SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Sinyal Di Batas Bintang

Sinyal Di Batas Bintang

1

Bab 1: Peluncuran Menuju Tak Terbatas

Seluruh dunia terhenti di pagi itu. Jutaan mata terpaku pada layar, menantikan peluncuran yang paling dinantikan sepanjang sejarah manusia. Dari sudut-sudut jauh bumi, dari rumah-rumah, kantor-kantor, hingga barisan kursi VIP di pusat kendali misi di Gurun Mojave, semua menunggu dengan harapan sekaligus ketegangan. Di landasan peluncuran, berdiri megah The Horizon, sebuah kapal luar angkasa setinggi dua puluh lantai yang siap mengarungi ruang hampa menuju bintang terdekat, Alpha Centauri.

Di dalam kapal, suasana terasa hening meski deru mesin peluncur mulai menggetarkan lantai. Kapten Elena Veras duduk di kursi kapten, tubuhnya diikat kuat oleh sabuk pengaman yang dirancang khusus untuk menahan tekanan gravitasi tinggi saat peluncuran. Tangannya mencengkeram lengan kursi, tapi wajahnya tenang. Ini bukan kali pertama ia melakukan perjalanan ke luar angkasa, tetapi kali ini berbeda. Kali ini dia bukan hanya terbang untuk mengelilingi orbit bumi atau pergi ke Mars. Kali ini, dia dan krunya akan menjadi manusia pertama yang menjejakkan kaki di sistem bintang lain.

Di layar monitornya, angka hitungan mundur terus berjalan. Tiga puluh detik lagi. Elena menarik napas panjang, berusaha menjaga ketenangannya. Di telinganya, suara pusat kendali terdengar datar namun penuh otoritas, "Semua sistem berfungsi dengan baik. Horizon siap untuk peluncuran. Kapten, apakah kru siap?"

Elena menekan tombol komunikator di sisi helmnya. "Semua anggota kru sudah di posisi. Kami siap." Suaranya terdengar dingin, profesional, seperti biasa. Namun di dalam dirinya, ada kegugupan yang tak bisa dia abaikan. Ini bukan misi biasa. Ini adalah misi penentu dalam sejarah umat manusia.

Di sebelah kanannya, Dr. Samuel Cross, ilmuwan astrobiologi utama, memeriksa layar monitornya dengan serius. Jari-jarinya terus menari di atas keyboard holografis, memantau data dari instrumen yang akan digunakan untuk menganalisis kehidupan di planet yang mereka tuju. Samuel adalah orang yang sangat cerdas, tetapi Elena tahu dia juga punya ambisi besar. Misi ini, bagi Samuel, bukan hanya tentang mencari planet yang layak huni, tapi lebih dari itu. Dia ingin menemukan tanda kehidupan, alien atau apa pun yang bisa menjawab pertanyaan lama manusia: apakah kita sendirian di alam semesta?

"Lima belas detik," kata suara pusat kendali lagi.

Elena menoleh ke kiri. Anya Pavlov, insinyur kepala kapal, memeriksa konsolnya dengan teliti. Anya adalah sosok tenang, tanpa ekspresi, tetapi kemampuannya tak diragukan lagi. Tidak ada komponen di kapal ini yang tidak dia kuasai. Horizon, yang merupakan mahakarya teknologi manusia, sepenuhnya berada di bawah tangannya.

"Lima… empat… tiga… dua… satu…"

Teriakan mesin peluncur memekakkan telinga. Horizon terangkat dari landasan, getarannya sangat kuat hingga terasa menghantam dada. Elena menekan lebih kuat pada kursinya, tubuhnya seperti ditarik ke bawah oleh gravitasi yang meningkat drastis. Di luar jendela kokpit, awan-awan Mojave mulai mengecil saat kapal mereka menembus atmosfer bumi, membawa mereka lebih tinggi dan lebih jauh dari semua yang pernah mereka kenal.

---

Beberapa menit setelah peluncuran, Horizon meluncur dengan tenang di luar angkasa. Elena melepaskan sabuk pengamannya dan melayang di ruang kendali utama, sesaat menikmati keheningan yang selalu datang setelah meninggalkan bumi.

“Kru, bagaimana situasi?” tanyanya sambil menekan tombol komunikator.

“Kapal stabil, semua sistem berjalan sesuai harapan,” jawab Anya, suaranya tetap tenang.

