SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Rahasia Mantan Tunangan

Rahasia Mantan Tunangan

Rencana

“Terima atau tidak, itu urusan kamu ! Papa sudah muak sama tingkah kamu, Elio !”

“Pa.” Pemuda bergaris wajah tegas itu menatap penuh kemarahan tapi tidak bisa meninggikan nada. “Aku bukan anak kecil lagi yang harus diatur.” Lanjutnya disertai tangan terkepal. “Aku masih muda dan banyak waktu.” 

“Kamu adalah keluarga yang papa miliki satu-satunya tapi tingkahmu mengecewakan Papa, Lio !” Pria paruh baya yang kini berusia hampir lima puluh tahun itu mengusap wajahnya kasar. “Papa cuma ingin kamu menjadi lebih baik bukan seperti ini, Papa paham kamu terluka karena kepergian mama tapi tidak dengan merusak diri kamu sendirikan ?” 

Pemuda bernama lengkap Elio Reviano Eglar itu terdiam dengan sorot mata sendu. Tanpa bicara ia meninggalkan ruang tengah. Perasaannya menjadi lebih buruk setelah sang Mama diangkat dalam pembahasan. 

Tuan Eglar menatap nanar punggung sang putra, selain karena lelah mengurus bisnis yang menjamur, pria paruh baya itu juga dipusingkan dengan tingkah putra semata wayangnya. Elio banyak menghabiskan waktu dengan sia-sia, kehilangan sang ibu menjadi pukulan terhebat yang dia alami. Elio kerap kali pulang dalam keadaan tidak baik-baik saja, alkohol merenggut setengah dari hidup pria itu. Kuliah yang belum selesai menjadi alasan untuk tidak terjun langsung membantu sang Papa. 

“Rebi, apa ini hukuman untukku ?” Sepasang manik matanya terpaku lekat pada pigura besar di ruang keluarga itu. “Elio tidak terkendali, aku berniat menjodohkannya supaya anak itu merasa memiliki tanggung jawab. Dia menolak banyak tawaran dariku.” 

“Tuan, waktunya makan malam.” 

Seruan dari asisten rumah tangga menghentikan ratapan Tuan Eglar pada foto mendiang istrinya. “Baiklah, panggil Lio.” 

“Tuan muda sudah pergi.” Wanita bernama Yeni itu menatap iba. 

Tanpa berkata lagi Tuan Eglar melangkah menuju meja makan, rasanya hampa dan sepi dulu senyum mengembang Nyonya Rebi menyambutnya dengan tulus. Lima tahun lalu, saat semuanya baik-baik saja. Sebelum penyerangan terjadi dan menewaskan istrinya. 

...----------------...

Di sepanjang jalan seorang pemuda meliuk-liukkan roda duanya dengan lihai tanpa takut hal buruk menimpa,permintaan sang Papa masih terbayang di benaknya. Perjodohan, zaman apa yang ditempatinya saat ini. Elio hanya butuh pelampiasan agar memori buruk lima tahun lalu terlupakan. Di depan matanya Nyonya Rebi tertembak oleh beberapa orang yang menyusup di kediaman Eglar. 

“Seperti biasa.” Elio mendaratkan tubuhnya di kursi depan meja bartender. Club adalah tempat favorit yang selalu dikunjunginya empat tahun terakhir. 

“Ada masalah?” 

Suara lembut dan aroma yang tidak asing lagi menghampiri Elio, laki-laki itu meraih gelasnya dan menenggak minuman penuh sensasi. “Apa, Galen belum datang?” Pertanyaan dibalas pertanyaan. 

“Mungkin sebentar lagi.” Gadis bernama Jessy ini tersenyum lembut. “Bertengkar lagi.” Lanjutnya penasaran.

“Hm, Papa tiba-tiba merencanakan perjodohan.” 

“Apa.” Jessy tersentak tapi mengikis jarak. “Kamu bercanda ?” Tanyanya tersenyum. Jari-jarinya sudah menyusup ke lengan kokoh pria di sampingnya. 

“Serius, aku tidak tahu gadis mana dan seperti apa yang menjadi jodohku.” Elio menghabiskan minumannya. 

“Kenapa tidak menolaknya.” Jessy membelai lembut sisi rahang tegas pria yang diam-diam dicintainya itu. Sebagai pemilik Club Jessy ingin mengurung Elio disana. 

“Aku sedang berusaha.” 

“Sudah lama ?” Galen menepuk pundak Elio sedikit keras. “Waw ! Reaksi macam apa itu ?” Lanjutnya terkekeh sambil duduk. 

“Apa ada yang menantang malam ini ?” 

