SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
STALKER

STALKER

1. Seseorang Berjaket Hitam

"Halo, Ma? Zev udah di jalan ni, palingan beberapa menitan lagi sampe."

Setelah menerima telepon dari sang ibu, Zevanya kembali melangkahkan kaki berjalan di aspal yang sedikit basah sambil menjinjing kantung plastik berisi pesanan ibunya. Aroma air bercampur debu jalan batu memasuki rongga hidung. Berapa kali Zevanya tak sengaja menginjak bendungan air, hingga kaus kakinya basah terkena cipratan air kotor. Angin malam berhembus. Zevanya mendengarkan musik melalui Earphone kabelnya, seraya menikmati udara malam.

Di belakang Zevanya terlihat seorang gadis berlari memasuki gang sempit. Gadis itu menyeret kakinya yang berdarah-darah seperti tersayat pisau, diikuti seorang lelaki berjaket kulit hitam dan topi berwarna serupa. Melihat punggung Zevanya, gadis itu segera berlari, sesekali menoleh ke belakang. Lelaki itu berjalan santai mengikuti gadis itu, satu tangannya menggenggam palu yang siap memukul siapapun.

"Tolong!"

Gadis itu berulang kali berteriak pada Zevanya. Namun, Zevanya acuh dan terus berjalan, gendang telinganya dipenuhi suara lantunan musik berbahasa Korea. Sementara, jarak gadis itu dan Zevanya sudah terasa dekat. Gadis itu mengulurkan tangan, bermaksud menepuk bahu Zevanya.

"Akh!"

Lelaki berjaket hitam itu menarik rambut gadis itu, menyeretnya ke arah belokan jalan di sisi kanan. Lelaki itu itu melayangkan tiga kali pukulan di wajah gadis itu dengan palunya.

Langkah kaki Zevanya berhenti sendiri. Ia mengerutkan dahi, merasakan ada seseorang berteriak memanggilnya. Zevanya berbalik. Tak ada seorang pun di belakangnya. Ia berinisiatif memeriksa ke belokan jalan di sisi kanan. Perlahan, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ketemu. Gadis itu melihat seorang gadis terkapar dengan darah mengucur di dahi.

Zevanya segera menutup mulutnya dengan kedua tangan. Pandangannya beralih pada lelaki berjaket hitam. Zevanya membalikkan badan dan berlari lurus ke depan. Gadis itu menunduk, seraya merapatkan tali tasnya erat-erat. Ketukan sepatu makin terdengar jelas di belakang. Ia menoleh, sekarang itu malah mengejarnya.

Sialnya lagi, Zevanya tersandung kabe Earphone-nya. Ia bingung antara mengambil Earphone atau melarikan diri. Persetan dengan Earphone! Lebih baik melarikan diri daripada mati sia-sia.

Kanan kiri Zevanya hanya terdapat bangunan rumah dengan pembatas tembok, penerangan jalan pun sangat minim. Zevanya sudah terbiasa melewati jalan ini, saat berjalan kaki maupun mengendarai motor sport miliknya.

"Kenapa harus jalan buntu, sih?!" Zevanya mendongak menatap langit, kemudian menghela napas panjang. Saat ia memutar badan, lelaki berjaket hitam itu sudah berdiri di seberangnya dan berjalan ke arahnya.

Zevanya membuka resleting tas ranselnya, merogoh ponsel di dalamnya. "Halo, kantor polisi!"

Lelaki itu berlari pergi setelah Zevanya berpura-pura menelepon polisi. Ia menghampiri tempat lelaki itu berdiri, lalu melihat ke kanan kiri. Samar-samar terdengar suara sirene polisi, Zevanya yakin para polisi sudah menemukan jenazah gadis yang dilihatnya.

****

"Dari mana aja lo? Jam segini baru sampe." tanya Deska, sepupu Zevanya.

Zevanya duduk di kursi. Ia menghela napas panjang, sebelum berbicara. "Lo tau apa yang barusan gue liat? Des, lo juga kalo liat pasti bakal panik setengah mati!"

"Ngomong apa sih, lo? Coba jelasin secara rinci."

Zevanya menarik napas dan mengembuskan perlahan. Ia menceritakan kejadian sewaktu dirinya dalam perjalanan menuju kafe ibunya. Deska hanya mengangguki apa yang dikatakan oleh sepupunya itu. Salah satu pendengar bagi Zevanya setelah sahabat-sahabatnya di sekolah, ya, Deska Putri.

Zevanya Pradipta adalah putri dari seorang hakim dan pemilik kafe, bernama Wijaya dan Livy Pradipta. Ayahnya adalah hakim di pengadilan umum, sedangkan ibunya mengelola bisnis dengan mendirikan sebuah kafe yang terletak di pinggiran jalan raya. Zevanya sendiri seorang mahasiswi di SMA Dirgantara, ia mengambil kelas kriminologi karena mempunyai cita-cita seperti sang ayah.

