Kebangkitan Suami Yang Tertindas
Seorang pria menyeka keringatnya menggunakan sehelai handuk kecil yang ada dilehernya. Ia baru saja selesai berjualan keliling untuk menjajakan dagangan bakso pentolnya. Hari ini sangat laris manis dan ia sangat bersyukur.
Ia memarkirkan motornya didepan halaman rumah yang merupakan kontrakan yang ia tempati bersama sang istri dan juga seorang anak yang lucu dari buah cinta pernikahan mereka.
Meskipun rumah kontrakan, tetapi itu cukup untuk membuat mereka hidup dalam kebahagiaan.
"Ayah...," sambut seorang balita berusia 5 tahun bernama Rayanza. Ia terlihat menggemaskan dengan pipi cuby dan juga kulitnya yang bersih, ia sangat mirip dengan Tafasya sang ibunya yang berwajah cantik.
"Iya, Sayang." sahut pria tersebut dengan senyum sumringah dan menggendongnya. Seketika rasa lelah hilang begitu saja setelah melihat puteranya yang begitu hangat menyambutnya.
Pipi gembul itu tak lewat dari hujanan kecupan gemas yang dilayangkan oleh sang ayah.
Sesaat drama kemesraan itu terhenti sat sebuah sepeda motor berhenti tepat didepan halaman rumah dengan dua boks berisi barang, yang mana pria itu tak lain adalah kurir langganan sang istri yang hampir setiap hari membeli barang online.
"Pakeeeet!" seru pria itu untuk memanggil langggannanya.
Seorang wanita cantik dengan rambut ikal mayang sepinggang keluar dari dalam rumah dengan wajah yang sangat glowing dan penampilan bak artis.
Ya, Tafasya adalah wanita yang selalu berpenampilan cantik meskipun didalam rumah dan apalagi keluar rumah, maka penampilannya akan terlihat seperti seorang istri konglomerat.
Hal itu ditunjang karena sang suami yang selalu menuruti semua inginnya dan itu tak dapat dibantah.
"Mas, bayar uang paket skincare ku," ucap Tafasya, lalu mengambil paketnya dan nyelonong msuk kedalam rumah, bahkan ia tak menanyakan apakah suaminya laris dagangannya atau tidak hari ini.
Pria itu menghela nafasnya dengan berat. Sejujurnya ia sudah menasehati sang istri agar tidak terlalu begitu boros, apalagi berbelanja tanpa mengontrol keuangan dan terkesan hedon.
Pria yang tak lain adalah Arya menghela nafas berat, lalu merogoh dompetnya dan menanyakan berapa jumlah harga barang yang dipesan oleh sang istri.
"Berapa, Bang?" tanya Arya dengan sopan. Meskipun ia tak suka dengan perbuatan istrinya, akan tetapi ia tak ingin membuat wanita yang telah melahirkan anaknya itu malu dihadapan orang lain.
"Tiga ratus lima puluh ribu, Mas," sahut kang paket memberitahu.
Arya mengambil uang hasil penjualannya, lalu menyerahkannya pada pria yang merupakan kurir tersebut.
"Makasih, Mas," sahut pria itu, lalu pergi meninggalkan rumah tersebut.
Setelah kang paket pergi, Arya memasuki rumah dengan menggendong Rayanza yang masih betah bergelayut didalam pelukannya.
"Sayang, buatkan Mas Teh manis panas," pintanya dengan sangat lembut pada sang istri yang saat ini sedang berbaring dikursi tamu sembari bermain ponsel.
Arya melihat sang istri tak bergeming, dan tampaknya Tafasya begitu fokus pada ponselnya.
"Sayang...,"
Buat sendiri, Mas! Aku masih sibuk!" sergahnya dengan kasar. Bahkan menoleh pun ia tak sudi.
Tampak raut wajah kecewa begitu kentara saat sang istri menghardiknya. Namun rasa cinta yang begitu besar dihatinya untuk sang istri, dan buah hati yang menjadi pelipur lara dihatinya membuat ia harus bersabar, dan berharap jika tulang rusuknya itu akan berubah suatu saat nanti dan menjadi istri idaman yang ia harapkan.
Pria itu menurunkan Rayanza dan ia berjalan dapur untuk menyeduh teh panas untuknya dan ini sudah sering terjadi.
"Yah, Yayan mau mobil," ucap sang bocah yang ternyata membuntutinya dari arah belakang.
Arya tersentak kaget mendengar suara manja dari buah hatinya itu.
