The Human
Bau karbol menyeruak, menusuk hidung. Tujuh seonggok daging tergeletak tak berdaya di atas meja operasi yang tak bisa dibilang empuk maupun nyaman. Napas mereka mulai tak beraturan setelah satu suntikkan melesat bebas, menusuk hingga ke tulang. Perih dan menyakitkan. Bersamaan dengan itu, terdengar tawa puas dari tujuh ilmuwan berpakaian serba putih. Wajah mereka tertutup masker tebal, sementara tangan mereka dibalut handscoon atau sarung tangan karet berwarna putih.
Namun, tawa itu tak bertahan lama tatkala salah satu di antara mereka berubah menjadi serius, seakan mengatakan bahwa bukan saatnya mereka bersenang-senang dahulu.
“Berhasil, kah?” tanya seseorang beralis tebal. Tangannya bersilang di depan dada. Raut wajahnya amat tegas dan menyimpan rasa penasaran yang tinggi. Tatapannya menukik ke arah ilmuwan muda yang masih memeriksa detak jantung salah satu kelinci percobaan mereka.
Si ilmuwan muda tersebut menoleh dengan yakin. Tatapannya seakan sudah menjawab pertanyaan ilmuwan yang menjadi seniornya itu. Tak ada yang memungkiri, meski terasa melelahkan tetapi mereka semua akhirnya bisa menyelesaikan operasi selama beberapa jam.
Kemudian, tak berapa lama, geraman tujuh inang utama mendadak terdengar menggelegar seakan mereka berkata betapa menyakitkannya ini. Tubuh yang terbakar, detak jantung yang kacau, nadi yang seakan terasa hendak putus, dan pandangan kabur yang menyakitkan mata.
Beberapa dari kelinci percobaan itu mengamuk saking tidak kuatnya. Teriakan mereka pun terdengar kian keras. Namun, mereka tak bisa berontak begitu saja. Tangan dan kaki sudah dibelenggu. Neraka. Ya, ini adalah neraka dunia bagi mereka.
Andai saja ada pilihan untuk mengakhiri hidup, maka mereka akan memilih jalan itu daripada harus menjadi bahan percobaan para ilmuwan gila tersebut. Hancur sudah. Tubuh mereka seperti dihantam baja yang jatuh dari langit. Koyak. Apakah ini hukuman Tuhan, ataukah hanya ujian semata?
Tak ada yang tahu. Namun, semua berjalan sesuai kehendak manusia berotak udang itu. Semakin keras teriakkan para kelinci percobaan yang tak berdaya tersebut, semakin keras tawa kemenangan para ilmuwan.
Semakin gila, semuanya semakin tak terkendali. Para psikopat yang hanya mementingkan kesenangan itu kian terpuaskan. Namun, di salah satu meja operasi, seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun hanya meneteskan air matanya.
Apakah dia tak merasakan sakit? Tidak juga. Dia pun merasakan apa yang teman-temannya rasakan. Namun, dia memilih untuk diam. Dia tahu, satu teriakannya hanya akan menambah ketidakwarasan para ilmuwan yang tidak berperikemanusiaan.
Rasa sakit yang seakan menghancurkan tubuhnya, dia menafikannya meski itu tidak akan mungkin. Matanya terpejam dengan kuat, berusaha untuk mengendalikan diri dan menahan perihnya siksaan ini.
Namun, sekuat apa pun dia memejamkan mata, rasa sakit itu masih ada. Dia pun mengatur napasnya. Sejujurnya, rasa sakit yang diterima akibat nafsu para ilmuwan tak seberapa dibandingkan luka hatinya saat ini.
Kemudian, dia berkata dengan lirihnya pada salah satu ilmuwan yang tadi menyuntikkan sesuatu ke tubuhnya, “Hei, kenapa ... tidak kau bunuh saja aku?”
Sontak saja, tawa ilmuwan bermata sipit yang duduk di sampingnya itu berhenti seketika. Dia menoleh, kemudian meneguk salivanya kuat-kuat. Dirinya baru sadar bahwa kelinci yang dipegangnya tidak bereaksi seperti kelinci-kelinci lain. Bahkan, kelincinya itu meminta hal lain yang bertolak belakang dengan tujuan mereka.
