RATU YANG TERBUANG
“Karna kau adalah penghalang dari semua rencanaku!” Sambil mendorong sang permaisuri
Karna dorongan kencang dari selir kesayangan kaisar, permaisuri yang mengenakan pakaian berat itu kehilangan keseimbangan. Di saat sang permaisuri hampir terjatuh ke kolam di belakangnya, ia melihat sang kaisar datang.
“Leon....!”
Panggilan yang begitu mengiba dari seorang permaisuri di detik-detik terakhirnya, panggilan yang begitu berharap bahwa orang itu akan menolongnya. Tapi hanya tatapan sinis yang ia lihat sampai akhir.
Abella pun jatuh ke kolam yang dalam, ia yang melihat reaksi sang kaisar yang hanya diam, bahkan saat ia memanggil namanya, merasa hancur bersamaan dengan air yang masuk lewat indra pernapasannya.
Ya, dialah Calista Abriella, adalah seorang permaisuri kekaisaran Lezarde, sosok yang dikenal kejam dan gila harta, yang tak segan-segan menyiksa para pelayan dan rakyatnya.
Karna sifat kejamnya, banyak orang yang membenci dirinya termasuk sang kaisar, suaminya sendiri. Tak peduli seberapa Abriella mencintainya, Leon hanya akan memandang sebelah mata.
Bahkan walaupun usia pernikahan mereka telah berjalan lebih dari 10 tahun lamanya, kaisar tetap tak pernah menganggapnya.
“Kenapa?”
“Bahkan di saat aku sangat mengharapkan bantuanmu, kau hanya diam.”
“Apa yang salah dengan cintaku, apa salah jika aku mencintaimu?”
“Leon kenapa? Kenapa kau membuatku sakit terus-menerus?”
“Apakah cintaku hal yang tabu? Aku terus berjuang untukmu.”
“Apakah ini balasannya?”
Karna ketidakmampuannya berenang ditambah dengan gaun berat yang ia kenakan membuat Abella semakin jatuh ke dasar kolam.
“Benar Leon, aku tidak akan mencintaimu lagi!”
“Aku akan membuangnya, aku akan membencimu!”
“Aku telah memutuskan aku tak akan mencintaimu lagi!”
Bersamaan dengan sesak di dadanya, pandangan Abella menggelap dan ia kehilangan kesadarannya.
...****************...
6 bulan kemudian...
‘Traap...!’
Abriella terbangun, ia melihat ke sekitar, dan mendapati dirinya berada di kamar miliknya. Para pelayan yang berada di ruangannya itu pun terkejut, ada ekspresi senang yang terlukis di wajah mereka.
“Permaisuri Anda sudah sadar!”
“Syukurlah, permaisuri sudah sadar!”
Para pelayan itu pun segera memberi tahu kabar tersebut pada pengawal yang berjaga di depan pintu. Lalu kembali ke dekat sang permaisuri setelahnya.
“Alie, Daisy, Elysia.” Panggil Abella
“Ya, Yang Mulia. Kami berdiri di sini sesuai perintahmu,” Jawab Alie
“Bisakah kalian menceritakan padaku apa yang ... terjadi?” Sambil menyandarkan tubuhnya.
Ketiga wanita itu pun saling menatap satu sama lain, bingung bagaimana cara menjelaskan semuanya pada sang Permaisuri
“Yang Mulia, ada baiknya jika Anda beristirahat, pentingkan kesehatan Anda lebih dulu,” ucap Daisy kemudian.
“Bagaimana aku bisa beristirahat dengan tenang, Daisy? Jika aku sendiri tak tahu dengan apa yang terjadi di sekitarku.”
Ketiganya tak bisa membalas perkataan sang permaisuri, dengan berat hati Elysa menceritakan segalanya yang terjadi.
“Yang Mulia, sejak peristiwa jatuhnya Anda ke kolam, Anda tak sadarkan diri selama enam bulan ini. Pangeran mahkota yang sangat menghawatirkan Anda banyak membawa Tabib berbakat kemari.”
“Elysa, lalu siapa yang membawaku kemari? Maksudku siapa yang menyelamatkanku?”
Dengan ragu-ragu Elysa menjawab, “P-para pengawal, Yang Mulia.”
Mendengar jawaban Elysa, semakin perih rasa di dadanya. Apa begitu menjijikkankah ia di mata kaisar, sehingga untuk menolongnya pun hanya memerintahkan para pengawal.
“Tapi apakah kaisar pernah menjengukku kemari Elysa?”
