SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Antara Cinta Dan Kekuatan

Antara Cinta Dan Kekuatan

BAB 1

SMA Bina Harapan (Bipan)

Lokal Kelas 1 A4/10 A4

"Ingin aku jadi pacarmu?!"

"Huh! ... Kamu hanya seekor katak yang mengidamkan angsa, Nero!"

Rizka membanting kotak hadiah ditangannya ke lantai, lalu menginjaknya dengan kejam.

Disambut gemuruh sorak ejekan seisi ruangan, hampir seluruh siswa-siswa di kelas menertawakan Nero, bahkan ada yang sampai terpingkal-pingkal.

Beberapa lainnya memukul mukul meja, keributan berlangsung cukup lama.

Seorang anak laki-laki tinggi besar berjalan ke arah Nero, diikuti oleh dua temannya di belakang, dengan kasar ia memegang kuat rahang Nero.

"Berani-beraninya kau memiliki pemikiran kotor untuk Nona tercantik di sekolah ini, bercerminlah biar kau tau seberapa tidak pantasnya dirimu, bodoh!" Anak laki-laki itu mendorong Nero ke belakang hingga ia hampir jatuh terjengkang.

Anak-anak lainnya kembalitertawa dan bersorak. Muka Nero merah padam, ia

menjadi sangat malu, wajahnya menunduk dan melirik kotak coklat yang dibungkusnya tadi malam dengan sangat hati-hati kini telah hancur berantakan. Bekas injakan telah

membuat kado valentin itu remuk tak

berbentuk bersama isinya.

Nero merasa ingin menjerit, hatinya hancur tak tertahankan dan ia berlari keluar kelas dengan air mata menggenang. Seluruh anak-anak di kelas tertawa dan terbahak memandanginya berlari keluar.

"Bodoh! bodoh! bodoh!"

Teriaknya berulang-ulang memukuli dinding belakang sekolah dengan lengannya, ia benar-benar hanyalah seekor katak yang memimpikan berpacaran dengan seekor angsa, kenapa tidak sedari awal ia menyadarinya?

Air matanya mengalir, ia mengingat menabung selama berbulan untuk membeli coklat mahal sialan itu, hanya untuk kemudian mendapat penghinaan dan perlakuan yang memalukan.

Nero terus terisak dan tidak menyadari seorang gadis cantik telah lama berdiri di belakangnya, ketika berbalik ia terkejut.

"Nadia, kamu disini?" Membalikkan tubuhnya ia buru-buru menghapus air mata. Sangat memalukan menangis di depan seorang gadis, tetapi usahanya itu sia-sia, Nadia telah lebih dahulu mengulurkan sapu tangan merah jambu kepadanya. Putus asa, Nero mengambil sapu tangan itu lalu mengusap air matanya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Nadia. Mata jernihnya memandang Nero dengan iba.

Nadia sangat baik kepadanya, diantara semua siswa di sekolah ini, hanya Nadia yang selalu perhatian kepada Nero. Berbeda dengan anak-anak lain di sekolah ini, Nero adalah siswa terpilih beasiswa, sementara kebanyakan para siswa lain disini adalah anak-anak orang kaya. Tidak heran sebab SMA ini adalah sekolah swasta yang sangat mahal, namun begitu pendidikannya juga sangat berkualitas, dengan guru-guru yang kompeten, gedung-gedung yang bagus, perlengkapan sekolah dan kurikulum yang sangat lengkap. Termasuk kegiatan ekstakurikuler yang semuanya difasilitasi dengan gedung-gedungnya sendiri.

Sekolah ini juga sangat luas. adalah mimpi bagi Nero bisa sekolah di sini, tanpa beasiswa yang diperjuangkannya sewaktu masih SMP, bahkan dengan uang pensiunan ayahnya, untuk pendaftaran saja ia sudah akan sangat kekurangan.

Bersyukur beasiswa yang didapatkannya menanggung seluruh biaya sekolah selama ia masih mengikuti pendidikan. Efek sebaliknya, ia tidak dipandang sejajar oleh siswa-siswa lain. Kebanyakan siswa adalah anak pejabat tinggi negara, pengusaha, profesional seperti dokter atau pengacara, bahkan anak beberapa artis terkenal juga bersekolah di sini.