Ia merunduk, lalu berjongkok dengan meletakkan segelas teh panas ditangannya diatas lantai. "Mau beli mobil-mobilan ya?" tanya Arya penuh kasih.
Bocah menggemaskan itu mengangguk cepat. "Iya,"
Arya tersenyum manis. Lalu mengusap ujung kepala sang anak. "Sabar ya, Sayang, nanti ayah belikan," janjinya pada sang bocah.
Seketika raut wajah Rayanza berubah ceria. Ia tak sabar untuk menunggu masa itu tiba. Bocah itu mendekap sang ayah, lalu memberikan kecupan manis dipipi pria yang selalu memberikan cinta sepenuh jiwa.
"Ya, sudah, ayo mandi, kita shalat berjamaah," ajak Arya pada puteranya. Bocah itu mengangguk tanpa bantahan.
*****
Adzan Maghrib berkumandang. Arya dan puteranya sudah bersiap hendak ke mesjid, akan tetapi Tafasya masih sibuk ponselnya dan berbaring disofa. Wanita cantik nan mempesona itu terlihat tak memperdulikan waktu.
"Sayang, ayo ke mesjid. Shalat berjamaah," ajak sang suami dengan lemah lembut.
Wanita itu hanya melirik dengan tatapan tak acuh. "Kamu saja, Mas. Saya lagi datang bulan," sahutnya datar.
Arya mengerutkannya keningnya. Ia merasa jika sang istri selalu mengatakan itu setiap hari dan hal yang sangay aneh baginya jika wanita datang bulan sepanjang waktu.
"Apa kamu berpenyakit sampai tidak selesai dan ini sudah sebulan kamu tidak shalat," Arya mulai mencerca.
Seketika Tafasya bangkit dari tidurnya, lau menatap marah pada sang suami. "Kamu semakin lama semakin cerewet ya, Mas. Kalau kamu mau ibadah, ya ibadah saja. Jangan ceramahi aku. Lagi pula kamu ibadah setiap saat tidak membuatmu kaya, kita hidup dalam kemelaratan terus, aku capek hidup.dengan kamu, Mas!" jawab Tafasya yang menciptakan goresan luka dihato pria tersebut.
Wanita itu bangkit dari sofa, lalu menuju kamar dan membanting pintu dengan sangat keras.
Braaaaaak...
Sebuah dentuman yang memekakkan telinga mewarnai keributan senja ini.
Secara refleks Rayan meraih jemari sang ayah dan menatap sendu.
Arya menoleh kepada sang bocah, memaksa mengulas senyum pahit, dan mengusap ujung kepala puteranya. "Mama sedang tidak enak badan. Ayo ke mesjid," ajaknya dengan nada sedih yang tersamarkan oleh kekuatan yang hampir runtuh.
Keduanya menuju mesjid, sedangkan Tafasya kembali melanjutkan bermain ponselnya dan ia berada dititik jenuh yang sangat tinggi.
Tak berselang lama, terdengar suara memanggil didepa rumahnya, dan hal itu membuatnya merasa penasaran, sebab ia mengenali suara tersebut.
Ia bergegas bangkit, lalu menuju pintu depan, dan membukanya, tampak disana berdiri dua orang yang sangat ia kenal, mereka tak lain adalah Ani-ibunya dan juga Sony sang adik.
"Ibu, Sony, kenapa datang tidak memberi kabar?" tanya Tafasya dengan raut wajah yang terkejut.
"Apakah kau hanya membiarkan kami berdiri didepan pintu tanpa mengijinkan untuk masuk?" tanya wanita paruh baya itu dengan wajah juteknya.
"Eh, iya, masuk, Bu, Son," jawab Tafasya dengan nada datar.
Kedua orang itu memasuki rumah kontrakan dengan tatapan menelisik setiap ruangan yang ada.
"Dimana suami miskinmu?" tanya Ani dengan nada menghina.
"Dimesjid,"
"Tiap hari ibadah, toh miskin juga!" cibir wanita itu dengan nada mencibir. Ia menampakkan ketidaksukaannya terhadap sang menantu yang ia anggap sangat sial telah mendapatkan puterinya yang cantik jelita.
Ani menoleh kearah sang anak. "Kamu sebaiknya bercerai saja dengan Arya, apa kamu mau miskin seumur hidupmu?" tanya wanita itu dengan nada intimidasi.
