SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Misteri Kota Yang Hilang

Misteri Kota Yang Hilang

LIBURAN YANG TERPAKSA KE PERU

“Hoiiiiii……tunggu dong !!“ lantang terdengar suara teriakan Mama.

Papa, aku dan Arya adikku sejenak menghentikan langkah-langkah kami. Nampak dari balik rerumputan setinggi bahu, Mama muncul dengan wajah capek sekali. Tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah, wajah capek Mama disertai dengan kedua alis bertaut satu sama lain, yang artinya bahwa Mama lagi marah.

“Sumpah mati, ini terakhir kalinya aku ikut kalian, petualang-petualang sableng !“ terdengar Mama mulai lagi dengan pidato-nya.

Aku sendiri jujur saja sudah mulai capek, apalagi di ketinggian lebih dari 3000-an meter di atas laut seperti ini, udara dingin yang di campur dengan tekanan atmosfer memang benar-benar mengganggu. Kalau saja tak ingat dengan cita-citaku untuk menjadi seorang arkeolog terkenal, takkan pernah mau aku bersusah payah datang di Peru, salah satu negara tempat berkumpulnya para Arkeolog ternama, untuk menggali misteri bangsa Inca, yang hingga saat ini masih menjadi tanda tanya terbesar. Rasa penasaran terbesarku juga.

“ Tenang, Ma...udah mau sampe, kok ! nggak lama lagi, tuh puncaknya udah keliatan. “ ujar Papa mencoba untuk menenangkan Mama yang sudah mulai kumat lagi cerewetnya.

Aku hanya senyum pegel (gimana ya, model senyum pegel itu ? mungkin senyum campur pegel, barangkali?), sambil mulai melanjutkan langkahku, menaiki gunung.

“Tenang...tenang...tenang...enak saja Papa bicara, kaki Mama nih...sudah bengkak kayak kaki gajah !!.. “ rutuk Mama sebal.

Papa kelihatan mengkerut, kalau hidung Mama sudah kembang kempis kayak kerbau yang baru mau diadu, lebih baik tutup mulut, daripada dilempar pake sandal seperti biasanya.

“Dasar pelit !! katanya liburan...ini sih bukan liburan, kalau orang mau liburan, itu buat ngilangin stress, bukannya bikin tambah stress kayak gini. Dasar Papa pelit ! Nggak mau keluarin duit buat liburan, ke pegunungan Alpen kek, ke Paris kek, ke Amerika kek, DASAR PELIT !! “ rupanya Mama masih belum puas juga mengomeli Papa.

Kami semua hanya diam, sebab kalau ada yang buka suara, pasti omelan Mama bakalan tambah panjang 2 hari 2 malam lagi.

“ Papa yang mau kerja, kita yang ikut-ikutan repot. Pakai acara bilang mau liburan, lagi  !!“ kali ini wajah Mama sudah lebih mirip dengan kepiting rebus, itu artinya bahaya sudah sampai pada level terakhir.

“ Ini kita juga kan ke Amerika, Ma..Amerika bagian Selatan, maksudnya..” Arya menyahuti omelan Mama yang lalu diikuti oleh suara mengaduh,

Aduh !! sakit nih Ma...Arya kan Cuma bercanda... “ benar kan ? sandal gunung Mama tiba-tiba sudah melayang ke kepala Arya dengan kecepatan yang lumayan.

Entah bagaimana Mama bisa melakukan hal itu, membuka sandal gunung yang banyak talinya dengan cepat, dan melemparnya keatas kepala Arya.

“ Kamu sama saja dengan Papa kamu !! HUH ! “ tergesa Mama memakai kembali sandal gunungnya, lalu melangkah maju menaiki gunung.

Mungkin karena rasa marah, tanpa sadar Mama sudah berjalan jauh melewati kami, hingga dua menit kemudian baru tersusul oleh kami bertiga. Mama tengah duduk diatas batu ditepi jalan setapak sambil menangis karena kehausan. Air minum bekal milik Mama sudah habis.

“Papa benar-benar nggak punya perasaan sayang sama Mama, katanya mau ngajak Mama liburan, tapi malah

bikin Mama susah kayak gini....“ ratap Mama, yang sekilas mirip-mirip ibu-ibu di filem-filem India, pake acara goyang-goyang kepala segala.

“Mama sih...pake acara jalan duluan, air minum Papa tinggal sedikit nih...“ keluh Papa tapi tak berani meninggikan suaranya, karena sudah keburu dipelototin Mama.

