SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Mata Batin Sang Peramal Tarot

Mata Batin Sang Peramal Tarot

TAROT

Namaku Riska, Riska Radiva.

Aku adalah seorang gadis biasa yang masih duduk di bangku SMA.

Semula, tidak ada yang spesial dari kisah seorang gadis pendiam dan introvert sepertiku ini. Tidak ada yang bisa ku ceritakan untuk menjadi sebuah kisah yang menarik. Sampai suatu peristiwa terjadi dalam hidupku. Peristiwa yang mengubah cerita ku yang awalnya membosankan, menjadi sedikit menegangkan.

Pada BAB awal ini, akan ku ceritakan bagaimana aku bisa mendapatkan semua kutukan ini. Ya, aku menyebutnya sebagai kutukan, karena semua yang aku lihat, semua yang aku rasakan, sangat menyiksa kehidupanku.

***

Semua berawal ketika aku, dan keluarga ku menerima sebuah berita duka yang datang dari nenek ku yang tinggal di luar kota.

Ibu dari ayah ku, dikabarkan meninggal dunia sore itu.

Aku yang baru saja pulang sekolah, diminta untuk bersiap pergi ke rumah nenekku.

"Kamu cepetan ganti baju ya, kita mau ke rumah nenek." Kata ibu ku yang saat itu sedang menelepon ayahku.

"Loh kenapa Bu? Kita mau liburan disana?" Tanya ku polos.

Sembari berjalan menutup pintu depan rumahku, ibu menjelaskan kalau dia baru saja menerima telepon dari bibi ku, atau adik paling bungsu ayahku, yang masih menumpang tinggal di rumah nenek.

Kami memang tidak begitu sering mengunjungi nenek dari ayahku. Selain karena rumahnya yang jauh dari tempat kami tinggal, juga karena nenek dari ayahku itu agak sedikit galak dan entahlah seperti kurang begitu Wellcome pada kami sekeluarga. Padahal, ayahku adalah anak pertama nya. Aku sendiri kurang paham, apa sebenarnya alasan nenek selalu terlihat galak dan tidak ramah seperti nenek dari ibu ku.

"Jadi kita nginep disana Bu?" Tanya ku lagi sembari berjalan masuk ke dalam kamar ku yang letaknya ada di lantai dua rumah ini.

"Iya, sampai tiga hari mungkin kita disana. Nanti ibu izin ke sekolah kamu. Ibu telepon guru kamu nanti."

Tanpa banyak pertanyaan lagi, sore itu aku dan keluarga ku akhirnya berangkat ke rumah nenek yang jarak perjalanannya memakan waktu sekitar hampir 4 jam menggunakan mobil.

Aku, adalah seorang anak tunggal. Jadi, kami hanya berangkat bertiga sore itu.

Singkat cerita, kami sampai di rumah nenek sekitar hampir jam 10 malam. Kami bahkan tidak sempat melihat jasad nenek untuk terakhir kali nya.

Katanya, ayah sudah mengijinkan kepada adik-adiknya untuk menyegerakan prosesi penguburan nenek.

Saat kami datang, kebetulan masih ada beberapa tetangga yang baru saja mengikuti tahlil di rumah nenek. Aku sedikit canggung tentunya. Bertemu banyak orang baru, dan basa basi bukan lah ke ahlian ku pada waktu itu.

Aku dan ibu diantar bibi ku untuk beristirahat di kamar mendiang nenek ku. Ya. Malam itu, aku tidur bersama ibu di kamar mendiang nenekku.

Karena kamar yang ada di rumah nenek ku ini terbatas, hanya ada empat kamar. Kamar depan adalah kamar nenekku, kamar tengah adalah kamar bibi ku. Sementara dua kamar lain yang ada di belakang, dulunya adalah kamar ayah dan kamar adik laki laki ayahku atau om ku.

Ayahku, adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tapi dari semua cucu nenek, aku adalah cucu perempuan satu satunya.

