SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Aku Istrimu, Mas!

Aku Istrimu, Mas!

Part 1 - Acuh

Menikah tanpa dilandasi rasa cinta, itulah yang terjadi padaku saat ini. Kata orang, satu hal yang disebut cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Namun, kurasa tidak berlaku bagiku. Pasalnya, di usia pernikahan yang menginjak lima bulan, Aldo--suamiku--tetap saja acuh. Kehadiranku di rumah ini seperti tidak diharapkan. Hari-hari berlalu begitu saja. Saat pagi menyapa, Aldo bangun, mandi, sarapan, lalu berangkat kerja. Sedangkan saat pulang kerja, ia selalu pulang hampir tengah malam. Aldo tidak pernah memiliki waktu untuk sekadar bercengkrama denganku di rumah.

"Tenang saja, Tan. Pacaran setelah menikah itu indah, kok." Ibu tersenyum sambil mengelus pundakku.

Masih terngiang di telingaku penuturan Ibu kala itu. Memang, aku dan Aldo menikah bukan atas dasar cinta. Tetapi, kami dijodohkan. Sehingga tidak ada pendekatan ataupun rasa nyaman di antara kami sebelumnya.

Setengah tahun silam, Aldo datang bersama orang tuanya. Saat itu, kami tidak saling mengenal. Baik aku atau Aldo, hanya tertunduk ketika mendengar orang tua kami membicarakan masalah pernikahan. Pasrah ... hanya itu yang bisa kami lakukan.

Bagai kisah di negeri dongeng. Aku hanyalah gadis yang terlahir dari keluarga biasa. Sejak kecil, aku hidup berempat dengan orang tua dan adik perempuanku. Kami tinggal dalam lingkungan padat penduduk. Tiba-tiba, tidak ada hujan atau angin, keluarga Aldo datang ke sini. Rona bahagia di wajah Ibu mulai tampak, tatkala mendengar penuturan dari Ayah Aldo untuk meminang putrinya.

Orang tua Aldo menentang hubungannya dengan Dinda, karena mereka mengetahui latar belakang Dinda yang suka menjamah gemerlapnya dunia malam. Aldo sangat terpuruk, ketika Ayahnya menyuruh untuk mengakhiri hubungannya dengan Dinda.

Semburat jingga mulai menyapa, tetapi pembicaraan antara kedua orang tua kami masih berlanjut. Aku menatap laki-laki bertubuh jangkung itu. Terlihat dari gelagatnya bahwa ia tidak menyukai situasi ini. Pun denganku, masih trauma dengan masa kelam yang pernah mampir di hidupku.

"Baiklah! Kita sudah menemukan titik terang. Aldo dan Tania akan menikah minggu depan," tutur Pak Bandi--Ayah Aldo.

Aku terperangah mendengar penuturan Pak Bandi. "Apa? Minggu depan?" ucapku hampir bersamaan dengan Aldo.

Mereka berempat mengangguk, kompak. Aku dan lelaki itu saling menatap. Bagaimana bisa, aku menghabiskan sepanjang hidup bersama lelaki yang tidak kukenal sebelumnya.

Iris cokelat Ibu menatap lekat. "Tenang saja, Tan. Pacaran setelah menikah itu indah, kok." Ibu tersenyum sambil mengelus pundakku.

Aku hanya melontar senyum masam.

\*\*\*

"Mas, ini 'kan hari Minggu. Apa kamu tidak memiliki rencana untuk mengajakku jalan-jalan?" Aku bergelayut manja di pundak suamiku.

Aldo menoleh. "Tidak," tukasnya singkat.

Aldo sedikit menggeser tubuhnya. Perlahan, ia menyingkirkan lenganku yang menempel di lehernya. Lalu, ia berjalan keluar. Netraku masih memerhatikan Aldo, mengikuti arah pergerakan tubuhnya. Hingga, perawakan jangkung itu sudah tidak terlihat di pandangan.

Aku mendecak kesal, "Sikapnya masih sama. Cuek!"

