SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Krisan Merah Muda

Krisan Merah Muda

Halaman Pertama

Desember 19xx

Seruni

Sinar mentari pagi terasa begitu hangat di kulitku. Setelah beberapa hari hujan mengguyur bumi tempatku berpijak, aku begitu senang menyambut hari yang cerah ini. Kurentangkan kedua tanganku dan kubiarkan kulit putih bersihku bermandikan cahaya mentari pagi.

Rasanya hangat sekali.

Sayangnya, aku tak bisa berlama-lama menikmati hangatnya sinar mentari ini. Sebuah suara memanggil namaku. "Runi! Sedang apa kamu? Cepat bantu adik-adik kamu bersiap-siap ke sekolah!" teriak Ibu Pertiwi, kepala sekaligus pemilik panti asuhan tempatku tinggal.

Kuayunkan tanganku seperti sedang menyiram air ke tubuhku lalu aku tunjuk sinar matahari di atas. Ibu Pertiwi tersenyum padaku. "Mandi sinar mataharinya nanti saja, ayo, bantu Ibu!"

Aku tersenyum sambil menganggukkan kepalaku. Aku masuk ke dalam kamar adik-adikku. Ada yang sudah memakai seragam sekolah dan ada juga yang masih melamun. Kuberikan jempolku pada adikku yang sudah memakai seragam sekolah dan kucubit hidung yang masih melamun.

"Iya, Kak. Kami mandi!" Dengan malas mereka menuruti permintaanku.

"Kak Runi, tolong kuncir rambutku!"

"Kak Runi, mana kaos kakiku?"

"Kak Runi, mana buku PR-ku?"

Kukerjakan semua dengan senang hati. Tak lupa senyum hangat selalu terukir di wajahku. Aku ikhlas melakukannya karena mereka adalah keluargaku, sesama anak yang dibuang oleh orang tuanya sepertiku.

Namaku Seruni, aku adalah seorang tuna wicara yang dibuang sejak bayi di panti asuhan ini. Aku bisa mendengar namun aku tak bisa bicara layaknya orang lain. Ibu Pertiwi bilang, aku ditinggalkan di depan panti saat aku baru lahir. Hampir saja aku mati kedinginan karena aku tak menangis. Jika saja Ibu Pertiwi tidak memeriksa teras rumah yang bocor, mungkin aku sudah benar-benar mati kedinginan dalam kardus mie instan. Sungguh malang nasibku, orang tuaku sengaja membuangku karena tak mau memiliki anak yang bisu sepertiku. Hanya Ibu Pertiwi yang mau menerimaku.

Ibu Pertiwi mengasuhku dengan penuh kasih, beliau sudah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri. Beliau juga yang mengajarkan sedikit bahasa isyarat padaku. Hal ini membuatku bisa berkomunikasi dengan orang di sekitar meski tanpa kata.

"Runi, kamu sudah menyelesaikan pesanan gantungan kunci dari Ibu Dira?" tanya Ibu Pertiwi setelah aku pulang mengantar adik-adikku ke sekolah.

Aku menganggukkan kepalaku.

"Bagus. Tolong kamu antarkan ya. Jangan lupa uangnya belikan sayur dan tempe." Mata Ibu Pertiwi terlihat sedih. Sepertinya Ibu Pertiwi punya masalah berat sampai menyuruhku membuat banyak gantungan kunci dan menawarkannya pada banyak orang. Sayang, hanya Ibu Dira saja yang mau membeli hasil kerajinan tanganku.

Aku menepuk pelan bahu Ibu Pertiwi seraya mengangkat tanganku lalu menyentuh kening. "Kenapa?"*

"Beberapa waktu belakangan ini, kita kekurangan donatur, Runi. Hidup semakin sulit setelah krisis ekonomi melanda hampir semua negara. Banyak donatur kita yang juga kena imbasnya, perusahaan mereka gulung tikar dan mereka tak sanggup lagi menyumbang untuk panti asuhan ini." Ibu Pertiwi nampak begitu sedih. Wanita hebat nan baik hati tersebut pasti amat memikirkan nasib kami, anak-anak asuhnya.

