Calon TUMBAL
JUMAT KLIWON, TANGGAL 19 BULAN MARET TAHUN 2015.
"SSSRRRAA.."
"SSSRRRAA.."
Angin berhembus meniup pohon bambu yang sangat rimbun dan rindang sore itu, akibat dari tiupan angin itu daun - daun pun bergesekan dan menimbulkan bebunyian, di tambah cuaca yang mendung menjadikan suasana di sana seakan suram.
Bersamaan dengan itu, suara isak tangis tampak terdengar tak jauh dari pepohonan yang rindang itu.
"Sabar ya nek, semoga almarhum pak Raden di terima di sisi Allah." Ujar seorang perempuan pada perempuan tua yang sedang menangis.
Sebuah pemakaman yang tak jauh dari dapuran pohon bambu itu sangat ramai oleh pelayat karena salah satu warga di desa itu meninggal dan di kuburkan sore itu juga. Jika meninggal nya wajar tentu tidak akan seramai itu, tapi almarhum meninggal dengan begitu banyak pertanyaan dan keganjilan.
Wajah almarhum anak nenek Rumi gosong bagai di bakar, dan separuh badan nya juga serupa. Yang misterius nya lagi ada seperti bekas ikatan tambang di leher almarhum dan di yakini bahwa almarhum meninggal karena di serang atau di incar Jin.
"Aku sudah setua ini, yang aku khawatirkan adalah nasib Jingga.." Ujar perempuan tua yang di panggil nenek Rumi, sambil memeluk cucu nya yang berusia q tahun.
"Pasti ini karena cucu nenek yang terkutuk itu, dia kan anak aneh yang lahir dari perut ibunya yang juga mati dengan aneh." Ujar tetangga nenek Rumi.
"Jangan sembarangan kau mengatai cucuku! dia anak baik - baik!" Nenek Rumi tidak terima cucu nya di katai aneh.
Mendengar nenek nya marah, gadis kecil di pelukan nenek Rumi pun semakin menangis sambil memeluk erat nenek Rumi.
"Huaaa! Huuaaa!" Suara tangisan nya terdengar memilukan.
"Shhh.. jangan nangis nak." Ujar nenek Rumi.
"Sudah.. ibu - ibu tolong jangan ribut.. Kita kan sedang di makam almarhum, jangan buat keributan. Kematian itu takdir Allah, bu.." Ujar Ustad yang memandu jalan nya pemakaman.
Ustad itu lalu menatap nenek Rumi dan berucap dengan lembut dan sopan.
"Nek, sekali lagi saya turut berduka cita, semoga almarhum di tempatkan di tempat terbaik bersama orang - orang beriman. " Ujar Ustad itu pada nenek Rumi.
"Terimakasih Ustad, terimakasih sudah membantu memakamkan Raden." Ujar nenek Rumi.
Ustad itu lantas mengusap kepala anak kecil yang merupakan cucu nenek Rumi, bernama Jingga yang sedang menangis. Gadis cilik itu sudah seperti keponakan dari Ustad itu sendiri karena ayah Jingga merupakan teman dari sang Ustad. Ustad itu berjongkok di depan gadis cilik itu dan berkata..
"Jingga, jangan terus menangisi ayah, ya nak? Biar ayah tenang di rumah Allah di Surga bersama bunda nya Jingga." Ujar Ustad itu pada gadis cilik yang terus memeluk pinggang nenek nya.
Gadis cilik itu perlahan menoleh sambil sesenggukan dan menatap ustad yang sedang mengajak nya bicara, tapi tatapan nya berpindah ke sisi kiri ustad itu yang rupanya ada wajah gosong mengerikan hitam legam berdarah - darah dan matanya menatap Jingga sambil melotot.
DEG!!
"AAAAAAA!!"
Jingga berteriak, ia pun spontan mengalihkan pandangan nya dan kembali memeluk nenek nya dengan nafas tersenggal - senggal karena takut, wajah itu terlalu mengerikan.
"Tuh, anak tidak punya sopan santun, di ajak Ustad bicara malah teriak." Ujar tetangga nenek Rumi.
Tetangga nya itu tidak tahu bahwa Jingga melihat hal mengerikan, bukan hanya tetangga nya saja, semua orang di sana tidak ada yang melihat apa yang Jingga lihat.
"Jingga, yang sopan dengan pak Ustad, nak." Ujar nenek Rumi.
