SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Pembunuhan Di Kastil Tua

Pembunuhan Di Kastil Tua

I. An Invitation

Gerimis mengguyur jalan berkelok yang membelah perbukitan. Malam telah beranjak larut, merapat ke pukul dua belas. Keheningan bertahta, hanya kepak burung hantu mencari mangsa yang sesekali terdengar. Sebuah taksi biru muda menyorotkan cahaya, memantul di aspal yang basah. Lajunya tak begitu cepat menyusur jalan perbukitan.

Taksi itu berhenti di depan bangunan tua besar mirip kastil yang temaram dipoles lampu redup kekuningan. Pagar besi menjulang dipasang berkeliling. Halamannya cukup luas, ditumbuhi beberapa pohon peneduh besar menambah keangkeran suasana. Alang-alang tumbuh di sana-sini, di antara semak yang tak terawat. Sekilas, bangunan itu seperti tak berpenghuni.

Seorang gadis muda, berkaki jenjang turun dari taksi dengan ragu. Rambutnya yang sebahu diikat rapi. Setelan blus kelabu gelap elegan dengan brand ternama tampak serasi dengan handbag yang berwarna senada. Sebuah travel-bag besar tergenggam di tangan. Wajahnya yang jelita tersaput make-up tipis yang mulai luntur.

Ia menoleh ke kanan dan kiri. Tak ada seorang pun di sekitar tempat itu. Kegelisahan merayap. Taksi meninggalkan sendiri dalam sepi. Sekali lagi, dilihatnya secarik kertas di tangan, memastikan bahwa ia sudah menuju alamat yang benar.

Tetapi bagaimana dia bisa memastikan?

“Semoga alamat ini benar ...,” gumamya.

Krieeet!

Ia membuka pagar besi yang tak dikunci. Deritannya terdengar menyeramkan, bak jeritan makhluk dari dunia lain. Kesan angker dari banyak film horor yang telah ia tonton, kini dialami sendiri. Dalam sekejap mata, ia berada di area taman yang banyak dikepung pepohonan besar tak kalah menyeramkan. Gelap masih menyelimuti sekitar. Dengan mengumpulkan sisa keberanian, ia terus melangkah menuju pintu utama yang terbuat dari kayu mahoni bersepuh pelitur mengkilap.

Dug-dug-dug!

Sebuah lingkaran besi tergantung di tengah pintu ia ketukkan tiga kali, menunggu empu rumah menampakkan diri. Tak lama, seorang wanita paruh baya bermuka agak keriput membuka pintu, menatap dengan tatapan aneh. Alisnya yang jarang nyaris bertemu di pertengahan kening.

“Selamat malam,” sapa tamu wanita berkaki jenjang itu.

“Anda...?” wanita paruh baya itu bertanya.

“Saya-saya Tiara. Tiara Laksmi,” jawab si tamu.

“Oh, silahkan masuk. Pak Anggara sudah menunggu anda,” perempuan paruh baya itu membuka pintu lebar.

Tamu wanita bernama Tiara Laksmi itu tertegun di ruang tamu megah. Ruangan besar yang dipenuhi dengan ornamen-ornamen misterius dan koleksi barang antik. Beberapa kepala rusa tertempel di dinding. Koleksi topeng Bali berwajah menyeringai menujukkan giginya yang tajam, menambah suasana mistis. Cahaya lampu temaram sengaja dipasang untuk kesan lebih angker. Di ujung ruangan terdapat cermin berbingkai ukir yang misterius. Karpet berwarna merah darah terhampar memenuhi ruangan.

Ruangan tamu ini terhubung dengan sebuah lorong cukup panjang yang dinding-dindingnya tergantung lukisan-lukisan abstrak aneh. Ujung lorong berakhir di sebah ruangan luas bernuansa marun, lengkap dengan perapian, meja makan besar dan ornamen lampu gantung abad pertengahan. Sejenak Tiara merasa seperti terlempar ke suatu tempat di antah-berantah beberapa abad sebelumnya.

Ia berharap tidak tersesat di istana para drakula di Transylvania.

“Tiara?” sapa seorang pria berumur tujuh puluh tahunan atau lebih. Rambutnya sudah memutih. Ia memakai setelan jas dan syal biru tua melingkar di leher. Pria tua itu duduk di ujung meja panjang, menatapnya lekat.

