The Power Of Mbak Jamu
"Aku tarik napas dan pejamkan mata, mencoba untuk menenangkan emosi di dadaku yang kian memanas. Berkali-kali aku mencari solusi untuk mempertahankan rumah tanggaku yang sudah di ujung tanduk. Berulang kali pula aku introspeksi diri, begitu burukkah aku sebagai istri? Pada akhirnya terjawab. Aku dicap sebagai istri mandul. Aku sadari kekuranganku itu, tetapi jika berbagi suami dengan wanita lain sebagai pilihan, aku lebih baik hidup sendiri"
...~Sumiati Dewi Asih~...
Seorang wanita muda dan cantik tengah menggoes sepeda ketika baru pulang dari pasar. Sesekali memegang stang dengan satu tangan, lantaran satu tangan lagi menyeka keringat. Wajar saja, wanita itu belum istirahat sejak pagi.
Dia adalah Sumiati Dewi Asih, yang biasa dipanggil Mia. Nama yang sederhana itu pemberian almarhum kedua orang tuanya. Mia berusia 25 tahun dan sudah lima tahun menikah, tetapi belum dikarunia anak.
Tiba di salah satu rumah sederhana, yang dia huni hanya berdua dengan sang suami. Dia parkir sepeda tersebut di sudut latar, kemudian mengangkat rinjing yang berisi sayuran dan bahan-bahan kue.
"Sepi amat, Mas Slamet bukannya sedang di rumah," batin Sumiati ketika mengucap salam tidak ada yang menjawab, dia mendorong pintu yang tidak dikunci.
Mia menoleh lagi ke belakang merasa ada yang janggal, kemudian keluar lagi. "Sandal siapa ini?" Tanyanya dalam hati. Mia angkat sandal tersebut lalu meneliti. Sandal wanita hak pendek berwarna hitam berada di pinggir teras.
"Mungkin sandal Mas Slamet ketukar," Monolognnya.
Dia jatuhkan kembali sandal di tanah, tidak mau berpikir buruk. Kemudian melanjutkan tujuannya ke dapur, meletakkan sayuran di atas meja. Sebelum memasak hendak salin baju lebih dahulu. Baju yang paling nyaman yang tak lain adalah daster.
Gerah terasa, sambil mengipas-ngipas leher dengan telapak tangan Mia bergerak ke kamar. Tangan yang sudah dia angkat hendak membuka pintu, diturunkan kembali, karena telinganya menangkap suara berisik di dalam sana.
"Ahh... ahh... ahh..."
Suara desah dari dalam kamar yang biasa dia gunakan untuk tidur berdua dengan Slamet, kini digantikan oleh wanita lain. "Siapa wanita itu?" Tanya Mia dalam hati.
Mia tempelkan telinga ke daun pintu untuk mendengarkan lebih serius.
"Ahh... Mas..."
"Heemm... kamu nikmat sekali sayang..."
Jedeeerrr...
Bak petir di tengah teriknya matahari, Suara dua orang di dalam sana membuat dada Mia sesak. Walaupun tidak melihat langsung, tentu dia tahu apa yang mereka lakukan. Mia yang bersandar di daun pintu tidak kuat lagi mendengar rintihan nikmat dari dalam.
Mia tutup telinga dengan dua telapak tangan, lalu duduk selonjor. Badan dan kepala bersandar di daun pintu.
Tetes demi tetes air mata Mia jatuh ke pipi, hingga mengalir deras. Namun, Mia menahan isak agar jangan sampai pecah. Selama ini Sumiati hampir tidak pernah menangis, karena dia wanita yang kuat menghadapi setiap masalah yang datang.
Tetapi jika sudah menyangkut perselingkuhan, apa lagi suami sendiri. Wanita mana yang tidak akan hancur. "Aku tidak boleh lemah" Mia bersihkan air mata lalu berdiri dengan cepat.
Dia cengkram gagang pintu sekuat tenaga, tetapi tidak terbuka karena dikunci dari dalam. Terpaksa ambil ancang-ancang kaki kecil tetapi kuat itu menjejak pintu.
Brak! Brak! Braaakkk...
Mia mendobrak pintu hingga engsel pun lepas, kemudian ambruk. Sumiati berdiri di tengah-tengah daun pintu. Tatapan matanya nanar ke arah dua orang di dalam sana yang tanpa busana dan hanya menggunakan selimut untuk menutup tubuh mereka bagian depan.
"Mia..." Ucap Slamet dengan suara bergetar.
"Siapa wanita itu Mas?!" Sinis Sumiati menatap nyalang wanita yang lehernya penuh dengan batik sungguh Mia merasa jijik melihatnya.
"Dia..." Slamet menoleh wanita di sampingnya.