Enam jam kemudian, setelah berjalan hampir selama 10 jam, sampai juga kami akhirnya di tujuan. Sepertinya bekas salah satu perkampungan bangsa Inca. Benar-benar mengagumkan, apalagi saat melihat bekas rumah-rumah mereka yang di atur sedemikian rupa hingga terbentuk seperti sawah-sawah yang ada di Bali, berpetak-petak dan juga berbentuk seperti tangga besar yang setiap anak tangganya mempunyai sederetan rumah yang saling sambung-menyambung.

Bekas-bekas kampung tersebut banyak yang kini tinggal reruntuhan. Memang sangat menyedihkan bagi para arkeolog, karena sangat sulit bagi mereka untuk menyelesaikan sebuah penelitian bila yang tertinggal hanya

reruntuhan saja, karena segalanya harus disambung-sambung satu persatu, dan itu memakan tak hanya waktu yang banyak, tetapi juga dana penelitian yang tak sedikit.

Apalagi, orang-orang di bagian Amerika Selatan seperti di Peru ini, masih agak mirip-mirip seperti Indonesia,

banyak yang tidak pernah mengecap pendidikan di bangku sekolah, sehingga masih cukup banyak yang tidak tahu tentang pentingnya pelestarian peninggalan-peninggalan bersejarah semacam itu. Ditambah dengan kurangnnya informasi karena tempat tinggal mereka yang terisolasi, sehingga sering terjadi perusakan masal tempat-tempat bersejarah peninggalan jaman purba dengan alasan untuk mencari harta karun.

Di negara seperti Peru, ada banyak situs-situs peninggalan masa lampau seperti reruntuhan kuil, makam, ada banyak bekas-bekas kampung seperti yang kami sedang lewati dan tidak sedikit pula orang-orang yang menemukan harta peninggalan seperti emas didalam kuil-kuil dan makam-makam, membuat para penjarah tidak segan-segan merusak bangunan kuil atau makam, untuk mencari harta-harta yang mungkin masih tersembunyi didalamnya. Ada yang berhasil menemukan harta semacam itu, tetapi tidak sedikit jugayang sudah merusak kuil atau makam,  tetapi tak berhasil mendapatkan apa-apa.

Saat tiba di Base Camp, Papa langsung menemui teman-teman arkeolognya yang sudah sampai duluan, sedangkan aku, Mama dan Arya mulai memasang tenda-tenda kami. Teman-teman arkeolog Papa berasal dari berbagai negara, yang kesemuanya dibiayai oleh sponsor-sponsor  yang selalu membiayai ekspedisi Papa dan

teman-teman Arkeolognya.

Karena sudah biasa ikut dengan Papa dalam berbagai ekspedisi arkeologi-nya, bagi kami sekeluarga, berkemah seperti ini bukan hal yang asing lagi. Mama bahkan yang paling cepat diantara kami dalam hal memasang tenda. Jadi, kami sudah terbiasa untuk melakukan segalanya secara sistematis, tanpa perlu berharap pada Papa.

Sebagian besar dari teman-teman Papa sudah aku kenal. Yang paling aku suka adalah Om Hans dari Jerman, soalnya dia pintar main sulap dan selalu main sulap setiap kali aku memintanya. Ada juga Om Jacques dari Perancis yang bisa menggerakkan telinganya seperti kelinci, sayang sekali setiap dia bicara dalam bahasa Inggris, aku sedikit susah untuk mengerti apa yang dia ucapkan karena ‘French-English’ aksennya yang sangat kental.

Kali ini, ada beberapa orang yang belum aku kenal, termasuk seorang Indonesia yang bernama Om Erold. Mukanya mengingatkan aku pada burung hantu. Bermata besar, dengan wajah yang selalu cemberut. Aku langsung tak suka padanya, juga teman-temannya.

Mereka semua adalah kelompok baru yang kata Papa juga dibiayai oleh perusahaan yang menjadi sponsor

Papa dan kelompoknya, mereka bergabung dengan kelompok Papa karena ekspedisi kali ini adalah sebuah ekspedisi spesial, yang tak mau dirinci oleh Papa apa yang membuatnya spesial.