Lantas apa yang membuat Nero begitu punya keberanian untuk melamar Rizka menjadi pacarnya?

Kejadiannya berawal dari tiga bulan sebelumnya, ketika Rizka mendekati Nero agar Nero membuatkan PR untuknya. Selalu dan hampir semua PR Rizka dikerjakan

oleh Nero, semenjak itu benih-benih rasa suka tumbuh dihati Nero. Kecantikan Rizka yang bahkan bisa

membuat anak-anak kaya lainnya tergila-gila padanya, juga efektif membuat Nero lupa diri dan lupa kesenjangan mereka yang sedalam jurang tak berdasar. Alhasil dalam kemabukkan perasaannya sendiri, katak yang salah mengartikan pertemanan itu mencoba melamar angsa, dan ia pun terjatuh dengan

memalukan.

"Aku tidak baik-baik saja, Nadia," jawab Nero menggelengkan kepalanya.

Nadia memandangi Nero dengan bola mata jernihnya. Raut wajahnya yang ceria dan memikat, dengan rambut hitam berkilau lurus sepunggung, seragam sekolah dan penampilannya menunjukan statusnya sebagai anak orang yang berada.

Ia tidak tahu bagaimana harus menghibur Nero, Nero pasti kesakitan namun tidak ada yang dapat ia katakan, jadi Nadia hanya memilih diam, lalu menarik tangan Nero dan duduk di bangku yang ada di dekat situ.

Keduanya memandang ketengah danau di belakang sekolah. Nadia dan Nero masih duduk dalam bisu, hampir setengah jam dan tidak satu patah katapun terucap, Nero akhirnya bangkit.

"Terimakasih, Nadia, aku akan balik ke rumah saja sekarang." Ia menoleh ke Nadia dengan wajah sendu, tidak lagi ada semangat di wajahnya.

"Aku akan menemanimu," ujar Nadia.

"Tidak perlu, kamu harus melanjutkan jam pelajaran," Nero menolak tawaran Nadia.

Selesai berpamitan Nero melangkah pergi, Nadia menatapnya dengan pandangan iba. Ia tidak masalah dengan Nero tentang status atau kesenjangan sosial, ia senang berteman dengannya hanya karena merasa Nero anak yang baik, karakternya berbeda dengan kebanyakan siswa-siswa lainnya yang angkuh dan sombong. Namun sejak Rizka mendekati Nero, Nadia waktu itu memilih untuk menjaga jarak, ia agak tidak suka dengan Rizka.

Nero mengayuh sepeda BMX nya dengan perasaan tidak menentu, hari ini ia pulang sekolah sebelum jam pelajaran usai.

Melemparkan sepeda itu begitu saja di garasi yang bahkan tidak ada mobilnya. ia melewati ruang tengah dan melihat mamanya sedang memasak di dapur. Mamanya bertanya dengan heran,

"Kenapa pulang cepat hari ini Nero?"

"Ada rapat di sekolah, Ma, jadi jam pelajaran berakhir," sahutnya berbohong.

Mau tidak mau ia melakukannya agar mamanya tidak bertanya lagi.

Dengan bergegas ia masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Nero membanting tubuhnya ke atas tempat tidur, lalu menutupi kepalanya dengan bantal.

Ia ingin mengusir kejadian tadi dari kepalanya, namun semakin kuat ia berusaha, semakin ia tidak bisa menghilangkannya. Dalam letih pikirannya, Nero pun akhirnya jatuh tertidur.

....

Nero terbangun setelah tertidur beberapa jam lalu memeriksa ponselnya, ia melihat banyak panggilan tidak terjawab, semuanya dari Nadia. Gadis itu sepertinya sangat mengkhawatirkanku, bathin Nero. Namun ia tidak dalam mood untuk berbicara dengan siapa pun, membuka WA Nero melihat pesan dari Nadia.

("Nero, bagaimana kabarmu?, Ini aku copy pelajaran siang tadi agar kamu tidak ketinggalan pelajaran. Hubungi aku segera")

Nero mengetikan pesan balasan singkat,

("Jangan khawatir, aku baik-baik saja")

Namun balasan dari Nadia dengan cepat masuk.

