DELAPAN TARGET
“Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Cepatlah bangun Dios. Maaf… Maaf… Semua ini salahku.” Di ruangan yang gelap itu, seorang pemuda menitihkan air mata dengan penuh penyesalan.
Di sampingnya, berbaring layu seorang pemuda sebayanya, terinfus dalam bingkaian peralatan rumah sakit.
Suasananya senyap. Hanya suara tiktok dari peralatan pembaca detak jantung yang terdengar.
Suara langkah sepatu tiba-tiba memecah kesunyian itu. Seorang gadis yang juga tampak sebaya dengan pemuda itu pun menghampirinya. Gadis itu meletakkan tangannya di bahu pemuda itu sambil menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
“Tuan Muda, sudah waktunya Anda pulang. Anda harus menjaga kesehatan Anda." Ucap sang gadis.
Dialah Kaiser Dewantara. Sosok yang dipanggil sebagai tuan muda oleh gadis itu, calon pewaris utama generasi ketiga Dewantara Group.
“Oh, kamu rupanya Agni."
Dialah Agni Permata. Sosok sang gadis yang senantiasa setia mendampingi Kaiser sebagai asistennya yang andal.
"Lihatlah, bagaimana bisa ada sekelompok orang yang bisa dengan teganya menganiaya anak yatim piatu yang baik hati seperti ini. Bahkan sampai nyawanya hampir hilang pun, mereka hanya dihukum tahanan rumah selama 2 tahun. Apakah itu adil? Mengapa hukum begitu beda memperlakukan orang-orang antara yang berkuasa dan yang tidak?”
Dan dialah Dios. Sosok pemuda yang sedang terbaring layu di rumah sakit tersebut setelah mengalami peristiwa pembulian pahit oleh sekelompok anak-anak royal 2 tahun lalu semasa SMP-nya perihal penilaian mereka yang merasa Dios yang berasal dari kasta rendah, tak pantas untuk satu sekolah dengan mereka.
“Tuan Muda, walaupun dengan kekuasaan keluarga Anda, masih sulit untuk menyentuh mereka.”
“Begitukah?”
Sayangnya, walaupun Kaiser juga terlahir dengan kekuasaan layaknya anak-anak royal yang telah membuli Dios tersebut, intrik politik dan pandangan publik membatasi geraknya dalam melindungi sahabat baiknya itu.
“Sayapun juga sebenarnya marah, tapi, jika Tuan Muda juga ikut terluka, siapa lagi yang akan merawat kami. Jadi, saya berharap Tuan Muda dapat lebih menjaga kesehatan Anda.”
Tetapi, Kaiser tidaklah sendiri. Ada orang-orang yang senantiasa mendukungnya dalam berjuang menghilangkan ketidakadilan sistem perbedaan kasta yang absurd itu.
Kaiser lantas menatap Agni. Diapun mengusap kepala gadis itu seraya memberikan senyuman ala pangerannya.
“Tenang saja. Semuanya akan baik-baik saja." Lirih Kaiser dengan tatapan yang penuh arti.
"Jadi, bagaimana dengan pergerakan mereka?" Kaiser pun lanjut bertanya kepada asisten setianya itu.
“Itu... Mereka akhirnya dibebaskan dari tahanan rumah. Silva sudah kembali ke Jakarta dan mungkin sebentar lagi Araka akan menyusul.”
“6 dari 7 para pembuli itu rupanya telah tiba di kota ini. Kita harus lebih ekstra hati-hati. Perketat penjagaan rumah sakit. Pastikan mereka maupun orang-orang mereka tidak ada yang mendekati rumah sakit."
“Siap, Tuan Muda.” Agni pun menjawab.
Kaiser lantas menyandarkan dirinya di kursi sembari menekan kedua tangannya dengan belakang kepalanya. Mata birunya kemudian tiba-tiba bersinar cerah. Kaiser berupaya mengendalikan amarahnya.
Di tengah kekalutannya itu, Kaiser pun bergumam,
[Sungguh! Andai bisa, seseorang seperti mereka sebaiknya mati saja!]
***
Di tempat lain, 5 dari 8 pelaku pembulian seorang pemuda bernama Dios berkumpul di sebuah bar mewah.
Aroma bir yang sangat menyengat, asap rokok yang tebal, disertai para pemuda-pemudi yang berpesta pora sambil berjoget-joget dengan suara musik yang keras dapat dirasakan ketika pertama kali memasuki bar itu.