"Tidak apa - apa nek, mungkin Jingga terkejut." Ujar sang Ustad, kemungkinan Ustad itu tahu apa yang Jingga lihat.
Pemakaman berjalan lancar dan akhirnya kini semua orang mendoakan almarhum ayah Jingga, Tapi Jingga bisa melihat bayangan hitam berada tepat di atas makam ayahnya. Bayangan hitam itu terus bergerak acak menyelimuti makam ayah nya. Ketika doa selesai, semua orang pun pergi dari makam itu karena hari sudah hampir Maghrib.
Hanya nenek Rumi dan Jingga yang masih berada di sana karena nenek Rumi masih menangisi kepergian putra semata wayang nya.
"Gimana nasib anakmu nanti, Den. Ibu sudah tua, kalau nanti ibu menyusulmu, Jingga dengan siapa.." Itu yang nenek Rumi terus gumam kan.
"Jinggaaaaa..."
DEG!!!
Tiba - tiba terdengar suara halus perempuan yang memanggil nama Jingga, suaranya lebih seperti bisikan tapi terdengar seram karena hanya seperti hembusan nafas, dan itu hanya Jingga yang mendengar nya.
Jingga melihat kesekeliling nya tapi tidak ada siapapun, dan hanya terdengar suara gesekan daun bambu yang tertiup angin. Jingga kembali menoleh pada nenek nya dan..
DEG!!
Jingga terkejut karena melihat sosok perempuan bergaun putih berwajah pucat pasi dengan mulut yang perlahan tersenyum mengerikan menatap kearah nya.
"Uti, ayo pulang!" Ujar Jingga, Jingga memanggil nenek nya dengan sebutan mbah putri, tapi karena dulu Jingga kecil kesulitan memanggil mbah putri, dia memanggil nya mbah uti dan keterusan menjadi uti.
"Iya nak." Ujar nenek Rumi lalu menghapus air matanya. Jingga kembali menatap perempuan mengerikan tadi tapi kini sudah tidak ada.
Nenek Rumi perlahan bangun dengan susah payah, karena tubuhnya bungkuk jadi dia agak kesusahan berdiri. Mereka lalu berjalan pergi dari makam ayah Jingga, dan setelah sudah lumayan jauh, Jingga kembali melihat bayangan hitam menyelimuti makam ayah nya, Jingga pun menghentikan langkah kakinya.
"Uti, kenapa kuburan ayah ada banyak asap hitam nya?" Tanya Jingga, nenek Rumi terkejut mendengarnya dan langsung menoleh.
Tapi nenek Rumi tidak melihat apapun, makam itu tidak terlihat asap apalagi asap hitam yang Jingga maksud. Yang terlihat hanya suasana pemakaman yang sudah gelap karena menjelang Maghrib.
"Apa asap nya masih ada, nak?" Tanya nenek Rumi.
"Masih, asap nya muter di atas kuburan ayah, ti.." Ujar Jingga.
Nenek Rumi seketika waspada dan melihat kesekeliling nya dengan ngeri, ia langsung merangkul Jingga kedalam pelukan nya. Seakan merasa ada yang tidak beres, nenek Rumi langsung menutup mata Jingga.
"Ayo pulang nak." Ujar nenek Rumi.
"Jingga jalan nya bagaimana? Uti nutup mata Jingga." Ujar Jingga.
"Hehe, tidak apa - apa.. Jingga jalan saja nanti uti yang arahkan." Ujar nenek Rumi.
"Ya sudah, uti jangan tinggal Jingga lari ya.. Jingga takut." Celetuk Jingga, nenek Rumi pun terkekeh.
"Uti saja kesulitan berjalan karena bungkuk, mustahil uti bisa lari, nak. Lagi pula uti paling sayang Jingga, tidak mungkin uti meninggalkan Jingga." Ujar nenek Rumi.
"Terimakasih uti." Ujar Jingga.
Kedua nya berjalan, nenek Rumi menutup mata Jingga agar Jingga tidak melihat hal - hal yang di takutkan oleh nenek Rumi. Tapi walau matanya di tutup Jingga merasa suara yang memanggil nama nya terus mengikuti kemana dia melangkah dan masih terus memanggil nya.
"Jinggaaaa.."
"Jinggaaaa.."
Hanya saja Jingga tidak menggubris suara itu dan terus berjalan bersama nenek Rumi.