Tiara Laksmi mengangguk, menebar senyum kepada beberapa orang yang telah duduk di sana. Ada enam orang yang tidak ia kenal sebelumnya. Tiga orang wanita muda seperti dirinya, dan empat orang pria yang tak bisa dipastikan umurnya . Mereka menatap Tiara Laksmi dengan tatapan aneh, membuat wanita muda itu sedikit canggung.

“Maaf sedikit terlambat,” ucap Tiara.

Dengan isyarat tangan, pria tua itu mempersilahkan Tiara untuk duduk.

Dengan ragu-ragu Tiara duduk di kursi kosong, bersebelahan dengan pria muda dengan kumis tipis. Ia memakai sweater rajut warna hijau lumut. Pria muda itu mengulurkan tangannya pada Tiara.

“Cornellio Syam,” ucap pria itu lembut.

“Tiara Laksmi,” sambut Tiara.

Cornellio Syam? pikir Tiara.

Nama itu tidak asing di telinganya. Di dunia kepenulisan, nama Cornellio Syam cukup dikenal sebagai penulis novel horor yang jempolan. Karya-karyanya selalu best-seller dan diminati oleh pasaran. Tiara tidak menyangka akan bertemu muka dengan Cornellio Syam secara langsung.

Tiara Laksmi merasa sedikit rendah diri. Ia merasa sebagai penulis novel kelas teri seorang yang banyak menulis kisah romance murahan yang bertabur adegan dewasa. Suatu kehormatan bisa duduk satu meja dengan penulis terkenal seperti Cornellio Syam.

“Siapa lagi yang kita tunggu?” celetuk pria yang duduk di seberang meja. Rambutnya bercat coklat gelap, serasi dengan kulitnya yang pucat. Sekilas dia terlihat seperti orang Eropa. Ia juga memakai setelan jas ala barat.

“Kamu kenal dia?” bisik Cornellio ke telinga Tiara.

Tiara menggeleng seraya berkata pelan,”Aku tidak mengenal seorang pun di sini.”

“Dia adalah Michael Smith Artenton,” bisik Cornellio lagi.

“Michael Smith? Penulis cerita detektif yang terkenal itu?” pekik Tiara tertahan.

Pria yang disebut Michael Smith Artenton terlihat acuh tak acuh. Terlihat ia mulai bosan, menggigit-gigit kuku jarinya. Perilaku yang agak aneh untuk seorang pria dewasa. Setahu Tiara, Michael Smith adalah pria kebangsaan Amerika Serikat yang lama tinggal di Indonesia, dan menjadi penulis kriminal yang begitu tersohor.

Paling tidak ada dua penulis terkenal yang duduk semeja dengan dirinya. Sedangkan sosok-sosok yang lain masih tersimpan rapi dalam tabir misterius. Mereka duduk dengan tenang, tetapi menyembunyikan kegelisahan. Aura ketegangan menguar dalam ruangan ini.

Tiara masih teringat, ketika sebulan sebelumnya ia menerima undangan yang disengaja dikirim lewat ekspedisi. Undangan yang berasal dari Anggara Laksono, seorang milyuner tua pengusaha minyak yang terkenal di negeri ini. Milyuner itu mengirimkan undangan lengkap dengan selembar cek bernilai jutaan rupiah untuk biaya perjalanan ke kediamannya yang terpencil.

Entah apa maksud undangan itu, sampai saat ini Tiara juga belum begitu mengerti. Hanya ada sebuah pesan pendek tertulis dalam undangan itu.

Kami menghargai anda sebagai seorang penulis. Anda adalah satu dari penulis-penulis favorit saya. Suatu kehormatan apabila anda bersedia datang memenuhi undangan saya.

Cukup jelas bahasa undangan itu.

“Kita menunggu Adriana Chen,” ujar Tuan Anggara Laksono.

Adriana Chen? Nama itu juga tak asing di telinga Tiara. Penulis novel ber-genre romantis yang karyanya juga fenomenal, bahkan sebagian sudah dibuat film. Tentu akan menarik apabila pengarang itu bergabung dalam acara ulang tahun misterius ini.

Jadi apa maksud semuanya?