“Sampai kapan ?” Galen menerima satu gelas minuman dari bartender. Melihat perubahan sahabatnya sejak lima tahun lalu membuat pemuda itu merasa kehilangan. Dimana Elio yang hangat, dimana Elio yang mudah tersenyum. 

“Menurutmu, apa yang harus aku lakukan ? Papa tiba-tiba berniat menjodohkan ku.” Kekeh Elio frustasi sambil membenamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja. 

Galen cukup terkejut pantas saja sahabatnya tampak tertekan malam ini. Sejenak ia menghembus nafas panjang guna menetralisir rasa yang juga membalut perasaannya. 

“Kamu bisa menggunakan aku untuk menolak perjodohan itu.” Usul Jessy mencari peruntungan. 

Elio mengangkat kepalanya menoleh sekilas. “Akan aku pikirkan.” Ucapnya pelan.

Jessy tersenyum lalu beranjak dari tempatnya duduk, gadis itu harus menemui tamu vip lainnya. Di belakangnya Galen menatap tanpa ekspresi penawaran Jessy bukanlah hal baik. 

“Berhenti dari kebiasaan ini dengan begitu Om Eglar mungkin akan membatalkan niatnya, daripada membuang waktu lebih baik selesaikan kuliahmu dengan cepat dan ikut Om Eglar bekerja di kantor.” Saran Galen. “Kamu juga akan lebih mudah mencari orang-orang yang menyerang Mansion lima tahun lalu.” Tambah pria bernama lengkap Galen Arvin Barata itu. 

“Aku sudah berusaha mencari tahu selama lima tahun ini tapi Papa selalu menghalangi aku dengan alasan keselamatan.” Elio tersenyum sinis. 

“Maka dari itu buktikan kalau kamu bisa.” 

Lima tahun lalu...

Mansion Eglar tiba-tiba datang beberapa orang penyusup di tengah keamanan yang kurang kuat. Tuan Eglar tidak menduga hal itu terjadi terkait selama ini mereka baik-baik saja dari sisi manapun. Malam itu, Tuan Eglar akan pergi untuk perjalanan bisnis namun belum juga berangkat ke tempat tujuan, ia dikejutkan dengan telepon kepala keamanan Mansion. Sementara di situasi lain, Elio baru saja pulang dari tongkrongan bersama teman-temannya. Masih mengenakan seragam berlapis jaket Elio menghentikan motornya tepat di halaman Mansion. 

“Tuan muda pergi !” Teriak kepala keamanan. Tubuhnya sudah terdapat beberapa luka. 

“Pak, apa yang terjadi ?” Elio mengindahkan teriakan itu bahkan melangkah mendekat. Jantungnya berdegup kencang setelah melihat dengan jelas kondisi pria yang meneriakinya. 

“Tuan muda pergi ! Mansion diserang.” Ucapnya terbata.

“Mama.” Elio bergegas lari ke arah pintu utama namun suara letupan keras menghentikan langkahnya. Tepat di depan mata Nyonya Rebi tertembak dari belakang setelah berusaha menyelamatkan diri. “MAMA.” Raungan Elio menembus pendengaran beberapa orang di dalam Mansion. “Ma, Mama.” Elio menangis histeris memangku tubuh Nyonya Rebi.

“Pergi, cepat.” Kalimat terputus-putus itu semakin menyakitkan terdengar. 

“Mama, bertahan a—aku telpon Papa.” Elio terbata mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Sayangnya pengendalian diri pemuda itu tidak baik ponselnya jatuh begitu saja tepat saat sebuah pistol menodong di bagian belakang kepalanya.

“ELIO.” Serangan membabi buta dari tuan Eglar membuat pria di belakang putranya tumbang begitu saja. “Rebi, tidak ! Sayang.” Tangis tuan Eglar pecah mengambil alih tubuh istrinya dari pangkuan Elio. “REN HABISI MEREKA SEMUA.” 

Reno pria yang menjadi asisten Tuan Eglar itu sudah bertindak sebelum diperintahkan, bahkan dia telah melesat ke dalam sesudah Tuan Eglar membantai penembak istrinya. 

...----------------...

“Sudah malam.” Suara Galen menghentikan lamunan Elio. “Pikirkan baik-baik apa yang aku katakan.” 

Elio hanya diam lalu meraih kunci motornya, tanpa banyak bicara ia melesat pergi. Di belakangnya ada Galen yang mengikuti hingga masuk ke dalam kawasan Mansionnya. Pria berwajah manis itu sangat memahami perasaan Elio, persahabatan sejak di bangku sekolah pertama ini membuat keduanya saling berbagi. 