Anak dari Om ku, atau anak kedua dari nenekku, memiliki dua anak. Anak pertamanya seumuran dengan ku hanya beda setahun, namanya Dewa. Anak kedua om ku itu baru sekitar kelas enam SD. Dua dua nya adalah anak laki laki. Sementara bibi ku, adik paling bungsu dari ayahku, baru saja melahirkan sekitar enam bulan lalu. Dan kebetulan Bayi nya pun lelaki. Jadi, kami semua harus berbagi kamar untuk sementara kami tinggal di rumah nenek.

Sebenarnya aku tidak takut, aku cuma teringat dulu, aku selalu di marahi kalau masuk ke kamar nenekku ini. Entahlah apa alasannya. Setiap aku dan keluarga ku liburan atau hanya sekedar mengunjungi rumah nenek, beliau paling murka kalau ada cucu nya yang masuk ke dalam kamar pribadi nya ini. Bahkan ayah dan adik adik nya saja, dilarang keluar masuk kamar nenek ku kalau tidak terlalu penting.

Bisa dibilang, kamar adalah wilayah paling rahasia bagi beliau.

Ya, akhirnya malam itu aku dan ibuku tidur di kamar nenek ku untuk pertama kali nya.

"Nanti ibu nyusul kalau sudah ngantuk, ibu temani ayah kamu dulu, gak enak masih banyak tamu di depan." Ucap ibu ku saat kami berdua masuk ke dalam kamar nenek untuk menaruh tas pakaian yang kami bawa dari rumah.

Setelah menaruh tas berisi pakaian milikku dan orang tuaku, akhirnya aku memutuskan untuk merebahkan badanku di kasur bekas nenekku.

Tidak ada perasaan takut sama sekali waktu itu, malah sebaliknya, yang muncul dalam benakku malah perasaan kasian. Ya, kasian kepada mendiang nenekku yang harus hidup sendirian setelah ditinggalkan oleh suaminya, yang sudah meninggal lebih dulu sepuluh tahun yang lalu. Ditambah lagi, anak anak laki laki nya merantau ke kota lain, dan anak perempuan satu satunya pernah merantau setelah kakekku meninggal, bibiku pernah bekerja di luar negeri untuk beberapa tahun setelah sepeninggalnya kakek.

"Kasian juga ya nenek, tidur di kasur sebesar ini sendirian setiap malam." Gumam ku dalam batin.

Mataku memindai ke sekitar kamar yang hampir semua perabotan dan furniture nya terlihat tua. Sepertinya kualitas barang produksi jaman dulu memang bagus, buktinya lemari kayu dari jati, ranjang kayu dan meja rias nenekku semua yang terbuat dari kayu produksi jaman nenekku muda, masih terlihat bagus dan kokoh.

"Beda sekali dengan produk zaman sekarang." Benakku.

Mataku kemudian terpaku pada sebuah peti kayu seukuran meja TV yang disimpan di pojok dekat jendela kamar nenek.

Peti yang memiliki panjang hampir dua meter itu digunakan untuk menaruh beberapa benda seperti vas bunga, bingkai foto dan beberapa benda kecil lainnya di atasnya. Tapi, aku lebih penasaran dengan isi di dalam petinya.

Rasa kantukku hilang, aku bangun dan mendekati peti tersebut.

Ukurannya unik, seperti sebuah aksara Jawa yang di padukan dengan beberapa gambar abstrak seperti tokoh pewayangan.

Ada gagang kecil dari kayu di atas peti itu, aku yakin ini tidak terkunci. Hanya saja aku harus membereskan beberapa barang di atasnya.

Singkatnya, aku berinisiatif untuk mengambil kardus dari dapur. Bibi ku sempat bertanya untuk apa, aku berdalih untuk memasukan beberapa bingkai foto nenek untuk kami bawa pulang untuk kenang-kenangan.

Satu persatu, aku masukan barang yang terpajang di atas peti ini sampai semuanya kosong. Lalu, setelah semua kosong, barulah aku mencoba membuka kotak peti ini.

Krak.

Engselnya cukup alot, sampai berderit saat aku mencoba membukanya.

