SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Zeline Racheline

Zeline Racheline

satu

Flashback..

Tiga tahun yang lalu, di tengah malam yang penuh kecemasan, hujan deras mengguyur atap rumah sakit dengan iringan angin yang berderu kencang. Rayan, seorang pemuda yang tampak resah, berjalan bolak-balik di lorong rumah sakit. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran dan harapan. Di balik pintu ruang operasi, istrinya, Rai, sedang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan buah hati mereka.

Rayan berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu melayangkan doanya ke langit yang kelam. Dia mencintai rai dengan segenap jiwa. Sejak mereka menikah, Rai menjadi sumber kekuatannya, tempat dia pulang setelah hari-hari panjang bekerja keras. Meskipun hidup mereka tidak mudah, dengan gerai kecil tempat rayan berjualan donat, dia selalu bersyukur atas rezeki yang tuhan limpahkan. Baginya, Rai adalah anugerah terbesar.

Namun, di sisi lain, keluarga rai tidak menerimanya. Di mata mereka, Rayan hanyalah seorang pemuda miskin yang tidak layak untuk rai. tapi rai menentang dan tetap ingin menikah dengan rayan karena hanya rayan yang menyayangi dirinya dengan tulus. Dan malam itu, mereka pun turut menunggu dengan gelisah, walaupun dalam hati mereka tetap ada keraguan terhadap rayan.

Waktu seakan berjalan lambat, hingga akhirnya, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah serius. Jantung rayan berdetak kencang, harapan dan ketakutan bercampur di dalam dadanya.

"Bayi anda lahir dengan selamat " kata dokter itu, membuat rayan sempat bernapas lega, namun harapan itu segera sirna ketika dokter melanjutkan

"Tapi istri anda mengalami pendarahan hebat dan saat ini dalam kondisi koma."

Dunia rayan seakan runtuh. Air mata mengalir di wajahnya yang penuh kesedihan. Dia tidak ingin kehilangan rai, sosok yang selama ini menjadi kekuatannya. Dengan tangis yang tertahan, dia menatap ke langit-langit rumah sakit, memohon dengan segenap hatinya agar rai bisa kembali. Tapi, dalam hati kecilnya, dia tahu, hidup mereka tak akan pernah sama lagi.

Malam itu, rasa hancur rayan yang sudah begitu dalam kian dipereteli oleh kenyataan yang tak pernah ia bayangkan. Keluarga rai, yang seharusnya menjadi tempat ia bersandar dalam situasi sulit ini, malah berdiri sebagai tembok dingin yang menghalau segalanya. Tak lama setelah dokter menyampaikan kabar tentang kondisi rai, ibu rai dengan dingin meminta dokter untuk terus merawat anaknya hingga sadar dari koma. Namun, di saat yang sama, mereka tidak menyalahkan keadaan, melainkan menuding rayan dan bayinya sebagai penyebab semua penderitaan yang menimpa rai.

Rayan berusaha menahan diri, tetapi caci maki itu terus menghujani, menghancurkan hatinya yang sudah penuh luka.

"Ini semua karena kau!" seru ibu rai dengan suara tajam, penuh kebencian.

"Kau dan anak itu adalah kutukan bagi rai! Pergi! Saya tak ingin melihatmu lagi!" Dengan nada yang tegas, ibu rai mengusir rayan dari rumah sakit, memintanya membawa bayi yang baru lahir itu jauh-jauh dari kehidupan mereka. Bayi yang tak bersalah, darah daging rai sendiri, kini dianggap sebagai beban yang tak ingin mereka terima.

Rayan gemetar, memohon dengan suara serak..