Menerima

Bukan hanya wacana namun Tuan Eglar benar-benar merealisasikannya. Disini lah pria paruh baya itu duduk satu meja bersama seorang gadis berwajah cantik dengan rambut panjang bergelombang. Tampilannya sangat anggun dan manis sangat menggambarkan jika dirinya seorang gadis lembut dan baik hati. 

Jenia Quinza menatap lembut pada sosok di depannya, gadis itu memiliki banyak ekspresi sehingga tidak membosankan. “Anda yakin ?” 

“Tentu saja, Lio tidak bisa dibiarkan seperti itu. Dia perlu memiliki tanggung jawab, kalau bisa kalian langsung saja menikah.”

“Kenapa harus saya ?” Jenia menatap lekat. “Banyak gadis lain yang lebih baik untuk bersamanya tanpa saya jelaskan anda sangat tahu latar belakang keluarga saya. Bagaimana dengan itu ?” 

Tuan Eglar menarik nafas dalam nyatanya membujuk gadis di depannya ini cukup sulit. “Karena kamu orang yang tepat, setelah kamu melihat semuanya, apa kamu tetap menolak. Ibumu—.”

“Baiklah.” Potong Jenia cepat. “Tapi saya tidak berjanji menjadi pendamping yang baik untuk tuan muda.” 

“Terimakasih, maaf jika perkataan saya sedikit kasar dengan bersama Lio bukannya kamu lebih dekat dengan apa yang kamu cari.” Rahang tuan Eglar mengeras. 

“Baiklah, maaf jika saya harus pergi sebelum masuk jam kerja, saya menjenguk ibu dulu.” 

“Iya hati-hati.” 

Jenia bangkit dari tempatnya duduk lalu menarik tasnya dan melenggang pergi. Dari kejauhan gadis itu sangat terlihat cantik bak dimandikan cahaya ilahi. Semua mata memandangnya takjub. Tanpa menunggu lama Jenia mendapatkan taksi yang akan membawanya ke rumah sakit tempat ibunya dirawat. 

Lima tahun lalu…

Jenia bukan hanya satu-satunya orang yang terpukul karena kehilangan cinta pertamanya sejak terlahir ke dunia ini. Seluruh anggota tubuh gadis itu merekam semua yang terjadi, bahkan air matanya tidak mampu menetes sakit hebatnya keterkejutan itu. Jenia yang kala itu berniat menjemput sang ayah malah disuguhkan pemandangan tidak bisa dilupakan sampai kapanpun. 

“Ayah.” Gadis itu mengayunkan langkah berniat menghampiri. Namun sebelum ia bergerak jauh seseorang menahan langkahnya.

“Pulanglah, biar saya yang mengurusnya.” 

“Tapi ayah.” Jenia menatap dalam berusaha mengingat wajah orang itu. 

“Dengar, temui ibumu dan bersiaplah disana.” 

Jenia tanpa bicara lagi langsung menaiki motor maticnya dan gegas pulang kerumah. Di sepanjang jalan apa yang terjadi bagai clip yang berputar berulang di kepalanya. Jenia tahu, pria paruh baya yang selama ini menafkahi dan membesarkannya adalah ayah sambung tapi rasa sayangnya tidak dapat diukur dengan apa pun. Setiba di rumah Jenia kebingungan bagaimana caranya ia sampai di rumah berkendara dalam keadaan tidak baik-baik saja. Meskipun tempat ayahnya bekerja lumayan dekat namun tetap saja ia melewati jalan besar. 

“Jen, dimana Ayah ?”

Jantung Jenia serasa pecah dengan desiran hebat. Bibirnya terkatup rapat dengan pandangan kosong berdiri bak patung. Gadis itu tidak tahu cara mengekspresikan perasaannya. Menangis, ia tidak tahu caranya. Berteriak Jenia seakan tidak memiliki tenaga. Ia hanya diam dan terus diam saat ibunya selalu mendesak pertanyaan. 

“Permisi.” 

“Iya,” Wanita bernama Fida itu bergegas mendekat dan menyahut. “A-apa ini?” Tanyanya terbata dengan perasaan mulai tak karuan. “I-ini suami saya.” Tangisnya pecah meraung mendekat dan meraba tubuh suaminya yang tidak lagi bernyawa. Tidak ada kalimat yang keluar hanya tangis yang terdengar. 

Sementara Jenia tiba-tiba tumbang tidak sadarkan diri. Beberapa orang yang mengantar jenazah ayahnya segera mengangkat tubuhnya ke atas sofa. Sadar dengan kondisi keluarga Jenia, beberapa orang itu memilih tinggal dan membantu mengurus rekan kerja mereka itu. 

Berbulan lamanya ibu Fida hanya diam begitu juga Jenia mereka jarang bicara hanyut dalam luka kehilangan, sehingga mereka lupa untuk saling menguatkan. Semakin hari kondisi Bu Fida berubah.