Bukannya aku tak pernah mencoba untuk bertanya pada apa tentang ekspedisi kali ini, tapi Papa hanya menggelengkan kepalanya, membuatku makin sebal. Padahal, aku sangat tertarik dengan apa yang Papa lakukan sebagai seorang arkeolog. Satu hal yang aku ketahui saat membongkar kantor kerja Papa dirumah, bahwa kali ini penggalian arkeologi mereka berhubungan dengan bangsa Inca yang sangat terkenal itu. Dunia arkeologi memang seperti itu kata Papa, ketika mereka menemukan sesuatu dari hasil peninggalan orang-orang di masa lampau, itu bisa menjadi langkah atau petunjuk pertama dari barang-barang peninggalan lain.

Semuanya seperti sebuah cerita bersambung yang tak akan pernah habis-habisnya, sebab saat mereka sudah menemukan sebuah keseluruhan cerita tentang kehidupan sebuah suku dimasa lampau lewat benda-benda yang mereka temukan dalam sebuah situs arkelogi, selalu saja ada barang yang menghubungkan suku atau bangsa itu dengan sebuah suku lain ditempat yang lain pula, yang seringkali suku itu belum dikenal oleh dunia, dan kembali memerlukan sebuah penelitian arkeologi yang baru.

Itulah sebabnya mengapa aku sangat tertarik dengan pekerjaan Papa, dan menjadikannya sebagai nomor 1

dalam daftar cita-citaku.

Suasana mulai menjadi semakin dingin dan lembab. Ku lihat Adikku Arya sudah mengenakan mantel tebalnya, yang di beli Papa hari pertama kami tiba di Lima*.

Liburan kali ini memang tak sama dengan liburan yang kemarin-kemarin. Mulanya Mama ingin ke Amerika, sebab ada tante Ira, adik Mama yang tinggal di New York. Katanya sih, dia mau melihat bekas bangunan WTC yang di bom itu, lalu dia menawarkan Paris, juga ke pegunungan  Alpen, akhirnya karena Papa berkeras mau melakukan ekspedisi penting, Mama lalu bilang gimana kalau ke  Mesir, sekalian Papa melakukan penelitian disana, dan juga agar Mama bisa melihat kuil Abu Simbel yang tak sempat dialihat sewaktu berbulan madu dengan Papa dulu.

Soalnya, mereka harus pulang mendadak gara-gara Mama terserang malaria. Tapi, kata Papa kami semua harus ke Peru, karena dia sudah mendapat sponsor yang akan membiayai pencarian grup arkeolog yang di pimpin Papa, untuk memulai kerja mereka di Peru, meneliti jejak suku Inca yang sangat terkenal itu.

Setelah rapat keluarga yang cukup seru karena disertai dengan bentakan-bentakan dan ancaman-ancaman Mama seperti akan merajuk dan tak mau ngomong sama aku dan Arya, dan saat pengambilan suara, Mama kalah. Makanya, liburan kali ini di alihkan ke Peru.  Meskipun Mama sempat mengancam aku, kalau aku tak berpihak padanya, jatah jajanku akan dia potong, aku tetap memilih Peru. Soalnya, aku kan belum pernah pergi kesana. Lagipula, negara itu seperti yang kutahu lewat buku-buku dan juga internet, itu adalah salah satu tempat penelitian arkeologi yang masih menyimpan begitu banyak rahasia tentang peradaban masa lampau mereka yang sangat maju dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain pada masa itu. Mereka di Peru, seperti halnya bangsa Mesir, mampu membuat bangunan-bangunan spektakuler seperti Piramida dan sejenisnya.

*Keterangan **

Lima: Ibukota negara Peru

(BERSAMBUNG)

BASE CAMP

Setelah makan malam di sekeliling api unggun, terdorong oleh rasa lelah yang amat sangat, aku segera meminta ijin pada semua orang untuk segera masuk ke dalam sleeping bag* di dalam tenda tempat aku dan Arya tidur. Baru saja aku mulai tertidur, tiba-tiba terdengar suara teriakan kegirangan dari luar. Dengan cepat ku sambar mantelku, dan langsung berlari menuju ke tempat penelitian.

“ Ada apa, Pa ?“ tanyaku heran.

“ Ada yang menemukan sebuah pot air minum yang di gunakan oleh bangsa Inca dulu.” jawab Papa

menjelaskan.

“ ‘Nemu pot aja kok sampe histeris kayak gitu, sih ?! bangunin orang yang lagi tidur aja !! “ rutukku kesal.