"Pemasukan kita berkurang banyak. Anak-anak harus tetap bersekolah. Cukup kamu yang putus sekolah dan mengalah demi adik-adikmu. Ibu tak mau ada yang lain, Runi. Entah kapan krisis ini akan berlangsung. Kita tak bisa bertahan hidup hanya mengandalkan uang sumbangan yang semakin sedikit dan hasil penjualan gantungan kunci saja." Ibu Pertiwi mengangkat wajahnya dan menatapku dengan lekat. "Runi, Ibu harus mencari donatur yang baru. Ibu akan pergi beberapa hari. Tolong jaga adik-adik kamu dan berhematlah dengan uang yang kita miliki. Kamu bisa bukan?"

Aku kembali menganggukkan kepalaku. Aku tak boleh manja. Aku sudah 15 tahun. Aku pasti bisa menjaga adik-adikku. Hanya aku anak tertua di panti asuhan ini, teman-teman seumuranku sudah diadopsi sejak kecil. Tak ada yang mau mengadopsi anak yang memiliki keterbasan fisik sepertiku, karena itu aku masih berada di panti asuhan ini.

Ibu Pertiwi pun bersiap-siap. Ia membekali uang untuk kami makan selama beberapa hari. Meski tanpa kata namun aku terus berdoa semoga Ibu Pertiwi bisa mendapat donatur demi kelangsungan hidup kami semua.

****

Sudah dua hari Ibu Pertiwi tak pulang. Aku semakin khawatir karena uang yang tersisa tinggal sedikit. Benar ucapan Ibu Pertiwi, semua bahan makanan harganya naik karena krisis yang melanda seluruh negara di dunia. Bagaimana nasib kami kalau Ibu Pertiwi tak mendapat donatur baru?

Aku sudah membuat banyak gantungan kunci dan kerajinan tangan lain seperti gelang, kalung dan ikat rambut namun tak ada yang mau membeli. Semua orang memilih menghemat uangnya dalam keadaan perekonomian yang sulit seperti saat ini.

Akhirnya Ibu Pertiwi kembali pulang. Aku dan adik-adikku menyambut Ibu angkat kami dengan senyum penuh harap. Sayangnya Ibu Pertiwi pulang dengan tangan kosong. Wajahnya terlihat semakin banyak pikiran.

Aku merasa bersalah karena tak bisa membantu banyak. Yang bisa aku lakukan hanyalah membuat kerajinan tangan yang banyak sampai aku ketiduran. Aku terbangun dan terbatuk-batuk. Aku melihat banyak asap di sekelilingku.

Cepat-cepat aku pergi ke dapur dan melihat dapur kami terbakar. Ya ampun, pasti ini karena aku ketiduran dan lupa mematikan kompor saat memasak air. Aku mengambil air dan menyiram sebagian dapur yang mulai dilahap si jago merah. Usahaku sia-sia. Aku harus membangunkan adik-adikku dan Ibu Pertiwi sekarang.

Aku berlari secepat kilat dan membangunkan mereka semua. Ibu Pertiwi yang baru terbangun panik melihat banyak asap. "Bawa adik-adikmu keluar rumah sekarang!" perintah Ibu Pertiwi.

Aku menuruti perintah Ibu Pertiwi. Kubawa adik-adikku keluar rumah dan meminta mereka berteriak sekencang mungkin untuk memanggil warga. Mendengar teriakan adik-adikku, warga mulai berdatangan. Ibu Pertiwi memeluk kami sambil menatap rumah tempat tinggal kami yang kini sudah terbakar setengahnya.

Ini semua salahku. Andai aku tidak ketiduran, pasti rumah kami akan baik-baik saja. Aku menangis sambil memeluk Ibu Pertiwi yang nampak pasrah menerima takdir buruk kami.

Mobil pemadam kebakaran pun datang namun sayang rumah kami sudah habis terbakar. Warga tak berhasil menyelamatkan rumah kami karena api terus membesar membakar bahan-bahan kerajinan tangan kami.