“Hei, kenapa kau tidak musnahkan aku saja?” pinta anak lelaki itu semakin memaksa. Bahkan, tangannya yang terbelenggu kian memberontak seraya memohon pinta yang baginya sederhana. “Bukankah lebih baik jika kalian tak biarkan aku hidup? Ataukah ... kalian hendak melenyapkanku secara perlahan?”
Rasa perih di hatinya lebih kuat dibandingkan dengan sakitnya cairan yang baru saja masuk ke dalam tubuhnya. Sejenak, anak lelaki itu terbayang seorang wanita yang tergeletak dengan bersimbah darah.
Kejam.
Sebelum dia menjadi kelinci percobaan para ilmuwan itu, dia melihat hal yang paling menyakitkan dibandingkan menjadi bahan penelitian.
Perasaan bersalah dan tak berdaya menjadi satu. “Tak bisakah kuselamatkan dia?”
Hatinya terus menyalahkan diri. Andai saja. Andai saja dia tidak menaruh benci karena selalu dikekang. Andai saja dia tak marah saat itu, maka wanita yang ada di hidupnya itu masih bisa tersenyum untuk menyambutnya pulang.
Namun, adakah yang bisa mengubah takdir? Rasa sesak yang teramat dalam telah mengantarkan anak lelaki itu pada sebuah bangunan yang berdiri dengan sombongnya. Bahkan, di dalamnya hanya berisi manusia penuh nafsu yang tak berperikemanusiaan.
“Hei, apakah ini adalah hukuman untukku karena mengabaikannya dan membiarkan hidupnya diakhiri oleh pria busuk itu?” Anak tersebut hanya menangis. Andai dia bisa lebih kuat menerima ini. “Jika begitu, siksa aku semau kalian!”
Ucapannya membuat para ilmuwan yang tadinya tertawa penuh kemenangan, kini terdiam dengan mata terbelalak. Masalahnya, kelinci percobaan yang lain meronta minta dibebaskan dari rasa sakit ini. Namun, anak lelaki tersebut malah meminta sebaliknya.
Ilmuwan beralis tebal yang tadinya memperhatikan si anak dari kejauhan, akhirnya mengambil tindakan. Namun sebelum itu, sudut bibirnya terangkat beberapa senti. Meski mulutnya terhalang masker super tebal, tetapi seringai itu sudah jelas tampak. Hatinya pun berubah seperti taman bunga.
Perlahan, kakinya melangkah, mendekat pada kelinci percobaan yang amat unik baginya. Tatapan tajamnya mengarah pada anak lelaki itu, seakan dia tak akan pernah melepaskannya lagi.
“Apa kamu yakin?” tanyanya setelah dia sampai pada meja operasi yang berada di paling ujung ruangan. Sementara para ilmuwan yang lain hanya mematung seraya berpikir, kiranya apa yang hendak ilmuwan paling senior itu lakukan.
Anak lelaki itu pun melemaskan tubuhnya. Dia tak peduli lagi pada rasa sakit akibat cairan yang diberikan oleh ilmuwan beralis tebal. Yang dia pikirkan, bagaimana dia bisa menebus kesalahannya sebelum datang ke tempat ini.
Apakah dia bisa menyusul wanita itu? Ataukah ... dia akan berada di sini selamanya untuk menerima hukuman dari Tuhan?
Ya, inilah neraka dan akhir hidupnya.
Tak berapa lama, ilmuwan beralis tebal pun mengambil peralatan medis, dibantu ilmuwan bermata sipit tadi. “Setelah ini, kamu bukanlah dirimu yang dahulu. Kamu adalah manusia yang berbeda. Jadi, jangan pernah menyesal dan terimalah hukumanmu,” kata ilmuwan itu seraya menancapkan sebuah suntikkan yang di dalamnya terdapat cairan aneh. Apa pun itu, anak lelaki tersebut tak peduli.
Semakin dalam jarum itu menusuk, semakin hancur pula perasaannya. Tubuhnya mendadak mati rasa selama beberapa detik, kemudian muncul rasa sakit yang teramat dalam seakan sekujur tubuhnya ditusuk tombak dan dihantam benda berat yang dijatuhkan dari langit ke tujuh secara bersamaan.
