SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Serangan Balik Dokter Terhebat

Serangan Balik Dokter Terhebat

1 : Tekanan Dari Para Penguasa

“Kak, kamu boleh mengabdikan hidupmu untuk kesehatan orang-orang. Kamu bantu mereka tanpa pandang siapa mereka, agar mereka keluar dari luka yang mereka rasa. Namun, kamu jangan lupa pada kesehatan kamu sendiri. Karena jika kamu sakit, sekadar kesempatan bisa membantu maupun mengobati sesama, tak mungkin bisa kamu dapatkan lagi.”

“Mamah percaya ke kamu, ... jadi sesulit apa pun nanti keadaan kamu, kamu pasti bisa karena kamu anak Mamah!”

Pesan-pesan menyentuh dari sang mamah dan terus terngiang di ingatan seorang Binar, mengiringi setiap langkah wanita cantik berusia 28 tahun itu.

Sebagai dokter baru di salah satu rumah sakit bergengsi yang ada di ibu kota, Binar memang sengaja menyatu dengan keadaan di sana, agar ia bisa menjalankan tugasnya dengan selayaknya. Juga, agar Binar bisa menyalurkan semua kemampuan yang ia miliki dengan semaksimal mungkin.

Binar sengaja berangkat lebih awal guna bisa jauh lebih membantu. Bahkan, kegelapan masih menyelimuti pagi, tapi Binar yang memakai jaket putih kedokteran sekaligus kebanggaannya, sudah menggunakan motor matic-nya untuk segera sampai rumah sakit.

Musim pancaroba yang tengah berlangsung menjadi alasan Binar melakukan semua itu. Karena akibat musim peralihan tersebut, beberapa penyakit yang awalnya dianggap sepele, bisa berdampak fatal. Panas tinggi dan terus naik turun, batuk, flue, muntah, diare, tipes, DBD, itu menjadi yang sedang paling ramai.

Beberapa virus ditemukan di darah maupun sistim pencernaan penderitanya yang kebanyakan masih anak-anak. Selain itu, pasien di rumah sakit memang benar-benar membeludak. Hingga hadirnya Binar di sana sangat membantu, terlebih terlalu banyak pasien yang tidak begitu paham dengan keadaan. Tak semata masalah kesehatan sekaligus penanganannya. Karena semacam proses pendaftaran saja, masih membuat mereka kebingungan. Sebagian dari mereka, termasuk itu mereka yang terlihat ‘berkelas’, masih kerap melakukan kekeliruan di zaman serba penuh kecanggihan yang juga sudah diterapkan di Paradise Hospital, rumah sakit Binar bernaung.

“Dokter Binar ... Dokter Binar ... panggilan itu terdengar sangat memuakan! Jijik aku dengarnya! Sudah, nanti malam langsung eksekusi saja di gudang biasa! Karyawan baru, belum ada satu minggu sudah bertingkah!” ucap dokter Luri, si cantik berambut panjang yang penampilannya mirip artis.

Bersama keempat rekannya yaitu dokter Bagas, dokter Thomas, dokter Anna, dan juga dokter Kristine, dokter Luri mengawasi setiap langkah Binar. Binar yang tak hanya membantu pasien berikut keluarga yang menyertai. Karena pekerja lain termasuk itu pekerja lebih rendah dari status Binar di sana, juga tak luput dari uluran tangan Binar.

Layaknya kini, Binar yang berstatus sebagai dokter baru dan sudah sangat disukai di sana tak segan membersihkan muntahan beberapa bocah, mengelap bangku maupun lantai yang terkena, dan berakhir mengepelnya karena petugas bersih-bersih yang sedang bertugas memang sedang mengepel di ruang depan.

Keadaan di lantai bawah memang ramai, sibuk bahkan terbilang kacau akibat pasien yang membeludak. Hanya saja, dokter Luri dan keempat rekannya yang juga memakai seragam kedokteran dan tengah mengawasi dari lantai atas, sama sekali tidak tersentuh apalagi berniat membantu. Karena yang ada, mereka justru membenci apa yang Binar lakukan dan bagi mereka hanya cari muka. Bagi kelimanya khususnya dokter Luri, Binar terlalu haus pujian. Kelimanya kompak menatap kesal Binar, selain keempat rekan dokter Luri yang juga kompak mengawasi Binar sambil tersenyum menyepelekan.

