SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Kiamat Tapi Ngakak

Kiamat Tapi Ngakak

"Kiamat Versi Kita"

Danu, seorang pekerja kantor yang cenderung biasa-biasa saja, sedang mengantri di kedai kopi langganannya saat ia mendengar berita di radio tentang “akhir dunia” yang akan datang. Bukan ramalan agama atau alien yang menyerang, tapi karena sebuah meteor raksasa bernama "Agatha" yang siap menabrak Bumi dalam 24 jam.

Orang-orang di sekitarnya bereaksi aneh—ada yang teriak, ada yang langsung menghubungi pacar mereka yang sudah selingkuh, dan ada juga yang malah memesan kopi ekstra besar sambil berpikir, “Kalau mau kiamat, mending kenyang.”

Danu sendiri masih berusaha mencerna apakah ini serius atau cuma prank besar-besaran. Saat petugas kedai kopi memberikan pesanan terakhirnya dengan embel-embel, “Selamat menikmati kopi terakhir Anda, Bang!” barulah dia sadar, mungkin kali ini bukan bercanda.

Danu pulang ke apartemennya, mencoba memikirkan apa yang harus dilakukan sebelum kiamat. Dia membuat daftar hal-hal yang ingin dilakukan sebelum mati, tapi daftarnya justru penuh dengan hal-hal konyol seperti “memesan pizza 12 topping” dan “menyatakan cinta ke kasir minimarket.”

Tetangganya, Pak Tarman, yang selalu skeptis tentang segala sesuatu, malah menggelar pesta kiamat di halaman apartemen. Dia berteriak kepada siapa saja yang mau mendengarkan, “Daripada nangis, mending kita karaokean sampai meteor jatuh!”

Danu pun bergabung, dengan niat mencari hiburan sebelum dunia benar-benar berakhir. Di pesta itu, ada yang curhat soal mantan, ada yang berusaha mabuk tanpa alkohol karena stok habis, dan ada juga yang menyanyikan lagu sedih sambil sesekali melirik ke langit mencari meteor.

Di tengah keramaian pesta, Danu bertemu Nino, temannya dari masa SMA yang sekarang jadi penganut teori konspirasi. Nino yakin bahwa meteor itu bukan kecelakaan, tapi upaya pemerintah untuk mengatur ulang peradaban.

Nino mengajak Danu ikut dengannya mencari bunker rahasia yang katanya bisa menahan dampak meteor. “Lu pikir hidup mati gua serahin ke pemerintah? Gua punya peta rahasia, Dan. Bunker ini bisa bikin kita hidup nyaman pas meteor jatuh!”

Meskipun Danu tahu 99% teori Nino itu ngaco, dia berpikir, “Kenapa enggak? Daripada nunggu meteor sambil nyanyi dangdut, mending ikut petualangan absurd ini."

Danu dan Nino berangkat ke sebuah hutan di pinggiran kota, tempat yang katanya menyembunyikan bunker rahasia. Perjalanan mereka dipenuhi percakapan konyol, seperti membahas apakah ada alien yang justru nonton Bumi hancur sebagai reality show.

Di tengah perjalanan, mereka bertemu sekelompok anak muda yang juga berusaha mencari “tempat aman”. Namun, ternyata mereka lebih tertarik untuk membuat video dokumentasi perjalanan kiamat ini dan mengunggahnya ke media sosial.

Nino mencoba membujuk mereka untuk ikut mencari bunker, tapi akhirnya malah terlibat perdebatan konyol soal siapa yang harus jadi host video “Survival Kiamat” mereka. Danu hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menahan tawa, merasa ini lebih mirip acara komedi ketimbang akhir dunia.

Setelah menempuh perjalanan panjang, mereka tiba di lokasi yang dimaksud Nino. Namun, bukannya menemukan bunker, mereka hanya menemukan papan bertuliskan “Bunker yang Anda cari mungkin sudah pindah. Silakan cek lokasi lain. #SelamatKiamat.”

Danu tertawa lepas untuk pertama kalinya sejak mendengar berita meteor. Meskipun mereka gagal, setidaknya dia tidak sendirian dalam menghadapi akhir dunia yang kacau dan penuh komedi ini.

Mereka memutuskan untuk menunggu bersama sambil bercanda dan menyaksikan apakah meteor benar-benar datang atau hanya lelucon besar yang tak terduga.

"Peta Bukan Sembarang Peta"

Danu dan Nino terbangun di tengah hutan kecil di pinggiran kota. Matahari sudah terik, dan Danu baru sadar bahwa bekal air mereka hampir habis.

Nino dengan percaya diri mengeluarkan peta lusuhnya, meyakinkan Danu bahwa mereka hanya butuh berjalan beberapa kilometer lagi ke arah utara. Danu mengangguk saja, meski dia sendiri ragu apakah Nino benar-benar tahu arah utara tanpa kompas.

Setelah berjalan sekitar satu jam, mereka malah kembali ke tempat yang sama. Danu mulai menyadari kalau Nino mungkin tidak seahli yang dia kira. Tapi Nino bersikeras, “Tenang, Dan! Peta ini nggak mungkin salah! Mungkin kita aja yang kurang sinkron sama alam.”

Danu mulai merasa ini lebih seperti wisata alam daripada misi penyelamatan diri dari kiamat. Dia menertawakan kesialan mereka, tapi diam-diam berharap bahwa Nino benar tentang bunkernya.