Gadis itu dijuluki sebagai lesbian (penyuka sesama wanita) karena setiap kali tak sengaja bersentuhan dengan lawan jenis, Zevanya akan mencuci tangannya. Kebiasaan itu terus dilakukan hingga telapak tangannya memerah, kebiasaan itu juga muncul setelah Zevanya hampir menjadi korban pelecehan seksual ketika dirinya duduk di bangku SMP. Bisa dibilang Zevanya trauma dengan sentuhan dari lelaki mana pun, bahkan ia enggan di peluk oleh ayahnya.

"Kenapa lo nggak lapor polisi beneran? Percuma dong kalo gitu." Deska mendekatkan wajahnya, lalu menyeringai menatap Zevanya. "Bisa jadi ... Tuh penguntit sekarang malah ngincer lo lagi."

Zevanya celingak-celinguk melirik ke sana kemari. "Eh, lo jangan nakut-nakutin gue."

"We never know (Kita nggak pernah tau)"

Seorang wanita berusia 45 tahunan, menjewer telinga Zevanya dan menariknya. "Bagus, ya! Jam segini baru sampe di kafe, sudah begitu kamu nggak bales pesan Mama."

"Aduh! Ma! Ampun, Zev abis dikejar-kejar pembunuh tadi!" ucap Zevanya menarik jari Livy, agar terlepas dari telinganya.

"Pembunuh?!" Livy menarik kursi di samping putrinya kemudian duduk menghadap Zevanya.

"Terjadi pembunuhan di jalan Anggrek no 5, korbannya adalah seorang gadis berusia sekitaran 20 tahunan. Terduga korban dipukuli oleh si pelaku menggunakan benda tumpul, dan pergelangan kaki yang dipenuhi luka sayatan. Terlihat juga di CCTV seorang gadis remaja memakai seragam sekolah diduga komplotan stalker."

Zevanya mematikan televisi yang menyiarkan berita kasus pembunuhan. Semua pengunjung kafe yang duduk di kursi mereka masing-masing melirik Zevanya dari pucuk kepala hingga mata kaki.

Gadis itu menatap sinis pada orang-orang itu. "Apa? Saya di sini juga korban, ya!"

Livy tiba-tiba menggenggam tangan Zevanya. "Ini yang Mama khawatirkan. Untung Mama sudah menyiapkan calon untuk Zezev.”

Deska yang sedang mengelap gelas, seketika jadi antusias mendengarnya. "Zezev nikah muda ni, ceritanya?"

"Apaan, sih! Enggak, ya! Nikah muda tuh nggak enak!" tolak Zevanya.

Livy menyodorkan foto polaroid seorang lelaki pada Zevanya. "Eh, jangan salah, loh. Dia sudah punya pekerjaan tetap, hidup kamu akan tercukupi."

"Apa Papa juga tau soal ini?" tanya Zevanya penasaran.

Livy mengangguk. "Papamu sudah setuju, bahkan kami juga sudah ketemu sama calonmu."

Otak Zevanya sudah membayangkan bagaimana kehidupannya setelah menikah nanti. Kata orang menikah muda itu tidak semudah yang dibayangkan, bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan, membersihkan seisi rumah, belum lagi Zevanya harus berangkat sekolah. Ia bisa terlambat karena mengurusi itu semua.

"Sebagai sepupu yang baik gue mau ngasih tau dua hal perbedaan. Menikah muda sama lelaki yang sepantaran dan nggak punya pekerjaan tetap, itu sulit. Tapi ... Menikah muda sama lelaki dewasa dan punya pekerjaan tetap, gue yakin hidup lo terjamin 100%." jelas Deska panjang lebar. Livy menganggukkan apa yang dikatakan Deska.

Livy menaruh salah satu foto polaroid lelaki itu di tangan Zevanya. "Namanya Arga Danuarta, dia detektif dari kepolisian, Mama dan Papanya meninggal dunia sewaktu dia masih kecil. Zev mau kan, menikah sama Arga?"

Zevanya menggigit bibirnya. "Tapi Ma—"

"Coba pikir, kalo nanti Mama udah nggak ada umur, terus nggak bisa menyaksikan anaknya bersanding di pelaminan. Anggap aja ini wasiat terakhir Mama."

Membicarakan perihal umur Zevanya tidak bisa mengatakan apapun. Ia sangat menyayangi ibu dan ayahnya, dan ingin melihat mereka bahagia. Untuk saat ini Zevanya mengiyakan keinginan sang ibu.