Kalau cuma pot air minum sih, yang dulu sewaktu Papa pergi meneliti di Mesir, grup mereka dapat ratusan

pot minum, dengan berbagai ukuran pula, apalagi waktu mereka mencari di sekitar *‘Valley of the queens’**.

“Tapi yang ini bukan pot air minum biasa, Ning. Pot yang satu ini kelihatannya terbuat dari emas“  terang

Papa membuatku langsung jadi maklum, mengapa tadi yang menemukan pot itu teriak kayak orang lagi kesurupan.

“ Oooo…terus pot-nya pada di kemanain ? “

“ Lagi di test di tenda stock, untuk melihat kalau itu emas beneran apa bukan. “

Baru saja Papa selesai bicara, muncul seorang teman arkeolognya.

“ Gimana hasilnya ? “ Papa bertanya penasaran, aku juga ikut penasaran ingin tahu.

“ Emas, Don. “ jawab teman Papa yang bernama Erold dengan nada puas. Aku tak suka dengan ekspresi wajahnya, seperti Paman Gober di seri Donald Bebek, kalau lagi dapat proyek yang menghasilkan uang banyak, agak-agak rakus gitu..

“ Kalau begitu, berarti perkiraan kita mulai menampakkan kebenarannya, ya ? “ tukas Papa perlahan.

Dengan cermat, aku mengikuti terus percakapan mereka.

“ Saya sendiri hampir yakin, mudah-mudahan kita bisa menemukan lagi bukti-bukti yang lebih kuat pada

penggalian besok hari. Sayatidur dulu, ya ? “ Om Erold meninggalkan aku dan Papa di tepi lobang penggalian.

“ Pa, tentang apa sih yang Om Erold dan Papa bicarakan ? “ aku membuka suara saat om Erold sudah

menghilang ke dalam tenda-nya.

“ Kami berpikir, bahwa dulu bangsa Inca yang besar itu pernah di pimpin oleh seorang wanita. “ tukas Papa datar.

“ Tapi, bukankah wanita tak mempunyai hak untuk memimpin suku mereka menurut adat-istiadat suku Inca ? “

“ Ya. Tapi ada beberapa pengecualian, seperti wanita yang lahir pada saat gerhana matahari terjadi, di yakini mempunyai kekuatan supernatural, karena berasal dari perkawinan antara dewa Matahari dan dewi Bulan, dan dia bisa menjadi seorang pemimpin. “

“ Dan apa hubungannya dengan pot air minum yang terbuat dari emas itu, Pa ? “

“ Pot air minum yang terbuat dari emas itu, hanya di gunakan pada saat ritual peneguhan pemimpin baru suku Inca, yang mengharuskan setiap pemimpin meminum darah jantung anak perawan yang di taruh di dalam pot itu. Dan,melihat dari relief-relief yang ada di pot emas tadi, hampir pasti itulah yang mereka gunakan.”

“ Tapi Pa, bagaimana Papa dan yang lain bisa tahu, kalau pernah ada pemimpin wanita di bangsa Inca dulu ? kan nggak mungkin hanya lewat pot emas itu ?! “ tanpa sengaja, aku sudah mulai melupakan rasa kantukku tadi.

“ Kampung bekas tempat tinggal suku Inca ini bukan kampung biasa, tetapi adalah sebuah Acllahuasi*, sudah ah ngomongnya, Papa sudah ngantuk nih. Selamat bobok Aning, “ Papa mencium keningku, dan langsung pergi memasuki tenda dia dan Mama, yang sudah mendengkur semenjak tenda-nya baru selesai di pasang. Mama bahkan melewatkan makan malam, sesuatu yang tidak pernah beliau lakukan dalam hidupnya!

Sejak Papa pergi tidur, aku tak kunjung bisa mengembalikan rasa kantukku lagi. Rasa kantukku telah hilang tak berbekas gara-gara penemuan pot emas itu. Kembali untuk tidur sudah pasti sia-sia. Padahal, sebenarnya setelah perjalanan panjang dari Indonesia ke Peru, seharusnya aku sudah tidur dengan nyaman, dan sudah bertemu dengan pangeran bangsa Inca yang tampan dan kaya dalam mimpiku.

Aku lalu memutuskan untuk pergi ke tenda stock yang juga merupakan tempat berkumpul semua orang saat santai sehabis kerja. Seperti biasanya, para arkeolog setelah bekerja mereka suka berkumpul di tenda induk. Sepertinya mereka itu tak pernah mengenal lelah, padahal, mereka kan seharian bekerja melakukan penggalian yang tempatnya kadang harus masuk jauh kedalam hutan, atau harus menggali bebatuan keras, dan juga melakukan penggalian-penggalian yang sudah pasti menguras banyak tenaga.

