SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Sistem Belanja Online Sepuasnya

Sistem Belanja Online Sepuasnya

Layar yang aneh

.

.

Beep beep!

Entah sejak kapan, sebuah layar transparan yang hanya bisa dilihat oleh Zeno seorang itu selalu mengikuti Zeno kemanapun bocah itu pergi. Zeno tidak mengerti maksud dari layar tersebut, tapi yang pasti tidak semua orang memilikinya, bahkan semua orang yang Zeno tanyai tidak ada yang memilikinya atau mengerti tentang itu.

Zeno adalah seorang anak yatim piatu, kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis saat Zeno masih berumur lima tahun. Kerabat yang tersisa hanya mengambil semua harta orangtua Zeno, lalu membuang Zeno ke sebuah panti asuhan.

Panti asuhan yang cukup bagus, ibu pantinya baik, anak-anak bisa bersekolah di sekolahan terdekat. Meski sekolah itu tidak bagus, tapi sudah bisa sekolah saja itu sudah luar biasa.

Letaknya di sebuah daerah yang tidak bisa disebut kota, tapi juga bukan desa. Ada banyak pertokoan besar, restoran, cafe, satu mall, pokoknya lengkap, semua ada di kota tersebut. Tapi jika dibandingkan dengan kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, tentu sangat jauh.

(Kumpulkan lah saldo dengan melakukan kebaikan!)

(Setelah itu belanjakan sepuasnya!)

Suara itu berasal dari layar yang terus mengikuti Zeno, bocah itu sudah terbiasa dengan suara itu, tapi dia terus membiarkannya hingga dia bosan sendiri.

Lagipula, saldo itu apa? Zeno tidak mengerti, dia tidak paham.

Bocah itu masih SMP, dia belajar keras untuk naik ke jenjang berikutnya, yaitu SMA. Akan tetapi, untuk bisa meneruskan ke tingkat SMA itu sangat sulit. Yayasan tidak bisa membiayai sampai jenjang SMA, karena itu, Zeno harus mendapatkan beasiswa. Sedangkan mendapat beasiswa paling tidak harus juara tiga.

Zeno tidak yakin dia sepintar itu, tapi dia terus berusaha.

Pada akhirnya, Zeno gagal.

Dia hanyalah bocah yang tidak punya apa-apa, untuk belajar saja dia tidak punya buku. Yang biasanya dia lakukan adalah meminjam buku di perpustakaan sekolah, karena itu satu-satunya perpustakaan yang bisa dia kunjungi.

Ada perpustakaan kota, tapi jauh sekali.

Tidak ada internet, tidak ada TV.

Jadi di panti asuhan anak-anak bermain apa adanya, seperti bola, layangan, pedang-pedangan dari batang pisang... apapun itu yang menyenangkan.

Dulu saat masih SD Zeno suka sekali main-main seperti itu, tapi sejak SMP dia memilih untuk banyak membantu ibu panti mengurus adik-adik. Zeno paling suka memasak, salah satu ibu panti pandai sekali memasak.

Mulai dari masakan  daerah Jawa timur, Jawa tengah, Jawa barat, Padang dan lain-lain, ibu panti bernama Ririn sangat pandai, jadi Zeno belajar dari bu Ririn selama dia SMP, jadi sudah tiga tahun.

Kini jika bu Ririn tidak ada, ganti Zeno yang membantunya.

Suatu saat, seorang pria yang merupakan supir truck datang ke panti asuhan, menggoda bu Ririn kemudian membawa Bu Ririn pergi. Keesokan harinya mereka kembali lagi, tapi pria itu ingin bicara dengan Zeno.

Pria itu bernama Udin, dia bilang jika Zeno mau SMA, dia bisa membantu, tapi Zeno harus ikut Udin pergi ke Jakarta.

Karena orang-orang panti itu polos, mereka mendukung Zeno, jadinya Zeno mau saja ikut. Harapan satu-satunya agar dia bisa bersekolah hanyalah ikut pak Udin.

Mereka melakukan perjalanan selama dua hari dua malam hingga sampai Jakarta.

Zeno sangat senang.

Udin membawa Zeno ke sebuah tempat yang ramai, banyak wanita yang berpakaian bagus dan juga berdandan cantik.