" Tolong, izinkan aku menunggu hingga esok hari. Setidaknya beri aku waktu bersama rai, meski hanya sebentar" Namun, belas kasihan tak ada di mata mereka. Hanya ada kebencian dan penolakan. Ibu rai mengacuhkan tangisannya, dengan tangan terangkat menunjuk pintu keluar, memerintahkannya pergi saat itu juga. Orang-orang di sekitar yang menyaksikan semua itu hanya bisa menahan tangis. Mereka tak percaya betapa kejamnya keluarga rai memperlakukan rayan di momen yang seharusnya penuh kasih dan dukungan. Pihak rumah sakit pun bungkam, tercekik oleh kuasa dan pengaruh keluarga rai, tak berani angkat bicara meskipun hati mereka terguncang.

Dengan air mata yang terus mengalir di pipinya, Rayan menggendong bayinya yang masih begitu mungil, dan dengan langkah berat, ia meninggalkan rumah sakit di tengah derasnya hujan malam itu. Setiap tetes air yang membasahi wajahnya tak hanya berasal dari langit, tetapi juga dari hatinya yang kini dipenuhi rasa hancur dan ketidakberdayaan. Bayi kecil di pelukannya, satu-satunya yang tersisa dari cinta yang ia bagi bersama rai, kini menjadi teman dalam perjalanan sunyi mereka menuju kegelapan malam.

Di tengah dinginnya malam yang masih dibalut oleh sisa-sisa hujan, Rayan tiba di rumahnya dengan tubuh yang basah kuyup. Tangisannya pecah lagi, tak terbendung. Di depan matanya, bayi mungil yang baru saja dilahirkan rai terbaring dalam keheningan, tak tahu apa-apa tentang kerasnya dunia yang baru ia masuki. Rayan terduduk di lantai, tak tahu harus berbuat apa. Pikiran dan hatinya seolah terpecah-pecah, antara merindukan rai yang terbaring koma dan tanggung jawab besar yang kini berada di tangannya.

"Bagaimana ayah bisa merawat mu nak?" bisiknya di tengah isak tangis, tangannya gemetar saat menyentuh pipi bayi itu. Dia merasa tak berdaya, seorang diri tanpa dukungan rai, dan tanpa tahu harus ke mana mencari pertolongan. Semua terasa terlalu berat untuk ditanggung sendirian.

Dalam keputusasaan, Rayan teringat pada satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya, bidan yang dulu mengurus rai selama masa kehamilannya. Dia tahu, ini satu-satunya harapan. Dengan hati yang terguncang, dia terpaksa meninggalkan bayinya sejenak di rumah, lalu berlari menembus dinginnya malam menuju rumah sang bidan.

Sesampainya di sana, nafas rayan tersengal-sengal. Ketukan pintunya terdengar keras, memecah keheningan malam. Bidan itu membuka pintu, terkejut melihat rayan yang basah kuyup dengan mata bengkak akibat tangis.

" Ada apa rayan? " tanyanya cemas, dan tanpa menunggu jawaban panjang, Rayan menceritakan semuanya tentang bagaimana rai masih koma, bagaimana keluarganya mengusirnya, dan betapa kejamnya mereka terhadap bayi yang tak bersalah. Hati sang bidan pun hancur mendengar cerita itu. Ia mengenal rai sebagai sosok yang lembut dan penuh kasih, dan tak bisa membayangkan perlakuan yang diterima rayan. Dengan nada penuh simpati, bidan itu berkata. .

"Kau sudah berjuang begitu keras rayan. Aku akan membantumu, aku akan merawat bayi itu untukmu. Rai pasti ingin anaknya dijaga dengan baik."

Bidan itu tanpa ragu-ragu menyiapkan diri untuk pergi bersama rayan, membantunya mengurus bayi yang kini menjadi satu-satunya warisan dari cinta yang pernah ia bagi dengan rai. Dalam hati, Rayan merasa sedikit lega. Setidaknya, di tengah kegelapan hidupnya, masih ada seseorang yang bersedia menolongnya, menawarkan secercah harapan di malam yang penuh kesedihan.

Saat rayan dan bidan itu tiba di rumah, suasana sunyi menyelimuti. Bayi mungil itu terbaring diam di tempatnya, seolah menanti sentuhan kasih yang akan menenangkannya. Bidan tersebut dengan cekatan mengambil alih, tatapannya lembut saat mendekati si kecil.