Yang paling aku tak mengerti, hanya dengan istirahat seadanya, mereka bisa tahan selama berjam-jam melakukan pekerjaan mereka, dan aku sama sekali tak pernah melihat salah satupun dari mereka kelihatan lelah atau mengantuk saat melaksanakan pekerjaan mereka, meskipun di bawah terik matahari yang menyengat. Kadang, aku jadi berpikir untuk segera melupakan niatku untuk menjadi arkeolog kayak Papa, tapi langsung jadi bersemangat lagi bila mengingat bonus jalan-jalan keseluruh dunia seperti yang sering Papa lakukan.

Ketika aku memasuki tenda, ada Om Hans disana. Aku langsung menjadi bersemangat. Aku memang sangat suka dengan Om Hans, soalnya dia itu pintar main sulap, dan sering mengajariku main sulap. Kadang, Om Hans juga suka cerita pengalamannya saat berekspedisi ke berbagai tempat diseluruh dunia.

Aku sendiri paling senang kalau dia bercerita padaku tentang pengalamannya di Mesir. Menurutku, semua itu sangat menarik, dan yang paling menyenangkan adalah, kalau dia sudah mulai cerita tentang pengalaman penggaliannya di Mesir, ada kesan-kesan horror nya gitu, jadi aku lebih suka.

Contohnya, waktu Om Hans cerita padaku tentang penggalian mereka untuk mencari makam Raja yang diduga hilang, dan menyimpan banyak harta karun, mereka malah menemukan sebuah kuburan yang digali 150 meter dibawah tanah yang kondisinya sudah sangat rapuh dan hampir bisa dibilang tinggal puing-puing belaka. Saat Om Hans katanya mau mengambil sampel tanah untuk diteliti, tiba-tiba debu berjatuhan diatas kepalanya, dan tak hanya itu, dia kejatuhan sekelompok Mummi yang kondisinya sudah sangat rusak dan tentu saja pasti mengerikan dan tak enak untuk dipandang.

Aku juga paling suka saat Om Hans cerita tentang penggalian di kutub utara. Katanya, di Kutub Utara sana sebenarnya ada banyak hal-hal yang menarik dan merupakan suatu objek arkeologi yang hingga sekarang masih menyimpan banyak misteri. Semua itu disebabkan oleh medan penggaliannya yang sangat susah dan tak bisa dijangkau dengan mudah. Apalagi ditambah dengan es yang menutupi permukaan dikutub utara, membuat penggalian berjalan dan lambat, dan juga alat-alat yang harus dipakai biayanya sangat mahal, makanya sangat jarang ada sponsor yang mau membiayai para arkeolog untuk melakukan penelitian disana. Padahal, kata Om Hans, disana kabarnya ada sebuah kota kuno yang memiliki peradaban tinggi, jauh lebih tinggi dari manusia masa kini, sebab menurut dokumen-dokumen yang ditemukan, mereka katanya sudah memiliki hubungan dengan alien.

Entah benar atau tidak semua yang dikatakan oleh Om Hans setiap kali dia bercerita padaku, aku selalu senang-senang saja mendengar ceritanya setiap kali bertemu dengan dia. Aku juga senang, karena dia sering berbaik hati menceritakan setiap penemuan terbaru mereka dalam setiap penelitian yang dilakukan, suatu hal yang tak bisa kudapat dari Papa, sebab diasangat pelit untuk berbagi cerita tentang pekerjaan nya.

Setiap kali aku bertanya tentang penelitian mereka, dia hanya menjawab bahwa aku masih terlalu kecil untuk mendengarkan penjelasan arkeologi yang rumit dan susah untuk dimengerti. Padahal, sumpah mati aku sangat tertarik dengan semua itu, dan aku kan mau jadi arkelog juga kayak Papa, jadi apa salahnya kalau aku mulai belajar dari sekarang, biarpun kata Papa aku masih kecil. Katanya, lebih cepat kita belajar sesuatu sejak dini usia, kita akan makin pintar, kok aku malah dilarang ? dasar orangtua, mereka suka lupa dengan apa yang mereka katakan!.