Dalam perjalanan yang terasa sia-sia itu, mereka tiba-tiba mendengar suara musik dangdut yang diputar dengan volume keras di tengah hutan. Mereka mengikuti suara itu, berharap menemukan tanda kehidupan.

Ternyata, suara itu berasal dari tiga pria paruh baya yang sedang berjaga di depan sebuah pintu baja besar yang tertutup lumut. Mereka adalah Trio Penjaga Bunker, sekelompok orang yang entah kenapa percaya bahwa tugas mereka adalah mengawasi bunker yang ternyata... bekas tempat penyimpanan alat berat.

Pria pertama bernama Bang Jono, yang selalu membawa radio tua dan menyebut dirinya "DJ kiamat." Pria kedua, Pak Wawan, mengenakan helm proyek dan mengaku sebagai "kepala keamanan," meskipun tidak ada yang benar-benar perlu dijaga. Yang ketiga, Adul, spesialis memperbaiki pintu bunker yang sering macet—meski tidak pernah ada yang mencoba membukanya selain mereka bertiga.

“Kalian nyari tempat aman juga?” tanya Bang Jono dengan senyum lebar, sambil menyeruput kopi sachet yang entah sudah kadaluarsa berapa lama. Nino dan Danu saling pandang, menyadari bahwa mungkin inilah orang-orang terakhir yang akan mereka temui di hari kiamat.

Nino mencoba meyakinkan Trio Penjaga Bunker bahwa mereka perlu membuka pintu dan membiarkan mereka masuk. Nino menggambarkan ancaman meteor raksasa Agatha dengan begitu dramatis, seperti di film-film Hollywood. Tapi, Pak Wawan hanya mengangguk-angguk sambil berkata, “Masalahnya, ini bunker alat berat. Kalo meteor beneran jatuh, yang aman cuma bulldozer.”

Adul yang sering tampak linglung menimpali, “Ya tapi siapa tahu, kali aja ada sisa-sisa logistik militer di dalem. Biar kita bisa ngadepin meteor dengan... ya, perasaan aman lah.”

Danu tidak bisa menahan tawanya lagi. Rasanya konyol berada di tengah hutan, berdiskusi serius dengan orang-orang yang lebih peduli soal stok kopi sachet mereka daripada dampak meteor yang menghantam.

Bang Jono, dengan gaya bak motivator, berkata, “Kalian tahu nggak? Bukan soal bunkernya, tapi soal mental kita menghadapi kiamat ini! Kalo kita happy, meteor lewat aja tuh!” Nino terlihat bingung apakah dia harus tersinggung atau ikut tertawa.

Akhirnya, Trio Penjaga Bunker setuju untuk membiarkan mereka mencoba masuk ke dalam bunker, tapi dengan syarat mereka harus mengalahkan mereka dalam lomba tebak-tebakan. Danu hanya bisa menepuk dahinya, merasa bahwa ini adalah tantangan teraneh yang pernah dia hadapi dalam hidup.

Pertandingan tebak-tebakan dimulai. Adul dengan semangat bertanya, “Apa yang bisa terbang tapi nggak punya sayap?” Nino, yang biasanya pintar, kali ini terdiam dan bingung. Danu menepuk pundaknya dan menjawab, “Baling-baling bambu.” Adul langsung tertawa terbahak-bahak, “Ah, bener! Tapi sayangnya bukan itu jawabannya!”

Bang Jono kemudian mengajukan tebakannya, “Apa yang paling dibenci tapi selalu dicari?” Danu dengan cepat menjawab, “Uang.” Tapi Bang Jono menggeleng, “Salah! Jawabannya kenangan mantan.”

Nino akhirnya memberikan jawaban paling ngasal, “Meteor Agatha?” dan Bang Jono langsung tertawa keras, “Wah, kayaknya emang kalian yang paling cocok masuk bunker ini!”

Setelah berbagai tebak-tebakan aneh, mereka akhirnya diizinkan masuk ke dalam bunker. Ternyata, isinya memang bukan bunker militer seperti yang dibayangkan Nino, tapi gudang penyimpanan alat-alat berat yang sudah berkarat. Namun, di pojok ruang ada beberapa kaleng makanan yang belum dibuka, dan tentu saja, lebih banyak kopi sachet kadaluarsa.

Danu dan Nino merasa lega sekaligus bingung—mereka belum menemukan solusi dari ancaman meteor, tapi setidaknya mereka punya tempat berteduh dan bahan lelucon baru.

Danu dan Nino akhirnya duduk bersama Trio Penjaga Bunker, menikmati kopi sachet dan mengobrol santai di dalam bunker yang lebih mirip gudang tua. Mereka memandangi langit yang terlihat dari celah pintu yang terbuka, menunggu apakah meteor Agatha benar-benar akan menghantam atau tidak.

Danu menyadari bahwa kiamat mungkin memang datang, tapi setidaknya dia tidak harus menghadapinya sendirian. Dia menatap Nino, Bang Jono, Pak Wawan, dan Adul, lalu berkata, “Gue nggak nyangka, tapi gue seneng bisa kiamat bareng kalian.”

Di luar sana, langit mulai berawan dan cahaya meteor terlihat mendekat. Tapi di dalam bunker yang penuh dengan canda tawa, kiamat terasa sedikit lebih hangat dan penuh harapan.

Terpopuler