“Makasih banyak, dokter Binar!” ucapan tulus yang juga terdengar sungkan itu, silih berganti Binar dapatkan dari setiap mereka yang sudah wanita berambut panjang indah itu tolong. Kejadian yang terus mengiringi setiap langkah Binar selama ia ada di rumah sakit besar tempatnya bekerja.

“Alhamdullilah kalau akhirnya aku bisa bermanfaat buat banyak orang. Karena sebaik-baiknya orang, ialah mereka yang bermanfaat untuk orang lain juga,” pikir Binar merasa sangat lega sekaligus bahagia.

Kini sudah malam, dan Binar berniat pulang. Selain jam kerjanya sudah usai sejak tiga jam lalu, keadaan rumah sakit juga sudah sepi. Rumah sakit tak seramai tadi khususnya di pagi hingga malam sekitar pukul tujuh. Binar siap pulang ke rumah saudaranya karena di Jakarta, statusnya memang pendatang. Demi bisa bekerja di rumah sakit besar ia bernaung, Binar memang rela jauh dari keluarganya yang menetap di kampung.

Baru keluar dari ruang kerjanya dan masih dipenuhi dokter yang bertugas, Binar berpapasan dengan dokter Bagas. Pria berwajah bengis itu menatapnya tajam. Namun dengan santun, Binar tersenyum sambil membungkuk, sebagai wujud hormatnya.

Binar pikir, dokter Bagas memiliki urusan lain dan masih berkaitan dengannya, hingga pria itu sampai harus mencengkeram lengan kiri Binar sangat erat, membawanya sesuka pria itu. Binar sampai meringis menahan sakit akibat ulah dokter Bagas. Meski karena kenyataan tersebut juga, Binar jadi berpikir, dirinya telah melakukan kesalahan fatal. Jantung Binar sudah langsung berdetak berkali-lipat lebih kencang dari biasanya.

“Namun kesalahan fatal apa? Memangnya tidak bisa diselesaikan secara baik-baik?” pikir Binar ketika akhirnya mereka sama-sama masuk ke sebuah ruangan dan Binar ketahu merupakan gudang.

Suasana di gudang tidaklah terang, tapi juga tidak benar-benar gelap. Yang membuat Binar terkejut sekaligus tak percaya, dengan keji dokter Bagas juga sampai membantingnya.

“Nih orang kesurupan apa gimana? Ya ampun sakit banget!” batin Binar meringis kesakitan. Napasnya mulai tak karuan, Binar merasa tak baik-baik saja. Karena selain tubuhnya terasa remuk setelah dibanting, napasnya juga mulai sesak.

Setelah Binar awasi, ternyata di sana sudah ada empat senior lainnya. Ada dokter Luri, dokter Anna, dokter Kristine, dan juga dokter Thomas. Namun, sejauh menjadi bagian dari rumah sakit, Binar yakin dirinya tidak pernah membuat masalah, terlebih dengan kelima seniornya termasuk itu dengan dokter Bagas yang beberapa saat lalu tega membantingnya. Meski jika Binar renungi, kelakuan para seniornya itu baginya sangat aneh. Kelakuan yang jauh dari manusiawi, tak menggambarkan status mereka sebagai seorang dokter.

“Namamu BINAR?” ucap dokter Luri berangsur menghampiri Binar. Tak beda dengan dokter Bagas, ia juga menatap Binar bengis. Gayanya mirip seorang penyidik yang tak segan menerkam targetnya andai target tak memberinya balasan sesuai harapan.

“Y—ya, kenapa Dok? Sebenarnya ini ada apa? Kalau memang ada masalah, bisa dijelaskan dengan baik-baik, kan?” balas Binar. Selain masih agak meringkuk di lantai, ia juga masih ngos-ngosan dan berusaha duduk.

Bukannya menjawab, terlebih menjelaskan, dokter Luri malah menggunakan alas sepatu mahal warna hitam ber-heels runcing miliknya untuk menendang wajah Binar. Binar yang awalnya berusaha bangun dan itu baru nyaris bisa duduk, berakhir terbanting di lantai dan kepalanya sampai menghantam lantai. Detik itu juga tawa pecah dari dokter Anna dan dokter Thomas. Sementara dokter Kristine yang penampilannya paling tomboi karena gaya rambutnya saja tak kalah cepak dari kedua dokter laki-laki di sana, hanya tersenyum penuh kemenangan. Senyum yang hanya sedikit menarik sebelah ujung bibirnya.