("Siapa yang khawatir bodoh, aku hanya memberimu copy pelajaran"|

Nero tersenyum, namun ia mengabaikan pesan itu, dan melemparkan ponselnya di atas kasur.

Nero menaiki tangga di dalam kamarnya, tangga itu menuju loteng yang dulu adalah kamarnya sendiri. Sebelum ia menghuni kamarnya yang sekarang, Nero tinggal di kamar loteng ini dan kakak laki-lakinya di kamar bawah.

Lemari dan tempat tidur yang masih lengkap, meja belajar dan buku-bukunya ketika masih SMP, semua masih bersih dan rapi, karena secara berkala ja membersihkannya dari debu.

Nero membuka pintu yang mengarah balkon, memandangi lautan genteng rumah-rumah tetangganya, jalanan dan gedung gedung tinggi dikejauhan.

Melihat ke kejauhan, ia merasa sangat kesepian. Wajah cantik Rizka terus terbayang di pelupuk matanya, ia tidak menyangka akan ditolak dengan kejam oleh gadis itu.

Selama ini dengan susah-payah membantu kesulitan-kesulitan Rizka dalam pelajaran. Pernah saat ulangan ja menukar kertas ujian dengannya dan mengisi semua jawaban untuk Rizka, mendapatkan nilai 100 waktu itu dan betapa senangnya gadis itu mendapat nilai sempurna.

Tiba-tiba melintas bayangan kaki putih panjang Rizka menginjak kado hadiahnya, Nero menggigil dan menutup wajah dengan kedua

tangannya. Kesakitan menyeruak lagi di hatinya, perasaannya seperti tersayat-sayat, dan lebih dari itu, rasa malu yang ditanggungnya bahkan lebih hebat lagi.

Ia tidak yakin bagaimana caranya untuk menghadapi semua orang besok di sekolah.

Nguuuuung.... Nguuuuung....

Tiba-tiba terdengar suara berdengung, Nero tersentak. Suara apa itu ?! Ia celingak-celinguk memastikan dari arah mana datangnya suara tersebut.

Nguuuuung....

Nguuuuung ....

Tiba-tiba ia merasakan lantai yang diinjaknya bergetar, atap rumahnya bergemuruh.

"Gempa ..!!"

Nero terlonjak kaget dan melompat masuk kembali ke dalam kamar lotengnya dengan panik, namun darahnya tersirap melihat pemandangan di depannya, seluruh tubuhnya menegang.

....

BAB 2

Ruangan kamar lotengnya seperti terdistorsi, lingkaran hitam pekat sebesar piring berputar di tengah ruangan, lingkaran itu perlahan makin membesar hingga kini seukuran meja. Di pinggiran lingkaran hitam ada kilatan-kilatan cahaya perak berkedip. Nero merinding, ia sama sekali tidak tahu benda apa ini, saat ia terpaku dalam terkejutnya sepasang tangan halus terulur dari dalam lingkaran hitam itu!

Nero terperanjat setengah mati!

Dalam kepanikan ia mengambil tongkat basebal yang tersandar di meja belajar, bersiap hendak mengayunkan tongkat kayu itu ketika sebuah kepala menyembul diikuti setengah tubuhnya.

Seorang gadis?!

Matanya biru dan jernih, menatap langsung kepada Nero.

Nero terperangah, pandangannya bertatapan dengan mata sosok itu,

tiba-tiba muncul suara dalam kepalanya,

"Tolong..."

Nero terkesiap, tiba-tiba wajah gadis itu seperti ketakutan, namun terus menatap mata Nero dengan ekspresi memohon. Melihat ekspresi gadis tersebut timbul dorongan dari dalam dirinya dan spontan ia meraih tangan halus tersebut. Tangan itu terasa begitu lembut, Nero menariknya sekuat tenaga.

Tetapi seperti ada yang menahan dan menarik tubuh gadis tersebut. Nero memperhatikan ke bawah untuk melihat kaki gadis itu dan ia bergidik melihat ada tentakel bersisik seperti lengan gurita membelit kedua kakinya.