Tapi jauh ke dalam, ada ruang khusus VIP yang satupun suara tidak dapat menembus ke dalamnya. Di situlah para pembuli itu berkumpul.
“Ah, andai Araka dan Dirga juga ikut bergabung dengan kita, pasti suasananya akan lebih menyenangkan. Tapi yang lebih penting daripada itu… Hei, apakah itu baik-baik saja? Kamu secara publik dihukum tahanan rumah, tapi selama ini kamu malah meninggalkan rumah dan berkeliaran bebas di luar negeri.”
Kata seorang gadis dengan perawakan kurus dengan topi modis merahnya yang nyentrik dan pakaiannya yang ala milenial di antara mereka.
“Apa yang mesti aku takutkan ketika semua media di bawah kontrol perusahaan ibumu. Bukan begitu, Rihana?”
Jawab seorang gadis lainnya di antara mereka dengan postur tubuh tinggi dan proporsi ideal layaknya seorang model.
“Exactly! Kalau begitu, Silva, bisakah kamu meminta ayah dan ibumu untuk mendonasikan dana lebih banyak lagi ke perusahaan kami? Dengan begitu, semuanya akan berjalan lebih lancar. Kamu tahu kan, masih ada satu perusahaan penyiaran TV yang belum di bawah kendali grup.”
Gadis berpostur kurus yang dipanggil Rihana itu pun segera mengungkapkan keinginannya.
“Ah, perusahaan milik keluarga orang itu ya.”
Ucap gadis berperawakan model yang dipanggil Silva seraya menopangkan dagu. Matanya lantas lebih menyipit menjadi tatapan sinis yang tampak seperti ular yang memikirkan bagaimana menelan mangsanya bulat-bulat.
“Permisi, ini minumannya.” Seorang pelayan pria pun menghampiri mereka.
Tampak pelayan itu hanya mengenakan boxer yang sangat pendek sehingga proporsi badannya yang ideal dengan six pack dapat terlihat dengan jelas. Pelayan pria itu seraya meletakkan minuman sejenis alkohol pesanan mereka di meja tersebut.
“Ah, Mas, badanmu bagus juga.” Ucap Silva seraya meraba-raba badan pelayan itu dengan ujung jari telunjuknya.
Pelayan itu tampak tidak nyaman. Melihat itu, Rihana malah hanya nyengir sementara tiga pemuda yang bersama mereka tampak jijik dengan kelakuan gadis itu.
“Hei Silva, sebaiknya kamu hentikan. Lihat tuh muka Tirta sudah seperti tomat masak mau pecah. Hahahaha!” Kata seorang pemuda yang mengenakan cincin nyentrik disertai tawa terbahak-bahak.
Mendengar ejekan itu, Silva akhirnya menyuruh pemuda itu pergi dengan cemberut. Dia kemudian menatap pemuda yang dipanggil Tirta itu.
"Kamu cemburu?" Tanya Silva kepada Tirta.
"Tidak kok. Aleka sendiri yang mengambil kesimpulan seenaknya." Jawab Tirta dengan muka yang memerah seraya memalingkan pandangannya seakan tak berani menatap Silva.
"Oh." Silva menatap Tirta cukup lama seakan mencoba untuk membaca ekspresinya.
Namun, alih-alih tatapan seorang kekasih yang ditunjukkannya, Silva tampaknya lebih menatap Tirta bagaikan budaknya.
Tirta pun memberanikan diri menatap Silva kemudian mencoba berujar,
"Sil..."
“Jadi, bagaimana kamu akan bergerak? Sekarang sudah 2 tahun sejak kejadian itu. Awak media sudah diam dan orang-orang sudah mulai melupakan kejadian itu pastinya.”
Belum sempat Tirta mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya, seorang pemuda yang lain segera memotongnya dengan suatu pertanyaan sambil menatap lurus ke mata Silva.
Karena momen yang terlewatkan, tampak Tirta yang tadi hendak mengatakan sesuatu, akhirnya dibatalkannya. Tampak sudut mulut pemuda yang memotong pembicaraan Tirta itu berkedut puas. Rupanya, dia sengaja tak membiarkan Tirta berkomentar.
Belum sempat Silva menjawab, Rihana segera memotongnya, “Kita tidak bisa bertindak gegabah soalnya orang itu dilindungi oleh Tuan Muda dari Dewantara Grup.”