"Aku tidak menyangka Mas, selama ini aku kira kamu benar-benar tulus mencintai aku, tetapi omong kosong. Aku kira kamu pria baik yang aku punya, tetapi hanya sampah. Sampah paling busuk yang pernah aku kenal" Pungkas Mia, lalu keluar dari kamar.
**********
Seharian itu Mia melupakan pekerjaanya memasak, bersisih-bersih rumah dan juga membuat dagangan. Sayuran yang tadi pagi dia beli pun dia biarkan layu.
Mia hanya merenung di kamar terpisah, mengingat perjalanan rumah tangganya dengan Slamet selama lima tahun, nampak rukun dan baik-baik saja. Tentu tidak percaya jika Slamet tega berselingkuh dengan wanita lain.
Walaupun Mia seringkali dihina oleh mertua, lantaran belum bisa memberikan seorang cucu, Slamet yang selalu membela. Sungguh tidak menyangka bahwa Slamet selama ini hanya pura-pura baik dengan dirinya.
"Mia..." Suara berat tiba-tiba sudah berada di dekatnya.
Tidak ada sahutan maupun pergerakan dari Mia, selain duduk memeluk lutut dengan tatapan mata kosong ke arah tembok batako yang belum di poles dengan semen.
"Wanita tadi itu Ranti, dia sebenarnya istri keduaku" Slamet berkata santai.
"Apa?! Jadi selama ini kamu menduakan aku Mas? Kamu jahat!" spontan saja Mia bangkit berdiri tamparan keras melesat ke pipi Slamet. Slamet tidak melawan hanya memegang pipinya.
Pantas saja, Slamet sering keluar malam dengan alasan nongkrong dengan teman-teman, ternyata ini yang dilakukan suaminya.
"Maafkan aku Mia. Jujur, cintaku padamu tidak pernah berubah, tetapi aku tidak bisa menolak permintaan ibu," Slamet mengatakan jika Ranti itu wanita pilihan ibunya karena ingin mempunyai cucu yang tidak segera diberikan oleh Mia.
"Bagi aku kata cinta itu sudah basi Mas, lebih baik kita cerai," jawab Mia sudah tidak mau kompromi.
"Mia... jangan katakan itu, aku tidak kuat," Slamet mendekati Mia yang membelakangi dirinya. Dia peluk tubuh istrinya dari belakang. Tanpa Slamet duga Mia menyikut perutnya dengan kekuatan penuh, hingga Slamet jatuh terjengkang di lantai.
"Hahaha... apa kamu bilang Mas! Tidak kuat kehilangan aku? Hahaha..." Mia tertawa di buat-buat. Mia menduga yang diucapkan Slamet hanya omong kosong. Padahal selama ini Slamet tahu jika Mia menentang keras yang namanya poligami. Seharusnya jika Slamet takut kehilangan dirinya tidak akan berani main api di belakangnya.
"Setelah kamu berani tidur dengan wanita lain di kamar kita, kamu sudah kehilangan aku, Mas. Camkan itu,"
"Satu lagi, jangan pernah sentuh lagi tubuhku, karena aku sudah jijik," Mia pun meninggalkan Slamet masuk ke kamar yang pintunya sudah dia rusak. Bukannya mau apa-apa hanya ingin ambil pakaian.
Di samping tempat tidur, Mia berhenti sebentar. Menatap wanita yang masih pulas menutup tubuhnya dengan selimut. Mungkin saja wanita itu kelelahan melayani Slamet.
Mau tidak menangis, Mia hanyalah seorang wanita. Kamar yang selama bertahun-tahun menjadi saksi bisu bagaimana dia dengan Slamet telah memadu kasih, tetapi kini sudah digantikan oleh wanita lain.
Mia segera mengusap air matanya, tidak mau berlama-lama di kamar sial itu. Segera ambil tas besar hendak memasukkan bajunya. Namun, betapa terkejutnya Mia, ketika membuka lemari pakaian miliknya sudah tidak ada, dan diganti dengan pakaian milik orang lain.
"Aagghh... bangun?! Kamu kemanakan baju saya?!" Teriak Mia langsung saja mengamuk. Harga dirinya merasa diinjak-injak, segitu tidak berharganya dirinya sampai baju dalam lemari yang dia beli sendiri pun di keluarkan tanpa ijin. Dia lempar-lempar keluar baju milik Ranti ke tempat tidur, ke lantai, bahkan ada yang Mia injak-injak.
"Hentikan!" Ketus Ranti. Wanita yang hanya mengenakan baju dalam dan belum sempat mandi itu pun turun dari tempat tidur.