“Rayan, tukar lah bajumu ” ucapnya sambil menoleh ke arah rayan yang masih basah kuyup.

“Nanti kau bisa demam. Aku akan mengurus putrimu... Hei, lihat, putri kalian cantik sekali.”

Rayan tersenyum lemah, membenarkan kata-kata bidan itu. Di balik segala kesedihannya, ada sejumput kebahagiaan yang terselip dalam hatinya setiap kali melihat wajah bayi mereka.

" Iya " bisiknya, suaranya hampir tak terdengar di tengah emosional yang meluap.

"Dia benar-benar cantik, seperti ibunya." Dengan perasaan sedikit lebih tenang, Rayan meninggalkan bidan dan bayinya, menuju ke belakang untuk membersihkan diri.

Sementara itu, bidan tersebut mulai melaksanakan tugasnya dengan telaten, menggendong bayi itu dengan hati-hati. Tangannya yang terlatih bergerak lincah, namun hatinya terasa berat. Air mata perlahan menetes dari sudut matanya saat ia mengingat rai, sosok yang ia rawat sejak awal kehamilannya, kini terbaring koma. Kehidupan yang diharapkan bahagia oleh pasangan muda itu berubah menjadi ujian yang begitu pahit.

Sambil menimang-nimang bayi itu, bidan tersebut berbisik lembut dalam hati “Nak, jadilah anak yang baik. Orangtuamu adalah orang yang luar biasa, begitu penuh cinta dan pengorbanan. Semoga ibumu segera pulih dan pulang ke rumah ya.” Setiap kata yang terucap seperti doa yang ia panjatkan untuk keluarga kecil ini, berharap keajaiban akan datang dan menyatukan mereka kembali.

Dengan lembut, ia membersihkan dan membungkus bayi itu dengan kain lengkap dengan kaos tangan dan kaos kaki, memberikan kehangatan yang mungkin tak bisa diberikan rayan di malam penuh kekhawatiran ini. Meski hatinya pedih, bidan itu tahu, tugasnya adalah menjaga sang bayi sebaik mungkin, sementara rayan terus berjuang untuk melewati cobaan yang berat ini.

Esok paginya, suasana rumah Rayan yang sunyi tiba-tiba terganggu oleh suara ketukan keras di pintu. Rayan membuka pintu dengan hati yang penuh harapan. Berpikir bahwa ibu Rai datang untuk melihat cucunya, mungkin, kali ini hati keluarga rai akan sedikit melunak. Namun, begitu tatapannya bertemu dengan wajah dingin ibu Rai, harapan itu hancur dalam sekejap. Tanpa basa-basi, ibu rai melangkah masuk, auranya penuh kemarahan dan kekuasaan.

" Saya datang bukan untuk melihat anak itu " suaranya terdengar tajam, menusuk telinga rayan.

" Saya disini untuk memberimu peringatan. Jangan pernah mencoba menemui Rai lagi. Dia bukan untukmu, kau tak pantas untuknya "

Rayan berdiri terpaku, dadanya berdegup kencang " Rai adalah istriku " jawabnya, suaranya goyah, namun penuh tekad.

" Dan anak itu adalah putri kami. Aku tak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Rai butuh aku, dan anak kami butuh ibunya "

Ibu rai menyipitkan matanya, menatap rayan seolah dia adalah orang yang paling rendah di hadapannya.

" Jangan bodoh Rayan, kau pikir kau berharga untuk rai? Dengarkan saya baik-baik, kalau kau berani mendekati Rai, bahkan sekali saja, saya akan membunuh anakmu "

Ancaman itu menghantam rayan seperti pukulan keras. Mulutnya terbuka, namun tak ada kata yang keluar. Wajahnya memucat, dan tubuhnya menggigil. Bayangan tentang bayinya yang tak bersalah berada dalam bahaya karena kebencian ibu mertuanya membuatnya lumpuh. Dia ingin melawan, ingin melindungi keluarga kecilnya, tapi rasa takut terhadap ancaman itu begitu kuat, mengunci langkahnya.