Pemuda itu lantas tersenyum sinis dan memalingkan arah pandangannya ke Rihana. “Kamu berkata seperti itu, tapi kamu pasti sudah punya langkah tersendiri. Begitulah orang licik sepertimu bertindak.”
“Enak saja mengataiku licik. Tapi yah, kamu tidak salah juga, Riandra. Sebenarnya aku menemukan fakta yang menarik. Kita tunggu saja beritanya keluar besok. Ini tidak hanya akan menjatuhkan nama Kaiser, tetapi juga akan membuat netizen jadi benci pada Dios."
Senyum Rihana lantas bertambah lebar yang sebenarnya sangat serasi dengan bibir seksinya itu. Dia tersenyum sembari menatap intens ke arah pemuda yang bertanya padanya yang dipanggilnya Riandra itu.
Diapun melanjutkan,
"Dan netizen yang dulunya menghujat kita karena membullynya akan berbalik 180 derajat justru akan memuji kita karena menghajar penjahat seperti dia. Wah, aku jadi tidak sabar ingin melihat wajah menderita dari Tuan Muda Kaiser. Aku ingin melihat wajah tampannya yang seksi itu diselimuti aura keputusasaan. Nyam! Pasti nikmat sekali.”
Ucap Rihana sambil mejilat bibir bagian atasnya seakan-akan sedang menikmati hidangan yang sangat nikmat.
Riandra yang mendengar itu hanya tersenyum seakan tidak sabar menikmati kejutan itu.
Ekspresi yang hampir sama ditunjukkan oleh semua orang yang ada di ruangan itu, terkecuali Tirta yang hanya tertunduk seakan takut. Kedua tangannya yang gemetaran menggegam erat celananya.
Demikianlah rencana jahat tersebut dibeberkan di dalam suatu ruangan yang berisikan mereka berlima. Tidak, tepatnya delapan orang, seorang pelayan pria, seorang pelayan wanita, dan seorang kakek tua yang menjadi penyeduh alkohol.
***
Keesokan harinya, muncullah berita yang dinantikan.
Kala itu, Kaiser yang hendak meninggalkan rumah untuk berangkat ke sekolah dicegat oleh kakeknya.
“Cucuku sayang, hari ini kamu tidak usah sekolah ya, main saja sama kakek. Kakek kesepian di rumah. Hiks…Hiks…” Dengan tingkah imut, Sang Kakek merajuk kepada cucunya.
“Tidak usah khawatir Kek, saya baik-baik saja.”
“Jadi kamu sudah tahu ya.” Ekspresi Sang Kakek tiba-tiba berubah sendu.
“Ya, tampaknya mereka mulai bergerak.”
“Biarkan Kakek melindungi cucuku tersayang ini. Muah…Muah…” Balas Sang Kakek yang kembali dengan ekspresi cerianya yang khas seraya ingin memeluk dan mencium cucunya.
Dengan sigap Kaiser menahan kakeknya sebelum memeluknya. “Hentikan, Kek! Saya sudah besar lagipula saya ini laki-laki.”
“Hiks…Hiks… Cucu kakek tidak imut lagi.” Sang Kakek mengucapkannya sambil bertingkah lucu menirukan gadis-gadis idol Jepang yang sedang populer.
“Ya, ampun, Kek! Sampai kapanpun Kakek adalah kakek tersayang Kaiser. Kebanggaan Kaiser.” Walaupun dengan nada ketus, tetapi dapat terasa kelembutan di ucapan Kaiser yang tulus terhadap kakeknya.
Di akhir kalimatnya, Kaiser melontarkan senyum ala pangerannya yang membuat siapapun yang melihatnya akan terhipnotis akan keindahannya, entah itu wanita ataupun pria.
“Tapi yah, berkat Kakek, berita ini segera direda sebelum beredar lebih luas.”
“Tapi walau bagaimanapun, beritanya telah sempat muncul di Berita Subuh. Kakek takut di sekolah kamu akan dirundung. Hari ini kamu tidak usah ke sekolah ya sampai masalah ini mereda.” Ucap Sang Kakek dengan nada khawatir.
Kaiser mengambil salah satu cetakan koran yang batal terbit yang tergeletak di meja kemudian membacanya. “Seorang pewaris generasi ketiga Grup Dewantara yang berhasil selamat dari kasus penculikan di TK Bela Negara bersama dua rekan kelasnya berinisial A.P. dan D. setelah merebut pistol penculik dan menembakkannya ke dada penculik…”
“Kakek tidak usah khawatir. Teman-teman di sekolahku orangnya baik-baik semua. Pertemanan kami lebih kuat dari yang Kakek kira. Justru dengan tertawa dan tetap seperti biasa, akan menjadi pukulan yang lebih menyakitkan bagi mereka, siapapun yang merencanakan ini.” Ucap Kaiser seraya tersenyum cerah.