Ia merasa terkepung oleh penulis-penulis novel kelas kakap. Tiara merasa canggung, karena ia hanya penulis kelas remah kue yang omzet penjualan novelnya tak bisa disandingkan dengan mereka. Novel Tiara hanya dipajang di kios-kios kecil, dibaca sambil lalu. Atau bahkan teman nongkrong di toilet!

Tiga puluh menit kemudian, seorang wanita tinggi dengan rambut hitam tergerai dan bermata sipit tiba pula di ruangan itu. Ia memakai mantel bulu yang mahal dan topi lebar. Sangat elegan.

“Aku Adrianna Chen,” sapanya. Senyum misterius tersungging di sudut bibir.

Pak Anggara Laksono bertepuk tangan tiga kali, memberi isyarat kepada pelayan wanita paruh baya untuk menghidangkan makan malam yang terlambat. Satu-persatu makanan mewah disajikan, dengan aroma yang membangkitkan selera.

Sebelum memulai makan malam, Anggara Laksono memeberi sambutan.

“Saya berterima kasih kepada kalian semua yang telah hadir memenuhi undangan di hari ulang tahunku yang ke tujuh puluh tiga. Kalian tahu, beberapa tahun terakhir ini saya menghabiskan waktu dengan membaca. Kalian adalah delapan penulis novel favorit saya...,” ia menghentikan kalimatnya sejenak.

Seorang gadis di sampingnya memberikan segelas air putih.

“Terima kasih, Rani.”

Anggara Laksono menarik napas dalam-dalam.

“Aku mengundang kalian ke sini untuk berlibur menikmati perkebunan teh milikku yang luas. Bersenang-senang, karena itu adalah kebanggaan buatku bisa berkumpul dengan kalian. Aku merasa kesepian karena tinggal sendirian di sini. Hanya ada Helen, yang mengurusi rumah tangga, dan ini adalah Rania, asisten pribadiku.”

Seorang gadis cantik yang duduk di sebelah pak tua itu mengumbar senyum manisnya.

Semua yang hadir masih antusias mendengarkan. Tiara merasa sangat bangga berada di tempat itu. Paling tidak, namanya dapat disejajarkan dengan para penulis lain yang namanya sudah tersohor. Sungguh, ini kesempatan langka baginya. Kesempatan untuk berguru dengan para penulis senior sudah terbayang di depan mata.

****

II. The Dinner

Acara makan malam berlangsung khidmat. Lezatnya daging sapi yang lembut betul-betul memanjakan lidah para penulis itu. Suara denting sendok beradu dengan piring-piring porselen mahal sesekali dalam jamuan itu.

“Sungguh ini enak sekali, Pak Angga. Rasa steak ini tak ada tandingannya. Semuanya serba sempurna,” puji seorang wanita berambut bluish-black di seberang meja. Hidungnya mancung, berparas sangat cantik layaknya gadis-gadis dari Eropa Timur.

“Dia adalah Karina Ivanova. Pernah dengar?” bisik Cornellio pada Tiara.

Tiara menggeleng.

“Dia penulis novel klasik, percintaan antara pangeran dan putri-putri raja, peperangan dan semacamnya. Tahun lalu, skandal asmara bersama manajernya sendiri terungkap di media. Dia memang cantik kan?”

“Iya. Dia memang sangat cantik,” jawab Tiara sambil melahap potongan-potongan daging yang begitu lembut di lidah.

Tiara sempat menghitung jumlah penulis yang ada di undang di acara ulang tahun ini. Semuanya ada delapan orang termasuk dirinya. Sejauh ini ada empat penulis yang ia ketahui identitasnya.

Menjelang berakhirnya jamuan, dessert yang terasa segar di kerongkongan mulai di hidangkan. Puding beraneka-ragam buah terasa manis menyapu mulut. Ada pula beberapa cakes yang begitu lembut. Semua merasa puas dengan hidangan yang disajikan.

“Helen yang memasak ini semua,” kata Anggara Laksono

Dalam otak Tiara langsung tergambar perempuan paruh baya yang menyambutnya pertama kali. Ia mencoba beradaptasi untuk mengenali lingkungan yang benar-benar baru baginya. Orang-orang di rumah ini terlihat asing, tak ada seorang pun yang ia kenal.

Mungkin hanya Cornellio Syam.