Aku dan adik-adikku menangis melihat rumah kami hanya sisa puing-puing yang masih menyisakan asap tipis. Saat mentari terbit, kami hanya bisa berpelukan dan menangis dengan tatapan putus asa karena kini kami tak lagi memiliki tempat tinggal.

Ibu Pertiwi yang sejak tadi berusaha menelepon para donatur untuk meminta bantuan kini sibuk berbicara dengan para donatur yang berdatangan. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Semua salahku, kini aku dan adik-adikku tak tahu akan tinggal dimana lagi sekarang.

"Anak-anak, Ibu sudah temukan tempat untuk kalian tinggal," kata Ibu Pertiwi membuat kami kembali memiliki harapan.

"Ada beberapa donatur yang mau mengadopsi kalian. Kalian bisa tinggal di sana dan punya rumah serta keluarga baru," kata Ibu Pertiwi sambil tersenyum terpaksa.

Adik-adikku akan diadopsi? Lalu bagaimana denganku?

"Runi ... Ibu tak bisa mengasuh kalian lagi. Kamu lihat sendiri kalau rumah kita sudah tak ada. Kamu juga tahu kalau Ibu tak punya uang untuk membiayai kalian. Adik-adikmu sebagian ada yang adopsi dan sisanya akan ikut tinggal di panti asuhan milik teman Ibu. Namun ... kamu tak bisa ikut serta. Mereka hanya menerima anak-anak yang masih kecil sedangkan kamu ...." Ibu Pertiwi tak mampu menyelesaikan perkataannya.

Aku tahu Ibu sangat sedih saat mengatakannya. Aku tahu Ibu amat menyayangiku. Aku tahu kalau aku adalah anak yang selalu menyusahkan Ibu. Maafkan Runi, Bu ....

Aku menghapus air mata di wajah Ibu Pertiwi. "Maafkan Ibu. Ibu tak bisa berjuang untuk kamu," kata Ibu Pertiwi dengan suara tercekat.

Aku memeluk Ibu Pertiwi dengan erat dan kami menangis bersama. Saat dilanda putus asa, sebuah tawaran membuat harapanku kembali hadir.

"Runi, kamu mau ikut bekerja tidak dengan sepupu saya? Kerja di restoran katanya. Kamu mau?" tanya Ibu Lina, pedagang sayur keliling langganan kami.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menganggukkan kepalaku.

Ternyata itu adalah awal dari jungkir baliknya duniaku.

****

Seruni

Seruni

Sambil menangis, aku memeluk Ibu Pertiwi yang mengantar kepergianku. Ini adalah perpisahan kami setelah selama 15 tahun aku selalu diasuh Ibu Pertiwi.

"Maafkan Ibu, Runi. Ibu tak bisa mempertahankan kamu di sisi Ibu. Ibu hanya bisa mendoakan agar kamu bisa sukses dan mandiri. Maafkan Ibu ...." Entah sudah berapa kali Ibu Pertiwi meminta maaf padaku.

Aku melambaikan tangan dan naik angkot bersama Ibu Lina yang sudah menungguku. Selamat tinggal, Ibu. Aku janji, jika aku sukses nanti, aku akan datang kembali dan mengajak Ibu Pertiwi tinggal bersamaku.

"Sudah, jangan menangis terus. Nanti mata kamu bengkak, bagaimana bisa bekerja?" kata Ibu Lina setelah angkot yang kami tumpangi sudah memasuki kota. Aku memang terus menangis sejak tadi. Aku sedih berpisah dengan keluargaku namun aku terpaksa. Aku tak mau terus menyusahkan Ibu Pertiwi. Aku harus mandiri dan bisa hidup dari hasil usahaku sendiri.

"Nanti kalau bekerja harus banyak senyum. Sepupu saya bilang, kamu mungkin akan ditempatkan di bagian dapur. Kerja yang benar agar punya gaji yang besar!" nasehat Ibu Lina.