Bau kamper menyatu dengan bau kayu lapuk, menusuk hidungku saat kubuka kotak peti ini. Isinya barang barang milik nenekku entahlah, banyak dan bertumpuk, seperti barang yang sudah tidak terpakai.

Baju baju kebaya usang, kain kain seperti untuk pertunjukan tari atau entahlah, beberapa topeng kayu dan sebuah buku bersampul coklat dari kulit yang sudah sangat lapuk yang mencuri pandanganku.

Buku sebesar kitab yang sampulnya terlihat lapuk, dengan tali yang mengikat melingkari buku itu, tidak memiliki tulisan atau judul di covernya, polos.

Rasa penasaranku kepada buku ini yang akhirnya membuat hidupku berubah.

Sedetik setelah aku buka ikatan tali yang melingkar pada buku ini, dan ku lihat isi dalamnya lalu.

Tapppp...

Lampu di seluruh rumah nenek ku tiba tiba mati. Seperti mati lampu.

Sebuah kebetulan yang membingungkan.

Aku mendelik ke sekitar, tapi masih duduk di tempat yang sama. Sampai kemudian sudut mataku melihat sesuatu yang berkelip dari dalam halaman buku di tanganku.

Sebuah kartu yang bercahaya, perlahan demi perlahan keluar dari dalam buku yang kubuka ini. Mataku tidak berbohong, aku melihat kartu kartu yang bercahaya itu terbang melingkari tubuhku, aku tidak tahu pasti berapa jumlahnya, hanya saja, setiap kartu yang terbang mengelilingiku ini, memiliki gambar yang berbeda. Entahlah, aku tidak mengerti apa itu, yang jelas semua kartu itu bercahaya.

'Gunakan kekuatan ini untuk kebaikan. Riska'

"Ah..." Aku berteriak kaget ketika di telinga ku ada suara yang berbisik, demi tuhan, seperti suara nenek.

Lalu,sedetik kemudian, lampu kembali menyala dan kartu kartu yang tadi terbang mengelilingiku, jatuh dalam satu tumpukan. Aneh.

***

Ten of Pentacles

Malam itu, menjadi kali pertama nya aku melihat kejadian yang tidak masuk akal. Sampai akhirnya aku menyadari, bahwa semua ketidak masuk akalan dalam hidupku ternyata baru dimulai malam itu.

Buku bersampul coklat yang terlihat usang itu, adalah sebuah buku turun temurun yang dimiliki nenekku dari nenek moyangnya, dan didalamnya, berisi tumpukan kartu, yang kita semua kenal sebagai kartu TAROT.

***

Setelah kejadian malam itu, aku tidak ingin lagi membuka kotak peti milik nenekku lagi. Buku aneh itu pun kembali aku masukkan ke dalam peti. Semuanya aku bereskan ke posisi semula. Dan aku fikir semua sudah selesai.

Pagi nya, saat aku terbangun dan beraktivitas seperti biasa, mandi dan sarapan, entah kenapa buku yang sudah aku masukkan ke dalam peti kotak itu, muncul lagi di atas kasur, seperti ada orang yang menaruhnya dengan sengaja.

Sebenarnya aku ragu, tapi rasa penasaran lagi lagi mendorongku untuk kembali membuka buku itu.

Kartu kartu yang semalam berterbangan mengelilingiku, pagi ini, terlihat normal dan tidak ada kejadian kartu berterbangan. Semuanya tersusun rapi di dalam buku yang lebih seperti sebuah kotak untuk menyimpan kartu.

Pagi ini, setelah aku mengamati lebih jelas, Aku baru sadar ini bukanlah buku, ini adalah kotak berbentuk buku, yang tengahnya berlubang, untuk menyimpan tumpukan kartu.

"Tarot?" Bisikku. "Sejak kapan nenek punya Kartu tarot? Apa nenek bisa membaca tarot?."

Aku mengambil sebuah kartu secara acak dari dalam buku itu.

TEN OF PENTACLES 

Begitulah yang tertulis di bawah kartu seukuran genggaman tanganku ini. Di atas tulisan itu, terlihat sebuah gambar yang berwarna warni dan dipenuhi dengan simbol bintang di dalam lingkaran.

