SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
TUMBAL RUMAH SAKIT

TUMBAL RUMAH SAKIT

Kejahilan Radit

Gea Agnestia, wanita cantik berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya telah tiada, Ia tinggal bersama Ibunya, Sera. Gea memiliki kedua sahabat kecil bernama Via dan Radit.

Ini tahun terakhirnya bersekolah. Gea, Via dan Radit baru saja pulang dari rapat kelulusan di sekolah.

"Sudah kuduga! Kau ini memang menyebalkan Dit!" teriak Via seraya mengejar Radit. "Berikan tasku itu! Atau tidak kau akan kupukul!"

"Pukul saja! Lagi pula belum tentu kau bisa mengejarku! Ayo cepat! Kau lambat sekali!" ejek Radit. Ia terus mengusili Via.

Gea menatap mereka dari belakang seraya tertawa. Radit memang jahil dan tengil.

Hari itu mereka putuskan untuk pergi ke rumah pohon dekat danau. Tempat mainnya sejak kecil. Jarak dengan rumah mereka lumayan jauh dan tak searah. Sejak kecil mereka selalu berbohong untuk pergi ke tempat itu. Tentunya, karena tak diizinkan oleh Ibu dan Bapak.

"Lambat sekali! Tidak ada kemajuan! Kau selalu lambat!" teriak Radit. "Siput saja akan memenangkannya kalau disandingkan denganmu."

Sampailah di rumah pohon itu, Radit langsung memanjat.

"Awas ya kau Radit!" Via berusaha memanjat pohonnya.

"Biarkan saja anak itu. Ia memang mengjengkelkan. Lebih baik kita duduk di tepi danau saja yuk," ajak Gea pada Via.

Tatapan murka Via masih pada Radit seraya berjalan menjauh. "Awas saja kau Radit!"

Dari rumah pohon, seperti biasa Radit selalu melompat ke danau.

BYUARRRR!!

"Ayolah ... Kita bersenang-senang!" Radit memercikan air seraya tertawa. "Rasakan ini!"

"Ck! Argh!" ketus Gea. "Basah Radit! Kau mahu kalau aku masuk angin?"

"Lebay!" Radit terus memercikan air dengan sikap tengilnya.

"Aku harap kau diterkam buaya" murka Via.

"Mana buaya? Aku dengannya kan sama-sama buaya. Akan kuhabisi dia," ejek Radit, merendahkan.

"Dih ... lagakmu sangat menyebalkan sekali!" kata Gea seraya mendelik.

"Bawa santai saja. Kapan lagi kita akan bersenang-senang seperti ini? Kurang dari satu minggu kita akan merayakan kelulusan. Nanti ... kau tak akan memiliki waktu banyak!"

"Iya ... maksudku bisa tidak kalau kau diam saja? Duduk manis menatap sunset. Kau memang pecicilan." Gea langsung memilih tempat yang kering.

Radit tak mendengar ucapan Gea. Ia tetap bebal, menggoda Gea dan Via hingga kesal.

"Sudahlah Radit! Atau tidak aku tak akan segan-segan membunuhmu!" murka Via.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Radit masih belum selesai berenang.

"Sudahlah Dit, apa yang kau cari di sana? Naiklah ... sudah terlalu lama kau berada di sana," ucap Gea seraya menatap Radit.

"Iya, kau tidak akan menemukan mutiara dan harta karun di dalam sana," timpal Gea.

Radit hanya terdiam. Tak ada pergerakan dalam tubuhnya. Hal itu membuat Gea dan Via keheranan.

"Dia kenapa?" tanya Via.

"Dia hanya cari perhatian saja. Sudah, hiraukan ...." Gea alihkan pada pembicaraan sebelumnya.

"Sampai mana kita tadi—" (jawaban Via terpotong oleh teriakan Radit).

"Ah! Tolong-tolong! Kakiku keram!" teriak Radit dengan histeris. Radit tidak bisa menenangkan dirinya. Beberapa kali Ia tenggelam.

Hal itu sontak membuat Gea dan Via tercengang.

"Vi!"

"Gea! Sepertinya Radit tak berbohong." Tentunya Via dan Gea panik melihat Radit tenggelam.

Gea dan Via langsung berlari menyelamatkan Radit. Mereka berdua membuka sepatu yang dipakai. Lalu berenang menuju Radit.

"Bertahanlah Radit!"

Mereka berusaha menggapai tubuh Radit yang berada jauh ditengah danau. Hingga mereka berhasil merangkul tubuhnya

"Radit!" teriak Gea. Ia memegang lengannya, mendongkakkan kepalanya agar bernapas. "Bernapaslah ...."

