SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
BARA DIATAS SINGGASANA DEMAK

BARA DIATAS SINGGASANA DEMAK

Kitab 1 - Eps.01

Sebuah Pertapaan yang terletak pada lereng gunung Penanggungan kian hari semakin redup ditinggalkan sang penghuninya. Sebuah pertapaan yang dulu di bangun sang oleh Prabu Airlangga Raja titisan Sang Dewa Wisnu ini, sekarang tinggal ditempati oleh kakek tua serta dua muridnya saja.

Resi Chandakara dengan setia tetap meneruskan seluruh ajaran dan  tuntunan dari Resi Gentayu, nama lain dari Prabu Airlangga setelah menjadi pertapa di Candi Belahan itu. Sudah empat puluh hari lamanya, Resi Chandakara melakukan tapabrata atau semedi memanjatkan do'a serta memasrahkan diri kepada Hyang Tunggal untuk mengetahui mengapa hatinya selalu dilanda keresahan. Malam terakhir ketika orang tua itu melakukan tapabrata, tiba-tiba segumpal kabut menyelubungi sanggar tempat Resi Chandakara melakukan semedinya. Ruangan itu semakin lama seakan-akan berubah menjadi sebuah taman yang indah bagaikan di Indraloka, daerah Sang Dewa Indra berada.

"Bukalah matamu, ngger."

Sebuah suara yang sejuk penuh kehalusan dan  kebijakan membangunkan pertapa Pucangan itu, dengan perlahan Resi Chandakara membuka matanya dan  ketika memandang kedepan dirinya bagaikan terkena dahsyatnya perbawa seseorang yang menggunakan pakaian putih bersih layaknya pertapa suci. Dengan segera Resi Chandakara menghaturkan sembah hormatnya, dengan ngapurancang terhadap sosok suci itu.

"Mohon ampun Pikulun, hamba telah Mengganggu ketenangan Pikulun." ucap Resi Chandakara.

"Sudahlah, ngger. Saya mengetahui apa yang kau rasakan akhir-akhir ini,tenangkanlah hatimu untuk menjalani kehidupan yang fana ini." Sahut sosok suci itu.

"Oh jagat dewa Bathara, mohon kiranya Pikulun memberikan petunjuk."

"Baiklah, ngger. Memang keyakinan tanah leluhur ini semakin hari akan terus menyusut seiring berkembangnya waktu,d engan adanya keyakinan baru yang dibawa dari tlatah berpadang pasir itu. Seharusnya membawa kedamaian pada bumi jawadwipa ini, tetapi manusia tetaplah manusia yang mempunyai nafsu dan hasrat yang kadangkala terlalu berlebihan serta membawa ataupun menyeret penderitaan pada sesama. Dan memang tidak mampu dipungkiri setiap kekuasaan akan mendatangkan keserakahan dalam jiwa yang lemah serta rapuh ini." ucap sosok pertapa itu.

"Begitupun dengan masa ini, ngger. Demak yang sudah menggantikan Majapahit akan pudar oleh waktu, tetapi untuk mencegah kehancuran yang lebih parah, saya menitipkan batangan baja pilihan ini serta kitab ini, carilah seorang yang akan cocok menggunakan dua pusaka ini."

Lalu sosok itu sudah mengeluarkan dua benda berwujud baja pilihan yang memancarkan cahaya putih benderang serta kitab dari kulit, yang diserahkan kepada Resi Chandakara.

Tetapi betapa terkejutnya Resi Chandakara, ketika akan menerima dua benda itu, benda itu sudah melesat kedalam tubuhnya dan  hilang.

Sosok pertapa suci melihat kebingungan Resi Chandakara, hanya tersenyum kemudian ucapnya,

"Sudahlah jangan gundah ngger, kini saya akan kembali ke alam kelanggengan serta ingatlah carilah seseorang yang cocok menggunakan dua pusaka itu."

"Kasinggihan dawuh,pikulun."

Kembali Resi Chandakara dibuat tercengang manakala seekor burung garuda besar  menukik dari udara serta berdiri disamping sosok pertapa suci yang tidak lain Resi Gentayu atau prabu Airlangga. Dengan sigap Resi Gentayu menaiki garuda itu serta membentuk garuda suci itu mengangkasa menembus langit. Bersamaan dengan itu taman indah  itu kembali diselimuti kabut yang tebal serta pekat hingga membuat Resi Chandakara tidak sadarkan diri dan ketika sadar orang tua pertapa Pucangan itu madih duduk bersila di sanggarnya.