“Data orbit sudah di-update, dan kami sedang menuju jalur lintasan yang benar menuju Alpha Centauri,” tambah Lieutenant Mark Harlan, pilot kapal, yang duduk di kursi kemudi di depan Elena.

"Semua instrumen ilmiah berfungsi normal," Dr. Cross menambahkan. Wajahnya masih tegang, tetapi ada sedikit senyum kemenangan di sana.

Elena mengangguk, merasa lega. Peluncuran selalu menjadi bagian paling kritis dari misi seperti ini. Sekarang, mereka telah berhasil meninggalkan bumi, perjalanan mereka benar-benar dimulai.

"Sinyal komunikasi dengan bumi masih kuat," kata Kara Ishikawa, teknisi komunikasi, yang terus memantau sinyal dari pusat kendali. “Kita akan kehilangan sinyal dalam beberapa jam saat kita bergerak lebih jauh, tapi untuk sekarang, semuanya baik.”

Elena menatap layar yang menunjukkan gambar bumi yang semakin mengecil di belakang mereka. Sebuah pemandangan yang selalu membuatnya terdiam, sekaligus menyadari betapa kecilnya mereka di alam semesta yang begitu luas. Tapi kali ini, pemandangan itu juga datang dengan beban tanggung jawab yang sangat besar. Misi ini bukan hanya tentang mencari tempat baru untuk dijelajahi. Ini tentang menemukan rumah kedua bagi umat manusia. Setelah perubahan iklim yang tak terbendung, populasi yang kian meledak, dan sumber daya yang semakin menipis, harapan manusia berada di luar sana, di bintang-bintang.

"Kapten Veras," suara pusat kendali terdengar lagi di telinganya. "Kalian resmi meninggalkan orbit bumi. Aman untuk mengaktifkan protokol cryosleep sesuai rencana."

Cryosleep. Ini adalah salah satu teknologi paling vital dalam misi ini. Horizon akan menempuh perjalanan selama tujuh tahun menuju Alpha Centauri, dan tak ada manusia yang bisa bertahan selama itu tanpa tidur beku. Dengan cryosleep, tubuh mereka akan dimasukkan ke dalam kondisi tidur yang hampir membekukan semua fungsi biologis, memperlambat penuaan dan mempertahankan kehidupan. Ketika mereka bangun, hanya beberapa bulan lagi yang tersisa sebelum tiba di tujuan.

"Baik," jawab Elena. Dia menoleh ke kru. "Kita semua tahu apa yang akan terjadi sekarang. Protokol cryosleep akan dimulai dalam waktu satu jam. Ini adalah saat terakhir kita terjaga sebelum perjalanan panjang kita dimulai. Pastikan semua sistem cryo telah diatur dengan benar. Saya tidak ingin ada masalah saat kita tidur."

Satu per satu kru mengangguk dan segera bersiap. Tidak ada yang ingin membuat kesalahan pada tahap ini.

Samuel menghampiri Elena, wajahnya masih menunjukkan kecemasan yang sama sejak awal misi. “Kamu yakin sistem cryosleep ini akan aman? Aku sudah mendengar banyak cerita tentang kegagalan cryosleep.”

Elena tersenyum tipis. “Sistem ini sudah diuji berkali-kali, Samuel. Kami akan baik-baik saja. Percayalah.”

Samuel hanya mengangguk, meski jelas dia tidak sepenuhnya yakin. Bagi seorang ilmuwan seperti dia, selalu ada sedikit ketidakpercayaan pada hal-hal yang tidak sepenuhnya bisa dia kontrol.

Setelah satu jam persiapan, setiap anggota kru memasuki pod cryosleep masing-masing. Ruangannya dingin, steril, dan dikelilingi oleh lampu-lampu biru redup yang menciptakan suasana tenang. Elena berbaring di dalam pod-nya, mengenakan pakaian khusus yang dirancang untuk menjaga tubuhnya tetap hangat selama proses cryosleep.

"Kapten, siap?" Suara Kara terdengar melalui speaker di pod-nya.

"Siap," jawab Elena.

"Kami akan mulai dalam hitungan lima... empat... tiga... dua..."