Singkat cerita, akhirnya Jingga dan nenek Rumi sampai di rumah. Dan seperti yang kita tahu bahwa setelah kematian seseorang pastilah ada tahlilan untuk mendoakan almarhum/ almarhumah yang di laksanakan selama tujuh hari. Konon katanya jika seseorang telah meninggal, ruh nya masih berada di rumah selama tujuh hari itu, jadi anggota keluarga harus mendoakan agar ruh itu tenang.
Di rumah nenek Rumi, beberapa warga termasuk Jingga sendiri sedang membacakan Yasin dan tahlil untuk mendoakan mendiang ayah Jingga, di pimpin oleh ustad yang memimpin jalan nya pemakaman.
"KRRREETTT!!"
"BRAK!!"
Jingga menghentikan lantunan nya ketika ia mendengar suara jendela yang tak jauh dari tempat nya duduk terbuka dan tertutup sendiri, tidak hanya sekali tapi beberapa kali. Jendela rumah Jingga masih terbuat dari kayu, khas rumah - rumah jaman dulu yang belum memakai kaca.
Perlahan ia bangun dan berjalan menuju ke arah jendela untuk menutup jendela yang terus terbuka dan tertutup itu, dengan sedikit susah payah Jingga meraih ujung jendela dan menutup nya lalu menguncinya.
"Jingga." Panggil seseorang.
"Iya." Sahut Jingga, ia menengok kebelakang tapi lalu dia teriak dengan keras.
"AAAAAAAH!!!"
...BERSAMBUNG.....
Jingga bangun dan membuka matanya, ia melihat wajah sang nenek yang sedang khawatir dan juga wajah Ustad yang sedang mengoles sesuatu pada tubuh Senja.
"Uti.." Panggil Jingga pada nenek nya.
"Nak, akhirnya kamu bangun juga. Uti sudah takut kamu pingsan nya lama sekali, kamu kenapa nak?" Tanya nenek Rumi sambil mengusap - usap kepala Jingga yang berkeringat.
"Tadi Jingga melihat kepala, Uti. Kepala nya di lantai situ dan melihat kearah Jingga." Ujar Jingga, baik Ustad dan nenek Rumi pun terkejut.
Untung nya tahlilan sudah selesai, hanya para pria - pria yang akan berjaga malam ( melek) yang ada di sana, jadi tak banyak yang mendengar itu hanya beberapa orang tetangga nenek Rumi saja. Para tetangga pun menjadi takut dengan yang Jingga ucapkan, karena Jingga memang terkenal aneh.
"Tadi Jingga juga melihat ayah, Uti." Ujar Jingga, nenek Rumi pun berkaca - kaca mendengar nya.
"Ayah nya Jingga sudah tenang di rumah Allah, nak." Ujar nenek Rumi.
"Tidak Uti, ayah sedang minta tolong. Ayah sedang menangis kesakitan di sana." Ujar Jingga.
"Apa maksud nya, nak.." Ujar nenek Rumi sambil menangis.
"Tidak apa - apa, Jingga tadi cuma mimpi. Mimpi itu bunga tidur, jadi jangan Jingga pikirkan ya.. Ayah nya Jingga sudah tenang." Ujar Ustad, Jingga pun mengangguk.
"Iya pak de." Ujar Jingga, Jingga selalu memanggil Ustad itu dengan sebutan pak de (paman).
Dan waktu pun berlalu, Jingga sudah tidur di kamar nya dan nenek Rumi pun kembali keluar menghampiri Ustad. Ustad itu melihat kearah nenek Rumi lalu bangun dari duduk nya menghampiri nenek Rumi.
"Kenapa nek?" Tanya Ustad.
"Pak Ustad, pak Ustad kan dekat dengan Raden sejak kecil, saya juga sudah anggap pak Ustad seperti keluarga. Tolong lah Jingga, pak Ustad." Ujar nenek Rumi.
"Kalau nenek sudah anggap saya keluarga, kenapa panggil saya pak Ustad? (sambil terkekeh) Panggil saja saya dengan nama kecil saya seperti dulu, nek." Ujar Ustad itu, nenek Rumi pun sedikit berat.
"Tak pantas rasanya, karena bagaimanapun kan kamu sudah menjadi Ustad." Ujar nenek Rumi.