" Pindah dari sini " Lanjut ibu rai dengan nada perintah . " Jauhkan dirimu dan anak itu dari kehidupan rai. Kalau dia sadar dan tau kau ada di dekatnya, kau hanya akan membuatnya lebih menderita. Pergilah, dan jangan pernah kembali. Itu peringatan terakhir saya. "

Rayan menunduk, hatinya terasa hancur berulang kali. Bagaimana mungkin orang yang seharusnya menjadi keluarganya sendiri bisa begitu kejam ? Tapi demi keselamatan anaknya, dia tak punya pilihan. Dengan berat hati, Rayan mengangguk pelan, menyerah pada tuntutan ibu rai. Dia tau, tak ada ruang untuk melawan.

" Baik,"  katanya lemah, hampir berbisik.

" Aku akan pergi... asalkan anakku selamat "

Ibu rai tersenyum tipis, puas dengan ketundukan rayan, lalu pergi tanpa sepatah kata lagi, meninggalkan rayan yang terpukul, Berdiri sendirian di tengah ruangan dengan beban yang semakin tak tertahankan. Hatinya ingin memberontak, tapi rasa takut untuk kehilangan anaknya memaksa rayan mengambil keputusan yang paling menyakitkan. Meninggalkan kehidupan yang pernah ia bangun bersama rai, demi keselamatan putri mereka.

Satu bulan berlalu sejak malam kelam itu, di mana rai terbaring tak sadarkan diri, terjebak dalam koma yang membuat rayan dan dunia sekitarnya tenggelam dalam ketidakpastian. Namun, hari ini, perlahan-lahan kelopak mata rai mulai bergerak, seolah mencoba melawan kegelapan yang telah lama menutupinya. Cahaya lembut dari lampu rumah sakit menyusup ke matanya, membuatnya meringis sebentar. Dengan tenaga yang tersisa, bibirnya bergerak, dan satu nama terucap pelan, hampir tak terdengar.

“Rayan...”

Suster yang berada di sampingnya segera bereaksi. Dengan cepat, ia keluar dari kamar dan mencari dokter. Tak lama kemudian, dokter datang, wajahnya penuh dengan kewaspadaan namun terselip harapan. Setelah memeriksa rai dengan teliti, dokter itu tersenyum tipis, menunjukkan bahwa kesadaran rai telah kembali.

Kabar itu segera disampaikan kepada ibu rai. Tak lama setelahnya, ibu rai tiba di rumah sakit dengan langkah cepat, penuh kepura-puraan yang sudah ia siapkan. Begitu memasuki kamar, ia melihat anaknya yang masih lemah namun tersenyum, sebuah senyum kecil yang penuh harapan dan cinta.

" Mama..." suara rai terdengar serak, namun hangat.

“Di mana bayiku? Di mana rayan?”

Pertanyaan itu membuat dokter yang berada di ruangan itu melirik tajam ke arah ibu rai, seolah memberi sinyal akan kebohongan yang akan segera diutarakan. Ibu rai menarik napas dalam, raut wajahnya berubah menjadi ekspresi yang tampak penuh kesedihan, meskipun dalam hatinya, kepuasan membanjir.

“Rai...” ucapnya dengan suara bergetar, pura-pura bersedih. “Anakmu... anakmu meninggal dunia.”

Kalimat itu menghantam rai seperti petir di siang bolong. Wajahnya memucat, senyum yang tadi menghiasi wajahnya hilang dalam sekejap. Seolah waktu berhenti, pikirannya tak mampu mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut ibunya. Bayinya? Meninggal dunia? Tidak, itu tidak mungkin. Itu pasti kesalahan.