Nero mengayunkan tongkat basebal dengan sekuat tenaga, memukul tentakel yang menyeramkan itu dengan sangat keras, membanting tongkat di tangannya bertubi-tubi, sepertinya makhluk pemilik tentakel itu terkejut dan melepaskan kaki gadis malang tersebut.

Tentakel itu menarik diri dan menghilang ke dalam lingkaran hitam. Merasakan kakinya telah terbebas, gadis itu melemparkan tubuhnya keluar dari lingkaran hitam itu dan menubruk Nero.

Gubbraakk ...!!!

Tubuh Nero jatuh terjengkang dengan gadis itu persis menimpa di atasnya. Sekilas ia melihat tangan halus itu mengarahkan benda bulat kearah lingkaran hitam, seberkas cahaya perak melintas dan lingkaran itu pun lenyap. Suara dengungan pun menghilang.

Deg...

Deg...

Deg...

Keheningan....

Tidak ada gerakan...

Nero dengan keadaan masih menyadari gadis itu hanya diam di atasnya. Ia menoleh kebawah di mana kepala si gadis terkulai di dadanya, jantungnya berpacu, ditekannya bahu gadis itu dengan telunjuknya, tidak ada respon sama sekali.

Mati?!?!

Hati Nero menjadi tegang, bagaimana bisa menjelaskan jika ada seorang gadis tewas dikamarnya?

Pikiran Nero menjadi kalang-kabut.

Dengan hati-hati ja membalikan tubuhnya perlahan, lalu menjatuhkan gadis itu dari tubuhnya dan tergolek begitu saja dilantai, matanya terpejam.

Nero duduk dan memandang gadis itu.

Ia tercengang ...

Deg!

Deg!

Deg!

Nero bahkan bisa mendengar suara jantungnya sendiri.

Ia mengucek matanya tidak percaya, lalu mencubit daging lengannya sangat kuat.

"Aduh! ... Ini bukan mimpi..!" jeritnya kesakitan sambil mengusap bekas cubitannya sendiri.

Wajah gadis itu begitu cantik, sepertinya seumuran dengannya. Rambutnya kemerahan dengan hitam mendominasi, hidungnya mancung, dagu yang lancip dan bibirnya ....

Nero tidak pernah melihat wanita secantik ini sebelumnya, yang menarik perhatiannya lagi pakaian warna perak yang dikenakan gadis itu. Ia tidak tahu bahan apa ini tapi menempel sempurna di tubuhnya seperti kulit kedua, bahkan lekuk tubuhnya tercetak dengan jelas. Tonjolan dadanya terbentuk ... perutnya ... kebawah lagi... Nero tersentak, wajahnya menjadi memerah. Ia mengambil selimut lalu menutupi tubuh gadis itu.

Nero melihat tangan gadis itu memegang sesuatu, bola perak dengan garis-garis aneh di permukaannya.

Satujam....

Dua jam...

Tiga jam...

Begitu lama Nero memandangi mengharapkannya terbangun, namun masih tidak ada gerakan.

Ia mencoba menyentuh tangan gadis itu dan masih terasa hangat. Apa yang harus dilakukannya? Membawanya kedokter? Bagaimana menjelaskannya?

Dalam kebingungan Nero memutuskan untuk memindahkan tubuh gadis itu ke atas tempat tidur, namun bola perak itu terlepas dari tangannya. Setelah meletakannya di tempat tidur Nero mengambil bola itu dan meletakkannya di samping gadis tersebut.

Lalu hal yang tak terduga terjadi, bola perak itu tiba-tiba memancarkan cahaya putih dan menyelimuti seluruh tubuh gadis tersebut. Nero terkejut, mengambil kembali tongkat basebalnya ia menusuk lapisan cahaya itu, namun sekuat apapun ia mencoba, tongkat kayunya tidak bisa menembus penghalang. Pembatas itu sangatlah kuat, akhirnya ia menyerah dan hanya memperhatikan. Wajah gadis itu masih terlihat jelas dibalik cahaya putih susu yang menyelubunginya.