...----------------...

“Kita sampai.” 

“Terimakasih Pak.” Jenia tersentak dari lamunannya. Gadis itu turun dari taksi namun tidak langsung masuk, manik matanya menatap tulisan besar yang terpampang di sana. Sejenak Jenia memejamkan mata dan menarik nafas sebelum melangkah, disinilah ibunya dirawat karena mengalami gangguan mental. Perlahan Jenia membuka pintu ruang rawat ibunya. “Bu, aku datang.” 

“Nona Jenia.” Seorang perawat bertugas menyahut. “Ibu, ada Nona Jenia datang.” 

Ibu Fida hanya diam menatap jauh keluar jendela. Seolah ia berada di dalam dunianya saja, tubuhnya kurus namun masih terawat berkat perawat yang bersamanya. 

“Bagaimana kondisi ibu?” Jenia melangkah duduk di atas kasur menghadap ke arah ibunya. 

“Masih seperti sebelumnya.” Jawab si perawat. “Kalau boleh saya sarankan sering-seringlah mengunjunginya.” 

“Akan saya usahakan.” Jenia menarik nafas panjang. “Bagaimana biaya perawatannya?” 

“Masih lancar, Tuan Eglar sangat dermawan.” 

Jenia hanya tersenyum mendengarnya. “Berkat dia, saya membawa ibu kesini.”.

“Baiklah, silahkan ajak ibu bicara saya mau menemui dokter.” 

Jenia mengangguk lalu menurunkan tubuhnya ke bawah bertumpu dengan kedua lututnya. “Ibu, ini aku, jangan biarkan aku sendirian. Aku kesepian dan sendiri di rumah.” Gadis itu berhenti sejenak untuk melihat reaksi sang ibu. Sayang hanya diam tanpa berkedip. “Ibu, tuan Eglar menemuiku dan minta sesuatu yang besar. Dia ingin aku bertunangan dengan putranya, bagaimana menurut ibu?” Lanjutnya memperhatikan reaksi ibu Fida lagi. “Aku menerimanya dan anggap saja sebagai balas budiku karena dia membiayai perawatan ibu.” 

...----------------...

Di Kampus Elio dan Galen baru saja menyelesaikan kelasnya, mereka melangkah ke arah gerbang berniat untuk ke cafe depan gerbang kampus menunggu kelas selanjutnya. Elio menarik satu kursi dan mendaratkan tubuhnya disana. Cafe itu tidak sepi tidak juga ramai karena cafe yang didesain untuk para warga kampus. 

Galen menyelesaikan pesanan lalu menarik kursi berhadapan dengan Elio. “Bagaimana, sudah bicara sama Om Eglar?” 

“Belum.” 

“Kenapa.” Galen melepas jaket miliknya dan menyampirkan ke kursi.

“Sepertinya aku menggunakan usul Jessy kalau tahu aku memiliki kekasih pasti papa akan membatalkannya.” 

Galen menatap datar. “Kamu tahu Jessy itu siapa ? Bersamanya kamu hanya memperburuk keadaan.” 

“Apa salahnya mencoba.” 

Galen menarik nafas panjang. “Kamu tahu apa yang baik dan buruk untuk diri kamu sendiri.” Pria itu memutuskan diam sampai seorang waitress datang mengantar pesanan. “Dimana Jenia?” 

“Ah, Jenia belum masuk shift nya masih beberapa jam lagi.” Gadis berambut pendek sebahu itu menjawab. 

“Begitu, terimakasih.” Galen tersenyum tipis.

“Kamu kenal ?” Elio bertanya sambil menyesap minumannya. 

“Tidak kenal tapi tahu, Jenia anak fakultas psikologi. Gedung mereka jauh dari kita aku sering melihatnya disini karena dia bekerja disini. Kamu tidak memperhatikan sekelilingmu selama ini karena stuck di tempat.” Ucap Galen panjang lebar. 

Elio hanya diam apa yang dikatakan Galen ada benarnya. Dia hanya stuck di tempat. “Bagaimana kalau misalkan Papa tetap dengan rencananya?” 

“Terima saja siapa tahu itu yang terbaik.” 

Elio diam melanjutkan minum. “Sampai hari ini aku belum tahu siapa yang menyerang Mansion malam itu, para pegawai yang ada saat itu tidak ada satupun bertahan. Cctv langsung diambil Om Reno.” 

“Kamu tidak bertanya sama Om Reno dan juga Papamu.” 

“Sudah, Papa hanya menjawab itu jadi urusannya.” Elio menyandarkan tubuhnya.

“Itu artinya, Om Eglar tidak mau kamu kenapa-kenapa.”