Tafasya menoleh kearah wanita yang sedang duduk dikursi tamu dengan raut wajah bingung. Ia baru saja mendengar ucapan sang ibu yang terdengar sangat tak suka.
"Maksud ibu apa?" tanya wanita berwajah cantik itu dengan penasaran.
"Ibu memiliki calon yang tepat untukmu. Dia bekerja disebuah perusahaan yang sangat terkenal. Jika kamu menikah dengannya, maka kamu akan hidup bahagia. Ia bersedia untuk memberikan mahar mobil mahal untukmu, asalkan kamu mau menerima lamarannya, dia sudah lama menyukaimu," Ani membenahi posisi duduknya, lalu meletakkan tas diatas meja.
Tafasya beranjak duduk. Ia masih belum mengerti dengan maksud sang ibu. "Maksudnya, ibu meminta aku berpisah dari Mas Arya?" tanyanya mencoba meyakinkan maksud dan tujuan dari ucapan sang ibu.
"Ya iyalah. Jadi apalagi! Apa kamu mau hidup miskin terus. Kamu itu cantik, seharusnya kamu mendapatkan pasangan yang kaya dan dapat membuatmu berjalan-jalan keliling luar negeri. Ini jangankan keliling luar negeri, keliling kompleks saja mungkin kamu jarang, karena motor kamu cuma satu, itupun motor butut!" Ani semakin lantang mengutarakan kekesalannya.
Wanita terlihat berapi-api mengeluarkan emosinya yang selama ini ia simpan dengan cukup lama. Ia merasa menyesal ketika mengetahui puterinya menikah dengan pria kere dan bekerja sebagai penjual bakso keliling. Mau diletak dimana harga dirinya yang mendapatkan cibiran dari teman-teman arisannya yang mengatakan jika menantunya hanya pria miskin.
Bahkan para teman sosialitanya kerap membanggakan para menantu pria mereka yang memiliki pekerjaan bergensi dan juga penghasilan yang fantastis, serta mampu memberikan uang saku untuk para ibu mertuanya dengan jumlah yang cukup banyak, sehingga dapat membuat suasana arisan yang dipenuhi dengan kecongkakan.
"Ibu malu punya menantu seperti Arya, sudah miskin pekerjaannya tukang bakso keliling pula!" Ani menimpali ucapannya dan berusaha memprovokasi puterinya.
"Tapi aku masih cinta sama mas Arya, Bu," Tafasya mencoba membela suaminya.
"Persetan dengan cinta! Kamu fikir kamu bisa makan dengan hanya cinta?! Kamu fikir cinta bisa buat kamu bergaya dan membeli barang-barang branded!. Wanita secantik kamu itu perlu modal besar untuk mempertahankan kecantikanmu agar tidak luntur!" Ani terus mencekoki puterinya dengan segala racun yang membuat istri akan durhaka pada suaminya.
"Iya, jika kakak mau dijodohkan dengan Om Bondan, maka si Om akan beri aku sepeda motor yang bagus, kan lumayan untuk berangkat kesekolah ga harus nebeng terus," Sony ikut memprovokasi.
Sesaat Tafasya mengerutkan keningnya. Ia merasa janggal dengan sebutan kata 'Om' yang diucapakan oleh sang adik.
"Maksudmu, Om? Orangnya sudah tua? Dan kalian ingin menjodohkanku dengan orang yang sudah tua, gitu maksudnya?" cecar Tafasya.
"Bukan tua, dia masih berusia 46 tahun, masih kuat, kaya dan perkasa," Ani menyela ucapan puterinya.
"Assalammualaikum...," ucap Arya dan juga putera kecilnya secara bersamaan.
Terlihat Rayan membawa sebuah mobil-mobilan beremot yang harganya cukup mahal.
Seketika bocah itu memperlihatkannya pada sang ibu. "Bu, Oma, lihat ayah belikan mobil-mobilan baru," ucapnya dengan raut wajah yang begitu ceria.
Ani menghampiri sang cucu, lalu merampas mobil mainan tersebut dengan kasar dan melemparkannya ke lantai.
Braaaaaak...
Seketika mobil itu rusak dan membuat Rayan tercengang melihat sikap kasar sang nenek.
"Oma jahat," ucapnya berlari memungut mobil mainannya dengan wajah yang begitu sangat sedih.
Arya yang melihat hal tersebut tersentak kaget, sebab tidak ada angin tidak ada hujan sang ibu mertua berlaku kasar pada puteranya. Sedangkan puteranya berlari memasuki kamar membawa mobil mainannnya dengan tersedu menahan pilu.