Apakah aku akan mati? Tidak ada pikiran selain itu. Di dalam bayangannya hanya terlukis gambaran neraka versinya sendiri.
Namun, gambaran itu buyar seketika tatkala jeritan ketakutan menggema di ruang operasi. Tidak, bukan suara raungan kelinci-kelinci tak berdosa itu. Namun, teriakkan yang mengacaukan ruangan berasal dari para ilmuwan yang terkejut akan hadirnya tamu tak diundang.
Brak!
Tanpa basa-basi, mendadak saja seorang anak laki-laki tak dikenal dengan sigap menebas para ilmuwan yang ada. Gerakannya secepat kilat laiknya badai petir. Matanya seperti kehilangan cahaya kehidupan. Dia tidak pandang bulu meski korbannya adalah ilmuwan tersohor di negeri bedebah ini.
Satu kata yang terucap dari bibirnya hanyalah “mati” dan dirinya mampu mewujudkan kalimat itu. Pedang panjang yang dibawanya mampu menebas apa pun yang dia mau, terutama pada ilmuwan gila yang sudah menculik satu-satunya sumber kebahagiaannya.
Ruang operasi pun makin kacau. Sudah dua korban jatuh di tangannya. Sementara rasa haus darah anak berusia sepuluh tahun dengan pedang panjangnya pun kian membuat tubuh kecil itu berontak.
“Kegilaan macam apa ini?!” bisik ilmuwan beralis tebal tersebut di dalam batinnya. Matanya terbelalak, sementara tubuhnya bergetar karena ketakutan. Amukan anak kecil itu mampu meruntuhkan kesombongannya.
Setelah memusnahkan korban ketiganya, anak tersebut berdiri sambil menatap tajam, sementara senyum iblisnya bak psikopat sudah terpampang sejak awal. Gila. Ini lebih gila daripada kegilaan para ilmuwan yang hanya ingin memuaskan nafsu mereka.
Masih berdiri, anak tersebut menatap satu persatu yang akan menjadi korban haus darahnya hari ini. Pedang panjang berlumur darah yang berada di tangan kanannya itu semakin mengkilap.
“Haruskah aku menghabisi semuanya atau kusisakan satu untuk diadili oleh Tuhan?” kata anak tersebut diselingi tawanya. Ngeri.
Sementara anak lelaki yang menjadi kelinci percobaan itu terkejut tatkala mendengar kalimat “Pengadilan Tuhan” dari mulut seseorang yang dia tak kenal siapa. Bukannya ketakutan, tetapi dia malah tersenyum lembut.
“Ah, inikah pengadilan Tuhan? Kalau begitu, akhirnya ... aku bisa menebus dosaku padamu, Ibu.”
****
“Serahkan semua yang ada di kantongmu!” teriak seorang pria berbadan kekar dengan kumis tipisnya. “Sudah kubilang, setiap hari kau harus menyerahkan jatahmu!”
Suara kerasnya menggetarkan dinding gang yang sempit. Sementara di hadapan pria itu ada pemuda yang berdiri dengan kaki gemetar. Namanya Han, seorang pemuda miskin yang baru saja pulang dari bekerja, tetapi seperti biasa nasibnya sial.
Padahal, sudah dari awal dia mencoba untuk menghindar, tetapi hasilnya tetap sama. Setiap pulang, dia dikepung oleh para bandit rakus yang hanya ingin terpuaskan tanpa kerja keras.
Lima tahun telah berlalu setelah kejadian mengerikan di laboratorium pemerintah. Humanpolis menjadi negeri dengan peningkatan penduduk paling drastis. Kelahiran meningkat pesat, sementara kematian hanya beberapa persen saja. Hal itu membuat ketersediaan pangan, tempat, dan ekonomi di sekitar distrik menurun. Tak ada distrik yang hidup berkecukupan, kecuali di ibu kota.