“Kamu mau bersekolah kan, Zen?” tanya pak Udin.

Zeno mengangguk semangat, “Mau, pak!”

“Kamu itu ganteng Zen, kulitmu putih bersih, tubuhmu juga tinggi, bagus sekali... jadi, aku yakin pasti banyak yang menyukaimu disini, kamu hanya perlu melayani tante-tante kaya, lalu mendapatkan uang,” ucap pak Udin.

Awalnya Zeno bingung dengan ucapan pak Udin, dia diam dan berusaha mencernanya.

“Tante?”

“Iya Zen, kalau kamu mau menemani mereka dan tidak menolak apapun yang mereka inginkan, kamu bisa dapat banyak uang! Gimana?”

“Tapi pak... apa aku dijual?”

Udin tertawa keras sambil menepuk-nepuk punggung Zeno.

“Kamu ini ngomong apa sih? Siapa juga yang menjual mu? Kamu gak dijual kok... palingan hanya untuk beberapa jam saja.”

Zeno pun berdiri dari duduknya, menatap Udin dengan tatapan antara ketakutan dan tidak habis pikir.

“Aku tidak mau!”

“Kamu pikir dengan berkata tidak mau, kamu bisa lolos begitu saja? tidak ada yang bisa bocah sepertimu lakukan di tempat ini, kamu tidak punya uang, tidak punya teman atau kerabat, kamu hanya akan tersesat lalu dijual orang lain, atau dihabisi preman... coba pikirkan baik-baik ucapanku.”

Zeno menggeleng pelan, “aku lebih baik hidup menjadi gelandangan dari pada bersama denganmu!”

Udin tertawa keras sambil memukul-mukul meja, seolah ucapan Zeno adalah lelucon.

“Terserah, ini kartu namaku, jika kamu capek menjadi gelandangan, kamu bisa menghubungiku lagi” Udin berdiri lalu memasukkan sebuah kartu nama ke saku baju Zeno.

Setelah itu Zeno pun berjalan keluar dari tempat itu.

Beberapa wanita menor menggoda Zeno, tapi bocah itu terus saja berjalan sambil menatap lurus ke depan, dia tidak mau tergoyahkan sama sekali.

Benar, lebih baik menjadi gelandangan daripada bekerja dengan haram.

Zeno terus berjalan tak tentu arah.

Bocah itu hanya membawa satu ransel yang berisikan baju, dan uang yang dia miliki hanya uang saku dari ibu panti, yaitu seratus ribu rupiah.

Karena lapar dan capek, Zeno pergi ke minimarket terdekat, membeli dua bungkus roti dan juga air mineral. Dia memakan satu bungkus, minum setengah botol, kemudian kembali berjalan tak tahu arah.

Zeno bingung harus bagaimana.

Saat itu layar yang berada di depannya terus bersuara.

(Kumpulkan lah saldo dengan melakukan kebaikan!)

(Setelah itu belanjakan sepuasnya!)

(Jika kamu setuju untuk menggunakan sistem katakan iya)

Zeno berhenti berjalan, saat itu dia berada di suatu tempat entah dimana yang semua orang tidak ada yang jalan kaki seperti dia, orang-orang menaiki mobil atau motor. Jadi Zeno pikir, dia bisa bicara sendiri untuk membalas suara itu.

“Sistem apa? Aku tidak mengerti! Kamu selalu mengatakan omong kosong yang tidak aku mengerti sama sekali, jika kamu memang bisa membantuku dengan itu maka bantu saja!”

(Sistem memproses ucapan Zeno.... 10%....60%....100%)

(Sistem memutuskan jawabannya adalah iya)

(Zeno telah melakukan kebaikan dengan menolak tawaran pekerjaan sampah)

(Saldo bertambah 2.000.000)

Dahi Zeno mengerut karena bingung, “serius, saldo itu apa?”

Kemudian layar berubah, sebuah kalimat penjelasan muncul.

[Menurut perbankan, Saldo adalah jumlah uang tercatat yang ada atau tersisa dalam rekening tabungan]

Dahi Zeno kembali mengerut, dia hanya anak lulusan SMP desa yang tidak tahu apa-apa, tidak tahu menahu tentang dunia luar, tidak pernah tahu internet dan televisi. Satu-satunya teknologi yang pernah dia pegang adalah saat pelajaran komputer, itupun pelajaran tambahan, untuk belajar Ms Word, Ms excel, dan power point.