"Apa?! Berani melawan saya?!" Tantang Mia. Dia menekuk dua lutut dengan kedua tangan mengepal siap meninju wajah wanita yang berani mengambil suaminya.
...~Bersambung~...
"Kenapa kamu marah Mia, gue melakukan ini atas perintah Mas Slamet," Ranti tersenyum, merasa dirinya menang karena berhasil merebut hati Slamet.
"Beraninya kamu!"
Buk!
Tinju melayang ke pipi Ranti, dia tidak menduga tangan kecil Mia bisa sekuat itu. Ranti jatuh disertai mengaduh sambil mengusap-usap pipinya. Matanya menatap kepalan tangan Mia dengan kaki yang bergerak ke arahnya hendak memukul ulang.
Ranti menyeret bokongnya ke belakang, sampai di pintu berusaha berdiri ingin lolos, tetapi tangan Mia lebih dulu menarik kasar tangan Ranti.
"Tolong... tolooong..." teriak Ranti. Lagi-lagi tidak dia duga dua sisi mulutnya di cengkram dengan satu tangan hingga maju ke depan. Nyeri yang dirasakan Ranti.
"Mia lepas..." Slamet tiba-tiba datang menarik tangan Mia dari mulut Ranti.
"Ajari mulut istrimu ini Mas, sekali lagi berani melawan saya, saya rela masuk penjara demi membela harga diriku!" Mia melepas mulut Ranti dengan sedikit mendorong, sebelum Ranti jauh ditangkap dengan dada Slamet.
Tidak ada jawaban dari Slamet karena dia tahu seperti apa jika Mia di lawan. Slamet membangunkan Ranti hingga berdiri.
"Siapa yang berani memindahkan baju-baju saya, dari lemari yang saya beli dari hasil keringat saya sendiri?!" Sinis Sumiati, dia sudah tidak ampun lagi memaki-maki Slamet. Baginya saat ini Slamet bukan pria yang harus dia hormati seperti dulu.
Slamet bingung untuk menjawab tentu saja yang memindahkan baju adalah Ranti, tetapi jika jujur kemarahan Mia akan semakin memuncak.
"Kenapa diam, jawab!" Bentak Mia, menatap tajam tangan Ranti yang memegang erat lengan Slamet.
Brak!
Kaki Mia menendang daun pintu yang masih di lantai. Sementara Ranti merangkul Slamet semakin kuat. Kali ini tidak tanggung-tanggung bagian pinggang.
"Aku yang memindahkan baju kamu Mia, maaf" terpaksa Slamet mengakui perbuatan Ranti.
"Berani memasukkan baju-baju itu ke dalam lemari saya, saya akan bakar di luar," Mia memandangi pakaian Ranti yang sudah dia lempar-lempar hampir memenuhi kamar.
"Sekarang kalian simpan di mana baju saya?!" Mia mendelik tidak terima di perlakuan seperti ini.
"Di... di gudang" jawab Slamet tersendat-sendat.
Plak!
Buk! Buk! Buk.
Kali ini Mia menberondong tubuh Slamet dengan tinju. Setelah lega, kemudian keluar dari kamar itu. Dengan perasaan marah, benci dan kecewa, Mia menuju gudang. Tiba di tempat barang-barang yang sudah tidak dipakai, baju-baju miliknya berada di tempat itu tanpa di bungkus. Padahal tempat itu berdebu.
"Brengsek kalian!" Wajah Mia dipenuhi dendam.
Sambil menangis, Mia membereskan bajunya memasukkan ke dalam tas. Sakit sekali hatinya diperlakuan seperti ini di rumahnya sendiri. Rumah yang dibeli bukan hanya dengan uang Slamet, tetapi dari hasil kerja kerasnya juga.
Selama hidup berumah tangga dengan Slamet, Mia bukan hanya istri penadah dari suaminya itu. Tetapi Mia bekerja keras dengan berjualan kue, dan juga jamu, berkeliling menggunakan sepeda.
Setelah baju di kemas dalam tas besar, Mia mengangkatnya ke kamar yang biasa mertuanya gunakan ketika menginap.
Seminggu kemudian, selama itu Mia tidak mau lagi mengurus suaminya, tetapi tetap melakukan aktivitas meracik jamu tradisional yang akan dia jual memasukkan ke dalam botol-botol. Bukan hanya jamu saja, tetapi Mia juga ahli menerima pesanan kue.
Mia tidak mau terpuruk terlalu lama, karena dengan berjualan bisa menghibur hatinya.
"Mia... kamu sekarang tidak pernah lagi membuat sarapan untukku?" Slamet menghampiri Mia yang tengah menyusun kue di tempat.