"Ustad juga manusia, nek. Panggil saja saya dengan nama saya, saya lebih nyaman saat nenek memanggil saya dengan nama." Ujar Ustad, nenek Rumi tampak menghembuskan nafas nya lalu mengangguk.
"Baiklah.. Nak Ali." Ujar nenek, menyebut nama asli ustad itu.
"Tolonglah Jingga, nak. Saya rasa Jingga bisa melihat hal yang tidak bisa semua orang lihat." Ujar nenek Rumi, Ustad Ali tampak sejenak terdiam.
"Maksud nenek?" Tanya Ustad. Nenek Rumi mendekat dan berbisik pada Ustad Ali.
"Jingga.. dia sepertinya bisa melihat setan!" Bisik nenek Rumi. Mendengar itu sang Ustad pun tersenyum.
"Indigo, nek." Ujar Ustad Ali.
"Ya! Tolonglah Jingga Nak. Jingga masih kecil, dia selalu di anggap aneh dan terkutuk oleh semua orang karena kelahiran nya yang tidak lazim. Sekarang dia sering berkata aneh - aneh, saya takut Jingga sendirian sampai besar nanti." Ujar nenek Rumi.
"Itu adalah kelebihan yang Jingga miliki, nek. Allah memberikan itu pada Jingga pasti bukan tanpa sebab." Ujar Ustad.
"Tapi dia jadi tidak punya teman, semua orang tua melarang anak nya bermain dengan Jingga, karena sedari Jingga lahir selalu di katai terkutuk." Ujar nenek Rumi dengan sedih.
Ustad Ali tampak sedikit berpikir, lalu kembali menatap nenek Rumi.
"Sebenarnya Jingga memiliki kelebihan itu sejak dia lahir, nek. Dia bisa melihat mereka yang tak terlihat sejak Jingga mulai bisa melihat dunia, jadi Jingga tidak bisa membedakan yang mana manusia dan yang mana.. ghoib." Ujar Ustad.
"Ghoib? Kenapa saya tidak tahu?" Tanya nenek Rumi, dia terkejut.
"Almarhum Raden yang meminta agar tidak di beri tahukan pada siapapun, termasuk nenek. Karena Raden tidak mau nenek jadi takut juga, Jingga itu spesial nek, bukan aneh." Ujar Ustad itu.
"Mana mungkin saya takut, dia cucu saya. Tolonglah Jingga, nak Ali... Karena semakin besar dia semakin sering berteriak dan pingsan sendiri." Ujar nenek Rumi.
"Kalau begitu, saya akan mencoba menutup mata batin Jingga. Semoga setelah mata batin nya di tutup Jingga bisa hidup dengan damai." Ujar Ustad.
"Iya, tutup saja. Kasihan dia, selalu ketakutan." Ujar nenek Rumi, ustad pun mengangguk.
"Setelah tujuh hari nya Raden, kita akan menutup mata batin Jingga, nek." Ujar Ustad.
Lalu tujuh hari kemudian..
Jingga sedang duduk di teras rumah nya sore itu, rumah Jingga terletak memisah dari keramaian karena rumah itu berada ujung kampung yang sepi. Jarak dari rumah itu dengan tetangga nya pun lumayan jauh, karena masih jarang ada rumah di sana.
"Jingga." Panggil sebuah suara.
DEG!
Jingga langsung meremang, karena dia takut kejadian di malam tahlilan terulang.
"Jingga." Lagi suara itu memanggil, tapi Jingga tidak menoleh sama sekali.
Sampai tiba - tiba sebuah tangan menepuk pundaknya, Jingga pun terlonjak kaget.
"Kok melamun? Pak de panggil - panggil dari tadi." Ujar ustad Ali.
Ternyata yang memanggil Jingga adalah Ustad Ali, Jingga menghembuskan nafas nya lega lalu tersenyum sesaat kemudian. Ustad Ali lantas duduk di samping Jingga dan ikut melihat pemandangan di samping rumah itu.
"Pak de ngagetin, biasanya kan pak de ucap salam dulu." Ujar Jingga, ustad Ali hanya tersenyum.
"Kamu sedang apa? Kenapa duduk sendirian?" Tanya Ustad Ali.
"Sedang menunggu pak de, kata uti pak de mau bantu Jingga supaya sembuh, memang nya Jingga sakit apa, pak de?" Tanya Jingga.
"Assalamualaikum."
DEG!!