Begitu pun juga Via. Ia melakukan hal yang sama di samping kanan Radit.

Napasnya terengah-engah. "T-tolong! Aw-shh! Tapi bohong! Heheheh!" Raut wajahnya berubah seraya tertawa. "Memangnya ... kalian pikir aku bodoh dalam berenang?"

Raut wajah Gea yang panik seketika berubah. "Kau!" Ia langsung menenggelamkan Radit. Begitu pula dengan Via.

"Rasakan! Aku tenggelamkan kau!" murka Via. Ia tak memberikan satu pun hirupan oksigen pada Radit.

Radit berusaha mengambil napas. "Ck-ah! Iya-iy—" (ucapnya terpotong karena langsung ditenggelamkan lagi).

"Ak-minta maf—"

"Sudah Vi, kita tinggalkan saja! Awas kau Radit! Tidak ada kelucuan atas sikapmu ini."

Lagi-lagi Radit memercikan air ke arahku juga Via.

"Ck! Argh! Mahunya apa sih Radit!"

****

"Untungnya aku dan Via membawa baju olahraga," ucap Gea seraya mendelik.

Hari semakin gelap. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali pulang.

"Heheheh ... ya sudah, maafkanlah aku wahai kedua isteriku," timpal Radit.

"Sikapmu memang tengil! Tak bisakah kau bersikap layaknya manusia biasa? Menjengkelkan sekali!" sahut Via. "Lagi pula, aku dan Gea tak ingin menjadikanmu suami. Justru ... pilihan kami sangat bertolakbelakang dengan sikapmu."

"Itu bukan masalah yang besar ... masih ada 23 kandidat pilihan yang berada di ruang hatiku. Kalau kalian tak ingin, pergilah ...."

Hanya ada suara langkah dari gesekan sepatu mereka. Saat itu juga tidak ada kendaraan yang berlalu-lalang.

"Tumben gelap dan sepi ...." Via mengamati sekitar.

"Memang selalu seperti ini. Kau tak pernah keluar rumah saat malam hari?" tanya Gea. "Beberapa rumah memang sering mati lampu."

Jarak mereka dengan rumah sudah semakin dekat. Dari jauh terlihat pedagang nasi goreng di depan bangunan besar yang terbengkalai.

"Lapar ...." Radit memelas.

"Rumahmu sudah di depan mata. Bersihkan tubuhmu terlebih dahulu lalu makanlah."

"Ibuku menyuruhku makan diluar ... hari ini Ia tak memasak." Tatapannya menatap pedagang nasi goreng.

Gea dan Via menghiraukannya. Berbeda dengan mereka, pemikirannya ingin segara beristirahat dan membersihkan tubuh. Rasanya tubuhnya sudah mulai lengket, kata Gea.

Mereka kini sudah sampai di pertigaan jalan. Gea dan Via berpegangan hendak menyeberang.

"Peganglah tanganku," ucap Via.

"Radit, ikutlah menyebrang," timpal Gea tanpa menoleh.

Dipertengahan jalan Gea menoleh ke arah belakang.

Tatapan Gea menatap Radit yang sedang terdiam seraya memelas. Ia sedang menatap pedagang nasi goreng yang kala itu sedang sepi pembeli.

Gea menghentikan langkahnya. Gea langsung menarik Via saat itu untuk kembali kebelakang menuju Radit.

"Belilah ... bukannya Ibumu sudah memberikan uang saku untukmu?" ucap Gea dengan rasa iba.

"Sudah kubelikan ikan." Radit terlihat kasihan.

"Ikan?" tanya Gea keheranan.

Wajah Via sudah terlihat kesal. "Ck! Sudahlah! Kau tidak usah berlagak seperti korban. Kau hamburkan uangnya untuk membeli ikan tak berguna itu kan? Makanlah semua ikan-ikan itu."

Gea mengerutkan keningnya tak mengerti. "Lalu? Ikannya ke mana?"

"Sudah kusimpan di kolam dekat danau."

"Aku tak mengerti." Gea masih mencerna kenapa Via terlihat murka. "Ya sudah ... sisa uang itu belikan nasi goreng."

"Dia membeli empat ikan cupang Gea ...." timpal Via. "Dia membeli ikan itu dan membiarkannya di danau buatannya yang Ia gali sendiri di tanah."

"Kau telah memedulikan orang yang salah." Via mengerutkan bibirnya, terlihat kesal. "Sudahlah biarkan saja, Ia harus merasakan kelaparan seperti ikan-ikan itu. Aneh, usiamu sudah delapan belas tahun. Kau masih saja seperti ini."