Mata Elena mulai terasa berat. Dingin menyelimuti seluruh tubuhnya, dan kesadarannya perlahan memudar. Saat matanya menutup, pikiran terakhirnya adalah tentang bintang-bintang di kejauhan, tujuan mereka yang masih misterius, dan sinyal yang tak pernah diharapkan untuk ditemukan

2

Bab 2: Bangun dari Kegelapan

Kegelapan menyelimuti pikirannya, seperti kabut tebal yang sulit ditembus. Elena tidak bisa merasakan tubuhnya, hanya ada kesadaran samar yang perlahan kembali. Sekilas, pikirannya melayang-layang di antara mimpi aneh dan kenyataan yang kabur. Suara samar terdengar di kejauhan, seperti dentingan logam yang terus berulang, lalu perlahan-lahan menjadi lebih jelas.

Detak jantungnya terasa pelan, seolah berusaha mengikuti irama mesin-mesin yang mengelilinginya. Dia mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya terasa berat, seperti tertutup oleh lapisan es. Perlahan, pandangannya mulai terbuka, meskipun semuanya masih buram. Sinar biru yang dingin dan lampu-lampu kecil yang berkedip pelan mulai bisa ia kenali.

Elena menarik napas panjang, paru-parunya terasa kaku. Udara dingin dan tipis mengisi tubuhnya yang lama tak bergerak. Di sekelilingnya, pod cryosleep mulai terbuka satu per satu. Anggota kru lainnya mengalami kebangkitan yang sama—lambat, dingin, dan sedikit menyakitkan.

"Kapten Veras, selamat datang kembali," suara robotik dari sistem AI kapal, Orion, terdengar melalui speaker di pod-nya.

Elena berusaha duduk, meskipun otot-ototnya masih terasa lemah. "Berapa lama?" suaranya serak, hampir tidak keluar dari mulutnya.

"Anda telah berada dalam cryosleep selama tujuh tahun, tiga bulan, dan empat belas hari," jawab Orion dengan nada netral yang tidak terpengaruh oleh waktu.

Tujuh tahun. Rasanya seperti sekejap, tetapi tubuhnya seolah tahu bahwa itu bukan mimpi sebentar. Waktu telah berlalu, dan misi mereka semakin dekat ke tujuannya.

Elena melompat turun dari pod, kakinya hampir tidak stabil saat pertama kali menginjak lantai logam. Seperti berjalan di atas es tipis, dia menahan keseimbangan sebelum akhirnya tubuhnya mulai menyesuaikan dengan gravitasi buatan kapal.

"Bagaimana situasi kapal?" tanyanya sambil mencoba menggerakkan bahunya untuk menghilangkan rasa kaku.

"Semuanya berjalan sesuai rencana. Kami telah memasuki sistem bintang Alpha Centauri dua minggu lalu," jawab Orion.

Dua minggu. Kapal telah berjalan otomatis selama dua minggu di sistem bintang yang asing, dan mereka baru saja dibangunkan. Itu berarti, mereka sudah hampir sampai. Hati Elena mulai berdebar. Akhirnya, setelah bertahun-tahun perencanaan, peluncuran, dan perjalanan panjang ini, mereka akan mencapai tujuannya.

Satu per satu anggota kru lainnya juga bangkit dari tidur panjang mereka. Dr. Samuel Cross tampak lebih lambat bangun, wajahnya masih pucat dan matanya lelah. Di sebelahnya, Anya Pavlov segera bergerak memeriksa konsol yang ada di dekatnya, selalu menjadi yang pertama untuk memastikan tidak ada kesalahan pada sistem kapal.

"Bagaimana rasanya kembali hidup, Sam?" Elena bertanya dengan senyum tipis saat melihat Samuel mencoba merentangkan tangannya.

“Rasanya seperti dibekukan, dicairkan, dan dihancurkan berulang kali,” jawab Samuel dengan nada humor yang datar, namun tetap ada senyum di wajahnya. Dia segera mengarahkan perhatiannya ke layar di depannya, memeriksa data lingkungan sistem bintang yang baru saja mereka masuki.

"Kapten, kita mendapatkan sinyal anomali dari arah planet yang ditargetkan," suara Orion terdengar lagi, kali ini dengan sedikit ketegangan yang tidak biasa untuk AI.

"Sinyal anomali?" Elena mengernyit, seketika tubuhnya terasa segar kembali. "Detailkan."

"Frekuensi sinyal tersebut tidak sesuai dengan pola alami dari aktivitas planet. Tampaknya berasal dari sumber buatan."

Sumber buatan. Kata-kata itu bergema dalam benaknya. Buatan. Itu berarti teknologi, mungkin kehidupan. Elena menoleh pada Samuel, yang matanya langsung melebar ketika mendengar laporan Orion.