“Apa...?” Rai bergumam tak percaya, tubuhnya terasa kaku, seperti seluruh kekuatannya menguap begitu saja. Matanya membelalak, kemudian air mata perlahan mengalir dari sudut matanya, membasahi pipinya yang pucat. Tangannya gemetar, menekan dadanya yang terasa hancur berkeping-keping.

“ mama...” suaranya bergetar. “Bagaimana bisa...?”

Ibu Rai mendekat, meraih tangannya, berpura-pura menenangkan meski hatinya penuh kepuasan. “Ini takdir nak... Kau harus kuat. Bayimu sudah tenang di sana.”

Rai tak bisa berkata-kata lagi. Dunia di sekitarnya seakan runtuh, membawa segala impiannya tentang menjadi seorang ibu bersamanya. Air matanya terus mengalir, hatinya yang hancur tidak mampu mengerti mengapa hal ini terjadi padanya. Tapi lebih dari itu, di lubuk hatinya yang terdalam, ada sesuatu yang tak terjawab, di mana rayan? Kenapa dia tidak di sini bersamanya?

Namun, dalam kepedihan itu, Rai terlalu terhanyut oleh kesedihannya untuk bertanya lebih lanjut. Tangisnya memenuhi kamar itu, sementara ibu rai terus memainkan perannya, memeluk anaknya seolah ia benar-benar merasakan kesedihan yang sama.

"Di mana Rayan maa?" Rai terisak di tengah tangisnya, matanya bengkak dan dipenuhi air mata. Hatinya yang terluka tak hanya mencari jawaban atas anak yang katanya telah tiada, tapi juga merindukan kehadiran suaminya. Rai butuh dia, butuh kekuatan dari tangan yang dulu selalu menggenggamnya saat segalanya terasa berat.

Ibu rai terdiam sejenak, menatap anaknya yang hancur. Dalam hatinya, ia tahu kebohongan berikutnya akan menjadi yang paling menyakitkan. Tapi demi menjaga jarak antara Rai dan Rayan, ia siap mengorbankan segalanya, bahkan hati anaknya.

“Rayan...” ibu Rai menarik napas panjang, suaranya dibuat sehalus mungkin, penuh kepalsuan yang terselubung.

“Rai, suamimu... suamimu meninggal dunia.”

Mata rai melebar, seluruh tubuhnya menegang mendengar kata-kata itu. “Apa...?” suara Rai pecah, penuh dengan ketidakpercayaan. “Tidak... tidak mungkin. Rayan... dia tidak mungkin...”

“Dia kecelakaan sehari setelah bayimu meninggal,” lanjut ibunya, menatap Rai dengan tatapan seolah penuh belas kasih.

“ mama tak ingin menyakitimu nak. Tapi itulah kenyataannya. Rayan sudah tiada. Dia... pergi selamanya.”

Kalimat itu seakan menghujam jantung rai dengan kekuatan yang tak tertahankan. Sebuah jeritan meluncur dari bibirnya, begitu keras hingga menggema di seluruh ruangan. Tubuhnya gemetar hebat, tangannya meraih selimut di tempat tidurnya, seolah berusaha mencari pegangan di tengah kenyataan yang terasa mustahil ini.

“Tidak! Tidak!!” Rai menjerit, hatinya seakan hancur berkeping-keping. Segala harapan yang tersisa, segala kekuatan yang ia kumpulkan untuk bangkit dari komanya, lenyap begitu saja. Kehilangan anaknya sudah membuatnya rapuh, tapi kehilangan suaminya orang yang menjadi dunianya itu menghancurkan segalanya.

Air mata mengalir tanpa henti, mengaburkan pandangannya. Dunia terasa runtuh, seakan tak ada lagi alasan baginya untuk bertahan. Tangisannya memecah kesunyian, sementara ibu Rai hanya berdiri di sana, menyaksikan anaknya terpuruk dalam kebohongan yang ia ciptakan.