Sambil membayangkan adegan manis seorang pria bernama Adam kepada Binar, kemudian digantikan adegan pria yang masih sama justru cuek ketika kepada dokter Luri, dokter Luri melanjutkan perundungan kepada Binar yang sekadar bangun saja, belum melakukannya.

Dokter Luri meludahi wajah Binar dan berakhir menjambaknya. Tak peduli meski Binar terus menanyakan kesalahannya, menuntut keadilan kenapa wanita muda nan cantik itu justru dihakimi layaknya sekarang. Sampai detik ini, dokter Luri masih menjadi pelaku utama, sementara sisanya ibarat tim hore yang memeriahkan keadaan.

“Apa salahku? Aku tidak terima jika diperlakukan begini! Aku satu, kalian lima! Kalian dokter, tapi kenapa kelakuan kalian lebih bobrok dari preman? Kenapa tingkah kalian mirip pembunuh bayaran!” protes Binar. Wajahnya yang terus dihajar, sudah babak belur berdarah-darah.

“Hentikan semua ini! Seseorang tolong aku!” Binar masih berusaha memberontak.

“Berisiiiiiik! Dasar wanita jal-ang!” marah dokter Luri sambil menendang kepala Binar yang sedari awal perundungan tetap meringkuk di lantai, sekuat tenaga.

Kali ini ulah dokter Luri sukses membuat Binar tak bersuara. Dokter baru yang sudah langsung disukai oleh semua penghuni rumah sakit kecuali mereka itu tak lagi bergerak. Hanya napas lemah saja yang membuat dadanya masih agak naik turun, dan itu sangat lemah.

Detik itu juga suasana jadi hening. Semuanya kompak berkode mata di tengah kenyataan bibir mereka yang menahan senyuman. Kemudian, dokter Luri agak jongkok untuk memastikan keadaan Binar. Benar, dokter baru yang diam-diam sangat dicintai Adam, laki-laki yang telah mencuri hati dokter Luri, meski status dokter Luri merupakan kekasih dokter Bagas, sungguh sekarat. Hingga dengan bangga sekaligus sangat bahagia, dokter Luri mengabarkannya. Kabar yang juga sudah langsung menghasilkan tawa pecah dalam kebersamaan mereka.

“Cemen banget! Dari tadi berisik terus, sok jagoan. Eh ujung-ujungnya sekarat juga. Kirain beneran punya banyak nyawa cadangan!” heboh dokter Luri masih memimpin tawa, selain ia yang mau-mau saja dipeluk dokter Bagas dari samping belakang kanan.

Di tengah tawa yang masih pecah dan Binar masih terkapar lemah dengan wajah berdarah-darah, dokter Thomas buru-buru menekan tombol di dinding belakang lemari. Detik itu juga dinding di sana geser. Ada ruang rahasia. Dokter Anna yang paling feminin sekaligus manja langsung kegirangan masuk.

“Mabok lagiiiii!” heboh dokter Anna menguliti wujudnya sendiri.

Karena meski mereka memang dokter, itu hanya untuk ajang menyombongkan diri agar mereka tetap dianggap sebagai penguasa di rumah sakit yang sudah dibangun susah payah oleh orang tua mereka.

***

(Novel ini diikutkan lomba novel wanita kuat, dengan tema : bull-y dan balas dendam. Bukan novel percintaan manis atau malah horor. Sesuai tema 🙏)

2 : Siksaan yang Benar-Benar Keji

Setengah tahun kemudian, di malam penghargaan acara tahunan yang diadakan rumah sakit, kenyataan Binar yang dinobatkan sebagai dokter teladan di acara tahunan rumah sakit mereka bernaung, lagi-lagi mematik amarah dokter Luri dan keempat dokter sahabatnya.

Binar naik panggung dengan perasaan campur aduk. Senang, bangga, bahagia, dan juga takut. Senyum indahnya Binar sebar ke seluruh penjuru acara di ruangan yang masih merupakan bagian dari gedung rumah sakit. Senyum yang akan menjadi spesial ketika ia menatap pria bertubuh tinggi tegap nan gagah yang baru ia tinggalkan.

Adam, dialah pria yang menjadi alasan utama dokter Luri membenci Binar. Meski di sebelahnya selalu ada dokter Bagas yang akan selalu melakukan segalanya asal dokter Luri bahagia, kenyataan tersebut masih belum cukup. Dokter Luri masih sangat dendam kepada Binar karena obsesinya dalam memiliki Adam tanpa mau kehilangan dokter Bagas. Terlebih selain menjadi pasangan yang menemani Binar ke acara tahunan rumah sakit, dokter Luri yang kebetulan duduk di belakang tempat duduk Adam bersama keempat rekannya, sempat mendengar lamaran pribadi Adam kepada Binar.