"Demi Mama sama Papa. Zev akan usahain yang terbaik."

To be continued.

2. Kantor Polisi

Zevanya mengerjapkan mata tersentak. Ia seperti bermimpi melihat seorang anak perempuan sedang berjalan di tepian jalan raya, lalu tertabrak mobil ketika menyusul pria dewasa dan seorang anak laki-laki.

Gadis itu menarik laci nakas, mengeluarkan sebuah album foto dan mengambil salah satu foto di halaman pertama. Foto seorang anak perempuan di kuncir kuda, mengenakan seragam sekolah merah putih dengan pose tersenyum sumringah. Anak perempuan itu persis seperti di mimpinya.

"Siapa, ya?"

Dering ponsel mengacaukan otaknya yang sedang berpikir. Zevanya mengambil ponselnya yang diletakkan di atas meja nakas. "Hemmm? Ada apa?"

Cindy mengganti mode panggilan seluler menjadi panggilan video. Terlihat, mereka berdua sudah rapi mengenakan seragam cokelat dan rok abu-abu. Sedangkan Zevanya masih mengenakan pakaian piyama tidur, rambutnya juga masih mengembang seperti singa.

"Lo udah buka grup sekolah? Murid-murid pada gibahin lo tuh!" kata Cindy menunjuk layar ponselnya.

Zevanya buru-buru menyisir rambut dengan jari, sembari bercermin pada layar ponsel. "Gibahin gue? Emangnya kenapa?"

Indah menghela napas kasar. "Masa lo nggak tau beritanya? Mending lo liat grup sekolah deh!"

Ketika hendak memeriksa apa yang terjadi di grup sekolah, tiba-tiba layar ponsel Zevanya tidak bisa disentuh. Ia menggeser jarinya ke bawah dan atas, rupanya beberapa pesan membanjiri WhatsAppnya. Zevanya dikeluarkan dari grup sekolah.

“Iew! Masa ketua kelas kita pembunuh, sih?”

“Keluar aja lo dari sekolah.”

“Nah bener tuh! Jauh-jauh sana, Sampah masyarakat!”

Rupanya pesan-pesan tersebut yang membuat ponsel Zevanya eror. Hanya karena ada di tempat kejadian, ia langsung dicap sebagai pembunuh. Padahal, berita itu belum tentu benar.

Zevanya mengendus kesal. "Gue bukan tersangka ataupun komplotan stalker apalah itu. Gue ini saksi sekaligus korban, lo berdua ngerti, kan?" dua sahabatnya itu mengangguk.

"Heem, kita ngerti, kok. Ya, udah daripada lo kesel, mending lo ikutin kemauan mereka. Lumayan kan, nggak sekolah berapa hari, sekalian cari bukti.” Saran Indah.

"Oke."

Walaupun kesal tidak bisa bersekolah hari ini, tidak ada yang bisa Zevanya lakukan selain menuruti keinginan siswa lain dan saran kedua sahabatnya. Ia akan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

"Paket!"

Suara teriakan seorang kurir JNE terdengar dari teras luar rumah. Zevanya bergegas keluar menuruni anak tangga, lalu mengambil paket tersebut. Bukan benda melainkan amplop cokelat muda berisikan surat panggilan dari pihak kepolisian, Zevanya dimintai kesaksian atas pembunuhan yang terjadi semalam.

Tenang Zev, selama lo bukan tersangka, lo bakalan aman.

Zevanya tersenyum sumringah, kemudian kembali menaiki tangga menuju kamarnya dan bersiap-siap untuk pergi ke kantor polisi.

****

Tiba di kantor polisi, Zevanya mendongak ke atas memandangi gedung yang berdiri kokoh di depannya. Ia juga melihat orang-orang keluar masuk dari dalam gedung tersebut, Zevanya menghela napas sebelum melangkah masuk. Ia celingak-celinguk melirik sekitar. Kedua matanya langsung terfokus pada seorang lelaki berjaket Navy yang sibuk mengutak-atik keyboard laptop.

Arga Danuarta, lelaki yang menjadi topik pembicaraan Zevanya bersama sang ibu semalam. Lebih tepatnya calon suami.

Zevanya duduk di hadapan Arga. Ia sudah berada di kantor polisi. Tetapi, pandangan lelaki itu masih tertuju pada layar laptop. Arga akhirnya mengangkat kepala, menatap Zevanya secara langsung. Biasanya, Arga hanya mendengarkan Livy bercerita tentang gadis itu.

"Bisa kamu jelaskan ini?" Arga membalikkan laptopnya ke depan wajah Zevanya. Layar laptop itu memperlihatkan Zevanya berjalan tanpa menoleh, sementara di belakangnya ada seorang gadis yang sedang membutuhkan pertolongan. Barulah muncul si pelaku yang menarik korban menjauhi Zevanya.