Rekening itu apa lagi?

“Gak tahu lah!” Zeno kembali menyerah dengan sistemnya, dia merasa sangat bodoh dan konyol saat ini.

Kaki Zeno membawanya ke sebuah tempat antah berantah.

Setidaknya bagi Zeno itu antah berantah, karena dia tidak tahu apa-apa.

Perutnya keroncongan karena lapar, jadi dia mencari tempat duduk di pinggir jalan, kemudian mengeluarkan roti dan air minum dari ranselnya.

Baru saja dia ingin membuka bungkusan roti, dia melihat seorang kakek yang meringkuk di jalanan.

“Tolong beri saya makan... saya belum makan selama tiga hari...” ucap kakek itu lirih, jadi tidak ada yang bisa mendengarnya selain Zeno.

Zeno yang kasihan pun memberikan roti dan sisa airnya, kakek tersebut berterima kasih.

Kini, Zeno harus menahan diri dari rasa lapar dan haus.

Sisa uang?

Sudah diambil preman dalam perjalanan, baru saja beberapa menit lalu.

(Zeno memberikan sisa makanan satu-satunya saat dia sudah tidak punya uang)

(Kamu sangat baik! Sistem memberi 25.000.000 saldo tambahan!)

(Silahkan berbelanja apapun dengan diskon 70% dari harga aslinya!)

“Belanja? Bisakah aku belanja tempat tinggal dan makanan?”

(Silahkan pilih penginapan atau apartemen terdekat, kami telah memilihkan beberapa pilihan yang bisa menyediakan makan malam untuk anda.)

Beberapa pilihan hotel pun bermunculan di layar, Zeno menoleh kesana kemari untuk memastikan tidak ada yang melihatnya. Setelah yakin tidak ada yang memperhatikannya, dia pun meng-klik salah satu kamar hotel yang terlihat bagus tapi murah.

Harganya 750.000 rupiah, tapi itu sudah dipotong 70%, jadi aslinya sekitar 2,5 jutaan. Hotel yang dipilih adalah hotel Raffles, berada sekitar tiga puluh menit jalan kaki dari tempat Zeno berada.

(Kamar sudah dibeli, ini tiketnya, tunjukkan pada resepsionis setelah masuk hotel)

Zeno pun memegang tiket yang entah datang dari mana itu erat-erat, dia penasaran juga, apakah layar yang selalu mengikutinya itu benar-benar bisa membuat dia tinggal di hotel?

.

.

Belanja hanya 30% harga

.

.

“Maaf, bocah kumal sepertimu tidak bisa masuk hotel sembarangan!” seorang satpam hotel mengusir Zeno saat dia bahkan baru saja sampai dan bertanya dimana letak resepsionisnya.

Memang penampilan Zeno lusuh sekali, bajunya hanyalah kemeja biru lusuh, dengan jaket abu-abu dan juga celana hitam. Sudah dua hari Zeno berada di jalanan, mandi pun sekali dan itupun apa adanya.

“Gimana kalo dia emang mau mesen hotel, lihat itu ganteng banget bocahnya” bisik satpam lainnya, membuat satpam yang mengusir jadi kepikiran.

Namun melihat Zeno hanya diam karena lemas, satpam pertama itu kembali mendorong Zeno, “kalo gak punya uang buat mesen hotel, mending pergi! Gak mungkin lah dia anak orang kaya, lusuh banget gini, kayak anak jalanan, kamar paling murah disini itu dua jutaan, gak mungkinlah dia bisa bayar, punya uang gak?”

Zeno menggeleng lemas, kemudian menunjukkan kertas yang dia dapat dari hotel, tapi satpam yang tidak mengerti kembali mendorong tubuh Zeno, sampai Zeno oleng dan pingsan.

Bocah itu sudah lelah terus berjalan dengan perut kosong, jadi dia pingsan begitu saja.

“Tuh kan! dia pura-pura pingsan biar kita kasihan aja ini!”

Tiin tiin!

Sebuah mobil mewah ingin lewat, satpam kedua pun buru-buru menghampiri tubuh Zeno, lalu mengangkat si bocah dan menyeretnya ke tepi agar tidak menghalangi mobil.