“Ngapain juga dia sibuk foto Binar? Kenapa dia enggak foto aku saja?!” bengis dokter Luri sambil melirik sebal Adam yang memang sudah langsung sibuk mengabadikan momen Binar naik panggung untuk menerima penghargaan, menggunakan kamera ponsel maupun kamera khusus yang Adam bawa.

Saking kesal dan memang sangat cemburu, dokter Luri menarik paksa tangan kirinya dan awalnya digenggam dokter Bagas. Bukan hanya dokter Bagas yang terkejut karena kenyataan tersebut, tapi juga ketiga rekan di sana. Dokter Thomas dan dokter Anna yang diam-diam saling bergenggam tangan erat meski dokter Kristine selaku calon istri dokter Thomas tengah bersandar manja kepada dokter Thomas, layaknya maling yang tertangkap basah dan buru-buru menjaga jarak.

Yang dokter Bagas tahu, alasan sang kekasih begitu marah dan sampai mengakhiri paksa genggaman tangan mereka karena kemenangan Binar dan harusnya didapatkan oleh dokter Luri. Karenanya dalam hatinya, dokter Bagas refleks bersumpah memberi Binar yang kali ini tampil sangat anggun dengan gaun putih aksen bunga-bunga mawar, pelajaran lebih dari sebelumnya.

Sepanjang Binar melangkah di tengah suasana yang sengaja dibuat agak remang, Binar menyadari ada lima pasang mata yang sudah sangat ingin menerkamnya. “Aku beneran takut, tapi aku enggak boleh takut!” batin Binar.

Dalam hatinya, Binar terus menyemangati dirinya sendiri. Ia yakin, harusnya prestasi yang ia raih meski belum ada satu tahun bergabung di sana, tidak menjadi masalah. Terlebih kini, nyonya Rima dan tak lain merupakan mamah dokter Luri, sudah tersenyum bangga kepadanya.

Sebagai pimpinan tertinggi dan konon merupakan pemegang saham terbesar di Paradise Hospital, nyonya Rima yang statusnya sebagai dokter kawakan, memang didaulat untuk menyerahkan beberapa piala penghargaan.

Selain untuk mengapresiasi kinerja para dokter yang sudah sangat bekerja keras untuk rumah sakit, acara tahunan yang digelar rutin di rumah sakit mereka bernaung memang sengaja diadakan agar lebih memacu kinerja para karyawan. Layaknya apa yang nyonya Rima katakan kepada Binar.

“Ibu dan Paradise Hospital benar-benar bangga punya dokter muda seperti kamu. Masya Allah, jadi ingat zaman masih muda. Duh, jadi merasa sudah tua,” ucap nyonya Rima yang dari tampang masih sangat muda. Ia sengaja basa-basi.

Binar yang sampai berkaca-kaca menerima pujian manis itu segera menggeleng, menepis anggapan lawan bicaranya. “Tua bagaimana, Dok? Kalau yang seperti Dokter Rima saja merasa tua, apa kabar dengan saya yang disebut muda tapi rasa jompo? Dokter masih kelihatan ABG! Sana sini pada iri kok Dokter awet muda banget. Kelihatan kayak kakak adik dengan dokter Luri, kata mereka. Dokter Rima dikira kakaknya dokter Luri!” ucapnya berbisik-bisik sambil memegang piala yang baru ia terima. Di hadapannya, wanita yang sangat mirip dokter Luri langsung tersipu.

Layaknya apa yang Binar katakan, penampilan nyonya Rima memang sangat necis layaknya ABG. Ditambah lagi, nyonya Rima memiliki postur tubuh ideal. Nyonya Rima memiliki tubuh langsing mirip gitar Spanyol. Malahan kalau dibandingkan, dokter Luri kalah jauh mengingat perbedaan usia mereka yang terpaut jauh. Namun sampai detik ini, sebenarnya Binar masih bertanya-tanya. Kenapa setiap laporan perundungan darinya selalu mental? Perundungan ketika dirinya baru bekerja satu minggu di sana, mental hanya karena tidak ada saksi yang melihat. Kemudian, bahkan sampai saat ini, Binar masih kesulitan untuk mengungkap kasus itu.