Setidaknya, ada sepuluh bintang yang terkurung di dalam lingkaran. Dibawah gambar bintang bintang itu, berdiri seorang lelaki dan perempuan yang terlihat bahagia, seperti sedang tersenyum, entahlah.

Aku tidak mengerti apa arti gambar ini, ya karena memang aku bukanlah peramal kartu tarot. Sampai sedetik kemudian...

Kepalaku seperti di tarik ke dimensi lain, aku melihat sebuah kejadian, mungkin sebuah vision yang hanya terjadi di kepalaku. Entahlah yang jelas saat ini, aku melihat ayah dan ibuku, bersama adik adiknya duduk di atas karpet, di ruang tamu rumah nenekku.

Aku yakin betul ini rumah nenekku saat ini. Karena sofa yang biasanya ada diruang tamu sedang dipindahkan ke ruangan lain, jadi mereka semua duduk bersila di atas karpet.

Di hadapan mereka, ada seorang yang tidak aku kenal, seperti nya masih sanak saudara atau tetangga atau entahlah aku tidak mengenali lelaki paruh baya yang mungkin usianya sudah diatas 40 tahun.

Dalam penglihatan ku, aku melihat pria itu sedang membicarakan sesuatu tentang warisan peninggalan nenek, kepada Ayah dan om ku.

Aku melihat semuanya dengan jelas, selama beberapa detik lalu aku kembali ke tubuhku yang tengah duduk di atas kasur nenek, dengan tangan ku yang masih memegang kartu TEN OF PENTACLES tadi.

***

"Ka, bantu ibu yu, bawain makanan ke ruang tamu." Kata ibu ku yang tiba tiba masuk ke kamar nenek.

Aku cepat cepat memasukkan kembali kartu itu kedalam buku dan segera menyembunyikan buku itu ke dalam tas pakaianku.

Di dapur, ibu ku dan bibi ku sedang menyiapkan beberapa suguhan di atas piring untuk dibawakan ke ruang tamu.

"Buat apa Bu bawa banyak banyak ke ruang tamu?" Tanya ku yang sudah memegang dua buah piring berisi makanan kering.

"Ada tamu, lagi ngobrol sama ayah sama om kamu di depan." Jawab ibu.

Aku mengangguk tidak bertanya lagi. Barangkali tradisi disini memang begini, setiap ada tamu yang datang untuk takziah, kami selalu menyuguhkan makanan kecil di atas piring makan.

Pelan-pelan aku membawa piring piring ini ke ruang tamu, dan ketika sampai di ruang tamu, mataku seperti tidak percaya dengan apa yang ku lihat.

"Orang itu yang tadi aku lihat " Gumamku dalam batin sembari memelototi ke arah lelaki paruh baya yang akan membicarakan masalah warisan di dalam penglihatan ku tadi.

Ah, aku pikir tidak mungkin, masa iya semuanya akan terjadi seperti dalam bayanganku.

Aku menaruh beberapa piring di atas karpet, di tengah antara ayah, om dan tamu tersebut yang duduk melingkar saling berhadapan.

"Permisi..." Bisikku sembari kembali lagi ke dapur untuk mengambil beberapa piring lagi.

"Bu, itu tamu siapa?" Tanya ku langsung kepada ibu.

Ibu ku melirik. "Ih, kepo deh," ucapnya sembari terkekeh menggodaku.

"Mau ngomongin warisan nenek ya?"

Ibuku melotot kaget, wajahnya seperti orang terkena flu, langsung merah. "Hush tau dari mana sih kamu." Ucapnya.

Aku mengerutkan kening lalu, kembali membawa piring piring berisi makanan lagi, ke ruang tamu.

Kali ini, aku buka lebar lebar telingaku, mencoba menguping obrolan yang mereka bicarakan.

Pada titik ini, aku benar benar merasa bingung dan tidak percaya, semua pembicaraan yang kudengar, sama persis dengan yang ku lihat di bayanganku tadi.

Aku cepat cepat kembali ke kamar ku.