"Apakah Dinda sangat penting untukmu? Hingga aku--istrimu--tidak bisa menggantikan posisinya di hatimu. Aku istrimu, Mas! Aku tahu bahwa aku tidak secantik Dinda. Namun, aku juga ingin seperti istri-istri di luar. Disayang oleh suaminya, diperhatikan oleh suaminya. Tetapi ... aku tidak pernah mendapatkan itu darimu selama kita menikah. Andai kau tahu, aku tidak menginginkan uangmu, Mas. Aku hanya ingin kau membuka sedikit hatimu untukku." Begitu pesan yang kukirim di whatsapp miliknya. Hanya bercentang biru.

Tanpa terasa, air mata berderai membasahi layar gawai. Hatiku teramat sakit. Rasanya sudah tidak sanggup menghadapi perangainya. Aku tahu, bahwa Aldo masih mencintai Dinda. Aku juga mengetahui bahwa mereka masih menjalin hubungan secara diam-diam. Walaupun Aldo sudah menikah denganku, Dinda tidak menghiraukan itu. Bahkan, belakangan aku memergoki bahwa Dinda sering menginap di sini, meski tidak sekamar dengan suamiku. Aku hanya bisa pasrah karena rumah ini adalah hasil kerja keras Aldo, dan merupakan hadiah yang dipersiapkan oleh Aldo sebagai kado pernikahan mereka. Namun, impian itu hanya tinggal kenangan. Sejak perjodohan Aldo denganku, harapan mereka untuk menikah seolah pupus.

Part 2 - Berharap Setitik Cinta Darimu

Aku tahu bahwa Aldo tidak mencintaiku. Namun, apakah salah jika aku mengharapkan setitik cinta darinya? Walaupun itu suatu hal yang mustahil, tetapi aku tidak pernah lelah untuk berharap. Ridho Allah adalah ridho suami. Aku berpegang teguh pada pedoman itu. Apa pun yang kulakukan, aku tetap meminta izin darinya. Secuil harapan usang yang menggetarkan jiwa. Berharap sang empunya sedikit luluh. Ya, hanya sedikit saja itu lebih baik bagiku.

"Mas," lirihku. Aku menepuk pundaknya pelan.

Ia menoleh, netranya menatap sinis. "Ada apa?"

"Tidak bisakah kau menghargaiku sedikit saja?" ujarku.

"Apa? Uang belanjamu kurang? Atau bedakmu sudah habis? Baiklah! Besok akan kutransfer ke rekeningmu." Aldo meracau panjang. Ia memutar bola matanya jengah.

"Aku tidak menginginkan itu," lirihku. Kepalaku menempel di dada bidang Aldo. Kedua tangan kulingkarkan di pinggangnya. Aku memeluknya erat.

Bulir bening kubiarkan menitik begitu saja. Tangan ini sudah tidak mampu untuk mengusapnya. Semua yang kulakukan untuknya tampak sia-sia. Aldo tidak terkesan sedikit pun. Dingin dan kaku, entah terbuat dari apa hati lelaki ini.

"Apakah Dinda masih berarti untukmu?" lirihku.

Aldo menatapku lekat. Ia terperangah mendengar penuturanku. Netra kami adu pandang selama beberapa detik. Kemudian, diikuti anggukan pelan darinya. Dapat kusimpulkan bahwa Dinda masih memiliki rumah di relung hati suamiku.

Lagi, bulir kristal itu menetes deras. Sesak yang kurasakan muncul secara tiba-tiba. Tidak kusangka, reaksi Aldo seperti itu. Begitu menyakitkan! Aku ingin menghambur dalam pelukan, memukul dada bidangnya, dan menangis sekencang-kencangnya. Namun, aku menyadari posisiku di sini. Hanya sebagai 'istri formalitas' untuk Aldo, tidak lebih.

"Untuk apa waktu itu kau setuju menikah denganku, jika akhirnya seperti ini, Mas?" Tangisku pecah seketika. Napasku tersengal, merasakan sakit yang menghujam jantung.

"Kita dijodohkan. Kau tahu itu, 'kan? Lagipula, orang tuaku menentang hubunganku dengan Dinda." Aldo menatap lurus. Dia masih bersikap angkuh dan cuek. Tidak menyadari bahwa penuturannya telah mencairkan kristal bening dalam netraku.

Aku menangis sesenggukan, berharap hati suamiku sedikit mencair. Namun, aku salah. Ia sama sekali tidak memedulikanku. Tidak ada upaya darinya untuk menghibur atau memelukku sebentar saja. Laki-laki itu malah melangkahkan kaki jenjangnya ke luar kamar. Meninggalkan aku seorang diri.