"Mengapa ibu berlaku kasar pada Rayan?" Arya mencoba menjaga nada bicaranya agar lebih terkontrol, meskipun saat ini hatinya sangat sakit melihat puteranya diperlakukan seperti itu.
"Kamu coba berfikir. Apa yang sudah dapat kamu berikan untuk Tafasya-hah?!" jawabnya dengan lantang, dan tentu saja suaranya terdengar hingga ketetangga yang membuat mereka kepo akan apa yang terkadi.
"Aku sudah memberi tempat tinggal dan juga nafkah untuk puteri ibu, aku tidak menelantarkannya," sahut Arya dengan meredam emosinya.
"Apa kamu fikir itu semua sudah sangat membanggakan?! Ibu malu punya menantu seperti kamu. Kerjanya cuma penjual bakso keliling! Lihat itu suaminya si Ayu, dia punya jabatan penting diperusahaan, mobilnya tiga! Kamu bisa apa? Motor juga butut!" Ani semakin berapi-api untuk mengintimidasi sang menantu.
"Mungkin saat ini aku belum dapat membelikannya, tetapi doakan untuk kedepannya agar aku dapat membelikan apa yang terbaik untuk anak dan istriku," sahut Arya dengan hati yang luka.
"Halaaah, banyak omong kamu. Saya tidak mau Tafasya terus hidup miskin. Kamu harus menceraikannya, sebab ibu sudah memiliki calon yang kaya raya dan bersiap untuk menerima Tafasya dengan lamaran yang cukup fantastis!" Ani mempertegas ucapannya, ia tak perduli jika apa yang ia katakan menyinggung perasaan sang menantu.
Deeeeegh...
Jantung Arya seakan lepas dari tempatnya. Ia tak menyangka jika sang ibu mertua tega mengatakan itu semua padanya, dimana saat ini statusnya dengan Tafasya masih suami istri yang merupakan ibu dari Rayanza.
"Bu, Tafasya istriku, dan aku berhak penuh atas dirinya!" sanggah Arya mencoba mempertahankan harga dirinya sebagai seorang suami. Bagaimana mungkin ia harus merelakan sang istri yang ia cintai dinikahkan kepada orang lain.
"Dia puteriku, aku yang melahirkannya, maka aku juga berhak untuk menentukan kebahagiaannya!" Ani tak ingin kalah dalam perdebatan ini. Ia sudah bosan hidup melarat terus dan ditambah suaminya Hery hanya tau mabuk-mabukkan setelah mereka mengalami kebangkrutan, dan hal ini semakin membuatnya pusing, karena tagihan hutang yang terus membengkak.
Arya menatap sang istri yang kini berdiri dan hanya menjadi penonton diantara keributan yang tercipta.
Tafasya mendengus kesal, lalu meninggalkan sang suami yang saat ini masih bersitegang dengan ibunya.
Tampak Sony yang sedari tadi diam , beranjak bangkit, lalu menghampiri pria yang saat ini masih menggunakan pakaian koko lengkap dengan kopiahnya.
"Bro, kalau tidak sanggup membahagiakan istri gak usah belagu. Biarkan kak Tafasya bahagia, dan kamu carilah wanita yang setara denganmu, setidaknya yang ekonominya rendah sepertimu," pemuda tak tahu diri itu ikut mencampuri, dan hal ini semakin runyam dengan hadirnya pihak ketiga yang dapat membuat rumah tangga seseorang terberai.
"Aku tidak akan menceraikannya, apapun itu, meskipun kalian memaksa!" jawab Arya menegaskan. Ia mencoba bertahan demi buah hati mereka yang mana pasti membutuhkan kasih sayang kedua orangtuanya, dan ia tak ingin Rayan harus menderita karena keegoisan sesaat.
"Dasar kamu keras kepala! Lihat saja apa yang akan ibu lakukan pada kamu!" Ani mengancam dengan bersungguh. Ia tak ingin ucapannya dianggap sebagai gertakan semata.
Arya menatap ibu mertua dengan tak berkedip. Jika saja itu buka wanita yang melahirkan istrinya, mungkin ia sudah meninju mulut tak beradab itu hingga merontokkan giginya. "Tolong tinggalkan rumah ini, Bu. Jangan rusak kebahagiaan rumah tanggaku, jika ibu tidak ingin merasakan hal yang sama!" pria itu mencoba mengingatkan.