Humanpolis dikelilingi oleh tujuh distrik. Mulai dari Pabon, Kasuari, Deverth, Astria, Jinzei, Ozu, dan Hiroshi. Astria adalah distrik yang lebih makmur dibanding lainnya. Tak jarang para penduduk Humanpolis menyebutnya dengan Ibu Kota. Sementara distrik-distrik yang lain masih dibilang dalam taraf ekonomi yang rendah.
Rasa lapar mengundang kejahatan di mana-mana. Keinginan untuk menang dari orang lain demi bertahan hidup pun tak bisa dipungkiri. Semua orang rela melakukan apa pun agar perutnya tetap terisi.
Seperti halnya para jagoan kampung yang kini sedang menahan Han di gang kumuh. Beberapa bagian tubuh pemuda berusia 15 tahun itu sudah membiru. Sementara hidung mungilnya meneteskan cairan merah akibat hantaman kuat dari tangan besar nan berdosa itu.
“Mau kubuat bonyok lagi, hah?!” Kembali berteriak, bandit itu kian memaksa dengan ancaman. Tangan jagoannya sudah mengepal dan berhadapan langsung dengan wajah Han, siap meluncur tanpa memikirkan belas kasihan.
Meski dengan badan yang gemetar dan pipi yang sudah lebam, Han mencoba untuk lebih kuat daripada sebelumnya. “I-ini b-biaya untuk pengobatan a-adi—”
Belum sempat Han membela diri, satu pukulan mendarat di perut yang kini tengah menahan lapar.
Bug!
“Kau pikir kita hidup di zaman apa, hah? Urus perutmu sendiri, tak usah mengurusi adikmu yang lemah! Biarkan saja dia, nanti juga akan menjadi bangkai!”
Deg.
Kalimat yang diucapkan si bandit menyulut emosi Han. Rasa amarah yang selama ini dipendamnya dalam-dalam akhirnya meminta untuk berontak. Tangan Han pun mengepal dengan kuat, siap membalaskan dendam.
Mendadak, hawa di sekitar terasa mencekam. Para bandit yang biasa menahan Han, seketika tubuh mereka merinding. Bulu kuduk berdiri secara bersamaan. Ada aura mengancam yang mampu meruntuhkan keangkuhan hati mereka.
Kemudian, tangan kanan Han mengorek saku celananya. Dari awal, dia sudah menyiapkan benda itu untuk berjaga-jaga dan kali ini, akankah Han melakukannya?
Namun, sebuah sirene membuyarkan amarah Han. Dia letakkan kembali belati kecil yang dibawanya dari rumah. Sementara ketiga bandit pun lari tunggang-langgang meninggalkan Han di sudut gang.
Mereka seperti kucing yang mencuri ikan, lari terbirit-birit hanya dengan mendengar sirene polisi pemerintah yang tengah berpatroli siang ini. Han pun demikian, dia tak ingin polisi mendapatinya dengan membawa belati peninggalan ayahnya di saku kecilnya.
Han berlari menembus dinding-dinding rapuh yang sudah termakan keadaan. Distrik Kasuari memang paling miskin dan tak terawat. Bagaimana mungkin para penduduk merawatnya, sedangkan untuk mengisi perut sendiri di tengah kepadatan ini saja belum tentu bisa. Apalagi, masih banyak perut lain yang minta diisi.
Sungguh ironis.
Saking tidak sanggupnya untuk bertahan, para orang tua yang sudah kehilangan harapan seringkali membuat dirinya tega untuk mengakhiri nyawa yang seharusnya diberi hidup. Tak jarang juga sesama saudara saling berjuang dan ingin menang dari lainnya.
Meski hampir semua orang berpikiran demikian, tetapi tidak bagi Han. Adiknya yang bernama Hana saat ini jatuh sakit, tak berdaya. Hanya berbaring dengan pasrah, seperti siap menyambut malaikat maut untuk datang menjemputnya.
Namun, Han tak mau itu terjadi. Dirinya bekerja keras agar satu-satunya hal yang paling berharga di hidupnya akan terus berada di sisinya. Han, amat menyayangi Hana. Dia rela banting tulang dan putus sekolah demi membiayai pengobatan adiknya, juga untuk mengisi perut mereka berdua.