“Semoga enggak pernah terjadi lagi. Dan semoga meski aku enggak bisa mengungkapnya, mereka bisa dapat hidayah sekaligus balasan setimpal!” batin Binar sembari turun dari panggung penghargaan. Ia tersipu memandangi Adam yang masih sibuk memfotonya menggunakan dua kamera yang berbeda.

“Kamu di sini saja, aku ambil mobil di tempat parkir dulu.” Selain membawakan tas Binar, Adam yang kali ini sengaja memakai kemeja lengan panjang putih, juga sengaja membawakan piala penghargaan milik Binar.

Binar yang ditinggal di depan pintu masuk rumah sakit, melepas kepergian Adam dengan senyuman. Di tengah suasana di sana yang terbilang remang, Binar berangsur mengalihkan perhatian sekaligus kesibukannya ke ponsel di genggaman tangan kanannya. Ia membuka aplikasi insta*ram miliknya, kemudian mengunggah beberapa foto di acara penghargaan beberapa saat lalu.

Bersamaan dengan kaki kanan Adam yang tersandung sebuah batu bata, detik itu juga seseorang membekap Binar dari belakang.

“Bi ...?” lirih Adam refleks mencoba melongok ke lantai atas dirinya meninggalkan Binar karena kini, ia ada di basemen.

Adam buru-buru lari ke mobilnya, sementara Binar yang sudah langsung memiliki firasat buruk, diam-diam menyalakan siaran langsung di ak*u*n inst*ragam miliknya.

“Kembali terulang? Ini parfum dokter Bagas!” batin Binar.

Di tengah detak jantungnya yang sudah langsung kacau, Binar yang lagi-lagi diseret ke gudang rumah sakit dulu dirinya mendapatkan perundungan bersumpah, kali ini pelaku perundungannya tidak bisa meloloskan diri lagi.

Ponsel Binar memang terjatuh ke lantai bersamaan dengan tubuh Binar yang tersungkur setelah didorong sekuat tenaga. Namun siaran langsung di ponsel Binar tetap berlangsung hingga semua suara di sana terekam sempurna.

Benar saja, dengan terang-terangan dokter Bagas melakukan itu kepada Binar. Kepala Binar terasa sangat sakit setelah dahinya menghantam lantai.

Dokter Bagas segera mengunci pintu, sementara dokter Luri segera menghampiri Binar.

“Jangan keganjenan. Jangan sok keren! Enggak usah jadi yang menonjol apalagi sibuk cari muka! Wajah pas-pasan saja masih sok cantik!” murka dokter Luri sembari menendangi perut Binar sekuat tenaga. “Sekali-kali kamu memang harus dibuat buruk rupa, agar kamu enggak sok kecantikan lagi!” tegas Luri yang kemudian mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku jas putih milik dokter Bagas yang memang ia pakai. Ia tersenyum beringas menatap kilau dari ketajaman pisau lipat yang baru ia keluarkan di tengah suasana di sana yang memang remang.

Jantung Binar seolah lepas menyaksikan semua itu. Terlebih dari tampang sekaligus watak seorang dokter Luri, tak ada yang tidak mungkin bagi wanita itu.

Di gudang dulu Binar pernah mengalaminya, kali ini Binar sampai menangis ketakutan. Berulang kali Binar memohon ampun, meminta tolong, tapi pukulan dan siksaan tiada henti membuat kesadarannya mulai berkurang. Puncaknya, kedua lelaki yang ada di sana yaitu dokter Thomas dan dokter Bagas, tak segan melakukan pelecehan kepada Binar. Gaun putih yang membuat penampilan Binar sangat anggun, dilucuti oleh dokter Bagas maupun dokter Thomas dengan sangat beringas.

Sementara Luri tetap berperan layaknya bos, Anna dan Kristine justru tertawa lepas sambil merekam kejadian itu menggunakan kamera ponsel masing-masing.

“Ibl*isssssss! Kalian benar-benar bukan manusia!” jerit Binar dalam hatinya.

Darah segar dari luka khususnya luka di wajah cantik Binar akibat sayatan pisau lipat, sudah menghiasi lantai keramik putih di sana. Namun tak lama kemudian, seseorang menggedor pintu gudang. Detik itu juga kelima orang di sana tersadar, ponsel Binar tengah melakukan siaran langsung dan kepanikan pun tak terelakkan!

Terpopuler