Kala itu, Kaiser turun dari mobilnya dengan didampingi oleh asisten setianya Agni di belakangnya. Mereka berjalan menuju gerbang sekolah mereka.
Tampak raut khawatir di wajah Agni, kalau-kalau ada perlakuan tidak mengenakkan yang akan mereka terima dari warga sekolah perihal pemberitaan miring mengenai mereka berdua.
Ya, dua orang yang secara tidak sengaja terjebak dalam musibah penculikan Kaiser, selain Dios, dialah asisten Kaiser saat ini, Agni Permata.
Namun, sangat berbeda seperti apa yang dikhawatirkan oleh Agni, tidak ada satupun kata tidak mengenakkan yang terlontar keluar, baik yang frontal, maupun yang samar-samar di belakang.
Semua siswa hanya terdiam memandangi mereka dengan ekspresi simpatik di wajah mereka. Tak tampak satupun pandangan merendahkan apalagi benci di antara mereka.
Suasana pun pecah ketika salah seorang siswa berlari menghampiri Kaiser. Dia adalah Andika, teman sebangku Kaiser saat ini di SMA.
“Hei Kaiser, tadi subuh ada berita tentang kamu di TV. Apakah kamu baik-baik saja?”
Di luar dugaan Agni, daripada pertanyaan konfirmasi, yang keluar di mulut Andika, justru rasa simpatik yang ditujukannya dengan menanyakan kabarnya.
Seraya siswa-siswa di sekeliling mereka saat itu ikut berkerumun di sekeliling Kaiser dan menyemangati Kaiser.
“Dasar tuh wartawan, apa masuk akal jika seorang anak berusia 4 – 5 tahun bisa menggunakan pistol yang berat. Nggak punya otak.” Celoteh Ratih, satu dari kerumunan siswa yang mengelilingi Kaiser.
Kaiser hanya tersenyum menanggapinya. Raut matanya tampak dipenuhi dengan kesedihan yang menambah simpati para kerumunan padanya dan semakin kuat dalam berupaya menyemangati tuan muda itu.
Suasana sekolah benar-benar di luar dugaan Agni sampai-sampai Agni bertanya-tanya inikah karisma seorang pangeran. Sejak awal, apa yang dikhawatirkan Agni jika mereka mencoba mencari kebenaran pada Kaiser yang akan membuka luka lamanya adalah suatu kekhawatiran yang sia-sia.
Suasana mengharu-biru yang terjadi di gerbang sekolah di mana Kaiser menjadi pusatnya tampak layaknya seorang pangeran yang dikelilingi oleh pengikut-pengikut setianya yang fanatik, melebihi fanatiknya seorang fans pada idolanya.
Suasana harmonis tersebut berlanjut sampai salah seorang penjaga gerbang membubarkannya karena menghalangi jalan.
Jam-jam berikutnya pun selama di sekolah, dengan senjata senyum ala pangerannya, Kaiser mampu meluluhkan hati para siswa sehingga berita miring di media menjadi tidak punya arti di hati para siswa.
Sayangnya, hal ini tidak berlaku di luar sekolah.
Walaupun media televisi berhasil dibungkam karena hanya menyajikan berita berdasarkan spekulasi dan bukannya fakta, tidak demikian di internet. Berbagai forum dan situs internet merajalela seakan semuanya ingin melahap Kaiser.
Tetapi berkat perlindungan keluarga serta dukungan teman-teman sekolah Kaiser, tidak hanya yang saat ini di SMA, tetapi juga termasuk teman SMP dan SD yang masih kontak dengannya, opini publik tidak berkembang ke arah yang lebih buruk.
Namun, beberapa netizen tampak masih ada yang menjelek-jelekkan Kaiser.
***
Di suatu ruangan, duduk dua orang pemuda berdampingan di sofa. Seorang di antaranya berperawakan besar dan kekar dengan cincin-cincin nyentrik di jari-jemarinya. Yang satunya berperawakan lebih kecil dan kurus.