Tapi dari semua cerita yang Om Hans pernah ceritakan, yang paling menjadi favoritku adalah cerita tentang sebuah kota tua bangsa Inca yang katanya merupakan kota terkaya, tetapi hilang tanpa ada bekasnya, tanpa meninggalkan petunjuk mengapa mereka musnah begitu saja. Biasanya, bila suatu kumpulan populasi manusia yang musnah secara masal, kalau bukan karena wabah mpenyakit, pasti karena bencana alam, atau perang.

Tiga hal itu yang selalum menyebabkan punahnya suatu bangsa pada jaman dahulu, tetapi kata Om Hans, bangsa

Inca yang satu ini seperti lenyap begitu saja dari permukaan bumi.

Om Hans juga pernah bercerita, bahwa mereka memiliki peradaban yang jauh lebih tinggi dari orang-orang pada jaman itu, dimana mereka sudah bisa dibilang modern, hampir mirip-mirip dengan yang ada dikutub utara itu. Sebenarnya, mereka dulunya merupakan salah satu suku bangsa Inca, yang entah mengapa memutuskan untuk mendirikan pemerintahan sendiri, yang bertolak belakang dengan pemerintahan bangsa Inca yang sebelumnya.

Tetapi, suku tersebut hingga kini masih menjadi pertanyaan besar di kalangan para arkeolog, karena selain sebuah catatan bertuliskan Inca kuno yang tertulis diatas lembaran yang terbuat dari alumunium yang berhasil di terjemahkan oleh para ahli bahasa purba, tak ada satupun petunjuk atau catatan lain yang menyebutkan tentang suku Inca dan Kota yang Hilang itu. Makanya, ketika voting keluarga untuk  memutuskan tempat liburan tahun ini dimulai, tanpa ragu-ragu aku langsung memutuskan ikut Papa ke Peru, meskipun di bawah ancaman penghentian jatah jajan oleh Mama. Saat aku bertanya pada Om Hans tentang apa yang tertulis di lembaran itu, katanya isi lembaran itu adalah sebuah resep makanan, jamannya suku Inca itu. Aneh.

Aku jadi curiga, jangan-jangan ekspedisi spesial yang dikatakan Papa kali ini, adalah untuk mencari Kota yang Hilang itu, ya ?.

Tapi yang pasti, aku paling suka mendengar cerita petualangan para arkelog itu, sayangnya Papaku pelit sekali untuk berbagi cerita petualangannya.

Saat aku masuk kedalam tenda, Om Hans sedang bergurau dengan teman-teman segrupnya, sedangkan Om Erold dengan kelompoknya yang semua tak ada stupun yang kukenal, duduk agak menyendiri di sebelah timur tenda, nampak tengah serius mendiskusikan sesuatu. Sepertinya mereka takut percakapan mereka didengar orang, sebab mereka berbicara dengan berbisik antara satu dengan yang lainnya. Suatu hal yang menurutku agak diluar kebiasaan, sebab sudah berkali-kali aku mengikuti ekspedisi arkeologi Papa ke berbagai negara, suasananya selalu sama pada saat istirahat. Semua pada berkumpul, entah untuk minum kopi, atau cuma bercakap-cakap antar sesama arkeolog. Tapi yang pasti, tak pernah kelihatan semuram hari ini, dimana orang-orang masing-masing seperti memiliki rahasia sendiri yang tak ingin dibagi dengan orang lain, dan aku sendiri, tak suka dengan situasi

seperti ini.

“Halo Om Hans..Om Jacques...” kusapa Om Hans yang sedang bercakap-cakap dengan Om Jacques dalam bahasa Inggris, kami semua memang memakai bahasa Inggris untuk berkomunikasi.

“Hai Aning..belum tidur ya ? Ayo gabung kesini, kita berdua juga belum mengantuk, nih “ ajak Om Hans sambil mengangsurkan sebuah tempat duduk kemping kearahku.

Aku lalu berbaur dengan mereka, sambil menikmati kopi panas yang disediakan oleh Om Franz, koki ekspedisi kami yang berkebangsaan Jerman.

Sebenarnya, Om Franz bukan koki, dia itu arkeolog juga, tapi dia hobi masak. Jadi sama semua anggota ekspedisi dia di daulat jadi koki part time, selain itu masakannya juga sangat enak. Cocok dengan semua lidah orang-orang

ekspedisi yang berlainan negara dan makanannya.

“Gimana sekolahmu di semester ini ? kata Papamu dapat juara umum lagi, ya ? “ Om Jacques menggodaku

dengan bahasa Inggris beraksen Perancisnya yang sangat khas.