"Oh terimakasih Hyang Agung." Desisnya mengucap syukur.

Dan  saat beliau memandang kedepan, dihadapannya sudah tergeletak bungkusan kain putih. Segera bungkusan itu beliau buka dan betapa senangnya isi pada bungkusan kain putih itu, dua benda berwujud kitab kulit dengan terdapat ukiran cakra segi enam dengan tengahnya terdapat lambang garuda terbang serta satunya lagi benda berwujud sebatang besi pilihan yang memancarkan cahaya putih terang.

"Bersambung ....."

Kitab 1 - Eps.02

Ki Wilis pagi itu telah menyiapkan makanan serta minuman untuk resi Chandakara, yang baru saja menuntaskan semedinya. Cantrik satu ini semenjak kecil sudah mengabdi kepada Resi Pucangan tersebut.

"Silakan, Resi. Wedang jahe ini semoga memberikan kehangatan untuk Resi." ucap Ki Wilis.

"Terima kasih, Wilis. Oh ya tolong panggil Ki Ireng kemari."

"Inggeh."

Ki Wilis pun lalu meninggalkan bilik itu untuk mencari kawannya, Ki Ireng.

Pada belakang bangunan pertapaan, seorang lelaki berbadan tegap sedang sibuk menarik tali senggot sembari menembang dengan suara merdu.

"Wah pagi-pagi adi sudah nembang asmaradhana." tegur Ki Wilis, lalu ucapnya kemudian, "apakah adi lagi wuyung dengan bidadari dari nirwana.?", dan  gelak tawa meriuhkan pertapaan di lereng Gunung Penanggungan itu.

"Hahaha... Kakang bisa saja."

"Oh ya adi, Resi Chandakara memanggilmu untuk menghadapnya."

Mendengar itu, Ki Ireng segera menghentikan kegiatannya dan  menemui panutannya selama ini. dengan perlahan serta sopan, Ki Ireng mengetuk bilik Resi Chandakara.

"Masuklah Ireng".

Ki Ireng yang diiringi oleh Ki Wilis memasuki bilik yang tidak terlalu luas itu, dan  duduk di depan Resi Chandakara.

"Kalian berdua sudah lama mengikuti aku dalam mengarungi kehidupan ini, serta aku telah menganggap kalian berdua seperti keluargaku sendiri." Dengan sareh Resi Chandakara mengawali perkataannya.

"Hari ini aku  kembali meminta kesediaan kalian untuk membantuku, apakah kalian bersedia.?"

Kedua cantrik itu bingung saling pandang untuk beberapa waktu.

"Resi, kami berdua telah menyerahkan jiwa raga ini untuk mengabdi pada Resi, oleh karena itu apa pun perintah dari resi akan kami jalankan sesuai kemampuan kami, tentunya." kata Ki Ireng, yang diikuti oleh anggukan kepala Ki Wilis.

"Oh jagat dewa bathara, terima kasih atas ketulusan kalian berdua."

"Baiklah, Wilis aku  meminta tolong kepadamu untuk pergi menemui Ki Mahesa Anabrang yang kini   berada di kadipaten Pranaraga, katakan padanya untuk ke sini membawa putranya Adigama Bayu Shankhara."

"Baik Resi."

"Dan  untukmu Ireng, tolong panggilah pamanmu Empu Citrajati kemari, katakanlah terdapat bahan mengagumkan di Pertapaan diriku."

"Baik resi, hari ini juga kami akan berangkat ke kademangan Tegowangi serta kakang Wilis ke kadipaten Pranaraga." Sahut Ki Ireng selanjutnya.

"Berhati-hati kalian berdua di perjalanan, khususnya kau Wilis, jalan yang kau lalui akan bersimpangan dengan pasukan Demak."

"Baik resi, kami akan menjaga diri." Ucap Ki Wilis. Dan hari itu juga Ki Wilis dan Ki Ireng siap berangkat dengan tujuan masing-masing. Dua kuda berbadan sedang akan menjadi tunggangan keduanya.

"Resi, kami mohon diri."

"Berangkatlah kalian berdua serta berhati-hatilah." Kata Resi Chandakara, melepas kepergian keduanya di regol Pertapaan.