Aku kembali mengeluarkan buku berisi kartu tarot yang kusimpan di dalam tas ku. Tidak ingin percaya tapi, semuanya terjadi persis seperti yang kulihat.

Kali ini, aku terkejut melihat tumpukan kartu itu, seingat ku, tumpukan paling atas adalah kartu terakhir yang tadi kupegang, TEN OF PENTACLES. Tapi, saat ini urutannya berubah dengan sendirinya.

Kartu lain yang kulihat saat ini adalah kartu bergambar sebuah mercusuar atau sebuah bangunan tinggi seperti tower yang tersambar petir, dengan dua orang yang melompat dari atasnya menghindari api yang membakar puncak mercusuar itu.

"The Tower?" Bisikku saat melihat tulisan di bawah kartunya.

Tapi anehnya, kali ini aku tidak melihat apa apa. Tidak seperti sebelumnya.

Aku menarik nafas sejenak lalu melihat lagi kartu itu dan mencoba menutup mata, tapi tidak ada yang terjadi.

"Kenapa ini? Apa tadi cuma kebetulan saja ?" Gumamku.

Aku mengembuskan nafasku pelan, sembari memutuskan untuk memasukkan kembali kartu THE TOWER yang ada di tanganku ke dalam tumpukan kartu itu lagi.

Tapi, tiba tiba.

Prang...

"GAK BISA GITU MAS! WARISAN ITU HARUS DIBAGI RATA!"

Aku mendengar suara teriakan dan sesuatu yang pecah bergelimpangan dari arah ruang tamu, suara teriakan itu, seperti suara om ku. Adik ayahku.

Aku buru buru memasukkan kartu yang ada di tanganku ke dalam saku celana.

Cepat cepat aku keluar melihat sumber keributan.

Ibuku, bibiku dan istri dari om ku sedang melerai perdebatan antara om dan ayahku. Mereka berdua terlihat sama sama emosi, berdiri dan membiarkan tamu dihadapan mereka tetap duduk.

"Serakah kamu mas! Kalau kamu mau semuanya silahkan ambil semua!" Suara om ku bergema keras.

Om Baskara namanya, anak kedua nenekku. Aku belum pernah melihatnya marah seperti ini.

Ayahku mengepalkan tangannya keras. Aku cepat cepat mendekat dan memegang tangan ayahku.

"Yah... Tenang." Bisikku sembari memegangi tangan ayahku yang sudah sangat emosi.

Tanpa ada yang menjelaskan padaku, kenapa keributan ini bisa terjadi. Lagi-lagi aku seperti melihat sesuatu.

Entahlah aku fikir ini hanya terjadi di kepalaku.

Aku melihat, ayah dan om ku mulai bersitegang saat tamu yang ternyata adalah seorang notaris keluarga nenek, yang dipercaya sebagai perwakilan nenek untuk membagikan harta warisannya kepada anaknya, memberitahukan pembagian warisan milik nenek ternyata jatuh ke tangan ayahku semua.

Hampir seratus persen semua kekayaan nenek berupa ratusan hektar tanah kebun di kampung ini, dan beberapa petak rumah kontrakan, semuanya di serahkan kepada ayahku.

Dari situlah keributan antara ayah dan om ku terjadi. Entahlah, padahal semasa hidup, aku pikir nenekku lebih sayang kepada om ku.

Beberapa kali aku lihat nenek membentak dan memarahi ayah saat kami sedang berkunjung dan menginap di rumah nenek. Tapi, memang ayahku ini tidak pernah melawan atau menyimpan dendam pada nenek, sekalipun ia dimarahi didepan banyak orang, atau saudara-saudaranya.

Sampai kemudian, aku kembali tersadar, karena tiba tiba aku merasa sesuatu yang panas di dalam kantong celanaku, kartu yang tadi kusimpan di kantong celanaku, seperti memancarkan aura panas.

Aku menahan agar tidak membuat orang lain semakin tegang. Sampai sedetik kemudian, ayahku menarik nafas pelan dan memutuskan untuk tidak menanggapi ocehan adiknya. Ia kembali duduk dan menenangkan dirinya.

***