Aku menganggukkan kepalaku seraya menghapus air mataku yang seakan tak mau berhenti mengalir. Kami akhirnya sampai di tempat yang kami ketemuan. Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, akhirnya saudara sepupu Ibu Lina datang.

"Nah, itu Putri sudah datang!" Ibu Lina menunjuk perempuan muda yang baru turun dari sebuah mobil sedan tua. Perempuan bernama Putri itu mengenakan celana jeans dengan kaos berkerah V yang ketat dan menonjolkan lekuk tubuhnya.

"Dia yang mau bekerja?" tanya Putri tanpa basa-basi padaku. Putri menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Masih muda, baguslah. Siapa nama kamu?"

Dengan jari-jariku aku membentuk namaku. "Seruni." *

"Hah? Kok gitu? Dia gagu ya?" tanya Putri sambil menatapku dengan heran.

Ibu Lina menepuk lengan Putri. "Kemarin sudah kukatakan kalau Seruni itu bisu, kamu tidak dengar?"

"Mana aku dengar? Suara musik di tempat kerjaku sangat kencang. Sebenarnya di tempatku tidak menerima karyawan yang punya cacat fisik macam dia tapi aku akan bicara deh sama bos-ku. Ayo, kita pergi sekarang!" Putri berbalik badan dan kembali masuk ke dalam mobil.

Aku menghela nafas lega. Aku masih ada harapan bisa bekerja. Aku pamit pada Ibu Lina dan tak lupa berterima kasih padanya dengan bahasa isyaratku. Aku masuk ke dalam mobil dan tak tahu akan dibawa kemana oleh Putri.

****

"Pakai ini!" Putri melempar sebuah dress warna merah dengan panjang selutut. "Pakai make up juga!"

Aku heran, kenapa aku harus bekerja dengan pakaian seperti itu? Bukankah kalau bekerja di restoran ada seragamnya? Saat diajak makan oleh donatur ke restoran, aku melihat pelayannya mengenakan baju seragam, kenapa aku malah memakai dress dan disuruh berdandan cantik?

"Kenapa aku harus pakai baju ini?" tanyaku dalam bahasa isyarat.

"Ih, kamu bicara apa sih? Aku enggak ngerti! Sudah ikuti saja apa yang aku suruh. Jangan kebanyakan protes. Sudah ditolong, banyak protes pula!" Dengan kesal Putri meninggalkanku.

Aku memakai dress merah yang Putri berikan lalu memakai make up. Aku tak mengerti caranya namun aku pernah melihat Ibu Pertiwi dandan. Hasilnya lumayan, wajahku jadi tambah cantik.

"Sudah?" Putri terkejut melihat penampilanku. Ia sudah berganti pakaian yang lebih seksi dari sebelumnya dan juga sudah memakai make up tebal. "Kayaknya si bos akan ijinin kamu kerja deh kalau kamu begini. Ayo, kita berangkat sekarang!"

Dengan patuh aku mengikuti perintah Putri. Ia mengemudikan mobil sedan tuanya menuju kota. Aku jarang jalan-jalan ke kota di malam hari. Anak kampung sepertiku langsung norak melihat kota S begitu ramai.

Mobil Putri berbelok ke sebuah gedung. Putri memarkirkan mobilnya lalu mengajakku masuk ke dalam gedung. Aku mulai merasa ada yang aneh. Bukankah Ibu Lina mengatakan kalau aku akan diajak bekerja di restoran? Kenapa aku malah pergi ke gedung area perkantoran?

Tak mau menerka-nerka, aku mengikuti saja kemana Putri membawaku. Kami naik lift ke lantai 10. Saat tiba di lantai 10, suara musik kencang langsung menyambut kedatangan kami.

Ternyata memang benar ada restoran toh di lantai 10. Wah, aku sudah berburuk sangka saja pada Putri. Aku pikir dia akan berbohong padaku.