"Lalu, mengapa kau membeli ikan cupang itu?"

"Sudah lama aku ingin mengoleksi ikan cupang. Ibuku tak mengizinkanku. Ya sudah ... kusimpan di kolam buatanku."

"Mengoleksi?"

"Kan? Sudah sepantasnya memang Ibumu murka terhadapmu, kalau kau anakku sudah kubuang sejak awal di gorong-gorong," gerutu Via.

"Tunggu ... kau mengoleksi? Berarti kau sudah membeli banyak?" Gea masih bertanya-tanya tak percaya.

"Oh ayolah Gea, ketidakpercayaanmu itu benar." Via mendelik, seraya menyilangkan kedua tangannya.

"Ya ... ikanku sudah banyak." Lagak Radit bangga dan sombong. "Kusisihkan uang untuk membelinya."

"Dan kau tinggalkan mereka tanpa makanan?" ucap Gea, raut wajahnya mulai berubah.

"Ya, karena Ibuku pasti akan marah."

Gea mengembuskan napasnya dengan kencang. "Kau goreng saja semua ikan-ikanmu itu. Sekarang tanggung lah akibat dari perbuatanmu itu." Gea langsung menarik tangan Via untuk menyebrang. "Biarkan saja dia merasa kelaparan seperti ikan-ikannya."

"Tunggu ... kumohon. Besok kuganti uangnya."

****

Suara spatula saling beradu dengan wajan. Aroma dari bawang putih kian menyebar.

"Terimakasih kedua sahabatku." Radit kini tersenyum bahagia. Perutnya yang keroncongan terus meraung-raung.

"Satu nasi goreng," kata Pak Suryo, penjual nasi goreng. "Satu?" Pak Suryo menghitung keberadaan kami. "Tiga orang ... nasi gorengnya satu? Kalian akan menonton mukbang dari temanmu?"

Gea dan Via berusaha menutup rasa kesalnya dengan senyuman. "Ya ... kami sudah kenyang," ucap Gea langsung menoleh menatap Radit tajam.

"Tadinya aku akan mentraktir mereka. Mereka menolaknya," ucap Radit dengan dingin.

Via mengerutkan keningnya. Tangannya seraya mengepal.

"Jaga sahabatmu itu, Nak. Zaman sekarang, susah cari teman yang menerima apa adanya, teman yang saling menjaga, apalagi teman yang selalu memberi." Nasehat Pak Suryo, seraya mengelap meja.

"Aku sudah tahu."

"Tentunya, Pak Suryo. Kami sudah bersama dari kami kecil. Sudah lima belas tahun lamanya," jawab Radit, seraya menyantap nasi gorengnya. "Siapa yang membantu berjualan, Pak? Deni biasanya membantu Pak Suryo. Kemana Deni sekarang?"

Pak Suryo termasuk salah satu tetangga mereka. Rumahnya tak jauh dari tempat Ia berjualan.

"Anak saya Deni, pulang kampung ... sudah beberapa bulan Ia mengalami sakit keras."

"Deni sakit apa?" Radit dengan cepat menelan kunyahannya. "Apa dia tak dilarikan ke rumah sakit?"

"Sudah bolak-balik rumah sakit, penyakitnya tidak ketemu."

"Kok bisa?" tanya Gea.

Pak Suryo tersenyum sendu. "Do'akan saja ya ... semoga Deni cepat pulih."

"Aamiin ... kami selalu mendoakan yang terbaik untuk Deni," jawab Gea, Radit dan Via secara berbarengan.

Suasana kembali hening. Hanya suara sendok dan piring yang beradu. Radit dengan nikmat menyantap nasi gorengnya.

"Memangnya tidak takut berjualan sendirian, Pak?" ceplos Radit. "Bapak kan tahu sendiri daerah sini seperti apa ... apalagi—" (ucap Radit terpotong).

"Sudah!" kesal Via. "Kau memang tak pernah tahu tempat, Radit! Habiskan saja makananmu. Lagi pula, besok kita harus menjalankan aktivitas lagi."

"Ya bagaimana? Takut atau pun tidak, saya kan juga harus tetap berjualan untuk keluarga saya," jawab Pak Suryo. "Apalagi ... ya kalian sudah melihatnya kan. Depan gedung tua dibelakang."

"Memangnya ... pernah ada kejadian apa?" tanya Radit. Ia masih menyantap nasi gorengnya.

"Ah ... jangan ditanya lagi." Pak Suryo melirik ke arah gedung tua itu. "Tak hanya satu ... dan 'mereka' jahil."