Ketika Helen merapikan sisa-sisa makanan, Pak Tua Anggara Laksono membetulkan letak duduknya. Menatap para penulis satu persatu.

“Aku akan mengutarakan pendapatku mengenai kalian. Yang pertama, aku akan mengulas tulisan Maira Susanti,” mata Anggara menatap tajam ke arah perempuan muda yang duduk di sisi kirinya. Wanita muda itu tersenyum angkuh. Rambutnya tertata rapi, dengan hiasan jepit rambut berbentuk kupu-kupu.

“Maira Susanti. Siapa yang belum kenal dengannya? Aku suka dengan gaya bahasa dan alur ceritanya tentang petualangan manusia ke planet lain. Dia menggambarkan Planet Mars dengan sangat indah, tidak berkawah-kawah. Penuh dengan rumah kaca yang banyak ditumbuhi bunga-bunga berwarna ungu. Aku suka sekali, Maira.”

“Suatu kebanggaan buat saya,” kata Maira Susanti.

Tiara memang pernah mendengar nama Maira Susanti. Pengarang itu cukup dikenal dengan karyanya yang berjudul Petualangan di Planet Merah. Sebuah novel futuristik yang dikemas dengan bahasa indah.

“Berikutnya adalah novel karya Aldo Riyanda,” tatapan Anggara Laksono beralih ke pria muda tampan yang duduk di sisi kanannya.

Kulitnya bersih, dengan style rambut kekinian. Sungguh sedap dipandang mata.

Tiara juga pernah mendengar nama Aldo Riyanda yang melangang buana di dunia penulis dengan karyanya yang cukup fenomenal. Sang Pejuang, novel yang ditulis Aldo Riyanda pernah menjadi trending topic di kalangan penulis karena gaya bahasanya yang indah, dan ide cerita yang berbeda.

“Aku suka membaca tentang perjuangan seseorang yang bukan siapa-siapa menjadi orang yang paling tersohor di masyarakat. Dia begitu jenius mempermainkan perasaan pembacanya,” puji Anggara pada Aldo Riyanda.

Pria muda itu tersenyum, dan mengangguk.

Selanjutnya, Anggara Laksono mengulas satu persatu novel yang ditulis oleh masing-masing penulis yang diundang.

Michael Smith Artenton, dengan novel detektifnya yang brillian, mengungkap kasus pembunuhan berantai di Kota New York.

Adrianna Chen, penulis kisah romansa kehidupan rumah tangga yang berliku, sangat memanjakan para pembacanya. Adrianna dengan bahasa yang lugas, menyulap sebuah masalah rumah tangga menjadi begitu epik.

Karina Ivanova, pengarang klasik yang begitu dikenal dalam kisah Gwyneth dan Sang Pangeran, cukup diminati penggemar kisah-kisah fantasi yang bertaburan kisah kurcaci, elf, naga dan penyihir.

Hans Christopher, penulis yang duduk di seberang Tiara, pria berwajah dingin tanpa ekspresi, mengingatkan pada tokoh Edward Cullen dalam film Twilight. Bahkan ketika novelnya dibahas oleh Anggara Laksono, tak secuil senyum ia perlihatkan.

Tiara mendengus.

Mengapa ada orang sedingin ini?

Hans Christopher menulis novel fantasi yang epik. Mitos-mitos Yunani berpadu dengan kehidupan modernitas. Saat Dewa Zeus yang menyamar ke dunia manusia dalam pencariannya terhadap pusaka yang diperebutkan oleh Hera. Novel yang membutuhkan kejelian berpikir.

Pembahasan selanjutnya beralih ke pria yang duduk di samping Tiara.

Cornellio Syam, penulis horror murni yang berkisah tentang dunia ghaib dan seluk-beluknya. Alam arwah yang misterius dan penampakan berupa-rupa hantu yang mengerikan. Karyanya selalu ditunggu para penggemar horror di negeri ini.

“Berikutnya adalah Tiara Laksmi,” Anggara Laksono menatap Tiara dengan tajam. Semua mata tertuju padanya. Mereka memandang heran.

Penulis apakah ini? Bahkan nama Tiara Laksmi tak pernah ada di toko-toko buku? Pikir sebagian besar penulis yang ada sana.