Rai merasakan kekosongan yang tak terlukiskan, seperti ditelan oleh lubang hitam yang tak berdasar. Dia tak tahu bagaimana caranya hidup tanpa rayan. Tidak ada bayinya, tidak ada suaminya. Seolah-olah hidupnya telah direnggut, dan yang tersisa hanyalah kesakitan yang tak bisa ia bendung.

Rai diam terpaku di tempat tidurnya, pandangannya kosong, seolah jiwanya telah meninggalkan tubuhnya. Tangannya yang lemah gemetar, mencoba meraba kenyataan yang kini terasa begitu asing dan jauh dari harapan. Dia tak tahu lagi bagaimana harus hidup, bagaimana harus melangkah ketika semua yang ia cintai direnggut dalam sekejap. Dunia di sekitarnya seolah memudar, hanya menyisakan kehampaan yang dingin dan menyakitkan.

Suster yang berdiri di sudut kamar, menyaksikan penderitaan rai dari dekat, tak kuasa menahan kesedihannya. Mata suster itu memerah, hatinya hancur melihat kejamnya kenyataan yang dihadapi oleh sosok muda yang malang ini. Akhirnya, tak tahan dengan pemandangan yang menyayat hati, suster itu memilih keluar, membiarkan air matanya jatuh tanpa henti di lorong rumah sakit. Betapa kejamnya ibu rai, pikir suster itu. Betapa teganya seorang ibu membohongi anaknya sendiri, merampas segala kebahagiaan yang tersisa.

Sementara itu, jauh dari sana, Rayan sedang melangkah pergi, meninggalkan kehidupan lama yang telah dihancurkan oleh ancaman. Bayi kecilnya terlelap di pelukannya, tak sadar akan dunia yang kini hanya dihuni oleh dirinya dan ayahnya. Rayan menatap wajah mungil putrinya, perasaan getir memenuhi hatinya. Di balik segala kesedihan, hanya ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan, cinta pada putrinya.

Setelah malam penuh air mata dan ketakutan, Rayan telah bercerita panjang lebar kepada bidan yang selama ini membantu mengurus kehamilan rai. Bidan itu, seorang perempuan yang berhati mulia, mendengarkan setiap kata dengan penuh simpati. Setelah mendengar kisah pilu rayan, bidan itu segera menawarkan bantuannya.

"Rayan, kau harus pergi dari sini. Pindah lah ke kota sebelah. Di sana, kau bisa tinggal di rumahku. Ini tidak aman bagimu dan putrimu di sini," kata bidan itu dengan tegas, tapi lembut.

Rayan, dengan segala keputusasaan yang ia rasakan, hanya bisa mengangguk, merasa tak punya pilihan lain. Bidan itu juga berjanji untuk selalu bolak-balik dari kota ke kota, membantu merawat bayi kecilnya. Bantuan ini datang seperti cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti hidupnya, dan Rayan tahu, dia tak akan pernah melupakan kebaikan perempuan itu.

Hari-hari berikutnya, Rayan memulai kehidupan barunya di kota sebelah, jauh dari ancaman keluarga rai. Di kota itu, dengan bantuan bidan, Rayan bertekad untuk memulai kembali. Ia tahu, tak ada yang akan menggantikan rai, tak ada yang bisa mengisi kekosongan di hatinya. Tapi untuk putrinya, untuk satu-satunya harapan yang tersisa, Rayan akan berjuang. Hidupnya mungkin tak lagi sempurna, tapi ia masih memiliki masa depan bersama putrinya masa depan tanpa Rai, tapi penuh cinta yang ia berikan untuk sang buah hati.

Flashback selesai.

Dua

Tiga tahun telah berlalu, tapi bagi rai, waktu seolah berhenti. Sore itu, langit yang mulai memudar dari jingga ke kelabu hanya menambah kesunyian di dalam hatinya. Rai duduk di samping jendela kamar, matanya hampa, menatap jauh ke cakrawala seakan berharap bisa menemukan bayangan suami dan anaknya yang telah lama pergi.