"Memangnya 'mereka' melakukan apa?" desak Radit.

Gea langsung mencubit lengan Radit. "Sudah ... segera habiskan makananmu. Kau membuat suasananya menjadi tak nyaman."

"Ya ... aku hanya ingin mengetahuinya saja. Memangnya tidak boleh?" Radit seraya mengelus-elus tangannya yang sakit.

"Ya kau pikir saja ... kau bertanya langsung di tempatnya. Kau pikir 'mereka' tak akan mendengar," timpal Via, murka.

"Mereka terkadang membeli dagangan saya, lalu membayarnya dengan uang daun," singkat Pak Suryo.

"Yang paling parah?" tanya Radit lagi.

"Menampakkan wajahnya yang hancur," lanjutnya.

Seketika Gea merasa badannya panas dan merinding. "Sudah!" sergahnya. "Aku pikir bukan waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan ini."

"Ceritakan, Pak!" seru Radit.

"Kau ini!" ucap Via seraya memukul. "Tak bisa kah kau diam saja?! Kau memang menyebalkan."

Penjual itu duduk di bangku kosong tepat di samping Gea. "Saya beritahu beberapa hal yang mungkin akan membantu kalian."

Suasana kembali hening lagi. Mereka langsung memasang kuping dan mendengarkan Pak Suryo dengan seksama.

"Lebih baik kalian tidak pernah tau tentang itu semua. Karena mereka 'mengincar' ... lebih baiknya lagi, pergi menjauh." Pak Suryo langsung menoleh ke arah pembeli lain yang baru datang.

"Pesan apa, Mas?" tanya Pak Suryo seraya melayani.

Radit mengerutkan keningnya. "Loh ... itu bukan cerita Pak."

"Sudah ... ingat saja kata-kataku itu. Mungkin itu semua akan membantu kalian."

****

Sepanjang jalan menuju rumah, Gea masih mengingat kata-kata Pak Suryo.

"Heh!" Lamunannya dibangunkan oleh Radit. "Kau mahu kemana? Rumahmu sudah di sebelahmu."

"Kau sedang memikirkan apa? Tampaknya banyak sekali beban di dalam benakmu," lanjut Via.

"Ah ... tidak. Aku hanya sedikit kecapekan. Ya sudah, kalian pulang dan beristirahatlah." Tanpa menoleh Gea langsung masuk ke dalam rumah. "Jangan lupa besok untuk menyiapkan beberapa berkas perbaikan nilai rapot kalian."

"Byee Gea ... besok aku akan kembali menyapamu di pagi hari," teriak Via.

"Bye," ketus Radit. Radit langsung masuk ke rumahnya.

"Iwh malas!" balas Via pada Radit. "Hidupmu sok dingin dan misterius."

****

Waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi. Tak ada rasa kantuk yang datang. Rasanya, Gea sangat penasaran dengan apa yang telah diucapkan Pak Suryo.

"Memangnya kenapa? Apa yang telah terjadi? Bukankah selama ini aku tinggal di desa ini? Lagi pula, sampai saat ini aku merasa aman dan baik-baik saja." Gea mengganti posisi rebahannya. Ia membuang napasnya dengan kencang. "Ya ... semua itu hanya omong kosong saja. Aku tidak akan mudah percaya pada mitos itu, orang-orang aneh."

Tak lama dari itu, seketika Gea mendengar sayup-sayup dari seorang wanita yang menangis seperti merintih kesakitan.

Jrenggg

Sontak Gea langsung menoleh ke arah pintu. Gea fokus pada suara itu. Suaranya menjauh tetapi lagi-lagi mendekat, itu terjadi beberapa kali. Ia menatap sekeliling kamarnya dengan waspada. "Hah? Siapa yang menangis?" Jantungnya mulai berdegup kencang.

Perlahan suara itu pun menghilang.

"Aneh." Gea berusaha mendengarkan lagi suara itu dengan teliti. "Apa suara kucing birahi?"

Dan suara itu terdengar kembali, kali ini terasa jauh namun dekat.

Tubuhnya perlahan mulai lemas, Ia menakutkan hal buruk yang akan terjadi, Gea memutuskan untuk menutup matanya. "Sudahlah, tidur Gea!" Lagi-lagi fokusnya teralihkan. Gea terkejut karena suara itu semakin terdengar jelas.

Rasa takut dan penasarannya kini sama-sama sebanding. Sesekali Gea ingin sekali melihat keadaan ke arah luar, lagi-lagi Ia mengurungkan niatnya.