Elysa kembali menatap kedua pelayan di belakangnya, ia bingung harus menjawab apa pada Tuannya, ia kemudian menunduk, dengan suara pelan mengatakan kebenarannya.
“S-sayangnya tidak, Yang Mulia.”
Abella kembali terdiam, “Lalu adakah orang yang menjengukku kemari Elysa?”
“Tuan Duke Kedrick dan Pangeran Mahkota selalu menjenguk Anda kemari, Yang Mulia.”
“Ayahku menjenguk kemari?”
“Ya, Yang Mulia, beberapa hari sekali Tuan Duke datang kemari, begitu juga dengan Pangeran Mahkota.”
Mendengar itu, tampak guratan senyum di wajah pucat Abella, “Setidaknya masih ada orang yang menghawatirkanku.”
‘Braak...!’
Pintu terbuka nyaring, menampilkan sosok anak laki-laki yang terlihat kelelahan dengan nafas tersengal.
“I-ibu, maaf mengejutkanmu.” Dengan lengkah tergesa menghampiri Abella.
Dialah, Theodore Edgar Alaric, putra Abella dari hasil pernikahannya dengan sang Kaisar. Sama seperti takhta yang akan menjadi miliknya nanti, Theodore juga mewarisi mata merah darah dan rambut hitam legam sang Ayah.
Anak itu lalu duduk di bangku yang berdekatan dengan ranjang Abella. Ia memegang lengan sang ibu dan menciumnya beberapa kali, bukti bahwa ia begitu senang sang ibu telah sadar.
“Ibu bagaimana keadaanmu, kau baik-baik saja kan, tidak ada yang sakit Kan?”
“Tidak Theo ibu baik-baik saja.”
“Aku sangat senang ibu sudah sadar, saat mendengar kabar tadi aku langsung kemari menemui ibu.”
Melihat putranya yang begitu menghawatirkan keadaannya, Abella kembali mengingat perlakuannya selama ini terhadap Theodore.
‘Karna peraturan istana, ibu menjaga jarak dan mengacuhkanmu, ibu tak pernah menghawatirkanmu, ibu selalu berharap kau tak pernah lahir, ibu selalu iri akan kehidupanmu yang begitu disayangi ayahmu.'
‘Apakah pantas aku di sebut sebagai ibu? Sedang dulu ibu pernah meracunimu hanya untuk mendapatkan perhatian Ayahmu, Theo.'
‘Kenapa baru sekarang aku baru menyadari jika kau adalah hadiah yang dikirim Tuhan untukku, kau anugerah bagiku dan kau terlahir sebagai putraku.'
Tanpa sadar buliran air keluar dari kelopak mata Abella, betapa bodohnya ia menyia-nyiakan putranya sendiri, bahkan setelah apa yang dilakukannya, putranya masih setia menunggu dan begitu menyayanginya.
“Ibu, kenapa menangis? Apakah aku menyakiti hatimu, Bu?” tanya Theodore sambil memegang erat lengan Abella.
“Tidak, Nak, kau tidak melakukan apa pun. Kau tak salah, mata ibu hanya berair.”
Untuk beberapa saat Theodore masih duduk di tempatnya menunggu Abella, melihat sang ibu tertidur ia pun pergi dari ruangan dan meminta pelayan setia Abella untuk menjaganya.
“Tidur yang nyenyak, ya, Bu. Theo akan kembali lagi nanti”
Sepeninggal Theodore, ruangan kembali sunyi. Cukup berbeda dengan yang terjadi di luar, orang-orang istana yang mendengar kabar Abella telah sadar, tampak tak senang akan hal itu. Karna bagi mereka, cepat atau lambat istana yang tenang itu akan dihiasi dengan teriakan dan kekejaman dari sang permaisuri lagi.
“Lapor, Yang Mulia. Saya mendapat kabar jika Permaisuri telah siuman!” ucap sang Kesatria sambil memberi hormat.
Sang kaisar yang sibuk dengan banyak tumpukan kertas di mejanya mendongak. Ia menatap Sir Harold, seolah meminta penjelasan lebih akan laporannya.
“Ya, Yang Mulia, saya mendapatkan kabar ini dari pelayan pribadi Permaisuri langsung.”
“Baiklah, kau boleh pergi Sir Harold, kembalilah ke pekerjaanmu.”
“Baik, Yang Mulia.”