Zevanya menyipitkan mata, seraya menggeser laptop itu agar bisa melihatnya dengan jelas. "Begini ... Pada saat itu saya sedang menuju jalan pulang, dan saya nggak tau kalo si pelaku ada di belakang korban."

"Terus kenapa kamu tidak menolong korban? Apa benar yang diberitakan, kamu berkomplot dengan sekelompok stalker?" tuduh Arga. Suaranya penuh penekanan.

"Gini, ya ... Posisinya saya di situ lagi pakai Earphone, Anda pasti tahu dong telinga saya penuh dengan alunan musik. Apa Anda mengerti sekarang?”

Arga mengangguk mengerti. "Masuk akal. Apa kamu berhadapan langsung dengan si pelaku?"

"Ya. Saya bahkan hampir mati."

“Apa kamu melihat wajahnya?”

“Enggak.”

Sejenak, Arga memandang Zevanya. Benar kata Livy, gadis itu sangat dingin dan cuek terhadap lawan jenis. Pun Arga mengetahui Zevanya ini mempunyai saudara kembar, Zevano Adriansyah. Livy meminta Arga membuka kembali kasus 9 tahun lalu.

Bukan sekedar itu, Arga pun mengetahui gadis itu enggan disentuh oleh lawan jenis, karena tiga tahun lalu Zevanya hampir mengalami pelecehan seksual. Sebab itu, Livy ingin menjodohkan Arga dengan Zevanya.

Seminggu yang lalu, Arga bersama om dan tantenya bertemu dengan orang tua Zevanya. Ia melamar Zevanya melalui Wijaya dan Livy, juga menentukan tanggal pernikahan. Lusa adalah hari pernikahan mereka, Livy yang meminta agar tanggalnya di percepat karena khawatir dengan kasus pembunuhan yang akhir-akhir ini sedang marak terjadi.

"Penjelasan di terima. Sekarang saya antar kamu pulang." Arga beranjak dari kursinya.

Zevanya diam seperti patung dengan pandangan lurus. Perkataan sepupunya semalam terngiang-ngiang, memenuhi kepalanya. Di sisi lain juga Zevanya belum siap memposisikan dirinya sebagai seorang istri. Umurnya masih terlalu muda untuk menikah, Zevanya 19 tahun dan Arga 25 tahun. Lelaki di depannya ini yang akan menikah dengannya. Lelaki yang harus ia layani setelah menikah.

"Kenapa diam? Kamu tidak mau pulang?" Arga berucap lagi.

Zevanya segera menegakkan tubuhnya. "Oh, iya!"

Arga dan Zevanya berjalan ke arah pintu keluar. Saat mereka sudah keluar dari kantor polisi, terlihat seseorang memakai Hoodie hitam sedang mengawasi Zevanya dari belakang mobil yang terparkir di seberang mobil Arga. Lelaki itu memotret mereka berdua menggunakan kamera. Menyadari adanya kilatan cahaya, Arga perlahan berjalan ke arah mobil Avanza yang terparkir itu.

Langkah Arga terhenti. Tidak ada seseorang di sana, hanya ada kamera yang di letakkan di bawah ban mobil. Arga mengambil kamera tersebut dan memeriksanya. Di dalam kamera itu bukan hanya Zevanya dan Arga yang terpotret. Namun, ada seorang lelaki berjaket hitam, lalu memakai penutup mulut.

Arga menoleh ke arah Zevanya. "Apa ciri-ciri pelaku berpakaian hitam dan penutup mulut?"

"Iya. Gue juga liat dia bawa palu."

Arga memperbesar gambar yang ada di kamera. Benar, seseorang itu membawa palu dan sorot matanya tertuju pada Zevanya. "Bisa jadi sasaran selanjutnya adalah kamu."

"Gimana lo bisa tau?" tanya Zevanya penasaran.

Arga menghela napas kasar kemudian melempar kamera tersebut pada Zevanya. Gadis itu menangkap kamera yang dilempar Arga. Ia memeriksa semua foto yang dipotret oleh seseorang misterius yang mengawasinya tadi. Banyak bukti-bukti bahwa si pelaku seringkali tertangkap kamera dengan perawakan tubuh yang berbeda.

Zevanya terkekeh tidak percaya. "Apa gue boleh berasumsi?"

"Silakan."

"Apa mungkin ... Pelakunya lebih dari satu orang?"

Arga menipiskan senyumnya. "Kamu benar. Kalau hanya satu orang saya tidak masalah, saya tidak akan mengambil resiko untuk menikahkan kamu."

"Oke, kalau gitu kapan kita nikah?"

To be continued.