Sejak awal pernikahan, beginilah kondisi biduk rumah tangga kami. Tidak ada canda tawa di dalamnya. Yang ada hanyalah deraian air mata dan luka. Jujur, aku mulai mencintai suamiku. Meski aku mengetahui bahwa hatinya milik orang lain. Menyakitkan bukan?

Jarum jam telah menunjuk pukul sepuluh malam. Aku masih termenung di dalam kamar, menunggu pintu kamar dibuka dari luar. Namun, seolah penantian yang sia-sia. Hingga pukul dua belas tengah malam, Aldo tidak kunjung masuk ke dalam kamar. Aku panik, takut terjadi apa-apa padanya. Segera, aku melangkahkan kaki ke luar kamar. Mencari suamiku di setiap sudut rumah. Ternyata, Aldo tertidur di depan TV hanya menggunakan karpet sebagai alas.

"Mas, bangun! Jangan tidur di sini." Menggoyangkan tubuhnya perlahan.

Matanya mengerjap, dan menyipit sesaat kemudian. Tiba-tiba, tangan kekarnya membingkai pipiku, dan menarik wajahku mendekat. Ciuman hangat dilontarkan pada keningku. Aku tercekat, tidak berkutik sedikit pun. Mungkinkah ini pertanda baik? Suamiku akan menerimaku seutuhnya sebagai seorang istri?

Aldo memijat pelipis. Aku memboyong tubuh jangkung itu ke dalam kamar. Membaringkannya di tempat tidur. Punggung tangan kutempelkan pada kening Aldo, terasa sedikit panas. Sepertinya suamiku kelelahan. Kubalutkan selimut tebal untuk menutupi tubuh jangkungnya.

"Istirahat saja ya, Mas. Akan kubuatkan air hangat untuk mandi." Mengayunkan kaki ke arah pintu kamar. Namun, tangan Aldo mencekal lenganku.

Aku menoleh ke arahnya. Aldo meracau tidak karuan. Tangannya terus mencekal lenganku. Kutepis tangan kekarnya perlahan, tetapi gagal. Justru Aldo mencengkeram lenganku lebih erat. Sakit, karena cengkeraman Aldo sangat kuat. Namun, aku sangat bahagia. Baru kali ini, lelaki bertubuh jangkung itu mencekal tanganku seperti ini.

\*\*\*

Mentari telah menampakkan sinarnya melewati celah jendela kamar. Aku tersentak dari tidur ketika merasa ada yang mengusap puncak kepala. Benar saja, Aldo mengusap lembut puncak kepalaku. Tersungging senyum indah di bibir pria cuek itu. Namun, benarkah senyum ini untukku? Aku membalas senyumnya getir. Takut jika hanya berhalusinasi. Namun, kedua tangan kekar itu membingkai pipiku lagi. Ia melontar senyum manis ke arahku.

"Sudah enakan?" tanyaku membuka pembicaraan.

Aldo mengangguk. "Sudah. Terima kasih, Sayang." Ia tersenyum lagi ke arahku.

'Sayang? Apa aku tidak salah dengar? Aldo memanggilku dengan sebutan Sayang?' batinku. Aku tersenyum girang. Masih tidak percaya dengan apa yang kudengar, bahwa lelakiku memanggil dengan sebutan Sayang.

"Semalam kamu tidur di sini?" ujarnya ketika melihatku tertidur di samping tempat tidur.

Aku tersenyum, "Iya, Mas. Semalam kamu mencekal lenganku erat. Tidak mau melepasnya sama sekali. Jadi, aku ketiduran di sini sampai pagi."

Aldo mengangguk. Bibirnya membentuk huruf O. "Maaf, semalam aku mengira kau adalah Dinda."

Deg!

Pernyataan yang cukup membuatku tercengang. Lagi-lagi, Aldo menyebut nama itu. Mengapa Dinda selalu menjadi momok dalam rumah tanggaku? Tidak bisakah Dinda mencari laki-laki lain yang lebih daripada Aldo? Toh, Dinda juga cantik, modis pula. Pasti banyak laki-laki yang ingin meminangnya, jika ia mau.

Terpopuler