Angin sepoi-sepoi yang menerobos masuk dari celah jendela tak mampu menenangkan kerinduan yang terus tumbuh di hatinya. Setiap hembusan angin, setiap suara lembut dedaunan, semuanya mengingatkan dia pada masa-masa indah ketika rayan dan calon bayi mereka yang masih ada di kandungannya. Tiga tahun terasa seperti seumur hidup, waktu yang berjalan begitu lambat, penuh dengan rasa kehilangan yang tak kunjung mereda.

Ibunya sering berkata, “Rai, kau harus bangkit. Tak perlu bersedih sampai berlarut-larut. Hidupmu harus terus berjalan.”

Tapi bagaimana bisa? Bagaimana mungkin ia melupakan suaminya, cinta pertamanya, dan anaknya yang bahkan belum sempat ia peluk? Kerinduan itu begitu dalam, menenggelamkan setiap upaya untuk bangkit.

Rai tahu, ia seharusnya bergerak maju, tapi setiap hari yang ia lewati tanpa mereka hanya menambah luka di hatinya. Setiap pagi ia terbangun dengan perasaan hampa, dan setiap malam ia tidur dengan air mata yang mengalir di pipinya, merindukan kehangatan pelukan rayan, suara tangis anaknya yang tak pernah ia dengar.

Tiga tahun ini penuh dengan perjuangan. Orang-orang di sekitarnya mungkin melihatnya sebagai sosok yang tegar, tapi di dalam dirinya, Rai masih terperangkap dalam kegelapan kehilangan. Hanya langit sore yang menjadi saksi dari kerinduan yang tak pernah terucap, kerinduan yang tak pernah bisa ia lupakan.

Dan di balik semua itu, ada sebuah harapan kecil yang masih ia simpan, entah bagaimana, entah kapan, suatu hari ia bisa merasakan kehadiran mereka lagi, meski hanya dalam mimpi.

Lamunan rai pecah ketika suara ponselnya berdering, memecah keheningan yang menyelimutinya. Tangannya meraih ponsel di sampingnya dan melihat nama yang tertera di layar, Dina, manajernya. Rai menghela napas sejenak, menghapus sisa-sisa air mata di sudut matanya sebelum mengangkat panggilan itu.

"Halo rai? Kamu baik-baik saja?" Suara hangat dina terdengar, penuh perhatian seperti biasanya.

“Ya, aku baik kak ” jawab rai, meski suaranya terdengar lemah. Mereka berbincang sejenak tentang pekerjaan, namun setelah panggilan itu berakhir, Rai merasa sedikit lebih kuat. Ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan perlahan menuju pintu unit apartemennya, dan membukanya. Di sana, Dina sudah menunggu, tersenyum lembut seperti seorang kakak yang selalu siap sedia.

Dina bukan hanya manajer bagi rai, dia adalah sahabat, bahkan seperti saudari yang tak pernah rai miliki. Kepada dina, Rai telah menceritakan semua, bahkan hal yang paling pahit dalam hidupnya, tentang pernikahannya dengan Rayan, tentang anak mereka, dan tentang kehilangan yang masih menghantui setiap langkahnya. Saat Rai pertama kali membuka diri dan menceritakan kisah tragis itu, Dina tak kuasa menahan air matanya. Meski Dina belum pernah menikah, ia bisa merasakan betapa dalam luka yang Rai bawa. Setiap kata yang keluar dari mulut Rai kala itu seperti belati yang menusuk hatinya.

“Aku tak bisa bayangkan bagaimana rasanya rai ” kata dina, suaranya penuh dengan empati.

“Tapi aku ada di sini. Kamu tak sendiri.”

Sejak kehilangan keluarganya, ibunya terus mendorong rai untuk bangkit, pura-pura mencoba menyelamatkan anaknya dari jurang kesedihan yang dalam. Ibunya tahu, tak mudah bagi rai untuk menjalani hari-hari tanpa rayan dan bayi mereka, tapi dia juga tahu bahwa rai perlu terus hidup. Maka, dengan dorongan dan bujukan ibunya, Rai mulai terjun ke dunia musik sebuah dunia yang awalnya terasa asing, tapi perlahan menjadi pelarian dari rasa sakitnya.