William Edmund, sang sekretaris pribadi Kaisar, yang sejak tadi berdiri di samping Kaisar itu pun bertanya, “Yang Mulia, Apakah Anda ingin pergi menjenguk permaisuri? Jika iya, maka saya akan—“
“Tidak perlu Wil, setelah beberapa hari ke depan, dia pasti akan datang kemari dengan sendirinya.”
“Aku tahu betul apa yang akan ia lakukan setelah siuman, membawa teh dan menyapa ‘selamat pagi' kemari. Kita akan melihat itu lagi nanti.” jelas sang Kaisar pada Asisten pribadinya.
Sejak sadarnya Abella, istana tampak sibuk. Para pelayan tampak bekerja ekstra kali ini, mereka tahu jika Abella sembuh, maka sifat kejamnya akan kembali. Ia tak akan membiarkan para pelayan melakukan kesalahan sedikit pun.
Sedang di kamarnya, Abella yang telah berangsur membaik tengah dijenguk oleh ayah dan putranya. Duke Kedrick dan Pangeran mahkota.
“Bagaimana kondisimu, semuanya stabilkan?”
“Ya, tabib istana sudah memeriksa dan semuanya baik-baik saja, Ayah.”
“Baguslah kalau begitu, sekarang istirahatlah sampai kau benar-benar sehat, Abella.”
“Baiklah, aku akan istirahat seperti yang kau perintahkan. Tapi kabulkan dulu permintaanku,” pinta Abella.
“Ya, apa yang kau inginkan putriku?”
“Berikan aku permen cokelat di sakumu Ayah, aku ingin cokelat itu?”
Mendengar kata-kata tersebut, membuat Duke Kedrick mengingat Abella kecil. Kata-kata itu persis sama seperti yang ia katakan dulu,
Duke Kedrick menghela nafas dalam, ia tersenyum simpul ke arah Abella, “Kau masih ingat semua itu? Ayah pikir kau sudah melupakan semuanya.” Mengambil beberapa cokelat dari kantong lalu memberikannya pada Abella dan Theodore.
Wajah Abella semeringah, ia mengunyah permen cokelat tersebut bersama putranya.
Setelah kunjungan dari sang Duke dan Pangeran Mahkota selesai, Abella kembali beristirahat, ia masih belum sanggup untuk memperkerjakan tubuhnya yang masih lemah.
...****************...
Seminggu berlalu dengan cepat, tak ada kabar tentang permaisuri yang akan kembali bertugas. Orang-orang istana pun mulai bingung, apa yang terjadi dengan perempuan jahat itu.
Begitu pula dengan kaisar, sudah beberapa hari ini ia selalu menatap ke arah pintu, seolah menunggu kedatangan seseorang yang tak pasti kapan akan datang.
“Bagaimana dengan permaisuri? Apa dia sudah kembali mengemban tugasnya?”
“Belum, Yang Mulia. Beliau masih dalam tahap penyembuhan, dan belum ada kabar kapan akan kembali bertugas,” jawab sang Asisten.
“Sampai kapan perempuan itu selalu sakit, tidakkah dia tahu bahwa ia harus kembali mengemban tugasnya,” gerutunya.
Beberapa saat Leonardo terdiam dan mulai kembali menulis, tetapi tak lama ia berhenti.
“Wil, apa pesta perjamuan istana sudah disiapkan?”
“Ya, Yang Mulia. Semua sudah siap, hanya tinggal menjalankannya saja lusa nanti.”
“Ya, baguslah. Dan Wil, pastikan juga semua anggota kerajaan harus hadir, aku tak ingin melihat ada anggota kerajaan yang tak hadir!” tegas sang Kaisar.
“Baik, Yang Mulia.”
...****************...
Di lorong istana, tampak Daisy mendorong troli dengan santai. Ia melihat banyak para pelayan yang berlalu lalang, tengah bergosip tentang Tuannya.
Ya, sudah seminggu ini permaisuri belum menunjukkan tanda-tanda ia akan kembali mengemban tugas kerajaannya. Hal itu menimbulkan perbincangan di istana, baik pelayan, kesatria, atau prajurit, begitu pula dengan para bangsawan, semua membicarakannya.
Daisy merasa kasihan pada Tuannya sendiri, mereka menuntut kesempurnaan dari seorang Callista Abriella tapi selalu mencerca setiap perbuatannya.
Troli itu pun sampai ke ruangan Abella, terlihat sosok tanpa ekspresi itu tengah duduk di sofa yang menghadap langsung ke jendela.
“Yang Mulia, saya membawa tehnya lagi, dan saya akan meletakannya di sini,” ucap Daisy sambil meletakkan teh dan peralatannya di atas meja.