Setelah memberi hormat, dua cantrik itu menaiki kuda masing-masing dan membedal kudanya. Keduanya membedal kudanya dengan pelan serta hati-hati ketika menuruni jalan yang tak terlalu lebar serta berbatu itu, hingga keduanya sampai dipersimpangan jalan, kuda mereka berhenti.

"Adi sampai di sini kita akan berpisah,berhati-hatilah."

"Baik kakang, begitu pula dengan kakang yang berjalan kearah barat." Sahut Ki Ireng.

Akhirnya mereka pun berpisah untuk melakukan tugas masing-masing. Udara pada siang itu terasa panas serta menyengat, Ki Ireng yang melakukan perjananan menuju kademangan Tegowangi baru memperoleh setengah perjalananannya. Walaupun jalan yang dilaluinya jalur utama antara Ujung Galuh dan  Daha, namun jalan itu sudah banyak rusak dikarenakan perang saudara antara Majapahit dan  Kediri, apalagi ditambah campur tangan kadipaten Glagahwangi yang sekarang menjadi kesultanan Demak Bintoro, keadaan makin runyam.

Penguasa pura Kediri sepeninggalnya prabu Giriwardana, makin pudar serta mundur. banyak bekas prajurit menjadi begal serta kecu. Ki Ireng dengan santainya duduk di pinggir jalan yang ada pohon trembesi rindang. Dalam ketenangannya itu, sayup-sayup terdengar derap kaki kuda.

"Siapa mereka.?" Desis Ki Ireng perlahan.

Derap kaki kuda itu makin usang makin mendekat serta tampak, yang ternyata berjumlah dua kuda dengan penunggang dua orang lelaki berbadan tegap serta sangar. Sesampainya dekat pohon trembesi, keduanya menghentikan kuda mereka serta turun menghampiri Ki Ireng. Kedua pendatang itu sesaat saling pandang, selesainya memperhatikan buntalan yang menggelantung pada samping pelana kuda Ki Ireng.

"Maaf apakah kisanak juga dalam perjalanan jauh seperti kami.? tanya salah  seorang pendatang itu.

"Begitulah kisanak, apakah kisanak berdua juga begitu.?"

"Benar, kami berdua ingin menemui kerabat kami yang berada di Daha.”  jawab orang yang terdapat tahi lalat di dagunya, "apakah kisanak seorang diri.?

"Iya ki."

Orang yang memiliki tahi lalat di dagunya,mengerutkan keningnya,lalu katanya, "apakah kisanak tidak mengetahui desas-desus pada Bulak di depan itu.?"

"Desas-desus apa ki.?" Tanya kembali Ki Ireng dengan mengrenyitkan keningnya.

Kedua penunggang kuda yang baru datang itu saling pandang mengetahui ketidak tahuan Ki Ireng tentang desas-desus di Bulak Sepi.

"Wah untung kisanak bertemu kami sebelum memasuki Bulak Sepi itu, ketahuilah kisanak di lebatnya bulak yang panjang itu, di huni oleh sepasang begal yang ganas serta keji." Kata kawan orang yang ada tahi lalatnya.

"Benar apa yang dikatakan temanku ini kisanak, oleh karena itu kami melakukan perjalanan berdua, serta agar kisanak aman lebih baik bersama dengan kami." Ajak orang yang bertahi lalat.

Mendengar hal itu, Ki Ireng termangu untuk sesaat.

"Bila kisanak ragu-ragu, lebih baik memutari bulak ini lewat pertigaan jalan yang tentunya kisanak lalui tadi. Itupun akan lama serta menyita banyak waktu"

"Baiklah kisanak, aku  menyetujui usul kisanak berdua." Kata Ki Ireng, menyetujui usul kedua penunggang kuda yang baru tiba itu.

"Baiklah, jika begitu mari kita berangkat sebelum matahari makin ke barat."

Ketiganya lalu bersama-sama melanjutkan perjalanan melewati Bulak Sepi. Bulak itu memang memiliki letak yang baik untuk para begal melakukan perampasan harta benda yang dibawa para pedagang maupun orang yang lalu lalang.

Kuda ketiganya tidak terasa sudah memasuki Bulak Sepi,makin kedalam banyak ilalang dengan tinggi orang dewasa tumbuh di kanan kiri jalan,dan  hal yang menggetarkan sudah terjadi.

“Bersambung ......”