SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Rumah Tepi Sungai

Rumah Tepi Sungai

1. Sepucuk surat

Akhir bulan Desember, hujan begitu lebat mengguyur kabupaten T, di daerah pesisir selatan Jawa Timur. Pagi yang seharusnya membawa semangat untuk mengawali aktivitas seharian, nyatanya terasa lebih muram dan kelam saat ini.

Bayu Khairil, duduk di sofa dengan segelas kopi arabica hangat yang mengepulkan asap putih tipis di hadapannya. Laki laki berusia tiga puluh tahun itu tengah asyik membaca sebuah buku usang. Sesekali dia mengusap kedua mata birunya. Terdengar pula hembusan nafas yang terasa berat, seakan memberi penegasan dia sedang gundah kali ini.

Buku usang yang dia baca hampir sampai di halaman terakhir. Dan kegelisahan semakin terlihat jelas di rona wajahnya. Tinggal beberapa lembar lagi untuk menuntaskan membaca buku yang dia dapatkan beberapa hari yang lalu itu.

Tok tok tok

Terdengar sebuah ketukan dari pintu depan. Bayu memicingkan matanya, bertanya dalam hati, siapa gerangan yang bertamu di tengah hujan seperti saat ini?

Bayu meletakkan buku usang di tangannya. Dia berjalan perlahan ke arah pintu depan. Bayu mengintip dari jendela di samping pintu, dia penasaran siapa yang telah mengetuk pintu rumahnya.

Seorang laki laki, memakai jas hujan berwarna oren terlihat berdiri mematung di depan pintu. Di tangannya nampak sebuah benda terbungkus plastik hitam, digenggam dengan begitu erat.

Tok tok tok

"Permisii, . .pakett,"

Terdengar suara dari balik pintu. Rupanya kurir pengantar paket yang datang. Bayu segera menarik gagang pintu, dan serta merta angin yang sangat dingin menerobos masuk bersamaan dengan pintu kayu jati yang terbuka.

"Paket untuk Pak Bayu Khairil," Ujar kurir membaca tulisan yang tertempel di atas bungkusan berwarna hitam. Tulisan terlihat basah dan sedikit luntur terkena rintik hujan.

"Paket?" Bayu mengernyitkan dahi. Dia merasa sedang tidak memesan apapun.

"Iya, ini ada paket untuk atas nama Bayu Khairil," Ujar sang kurir sambil menyodorkan benda berbungkus plastik hitam di tangannya.

Sedikit ragu, akhirnya Bayu menerima paket tersebut. Sambil tersenyum sekilas, kurir segera beranjak pergi meninggalkan Bayu yang masih berdiri termenung memperhatikan benda hitam yang kini ada di genggaman tangannya.

Sebuah paket berbentuk kotak, semacam box kardus yang terasa ringan. Ada perasaan curiga dan penasaran bercampur menjadi satu di hati Bayu. Sebagai seorang petugas kepolisian, Bayu memiliki insting tajam yang membuatnya lebih waspada dan hati hati. 

"Paket di hari minggu? Oh, tunggu. . .," Bayu terperanjat, seakan baru teringat sesuatu. Dia mengedarkan pandangannya, mencari sosok kurir yang tadi berada di hadapannya. Namun kini, kurir itu sudah lenyap, hilang tak berbekas.

Bayu menyadari, di daerah tempat tinggalnya tak ada ekspedisi ataupun kurir yang mengantarkan paket di hari minggu. Apalagi di jam yang terlampau pagi seperti saat ini.

Bayu akhirnya memutuskan membuka paket yang ada di tangannya itu. Rasa penasarannya sudah tak tertahankan. Dengan sedikit kasar, dia membuka plastik hitam pembungkus benda misterius itu.

Dan benar saja, di dalamnya terdapat sebuah box karton berwarna coklat tua. Ada sebuah pengait di ujungnya. Bayu menarik pengait dan terbukalah box tersebut.

Sepucuk surat dan sebuah foto. Foto yang tidak asing, tercetak kecil dengan resolusi gambar yang diperbaiki. Dalam foto terlihat beberapa anak berseragam putih abu abu berdiri berjajar di depan papan tulis yang bertuliskan XI IPA 5.

Bayu menemukan dirinya dalam foto tersebut. Foto yang membuat Bayu bernostalgia, teringat teman teman sekelasnya waktu di SMA dulu.

Kemudian Bayu beralih memperhatikan sepucuk surat yang di gulung serta ditali dengan seutas benang berwarna emas. Bayu menarik benang tersebut, hingga akhirnya gulungan surat itu terbuka. 

Semakin aneh saja melihat surat yang sudah terbuka. Surat tersebut tidak ditulis tangan ataupun diketik komputer dengan rapi. Tulisan dalam surat terlihat seperti potongan kata dan kalimat di koran yang dipotong kemudian ditempelkan pada selembar kertas.

Bayu bergegas membaca isi surat tersebut.

Hallo

Apa kabar kawan kawanku?

Semoga kalian dalam keadaan sehat dan bahagia ya.

Masih ingat denganku?

Aku adalah orang yang mengambil foto yang sedang kalian pegang dan lihat saat ini

Foto kelas kita, XI IPA 5.