“Dia pingsan beneran!” ujar satpam kedua.

“Ah, dikasih minyak kayu putih juga sadar lagi pasti, jangan lebay!” sahut satpam pertama.

Satpam kedua pun menepuk-nepuk pipi Zeno, “heh, beneran pingsan ini anaknya, mana pucet banget.”

Mobil yang tadi lewat sudah berhenti, kemudian seorang pria keluar dari dalam mobil.

Satpam pertama pun menghormat pada pria itu.

Dia adalah pewaris satu-satunya pemilik hotel, anak tunggal tuan Choi, yaitu Choi Kevin. Tuan Choi menikah dengan seorang wanita sunda dan kini menetap di Jakarta serta mendirikan bisnis keluarga berupa hotel dan resort.

Kevin sangat tampan, masih muda dan sangat ramah, dia menghampiri satpam kedua dan Zeno.

“Kenapa dia? Kenapa tidak dibawa ke dalam saja?” tanya Kevin, dia sungguhan khawatir, membuat satpam pertama panas dingin, takut disalahkan padahal memang dia yang salah.

“Bocah ini baru masuk tuan muda, tapi keadaannya sudah lemas dan pucat, kemudian tiba-tiba pingsan” ucap satpam kedua.

“Benar itu, tuan muda!” satpam pertama pun turut membenarkan seolah itu bukan kesalahannya.

“Tunggu!” Kevin melihat sesuatu dipegang Zeno erat-erat, dia berusaha mengambilnya, “ini kan voucher menginap di hotel selama tiga hari, bahkan kamarnya sudah dibooking sejak beberapa jam lalu, cepat bawa dia ke kamarnya!” perintah Kevin.

“Baik tuan!”

Kevin pun turut panik, dia mengambilkan kunci kamar, berpesan pada staff hotel untuk membawakan makan malam ke kamar Zeno, kemudian membantu satpam kedua membawa Zeno ke kamarnya.

Saat Zeno membuka mata, sudah ada wajah tampan seseorang yang tersenyum padanya.

Zeno yang tidak pernah melihat orang tampan menjadi bengong sesaat, sampai dia tersadar kembali.

“Aku Kevin, pegawai hotel ini, minum ini ya... ini juga, suplemen untukmu, lalu – lebih baik kamu segera makan” ucap Kevin, sambil menunjuk minuman, suplemen dan juga makanan yang telah tersedia untuk Zeno.

“Terimakasih...”

“Sama-sama, ini kunci kamarmu, kamu bisa tinggal disini selama tiga hari, kamar mandinya ada disana, jika ada sesuatu, panggil saja pegawai – oh kamu sudah bisa memanggil?” tanya Kevin.

Dengan polosnya Zeno menggeleng, dia pun tidak tahu cara menelfon orang.

Kevin tersenyum, “sini aku tunjukkan.”

Kevin pun mengajari pada Zeno cara memanggil pegawai hotel, atau cara memesan pelayanan hotel dan lain-lain. Zeno yang takjub hanya mengangguk-angguk saja.

“Terima kasih kak... aku lapar, mau makan dulu.”

“Oh iya, maaf mengganggu, kalau ada apa-apa kamu bisa memanggilku ya? Apa kamu datang sendiri kemari? Sepertinya kamu masih dibawah umur” ucap Kevin.

“Aku sendirian kak.”

“Baiklah, kamu bisa makan, mandi lalu istirahat ya... aku pergi dulu.”

Zeno mengangguk, kemudian memperhatikan Kevin yang beranjak dari kamar hotelnya.

“Orang kota ganteng-ganteng semuanya, keren!” gumam Zeno, kemudian dia pun makan semua makanan yang hotel siapkan.

Semuanya menakjubkan.

Kamarnya, ranjang empuknya, Televisi, telfon, kamar mandi, makanan, ada juga kulkas yang berisi minuman dingin.

Semuanya luar biasa bagi Zeno.

Setelah kenyang, dia pun pergi ke kamar mandi.

Kamar mandinya agak lain.

Tidak.

Jauuuuuuuuhhhhhh sekali jika dibandingkan di panti.

Sangat jauh.

Toiletnya berbeda, pancurannya, bak mandinya...