Pemuda yang berperawakan lebih kecil berkata, “Aleka, tidakkah ini kesempatan yang baik di saat perhatian Kaiser teralihkan, untuk memberi pesta sambutan kepada mainan kita setelah sekian lama?”
Sambil mengusap-usap cincin-cincin di jari-jemarinya, pemuda yang berperawakan lebih besar berkata,
“Idemu brilian juga, Riandra. Maka mari kita kirim beberapa orang-orangku untuk melaksanakan pesta penyambutan.”
Dialah Aleka Gebriansyah Putrawardhani, pewaris tunggal perusahaan sekuriti paling ternama di Jakarta, Sungsin Security Cabang Indonesia. Sebuah perusahaan yang kini telah menjalankan bisnisnya dengan aset terpisah, namun tetap berada di bawah kontrak kerjasama pelatihan dengan perusahaan bekas induknya di Korsel.
***
Pukul 9 malam, sesuai rutinitas Kaiser yang mengunjungi Dios tiap 3 kali sepekan, hari ini Kaiser mengunjugi Dios ke rumah sakit. Setelah mobil Kaiser diparkirkan di parkiran rumah sakit, Kaiser pun bersama asistennya, Agni, keluar dari mobilnya dan bergegas menuju ke lantai paling atas rumah sakit di mana Dios dirawat.
Namun, sebelum sampai di pintu rumah sakit, Kaiser dicegat oleh seorang wanita muda. Wanita itu tampak di usia di mana dia akan menjadi mahasiswa tahun ketiga di universitasnya jika dia kuliah.
“Dek Kaiser, bisa minta waktunya sebentar.”
Wanita itu mengenakan kemeja maroon dan celana jeans. Tampak alat perekam di tangan kanannya. Di saku kemeja bagian kiri atasnya tampak berjejer dengan rapi tiga buah pulpen. Wanita itu juga menyandang tas kecil yang berisikan jurnal ukuran mini. Sangat jelas dia seorang wartawan yang ingin mengorek informasi yang ramai dibicarakan di internet itu.
Dalam hati, Kaiser kesal sampai-sampai di mana dia mau mengumpat, tetapi itu ditahannya. Senyum ala pangerannya pun dilontarkan. Kaiser seraya berkata,
“Maaf Mbak, jika ingin wawancara, tampaknya saya tidak bisa memberikan keterangan apa-apa.”
Dalam waktu 10 detik wanita itu terpana oleh senyum Kaiser dan terdiam, namun segera kesadarannya terpulihkan dan dengan cepat menyusul Kaiser yang sudah jauh di depan dan membuka pintu lift.
“10 menit saja dek, tidak, 5 menit saja.” Ucap wanita itu seraya bergegas ikut memasuki lift sambil menatap Kaiser.
Pandangan sayu yang siapapun wanita melihatnya akan terpancarkan aura keibuannya dikeluarkan oleh Kaiser. Wanita itu pun merasa bersalah seraya meminta maaf. Kaiser pun tersenyum dan seketika kesedihan di hati wanita itu terobati.
Dengan lembut Kaiser pun berkata, “Seandainya saya bisa membantu, saya ingin membantu. Hanya saja, itu ingatan ketika saya berumur belum genap 5 tahun. Sebenarnya, selain rasa trauma yang berat karena diculik, saya hampir tidak ingat apa-apa.”
“Maaf Dek.”
“Tidak apa-apa kok Mbak, Mbak juga pasti melakukan ini demi karir pekerjaan Mbak. Hanya saja, mengingat kejadian itu saja, membuat saya bergetar, saya…”
Wanita itu terdiam dan bingung bagaimana menenangkan Kaiser yang tampak menderita. Dia kemudian menatap ke arah Agni. Agni memberikan isyarat semuanya baik-baik saja dan biar dia yang tangani. Wanita itupun mundur dan Agni mendekat kemudian mendekap bahu Kaiser.
Tanpa terasa, Kaiser dan Agni telah tiba di lantai delapan di mana Dios dirawat. Kaiser dan Agni keluar dari lift dan memberi salam kepada sang wartawan sebelum pergi meninggalkan tempat untuk ke ruangan di mana Dios dirawat. Sang wartawan menatap dengan tatapan penuh simpati ke arah mereka berdua sampai pintu lift tertutup dan wajah mereka tak lagi saling berhadapan.