Dalam kebingungan Nero mondar-mandir di dalam kamar, melirik sebentar kemudian berpikir, menggelengkan kepala kemudian

berjalan lagi.

Telah malam dan masih tidak ada gerakan dari gadis itu.

....

Pagi-pagi seperti biasanya Nero terbangun, dengan gerakan malas ia menggeliat...

Lalu matanya terbuka lebar.

Nero terlonjak!

Secepat kilat ia naik memanjat tangga dan melihat ketempat tidur.

Deg ... Ini jelas bukan mimpi!

Gadis itu masih tetap di sana di dalam inkubator cahaya. Siapakah gadis ini? Ia terus bertanya. Semalaman ia berselancar di google dan web untuk mencari sesuatu tentang gadis ini, hasilnya nihil, tidak ada konten apapun yang berhubungan. Ia telah mengetikkan banyak kata namun tidak ada satu pun keterangan yang memberikannya bahkan sedikit saja petunjuk, dalam kelelahan tadi malam ia jatuh tertidur.

Mengesampingkan segala hal dalam pikirannya ia memutuskan untuk pergi sekolah. Sedikit pikirannya teralihkan dari kejadian kemarin, namun tetap saja ia tidak bisa melupakan sepenuhnya. Hari ini akan berat, batinnya.

....

Nero mengunci pintu kamar, dan membawa kunci itu di saku celana abu nya. Ke dapur ia berpamitan dan mencium tangan mamanya sebelum berangkat ke sekolah, dengan ringan mengayuh sepeda BMX meluncur meliuk di jalanan.

Di gerbang sekolah ia melihat wajah yang dikenalnya. Nadia menghambur kedepan sepedanya dan memaksanya menarik rem dan berhenti.

"Kamu baik-baik saja?" Nadia merlihat khawatir.

"Lumayan," jawab Nero tertawa.

Nadia tersenyum, menjadi kasihan dengan Nero dengan sebisanya ia berusaha menghibur sahabatnya tersebut.

Nadia menemani Nero memarkir sepedanya di parkiran, nyaris hanya dia sendiri yang ke sekolah memakai sepeda, yang lain? Diantar limo atau mercedez atau mereka bawa mobil

sendiri.

Kalaupun ada yang memakai motor, bahkan motor mereka bisa jadi lebih mahal dari sebuah mobil biasa.

....

Nero berjalan di sisi Nadia dengan tenang, tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya seputar pelajaran disisa jam yang ditinggalkan Nero. Beberapa mata yang melihat mereka berjalan bersama menatap dengan wajah mengejek.

"Bagaimana mungkin Nadia mau berjalan dengan anak itu," kata sinis terlontar dari mulut mereka.

Bagaimanapun berita kejadian kemaren telah dengan cepat menyebar, dan dengan perpanjangan mulut ke mulut, bahkan itu menjadi berkembang sedemikian rupa sehingga kabar yang beredar adalah seorang siswa laki-laki bejat mencoba menodai

seorang putri yang suci.

Nero acuh dan tetap santai di samping Nadia, ia tahu Nadia adalah karakter berbeda dari watak kebanyakan siswa lainnya.

Nadia adalah anak pengusaha perhiasan yang terkenal, Kieta Diamond dan Kieta Group. Galerinya tersebar diseluruh provinsi negeri ini. Nadia Kieta, anak kelima dari Mr Arundy Kieta, yang selanjutnya jika mereka disejajarkan, Nero adalah kerikil di jalanan dan Nadia adalah bintang di langit.

Nero dan Nadia masuk ke dalam kelas, tatapan tajam dan ejekan terasa menusuk di jantungnya, namun berusaha untuk terlihat tenang.

Seorang gadis kaki tangan Rizka menghalangi jalan mereka.

"Nadia, apa yang kamu lakukan dengan pemuda tidak tahu diri itu? Dia hanya akan merusak reputasimu di sekolah ini," ujar Stella berkacak pinggang di depan mereka.

Nadia maju mendekati Stella, secepat kilat tangannya terayun.

Plakkk!

Suara tamparan itu terdengar begitu keras hingga mengagetkan siswa-siswi lainnya, bahkan Rizka yang melihatnya terperangah.