Putri mengajakku masuk ke dalam sebuah ruangan gelap dengan banyak lampu warna-warni menyorot ke bagian tengah ruangan dan suara musik yang berdentum kencang. Banyak orang berjoget sambil menggelengkan kepalanya, ada juga yang berpelukan dan bermesraan. Restoran macam apa ini? Bukannya makan, kenapa mereka malah berjoget?

Putri nampak berbicara dengan seseorang lalu menunjuk ke arahku. Aku menunggu Putri memanggilku sambil melihat keadaan sekitar. Tempat apa ini? Restoran macam apa ini? Aku tak pernah tahu kalau ada restoran yang seperti ini? Bau rokok begitu pekat menusuk indra penciumanku. Banyak orang yang berciuman dan bermesraan di tempat ini tanpa tahu malu. Restoran macam apa yang memperbolehkan pelanggannya melakukan hal tersebut? Kenapa perasaanku tidak enak ya? Kenapa aku merasa ini bukan restoran pada umumnya?

Aku terkejut saat Putri menepuk bahuku. "Ayo, kamu bisa mulai kerja sekarang!" Putri mengajakku pergi ke sebuah ruangan. Aku bingung, aku akan bekerja apa?

"Masuklah, layani pelanggan di dalam!" perintah Putri.

Aku bertanya pada Putri apa yang harus aku lakukan -tentunya dalam bahasa isyarat- namun Putri malah marah padaku. "Ah! Aku tidak mengerti kamu ngomong apa!"

Aku mengeluarkan kertas dan pulpen yang selalu tersedia di sakuku. Sayangnya Putri tak sabaran menunggu. "Tak usah ditulis, percuma. Tak akan kelihatan di tempat remang-remang begini. Udah deh, jangan bawel. Kamu masuk saja dan layani pelanggan di dalam. Mau uang tidak? Kalau mau, kerja!" Putri membuka pintu ruangan lalu mendorongku masuk ke dalam dengan agak kasar. Ia menutup rapat pintu di belakangku.

Aku melihat di dalam ruangan tampak seorang bapak-bapak berusia hampir 50 tahun dengan perut buncit dan kepala plontos sedang meminum sesuatu dari botolnya secara langsung. Dua kancing kemejanya terbuka dengan dasi yang sudah dikendorkan dengan asal. Bapak-bapak tersebut tersenyum lebar melihatku. Tangannya melambai menyuruhku mendekat. "Sini! Layani Om!"

Radar bahaya dalam diriku berbunyi. Aku tahu ini bukan pekerjaan yang benar. Aku sadar kalau Putri sudah berbohong, ini bukan restoran, ini tempat tidak benar. Tempat perempuan nakal seperti yang pernah Ibu Pertiwi ceritakan padaku dulu. Tidak, aku tak mau bekerja di tempat seperti ini.

Bapak-bapak itu mendekat padaku dengan langkahnya yang sempoyongan. Aku dengan cepat membuka pintu dan langsung kabur. Putri melihatku pergi lalu menyuruh beberapa Bodyguard untuk mengejarku.

Aku terus berlari menuruni tangga dan terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Aku tak mau diriku tertangkap. Aku harus pergi dari tempat tersebut. Ya Allah ... tolong aku. Aku tak mau bekerja seperti ini. Tolong selamatkan aku.

Aku berusaha bersembunyi dari para Bodyguard yang terus mengejarku. Aku berlari ke parkiran mobil, satu-satunya tempat untuk bersembunyi adalah di dalam mobil yang sedang di parkir. Aku membuka beberapa pintu mobil, sayangnya semua terkunci namun saat ada yang membunyikan alarm mobil, aku cepat-cepat menuju mobil tersebut. Diam-diam aku masuk ke dalam mobil dan bersembunyi di dalamnya.

Tak lama pintu mobil terbuka, seorang Nyonya cantik masuk dan tak menyadari keberadaanku. Nyonya tersebut mengemudikan mobilnya pergi dari gedung ini. Aku melihat para Bodyguard itu kebingungan mencari keberadaanku. Baru saja aku hendak bernafas lega, secara tiba-tiba mobil berhenti mendadak. "Siapa kamu? Kenapa kamu ada di mobilku?"