Suara tangis itu semakin menggema di telinganya, membuat fokusnya pun terganggu. Kini suara itu berubah menjadi suara Sera, Ibu Gea.

"Ibu? Kenapa Ibu menangis di tengah malam? Apa Ibu rindu pada ayah?" batin Gea. Kini pikirannya berubah menjadi rasa khawatir. Sempat Ia berkelahi dengan pikirannya sendiri.

'Keluar atau tidak? Kurasa, suaranya pun bukan di dalam rumah'. Tersirat di pikirannya, Gea terus bermonolog.

Perlahan dengan tekad yang besar, Gea melangkahkan kakinya menuju pintu kamar. Jari jemarinya mulai memegang handle pintu.

"Jika sesuatu hal terjadi menimpaku, aku akan berteriak dengan kencang. Lagi pula, Ibu bersamaku," batin Gea, Ia terus menguatkan dirinya sendiri.

Akhirnya ... Gea putuskan untuk keluar dari kamar, Ia membuka pintu kamarnya dengan perlahan. Matanya mengintip ke arah sekitar, hingga tertuju pada jendela yang terhubung ke arah luar. Suara itu kembali terdengar.

"Aduh ... kau harus terus melangkah Gea. Setidaknya rasa penasaranmu sudah terbayarkan," batinnya.

Gea mendekati ke arah sumber suara tangis itu, sampailah di depan jendela yang terhubung ke arah luar. Ia meraih tirai yang berada di hadapannya. Perlahan Gea mulai mengintip.

Tidak ada siapapun di sana. Suasana tampak sepi dan sunyi.

"Aneh!" Gea mengerutkan keningnya. Ia terus mengamati sekitar pada malam itu.

"Apa suara itu berasal dari kamar Ibu?" Gea menoleh kebelakang, ke kamar Sera. "Tidak, kurasa dari arah luar."

Gea kembali mengintip dari tirai. "Hah?" Ia melihat seseorang sedang duduk di teras membelakanginya. Gea menyipitkan matanya. Dan benar saja, seorang perempuan di teras depan rumahnya sedang menangis merintih. Suara itu terdengar lagi. "Siapa dia?" Gea terus bertanya-tanya. Jantungnya mulai berdegup kencang. Perlahan wanita itu mendongakkan kepalanya, Ia mulai menoleh pada Gea.

Refleks Gea langsung menutup tirai itu dengan rapat. Dengan cepat Gea berlari masuk ke kamar.

****

"Tidak ... kumohon tidurlah Gea! Kumohon! Kau tak boleh menyusahkan dirimu sendiri." Gea menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Yang paling menjengkelkan dirinya, tubuhnya mulai mengeluarkan keringat.

Suasana malam itu sangat hening. Hanya Gea bersama dengan rasa takutnya.

Ckiettt

Suara pintu kamar Gea perlahan mencekit mulai terbuka.

"Siapa? Tak mungkin kalau itu Ibu, Ibu selalu mengetuk pintu terlebih dahulu," batinnya. "Ah sialan!"

Gea tetap pada pendiriannya ... Ia tetap terus berpura-pura tertidur.

Tok ... tok ... tok

"Anes ...." Seseorang memanggil Gea dengan sebutan itu.

"Tidak mungkin, itu sebutan namaku pada saat aku kecil, siapa?" gumam Gea. "Perlahan Gea mulai mengintip dari celah dalam selimut.

Separuh wajah sudah mengintip dari samping pintu. Tatapannya begitu tajam menatap ke arahnya.

'Ya ampun! Wajahnya hancur, senyumnya begitu menyeringai'.

Perlahan Ia semakin mendekat. Tubuhnya bungkuk, Ia mengendap-endap berjalan ke arah Gea. "Anes ...."

"Tidak mungkin ...." Tubuh Gea tidak bisa digerakkan. Ia hanya bisa terdiam kaku sembari melihat sosok itu yang semakin mendekat.

Aroma anyir darah semakin menyengat.

"Tidak, tidurlah Gea. Ini akan menjadi mimpi buruk seumur hidupmu!" Gea berusaha menutup matanya, tetapi karena rasa penasarannya yang besar lagi-lagi Ia mengintip.

Jrenggg

Dia sudah dihadapannya.

"Tidak, tidurlah ... berpura-pura tidur Gea! Tenangkan dirimu," batin Gea.

"Anes ... aku sudah tahu anes," Sosok itu tertawa, mengejek. Tawanya begitu melengking. "Aku di sini," bisiknya.

Tubuh Gea seketika lemas mendengarnya.