Aku jadi malu, tak kusangka Papa suka cerita-cerita pada teman-teman sesama arkeolog nya tentang aku.

“Yaa...lumayanlah ...“ jawabku agak malu.

Soalnya, aku kan biasanya bercanda sama Om Hans. Memang sih, om Jacques  juga lucu dan baik, tapi karena aku sering susah mengerti apa yang dia katakan, gara-gara aksen French-Englishnya yang agak aneh kedengaran di telinga, makanya aku jarang bercanda-bercanda sama dia.

Masak cuma ‘lumayan’ sih ? lalu bagaimana dengan juara Kimia se-Indonesia, itu kan bukan lumayan, juga kata Papamu kamu dapat medali perak olimpiade Internasional Biologi tahun ini, hebat kamu, Ning ! “ Om Hans yang lagi-lagi angkat bicara, membuat aku semakin merasa jengah dipuji-puji kayak gitu.

“ Wah...kayaknya calon arkeolog kita yang satu ini pintar banget ya, Hans?! Nanti dia nggak akan perlu ahli Kimia lagi kalau harus meneliti tanah atau batu-batuan ditempatnya menggali, juga tak akan memerlukan ahli Biologi, karena dia sudah memiliki semua keahlian itu, hebat anakmu ini Don ! “ Om Jacques mengacungkan dua jempolnya kearah Papa yang hanya tersenyum.

Tapi aku bisa melihat, bahwa Papa juga bangga dengan semua prestasiku itu.

“ Iya nih, Don. Sayang sekali anak saya tak sepintar dan serajin Aning di sekolah ! “ Mr. Oyama, si ahli Komputer dari Jepang yang sejak tadi hanya diam ikutan berkomentar, membuat mukaku seketika terasa panas karena malu bercampur rasa bangga.

Aku sendiri tak menyangkal bahwa memang disekolah aku memiliki prestasi yang membangggakan. Meskipun aku kadang-kadang masih belum puas dengan semua itu. Tapi itu normal, sebab mana ada manusia yang pernah puas dengan apa yang dia miliki ?.

Mungkin aku bisa dibilang tak seperti anak-anak seusiaku, dimana mereka pada usiaku ini lebih suka jalan-jalan ke Mall-Mall, atau pergi nonton bioskop sama pacar, sedangkan aku, malam mingguku lebih banyak aku habiskan berkutat dengan buku pelajaran, atau surfing di internet mencari informasi tentang hal yang sangat aku sukai, yaitu

arkeologi.

Kata Iris, sobat karibku dikelas, aku adalah manusia aneh keturunan alien, karena kebiasaanku berbeda dengan anak-anak Bumi kebanyakan.

Iris itu memang memiliki obsesi yang agak-agak berlebih tentang kehidupan extra terresterial alias alien. Jadi cara bicaranya ya.. di seputar-seputar itu. Aku bahkan dia juluki salah satu spesis alien yang kemungkinan besar katanya berasal  dari planet Mars, ada-ada saja memang.

Aku juga menjadi salah satu spesimen sempurna bagi orangtua teman-teman dikelasku, karena kata mereka aku adalah anak yang patut untuk dicontohi, karena rajin, pintar dan tidak suka keluyuran ke mall seperti teman-temanku yang lain. Dan itu sama sekali tidak keren. Banyak teman sekelas yang suka menatapku garang setiap kali selesai menerima raport disekolah!

Padahal, aku bukannya tidak suka ke mall, cuma kalau aku ke tempat itu, aku langsung ke Toko Buku, dan menghabiskan waktu berjam-jam disana. Giliran teman-temanku yang jadi sebal, karena kata mereka, disekolah kita sudah di jejali dengan banyak sekali buku-buku pelajaran, jadi untuk apa menghabiskan waktu santai di Toko Buku ? Hanya bikin stres, kata mereka. Aku hanya diam tak berkomentar kalau mereka sudah mulai berceloteh tentang aku yang katanya anak aneh-lah, kutu buku-lah, dan segala macam julukan lain yang mereka berikan padaku.

Sleeping bag : kantong tidur

Valley of the queen: Lembah yang berisi makam para ratu bangsa mesir

Acllahuasi\= Tempat tinggal para wanita terpilih ( misalnya para gundik raja, dan  juga anak² perempuan, dan saudari mereka )

(BERSAMBUNG)