Setelah beberapa lama berkutat disana, akhirnya Zeno pun bisa mandi dengan shower.

Memang Zeno itu udik, tapi dia itu pintar mempelajari sesuatu.

Setelah mandi dia membalut tubuhnya dengan bathrobe putih yang disediakan hotel, kemudian Zeno mematut dirinya di depan cermin.

Zeno tidak pernah benar-benar memperhatikan wajahnya.

Mungkin itu karena cermin di panti asuhan itu buram, jadi baru kali itu Zeno bisa melihat wajah dan tubuhnya dengan jelas.

“Sejak kapan aku ganteng banget ya? Apa ini karena air di hotel? Jangan-jangan aku ganteng karena mandi di sini? Aku jadi ganteng kayak kakak yang tadi!” ucap Zeno pada cermin.

Biarkan seorang bocah berkhayal, dia hanya belum tahu jika itu wajah aslinya, selama ini dia berpikir wajahnya biasa saja seperti anak yang lainnya. Cuek sekali dia dengan dirinya dan penampilannya, karena baginya itu tidak penting.

“Ehem! Aku bisa belanja apa lagi?”  tanya Zeno pada layar yang mengikutinya.

(Apapun yang kau inginkan bisa kami siapkan dan kirimkan padamu)

“Aku ingin benda seperti – apa ya?  Kotak gitu, banyak orang yang punya, mereka bisa menelfon dan mendapat informasi dari sana, bermain tik tok dan sebagainya.”

(Sistem mencerna informasi dari Zeno... 90%... 100%)

(Mungkin yang anda maksud adalah ponsel genggam, berikut ini adalah pilihan ponsel terbaik yang bisa anda miliki dengan hanya membayar 30% dari harga aslinya)

Layar berubah menjadi beberapa gambar ponsel.

Ada ponsel lipat, ada ponsel warna ungu, pink, dengan bentuk berbeda-beda.

Zeno yang bingung akhirnya memilih ponsel yang menurutnya paling bagus, berwarna putih, namanya Uphone 14 pro max. Dari harga asli 22.999.000 rupiah, Zeno membayarnya dengan harga 6.899.700 rupiah. Masih mahal bagi Zeno, tapi yang penting adalah dia bisa menggunakan internet, agar dia tidak bodoh dan mengetahui banyak hal di dunia ini.

Zeno juga ingin mengetahui bagaimana caranya dia mendapatkan uang.

Karena dia tidak punya rekening dan tidak bisa membuatnya di bank, maka dia akan kesulitan.

Sepertinya satu-satunya cara adalah menggunakan sistemnya untuk berbelanja. Namun, dia tetap butuh uang fisik.

“Aku mau beli ponsel yang ini!”

(Kami sarankan untuk membeli kartu sim juga, sistem akan memprosesnya untuk Zeno agar Zeno bisa langsung menggunakannya)

“Oke!”

(Loading...)

(Pengiriman selesai!)

BRUK!

Zeno terkejut, ada suara box di sebelahnya.

Mata Zeno berkedip-kedip melihat box tersebut, dia pun membukanya, karena sulit, dia meraih pisau kecil dari tempat dia tadi makan, untuk mengupas buah. Dia pun menggunakan pisau tersebut untuk merobek box.

Dan benar saja, ponselnya ada disana, lengkap dengan semua surat-surat resminya. Sim card juga sudah terpasang di dalam ponsel.

Zeno pun menyalakan ponsel tersebut.

“Woah! Akhirnya aku punya ponsel!”

Malam itu, bocah kampung yang tidak tahu apa-apa itu berselancar di internet, dia mempelajari banyak hal. Dia pun tersadar, jika kemungkinan besar hanya dirinya yang memiliki sistem dan ternyata sistem sangat menguntungkan baginya.

“Aku bisa membeli ponsel dari sistem dan menjualnya pada orang kan? berarti... aku dapat untung berapa?” gumam Zeno sambil memandangi ponselnya sendiri.

“Jika aku saja membelinya dengan harga hampir 7 juta, lalu ku jual dengan harga 20 juta saja, aku sudah mendapat 13 juta? Wah! Aku bisa kaya raya!”

Banyak sekali ide memanfaatkan sistem yang muncul di otaknya, sampai dia kelelahan sendiri dan ketiduran.

.

.