“Dia adalah penulis berbakat. Alurnya bagus, tapi sayang belum dilirik oleh penerbit terkenal. Aku tak sengaja membaca novelnya di sebuah kios buku pinggir jalan. Bahasanya vulgar, tapi cukup menarik ...,” lanjut Anggara Laksono.

Tiara menunduk. Sungguh, ia tak layak berada di tempat ini. Ada beberapa penulis yang memandangnya dengan tatapan melecehkan. Tiara bisa menerima itu. Ia memang bukan siapa-siapa.

“Mengapa Pak Anggara bisa tertarik dengan penulis kelas kacang goreng seperti dia?” tanya Maira Susanti.

“Kelas kacang goreng? Kamu salah, Maira. Dia bukan kacang goreng. Dia adalah sebutir berlian yang belum digosok. Cahayanya yang cemerlang masih terselubung...,” bela Anggara Laksono.

“Kuharap anda tidak salah pilih orang,” ujar Maira Susanti tersenyum culas.

Nyali Tiara Laksmi menciut. Rasa percaya dirinya runtuh berjatuhan, berserakan bak bunga sakura di musim gugur. Walaupun begitu, Tiara bisa menerima. Dibandingkan semua penulis di sini, dia adalah penulis level akar rumput. Novel murahan miliknya dibaca seperempat juta hidung belang di negeri ini. Para sopir, kuli bangunan, pekerja kasar yang ingin memuaskan hasrat hewaniahnya.

Kini, Tiara merasa seperti dikuliti hidup-hidup, dibongkar semua aib yang menyelubunginya. Tatapan mencemooh dari author lain membuat nyalinya makin menyusut. Bagai tikus kecil tersudut di ujung ruangan, terjebak kepungan para kucing!

“Tenanglah. Dia memang penulis yang mempunyai attitude tidak baik,” bisik Cornellio menenangkan.

“Aku nggak apa-apa kok. Terima kasih.”

Malam semakin beranjak larut, tetapi tak ada seorang pun dari mereka yang mengantuk. Mereka masih antusias mendengarkan cerita Anggara Laksono yang misterus. Cangkir-cangkir kopi masih diedarkan.

“Maaf. Aku nggak minum kopi,” tolak Tiara, ketika Cornellio mengulurkan cangkir kopi kepadanya.

“Mengapa?”

“Aku nggak suka kafein,” jawab Tiara.

“Kafein nggak akan memacu hasrat bercintamu,” Cornellio tersenyum nakal.

Tiara gelagapan.

Pak Tua Anggara masih melanjutkan ceritanya. Istrinya telah meninggal beberapa tahun lalu, tanpa meninggalkan satu keturunan pun. Kanker rahim telah merenggut nyawa wanita cantik yang lukisan dirinya terpajang di ruang tengah. Anggara Laksono menyewa pelukis kenamaan untuk mengabadikan istrinya dalam bingkai pigura yang berukir indah.

Harta Anggara begitu berlimpah, tanpa tahu akan dihibahkan ke siapa apabila dia meninggal. Sehari-hari, dia dilayani oleh Helen, asisten rumah tangga, Rania sang asisten pribadi dan Yoga, seorang tukang kebun. Ia bercerita bahwa ia telah menulis surat wasiat yang telah ditandatangani notaris, tersimpan rahasia di brankas pribadinya.

“Wanita yang cantik. Anastasia ...,” kenang Anggara Laksono.

Ia mengajak para author berkumpul di ruang tengah, dekat perapian, mengamati lukisan besar yang tergantung di sana. Lukisan wanita begitu anggun dengan gaun putih bak busana pengantin.

Mereka menikmati malam yang terasa panjang. Sampai pada akhirnya, Anggara Laksono berpamitan akan beristirahat.

“Antar mereka ke kamar masing-masing Helen. Pastikan besok, mereka bangun dalam keadaan bahagia, dan membawa suasana lain. Besok akan ada kejutan manis buat mereka semua,” ujar Anggara Laksono dengan senyum penuh arti.

Tiara tak dapat menangkap arti di balik senyum itu.

Helen mengantarnya ke sebuah ruangan berpintu merah.

“Semoga istirahatmu menyenangkan,” pesan Helen.

“Terima kasih, Helen.”

-

Malam kian berlanjut larut. Tiara menutup pintu kamar, ingin segera mengistirahatkan raganya yang didera rasa lelah.

***