukses sekarang. Namun dia dengan begitu kejam membuangku bahkan membunuhku hidup-hidup melalui fitnahnya. Kembalikan semua fitnah dan ketidakadilan ini kepadanya ya Alloh!” isak Arimbi. Berlinang air mata ia melangkah pergi sambil tetap menenteng payungnya. Ia tak lagi menggunakan payung tersebut untuk berlindung di bawah hujan yang masih berlangsung. Hujan yang makin lama makin deras.