"Saya bukan pembantu kalian" Mia melempar tatapan sinis ke arah Slamet yang tengah di gandeng Ranti. Mia lalu berpaling, rasanya ingin muntah melihat Ranti yang tak mau melepas tangan Slamet. Mungkin saja Ranti khawatir Mia akan merebut Slamet. Padahal bagi Mia, sikapnya kepada Slamet sudah bodo amat. Seminggu ini mereka selalu berduan tanpa menganggapnya ada, tetapi dengan seenaknya minta dibuatkan sarapan.
"Tapi kan kamu istri aku Mia" Slamet menagih hak nya.
"Lalu siapa wanita di samping kamu itu Mas. Setan, kuntilanak, atau sundel bolong? Semenjak seminggu yang lalu kamu telah membawa wanita ke rumah ini, tugas saya melayani kamu sudah habis. Sekarang suruh saja istri kamu yang baru ini memasak untuk kamu" Mia menunjuk Ranti yang diam membisu.
"Tetapi Ranti tidak bisa memasak Mia"
"Hahaha... itu deritamu Mas" Mia tertawa puas. Kedengaranya lucu sekali, cari istri tetapi bukan yang lebih darinya. Wajah tidak cantik, tidak bisa memasak pula, dua sisi bibir Mia diangkat tinggi.
"Dengar Mas Slamet, saya sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Siap-siap saja, kamu akan mati kelaparan hidup bersama wanita ini," Pungkas Mia lalu mengangkat kue keluar rumah. Tidak peduli suara Slamet yang memanggilnya lantaran tidak mau di cerai.
"Kue kue..." Mia menawarkan dagangan ke sekeliling tempat tinggalnya.
"Beli..." Seorang ibu paruh baya muncul dari dalam rumah, sambil membawa piring.
"Kue yang mana Bu" Mia membuka penutup wadah memperlihatkan beberapa macam kue buatan.
"Saya milih-milih ya"
"Silahkan Bu"
Sang ibu ambil jepitan kemudian menjepit pastel, risoles, dan arem-arem, meletakkan ke dalam piring. "Jadi berapa Mbak?"
"10 biji ya Bu, 25 ribu saja" ucap Mia lalu ambil uang pas dari tangan si ibu.
"Terimakasih Bu... penglaris... penglaris" Mia bersyukur lalu memasukkan duit ke dalam dompet. Kemudian menggoes sepeda kembali.
"Mbak Sum..." Panggil seorang nenek yang sedang memegang pinggangnya, lantaran baru selesai menyapu, terasa sakit.
"Saya Nek... Nenek mau kue?" Tanya Mia lembut.
"Loh kamu tidak membawa jamu?" Nenek tampak kecewa, padahal pinggangnya sudah ngebet. Biasanya setelah minum jamu racikan Mia lantas sembuh.
"Iya, Nek. Pagi ini lagi libur jualan jamu," Mia memaparkan belum sempat ke pasar induk, karena di pasar tersebut bahan-bahan jamu lebih lengkap.
"Ya sudah... kalau begitu besok saya memesan satu botol"
"Siap Nek" Mia bersemangat, lalu menggoes sepeda kembali. Di depan para pelanggan, Mia nampak sumringah menutupi luka hatinya yang sudah menjadi borok.
Mia melintas di depan pekerja bangunan yang baru saja datang. Pekerja yang kebanyakan bapak-bapak itupun menghentikan langkah Mia. Tentu saja menanyakan jamu yang sudah biasa mereka minum untuk menambah tenaga.
"Maaf ya Pak, besok... saya berjanji akan menjual jamu" Jawab Mia, ketika akan melanjutkan perjalanan seorang pria pemilik bangunan pun datang.
"Kamu jualan apa?" Tanya pria, yang masih seumur dengan Mia. Mia sama sekali belum pernah bertemu dengan pria yang berpenampilan perlente, walaupun hanya mengenakan kaos.
"Kue Mase..."
"Coba saya lihat" Pria itu memperhatikan kue yang Mia jual. Setelah menelisik lalu minta Mia memasukkan ke dalam plastik.
"Semua Mase?" Mia bingung. Sebab kue nya masih sekitar 100 biji.
"Mau saya beli tidak?" Tanya pria itu dingin.
"Tentu boleh" Mia bersemangat lalu menghitung kue tersebut, sambil memasukkan ke dalam plastik.
"Totalnya 105 biji Mase, dibayar 250 ribu saja, selebihnya untuk bonus.
"Tidak usah ada bonus, memang tampang saya miskin?" Pria itu meletakkan uang 300 ribu, kemudian masuk lokasi bangunan, setelah pesan agar kue tersebut diberikan kepada tenaga proyek.
"Hah?? Mimpi apa aku?" Mia bengong memandangi uang 300 ribu.
~Bersambung~