Tak ada jawaban dari Abella, bahkan ekspresi wajahnya tak sedikit pun berubah, ia terus saja menatap pemandangan di luar jendela. Menyaksikan musim semi pagi ini.
Melihat bunga bermekaran indah, membuat Abella mengingat masa lalunya. Ketika ia menerima lamaran kaisar, pernikahan mereka di adakan saat musim semi seperti ini.
Pernikahan yang begitu megah, dengan dekorasi dan hiasan gemerlap dan bercahaya juga makanan lezat yang berjejer rapi menunggu untuk di makan.
Pernikahannya begitu sempurna, namun sayang sikap Kaisar mengacaukan semuanya, baru saja pernikahan keduanya disahkan, Leonardo sudah pergi begitu saja. Ia sudah meninggalkan sendiri pengantin wanitanya di depan banyak orang.
Banyak para bangsawan berbisik, merasa iba juga malu untuk keadaan Abella, entah bagaimana ia harus menggambarkan perasaannya saat itu.
Perasaan kecewa dan hancurnya, terus ia dapatkan setelah menikah, tak peduli cara apa yang dilakukan Abella untuk menarik perhatian kaisar semuanya sia-sia, malah yang selalu ia dapatkan adalah cemoohan dan hinaan.
Bahkan cinta tulusnya itu, bisa dengan mudah dikalahkan oleh seorang budak, yang kini menjadi selir kesayangannya. Seolah cinta dan pengabdiannya hanya sesuatu yang tak berguna.
Abella menutup matanya dan menghela nafas panjang, mencoba mengatur nafasnya yang kembali terasa sesak.
“Yang Mulia, Anda tak papa?” tanya Alie
Abella melirik Alie, “Aku tak papa Alie, aku hanya teringat masa lalu.”
“Baiklah, Yang Mulia, kalau begitu saya akan undur diri.” Alie membungkuk dan berjalan mundur, ke tempat posisi awalnya berdiri bersama Daisy dan Elysa.
Abella menyesap tehnya dan kembali membuka buku yang diberikan Theodore untuknya kemarin.
“Alie, apakah putraku akan datang berkunjung hari ini?”
“Saya memeriksa jadwalnya, hari ini Pangeran Mahkota mengikuti banyak kelas, jadi tampaknya pangeran mahkota tak akan berkunjung, Yang Mulia.”
“Sangat disayangkan, aku tak bisa bertemu dengannya hari ini.”
Lalu Elysa yang sejak tadi diam, maju beberapa langkah dari tempatnya ke arah Abella, “Yang Mulia, saya punya kabar untuk Anda, maaf baru menyampaikannya hari ini,” ungkap Elysa sambil membungkuk.
Abella menoleh ke arah Elysa, meminta penjelasan.
“Yang Mulia, dua hari lagi acara perjamuan tahunan istana akan diadakan, dan semua a-anggota kerajaan harus hadir di sana. Maaf saya baru mengabarkannya yang mulia” ucap Elysa lagi sambil menunduk, takut melihat reaksi sang permaisuri yang akan marah.
Tapi Abella hanya diam, itu tak sesuai seperti yang ditakutkan Elysa. Wajah tanpa ekspresi itu seolah menegaskan jika kabar tersebut tak begitu penting. “Begitukah? Baiklah kita akan menghadirinya nanti,” balas Abella santai
Elysa tertegun “T-tapi, Yang Mulia, Anda tak marah pada saya? Saya terlambat memberi kabar, dan itu membuat Anda belum memesan gaun juga perhiasan!”
Abella tersenyum simpul, “Aku masih punya banyak gaun dan perhiasan untuk apa memesan yang baru?”
Elysa terdiam, mengingat dulu ketika di antara mereka terlambat memberi kabar atau melakukan sedikit kesalahan dengan gaun atau perhiasan, maka Permaisuri akan berteriak dan membentak mereka.
Tapi satu hal yang membuat ketiganya bertahan menjadi pelayan pribadi Permaisuri, adalah karena semarah apa pun Abella tak pernah memberikan hukuman fisik yang menyakiti mereka.
Dan kini Elysa merasa bingung akan perubahan sikap Abella, apa yang terjadi dengan Tuan pemarahnya ini? Seperti ada sihir yang mengubahnya dalam sekejap. Tapi di sisi lain, ada rasa senang di benak Elysa, bahwa Tuannya tak bersikap seperti dulu.
Kuharap Anda selalu baik, Yang Mulia. Sehingga rumor berlebihan tentang Anda itu menghilang. Elysa