"Jadilah penyanyi rai " kata ibunya. "Lakukan ini untuk mereka. Lakukan ini agar kamu punya sesuatu untuk terus maju, agar kamu bisa fokus pada masa depan."

Dan Rai melakukannya bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk suami dan putrinya yang telah tiada. Setiap langkah di atas panggung, setiap nada yang ia nyanyikan, semuanya dipersembahkan untuk mereka. Dina, yang selalu ada di sisinya, memahami hal itu. Baginya, Rai bukan hanya seorang klien, dia adalah seseorang yang butuh dukungan, cinta, dan kesempatan untuk melangkah maju di tengah keterpurukan yang masih mengikatnya.

Namun, meskipun kariernya mulai berkembang, di dalam hatinya, Rai masih membawa beban kerinduan yang tak terucapkan. Setiap malam, sebelum tidur, ia masih memikirkan mereka Rayan dan anaknya, cinta yang hilang namun tak pernah pudar.

🦋🦋

Di sebuah kota yang berbeda, di bawah langit senja yang mulai meredup, sebuah toko kue kecil dengan papan nama “Toko Kue zeline” tampak sedang bersiap-siap untuk tutup. Di dalam toko, seorang pria tampan dengan wajah penuh ketenangan sedang sibuk merapikan etalase. Pria itu adalah rayan, seorang ayah yang kini menjalani hidup baru bersama putri kecilnya.

Toko kue zeline menjadi buah dari kerja keras rayan selama tiga tahun terakhir, sejak kepindahannya ke kota ini. Toko itu bukan hanya sekadar tempat usaha baginya, tapi juga sebuah harapan baru tempat di mana ia mencoba melupakan masa lalu yang penuh kesedihan, dan sekaligus menjadi tempat untuk memulai hidup baru dengan putrinya yang kini tumbuh semakin besar. Seperti malam-malam sebelumnya, putrinya yang masih kecil ikut membantu menutup toko, meski bantuannya lebih sering berupa celoteh ceria yang mengisi ruangan dengan tawa.

“ ayah, kue ini bentuknya lucu sekali!” Seru putrinya sambil menunjuk salah satu kue di rak. Rayan tersenyum melihat keceriaan anaknya. Di balik senyuman itu, tersimpan kehangatan seorang ayah yang begitu mencintai putrinya satu-satunya warisan terindah dari masa lalu yang tak akan pernah ia lupakan.

"Ya, sayang. Adek juga lucu sekali " balas rayan sambil mengusap kepala putrinya dengan lembut. Meski hatinya masih sering dirundung kerinduan pada rai, ia selalu berusaha tampil kuat di hadapan anaknya, karena kini, putrinya adalah alasan dia tetap berdiri tegak.

Toko kue zeline yang kini semakin ramai pelanggan, bahkan memiliki beberapa karyawan yang membantu menjalankan bisnisnya, adalah hasil dari setiap tetes keringat Rayan. Setiap pagi hingga malam, dia bekerja keras untuk memastikan hidup putrinya nyaman dan bahagia. Kue-kue yang dijual di sana bukan hanya sekadar kue, tapi simbol dari perjuangan dan cinta yang masih ia bawa setiap hari, cinta untuk rai yang selalu ada di hatinya, meski mereka telah terpisah oleh nasib.

Saat pintu toko terakhir kali tertutup, Rayan dan putrinya saling bergandengan tangan, berjalan menuju rumah dengan senyum hangat di wajah mereka. Malam semakin larut, namun hati rayan penuh dengan rasa syukur. Meski banyak cobaan yang telah ia lalui, dia tahu bahwa selama ia masih memiliki putrinya, segala kesulitan bisa dihadapi bersama.