***
Tengah malam sekitar pukul setengah satu. Suasana rumah sakit tampak sepi. Kaiser dan Agni telah lama meninggalkan rumah sakit. Hanya ada beberapa dokter jaga dan perawat jaga malam dan beberapa pasien rawat inap. Di salah satu ruang VIP rumah sakit, tampak seorang pemuda yang sangat kurus sampai menyayat hati melihatnya terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit. Terdapat 2 penjaga berjaga di depan pintu kamar di mana pemuda itu dirawat dan 2 penjaga berjaga di dalam.
“Duar… Duar… Bruuuk!”
Tiba-tiba segerombolan orang berpakaian serba hitam memasuki rumah sakit kemudian menghancurkan fasilitas rumah sakit mulai dari pintu masuk terus ke lantai atas. Sekuriti rumah sakit yang kebetulan shift malam saat itu tidak dapat membendung serangan rumah sakit yang terjadi begitu tiba-tiba.
“Flash.” Listrik pun dipadamkan.
“Aaaah!” Orang-orang pun mendadak histeris akibat kegelapan di dalam suasana mencekam yang ditimbulkan oleh penjahat-penjahat itu.
Untunglah ada sumber listrik darurat sehingga peralatan-peralatan vital rumah sakit terutama yang berfungsi untuk mendukung hidup pasien yang kritis masih berjalan.
“Jangan ada yang bergerak, atau kami tembak!” Salah seorang penjahat berkata seraya menembakkan pistolnya ke atas.
Semua orang pun menjadi ketakutan. Ada yang duduk membungkuk, ada yang tiarap, bahkan ada yang mencoba menyembunyikan kepala mereka di balik meja layaknya burung unta yang jelas takkan dapat menyembunyikan dirinya dari para penjahat. Namun, satu yang pasti. Mereka semua gemetaran. Takut bahwa ada peluru nyasar di kepala mereka.
Salah seorang petugas rumah sakit pun mencoba untuk menghubungi polisi. “Tiiit…tiiiit…tiiiit.”
Rupanya, penjahat juga telah memasang alat pengganggu sinyal di sana sehingga pihak rumah sakit pun tidak bisa meminta bantuan dari luar.
Apa yang membuat suasana lebih mencekam adalah ketika seorang office boy di rumah sakit itu hendak kabur dan meninggalkan rumah sakit malah ditembak sehingga mati di tempat.
Suasana yang mencekam di rumah sakit pun berlanjut. Sampai pada akhirnya, penjahat-penjahat itu sampai di ruangan yang paling atas, lantai delapan. Berbeda dengan lantai di bawahnya, lantai delapan hanya bisa diakses dengan kartu VIP sehingga mereka harus naik tangga secara langsung dari lantai tujuh. Namun, ada pintu pengaman dengan keamanan yang sangat kuat yang terletak di ujung tangga dari lantai tujuh ke lantai delapan. Memakan waktu yang cukup lama bagi para penjahat untuk membobol pintu itu.
Sembari menunggu rekannya membobol pintu keamanan, salah seorang dari mereka pun membuka percakapan.
“Menurutmu, berita apa yang akan muncul besok pagi?”
“Kerugian milyaran rupiah Dewantara Group, banyak pasien yang meninggal karena pemadaman listrik di RS Dewantara, manejemen Dewantara Group yang buruk.” Jawab penjahat lain terhadap pertanyaan rekan penjahatnya itu.
Kedua penjahat itu kemudian saling tatap lantas tertawa terbahak-bahak.
“Habis ini kita mau ke mana?” Tanya penjahat itu lagi kepada rekannya.
“Ya ke mana lagi, ke markaslah, ke Sungsin Security Center Building untuk berpesta dari uang bonus dari Bos. Hahahahaha!”
Kedua penjahat mengobrol begitu ceria diikuti di belakangnya ada sekitar enam orang rekannya sementara dua rekan lainnya masih sibuk membobol pintu keamanannya. Namun, tanpa diduga, sebelum para penjahat berhasil membobol pintu keamanan, telepon masuk dari bos mereka.
“Apa yang kalian lakukan, monyet-monyet busuk. Cepat mundur!”
Mendengar perubahan perintah mendadak itu, para penjahat pun kebingungan. Namun, begitu suara sirene polisi mulai samar-samar terdengar dari luar, itu sudah terlambat.
Mereka berupaya mati-matian untuk segera meninggalkan lokasi. Namun, sayangnya telah siaga kerumunan polisi di sekitar pintu keluar rumah sakit sehingga tidak terhindarkan bahwa sebagian dari penjahat tersebut tertangkap.