"Kamu dengar itu?" Elena bertanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang meski pikirannya mulai berputar-putar.

Samuel mengangguk cepat, matanya terpaku pada layar yang menampilkan analisis sinyal tersebut. "Ya, dan ini sangat tidak biasa. Tidak ada catatan apa pun yang menunjukkan adanya peradaban di sistem ini."

Mark Harlan, pilot mereka, yang baru saja keluar dari pod-nya, berjalan mendekat sambil menggosok matanya. “Apa yang terjadi? Kita sudah sampai di tujuan?”

"Kita hampir sampai," jawab Elena, "tapi kita menangkap sinyal yang tidak seharusnya ada di sini. Sesuatu yang buatan."

Mark menatap Samuel dengan bingung. "Buatan? Maksudmu... alien?"

Samuel tidak langsung menjawab. Dia terlalu fokus pada data yang muncul di depannya. "Belum bisa dipastikan. Tapi sinyal ini sangat teratur. Frekuensinya seperti... pesan."

"Pesan?" Elena berulang, mencoba memproses apa yang sedang terjadi. Mereka datang ke sini untuk menjelajahi planet baru, mungkin membangun koloni pertama di luar sistem tata surya, tapi menemukan pesan atau sinyal dari peradaban lain? Itu sama sekali tidak ada dalam perhitungan mereka.

"Kita perlu mendekati sumber sinyal dan menganalisisnya lebih lanjut," kata Samuel, wajahnya penuh antusiasme yang campur aduk dengan kekhawatiran.

"Setuju," jawab Elena. "Mark, arahkan kapal menuju lokasi sinyal."

Mark segera kembali ke kursi pilot, meskipun gerakannya masih agak canggung akibat efek dari cryosleep yang belum sepenuhnya hilang. Jari-jarinya mulai menari di atas panel kendali, dan Horizon perlahan berbelok ke arah planet yang ditargetkan.

Anya yang berada di dekat panel teknis menambahkan, "Aku akan memastikan sistem pertahanan kita siap kalau-kalau ada sesuatu yang tidak terduga."

"Bagus. Aku tidak mau mengambil risiko," kata Elena tegas. Meskipun sinyal itu mengundang rasa ingin tahu, instingnya sebagai kapten memintanya untuk tetap waspada. Mereka tidak tahu apa yang ada di luar sana.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang penuh ketegangan. Semua kru fokus pada layar masing-masing, memantau setiap perubahan kecil dalam lingkungan sekitar mereka. Layar utama di ruang kendali mulai menunjukkan citra planet yang semakin jelas. Sebuah planet yang berwarna biru kehijauan, mirip dengan Bumi, tapi dengan massa daratan yang lebih sedikit dan awan-awan tebal yang mengelilingi atmosfer.

"Planet ini bisa layak huni," kata Samuel, suaranya penuh harapan. "Tapi sinyal ini... aku masih belum mengerti asal-usulnya."

Tiba-tiba, suara Orion terdengar lagi, kali ini lebih mendesak. "Kapten, sinyal tersebut semakin kuat. Sumbernya berada di permukaan planet. Tampaknya berasal dari struktur buatan yang terdeteksi di belahan utara planet."

"Struktur buatan?" Elena langsung merasakan desiran di punggungnya. Sesuatu ada di sana. Sesuatu yang sudah ada jauh sebelum mereka datang.

Mark menatap Elena, menunggu perintah. "Apa kita mendarat, Kapten?"

Elena terdiam beberapa detik. Ini keputusan besar. Misi mereka adalah menjelajah dan menemukan planet layak huni, bukan menghadapi kemungkinan adanya peradaban lain. Tapi ini juga kesempatan yang terlalu besar untuk dilewatkan. Siapa yang tahu apa yang akan mereka temukan di sana?

"Siapkan prosedur pendaratan," kata Elena akhirnya, dengan suara tegas. "Kita akan lihat apa yang menunggu kita di bawah sana."

Horizon mulai menukik, perlahan memasuki atmosfer planet yang baru mereka temukan. Awan-awan tebal menutupi pandangan, sementara kapal bergetar akibat gravitasi planet yang mulai menarik mereka masuk.

Elena menatap layar di depannya. Pikirannya penuh dengan spekulasi dan kekhawatiran. Apa pun yang menanti mereka di bawah sana, dia tahu ini akan menjadi momen yang mengubah segalanya—bukan hanya untuk misi mereka, tapi juga untuk seluruh umat manusia