Han terus berlari dengan penyesalan. Ya, ada sedikit penyesalan yang timbul di hatinya. Andai saja para polisi pemerintah itu tidak datang, mungkin Han sudah terpuaskan karena dendamnya pada para bandit itu terbalas.
Di sisi lain, nurani Han juga tak tega. Dunia yang begitu kejamnya ini telah membuat manusia-manusia melakukan dosa tanpa peduli pada yang lain.
Tak berapa lama, Han pun sampai pada rumah kecil di sudut distrik. Ini bukan rumahnya, melainkan rumah bibinya. Kedua orang tua Han telah menghadap sang Illahi dua tahun lalu karena kekacauan negeri ini.
Dengan perasaan yang berat, Han melangkah masuk. Lagi, dia akan memasuki wilayah yang sama sekali tak membuatnya hidup dengan damai. Meski dia diperbolehkan tinggal, tetapi paman dan bibinya berpikiran sama dengan manusia zaman sekarang.
Mereka hanya peduli dengan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain meskipun sudah diberi tanggung jawab oleh ayah Han. Sementara demi terus bertahan hidup, mereka melenyapkan darah daging sendiri. Namun, tetap saja meminta jatah kepada Han. Kejam, bukan?
“Sip, hari ini jatahku tidak diminta para bandit. Jadi, aku bisa menyerahkan sisanya kepada Bibi, dan sisa lainnya untuk aku tabung demi makan serta pengobatan Hana.” Han tersenyum kecil seraya memutar engsel pintu.
Namun, terkejutlah dia tatkala seorang manusia bertopeng gagak berdiri di depan dua seonggok daging yang sudah tak bernyawa. Han mengenal siapa mayat itu, tetapi tidak dengan manusia bertopeng gagak dan jubah hitam laiknya malaikat maut.
Kostum yang dikenakannya begitu aneh, seperti Plague Doctor di abad 17. Topeng burung gagak yang tentunya memiliki paruh melengkung, kedua matanya berlubang tetapi tetap dilapisi kaca agar tidak menghalangi pandangan. Di atas kepala manusia misterius itu terdapat topi bundar berwarna hitam yang terbuat dari kulit. Sementara tubuhnya ditutup jubah hitam dan tangan dibalut dengan sarung tangan putih.
Sungguh aneh dan mengerikan.
Manusia bertopeng itu melirik sekilas pada Han, kemudian dia berjongkok, mengambil jarum mematikan yang dikenal dengan Punctura di tepi leher dua korbannya. Setelah itu, dia memasukkannya ke dalam tongkat kayu yang dibawanya dan melesat pergi dengan cepat tanpa meninggalkan jejak apa pun.
Sementara Han masih mematung selama beberapa saat. Terlebih, tiba-tiba saja sebuah cairan kental berwarna hitam keluar dari mulut paman dan bibi Han. Sontak saja, kedua mata Han melotot. Cairan itu bukan sembarang cairan. Sebab, bau amis tercium juga dari sana.
Kaki Han melangkah ragu, mendekat pada dua mayat yang selama ini memberikannya rumah. “D-darah?!” Han terkejut setelah dirinya semakin dekat dengan mereka. Cairan kental berwarna hitam itu tampak seperti darah, hanya saja berbeda warna.
Han pun menjauhinya seketika. Sementara tangannya menutupi mulut, berusaha menahan rasa mual akibat melihat hal yang mengerikan.
Kemudian, tak berapa lama, Han teringat adik kecilnya. Dia pun berlari seraya ketakutan sendiri. “Jangan sampai ini terjadi juga dengan Hana!” pintanya di dalam hati.
Dia terus berlari, menaiki anak tangga yang terasa tak ada habisnya. Sambil terus menahan sesuatu yang hendak keluar dari perutnya, Han berharap bahwa Hana akan baik-baik saja.
“Hana!” teriak Han begitu kerasnya. Dia langsung membuka pintu kamar Hana yang berada di lantai dua.
Setelah pintu terbuka dengan paksaannya, tubuh Han langsung melemas hingga kakinya tak mampu menopang badannya sendiri, alhasil Han pun ambruk di atas lantai. Sementara bulir bening meluruh dari manik matanya.
“H-Hana ...”
****