Tiba - tiba terdengar suara ustad Ali yang mengucap salam dari arah depan rumah, Jingga pun pias seketika setelah melihat ustad Ali yang berdiri di depan rumah nya, lalu siapa yang sebelumnya mengajak Jingga bicara??
Jingga perlahan melirik kesampingnya, di tempat ustad Ali yang dia ajak bicara itu duduk. Dengan ekor matanya, Jingga bisa melihat sosok yang duduk di samping nya itu kini berubah menjadi menjadi sosok yang mengerikan yang dia lihat di makam ayah nya.
Tiba - tiba nenek Rumi muncul dan sosok itu pun tidak terlihat lagi oleh Jingga, dengan cepat Jingga berlari menyusul nenek Rumi yang berjalan menuju keluar.
"Wa'alaikumsalam." Sahut nenek Rumi.
Ustad Ali melihat Jingga yang seakan ketakutan, Ustad Ali lalu melirik ke asal mula Jingga dan nenek Rumi muncul, tapi tidak ada apapun. Bahkan Ustad Ali juga melirik kesana kemari dan akhirnya ia melihat setengah wajah perempuan terbakar yang mengintip di jendela, yang juga menatap kearah nya.
'Apa sebenarnya yang terjadi, kenapa mereka terus mengikuti Jingga.' Batin Ustad Ali.
Dan singkat nya kini mereka sudah masuk kedalam rumah nenek Rumi dan duduk di ruang tamu. Rumah yang sederhana itu juga hanya memiliki kursi tua sebagai tempat duduk mereka.
"Pak de, katanya Jingga mau di sembuhin, ya? Memang nya Jingga sakit apa?" Tanya Jingga polos.
"Jingga tidak sakit, nak." Ujar Ustad Ali.
"Kalau tidak sakit, kenapa Jingga mau di obati?" Tanya Jingga lagi, Ustad Ali tersenyum dan mengusap kepala Jingga.
"Nanti kamu akan tahu, sekarang pak de mau tanya - tanya dulu, boleh?" Tanya Ustad Ali, Jingga pun mengangguk sambil tersenyum.
"Jingga, apa Jingga melihat makhluk dengan wajah terbakar?" Tanya Ustad, seketika Jingga tertegun.
"Jangan takut, pak de tahu kamu melihat nya. Apa dia mengganggumu?" Tanya Ustad Ali.
"Dia terus memanggil nama Jingga, pak de. Jingga baru kali ini melihat yang seram seperti itu, dulu tidak." Ujar Jingga.
"Ada berapa yang sudah Jingga lihat?" Tanya Ustad Ali.
"Banyak, Jingga tidak bisa menghitung nya. Mereka datang dan pergi, tapi yang dulu tidak seram. Ayah bilang.. mereka juga ciptaan Allah, Jingga bahkan berteman dengan bibi cantik." Ujar Jingga.
Nenek Rumi yang mendengar itu sangat terkejut, ia sama sekali tidak tahu apapun yang sudah Jingga lihat selama ini.
"Bibi cantik?" Tanya Ustad Ali.
"Iya, tapi bibi cantik tidak kelihatan lagi, sudah dua minggu bibi cantik tidak muncul. Sekarang yang muncul bibi jelek yang menyeramkan." Ujar Jingga. Yang Jingga maksud adalah wanita dengan wajah terbakar yang terus mengikutinya.
"Jingga juga melihat asap hitam di atas kuburan ayah, dan juga ada satu bibi lagi yang juga seram." Ujar Jingga.
Ustad Ali seakan mencerna ucapan Jingga, ia pun menghembuskan nafas nya lalu tersenyum pada Jingga.
"Jingga.. kalau pak de buat Jingga tidak melihat mereka lagi, Jingga mau?" Tanya ustad Ali.
"Mau.. tapi nanti Jingga tidak bisa melihat bibi cantik selamanya dong?" Ujar Jingga.
"Pak de panggil dia, mau? Yang Jingga lihat itu bukan rupa aslinya, Jingga harus melihat rupa asli bibi itu." Ujar ustad Ali.
"Mau, Jingga kangen bibi cantik." Ujar Jingga.
"Tunggu nanti selepas sholat isya, pak de datang lagi ya.." Ujar Ustad Ali.
"Iya pak de." Sahut Jingga.
'Raden, sebenarnya apa penyebabmu meninggal..' Batin Ustad Ali.
...BERSAMBUNG.....