Yah, aku memang nggak ada dalam foto itu, tapi aku yakin kalian tidak lupa denganku

Aku adalah Zainul Rikhman, tapi sekarang semua orang memanggilku Zainul Rich man

Ha ha

Kalian mungkin sudah baca berita, penulis cerita bertema bullying yang bukunya tersohor

Orang paling kaya di Kabupaten T tahun 2021, yang tinggal di rumahnya yang terletak di pedalaman hutan

Yah, itu adalah aku

Untuk apa aku mengirimkan surat aneh ini pada kalian?

Jawabannya karena aku suka sesuatu yang aneh aneh dan unik

Aku berniat mengundang kalian semua ke istanaku

Ke rumahku, rumah yang terletak di tepian sungai di tengah hutan yang sangat eksotis dan damai

Aku ingin berbagi dengan kalian, sungguh

Aku bisa menjadi seperti sekarang ini juga berkat kalian

Kalau kalian bersedia datang, lusa berangkatlah

Ada jamuan special untuk kalian

Juga aku ingin membagi sedikit uangku untuk kalian

Kalau kalian bersedia mengunjungiku aku akan mentransfer 300 juta rupiah ke rekening kalian

Jangan khawatir, aku tidak sedang membual

Begitu kalian sampai di rumahku, 100 juta akan langsung masuk ke rekening kalian

Sisanya akan kuberikan secara cash jika kita sudah bertemu

Sampai jumpa di rumahku ya

Aku rindu kalian, sungguh

Bayu membaca dengan seksama surat tersebut. Dia menopang dagu, terlihat memikirkan sesuatu. Instingnya sebagai seorang petugas kepolisian seperti memberi peringatan untuk berhati hati.

Bayu meraih HP di atas meja. Dia mencoba menelepon seseorang.

"Hallo," sebuah suara yang terdengar lembut menyapa melalui sambungan telepon.

"Hei, emm aku mau tanya. Apa kamu mendapat undangan dari Zainul?" Bayu bertanya, wajahnya semakin terlihat gusar.

"Iya nih. Baru juga aku buka surat undangannya,"

"Baiklah, sepertinya Zainul ingin mengumpulkan teman SMA nya dulu," Bayu menghela nafas.

"Kenapa? Kamu terdengar tidak suka kita reunian?"

"Yah, berkumpul dengan mereka bukan ide bagus menurutku. Masa lalu yang kurang baik untuk dikenang, apalagi untuk Zainul," Bayu terdiam setelah mengucap kalimatnya. Wajahnya terlihat sendu.

"Oke, kita sambung lagi obrolannya lain waktu. Bye," Bayu menutup teleponnya.

Bayu kembali meraih buku usang yang tadi dia letakkan di sudut sofa. Dia meneruskan membaca buku yang tadi sempat tertunda. Sampailah dia di halaman terakhir, dan tiba tiba saja butir air mata menetes perlahan membasahi pipi petugas kepolisian yang masih betah melajang itu.

Sementara itu di tempat lain, satu persatu alumni kelas XI IPA 5 mendapatkan paket yang sama dengan yang didapatkan oleh Bayu. Sebuah box dengan foto dan sepucuk surat di dalamnya.

Setiap orang yang mendapatkan surat undangan itu terkecuali Bayu, nampak senang dan bahagia. Uang yang dijanjikan dalam surat tersebut memang menggiurkan. 

Tak ada yang curiga bahwa surat undangan itu akan mengantarkan mereka pada sebuah tragedi. Manusia seringkali lupa dengan kejahatan yang telah diperbuatnya. Mereka sering membungkus perilaku buruk dengan dalih bergurau. Namun mereka lupa, hati yang terlanjur luka bagaikan bara api yang tetap menyala menunggu pemantik untuk membakar semua yang telah melukainya.

Bersambung ___

2. Guru BK

Pukul tiga sore, Bayu memacu motor maticnya membelah kabut yang entah bagaimana nampak begitu tebal menutupi jalanan. Jalan yang tak rata dengan beberapa lubang dan genangan air sesekali membuat Bayu mengumpat dalam hati.

Udara dingin juga terasa menusuk ke dalam tulang meskipun saat ini Bayu mengenakan jaket kulit yang cukup tebal. Jari jari tangannya yang mencengkeram stang motor nampak sedikit membiru. Bayu mencoba mengacuhkannya, dia tetap memacu motornya dengan kecepatan tinggi.

Tiga puluh menit berikutnya sampailah Bayu di sebuah rumah yang terletak di area pemukiman yang terlihat suram. Rumah dengan halaman yang cukup luas. Pohon turi dengan bunganya yang bermekaran berwarna putih pucat, nampak berjejer sebagai pagar.

Rumah yang cukup besar, namun terlihat lawas. Banyak retakan pada temboknya yang bercat abu abu serta terkelupas di beberapa bagian. Juga sampah daun kering seakan di biarkan menumpuk di halaman dan teras rumah. Sekilas pandang pun semua orang akan menduga rumah itu sudah tidak dihuni oleh manusia.

Bayu turun dari motornya, mengibas ibaskan tangannya yang sedikit mati rasa. Hembusan nafasnya nampak mengeluarkan kepulan uap air putih nan tipis. Bayu memandang rumah di hadapannya, dia menghela nafas pelan.

Bayu berjalan sambil memasukkan tangannya di saku celana. Dia menuju teras rumah dan berdiri tepat di sebuah pintu tua yang terlihat kusam dengan gagang pintu dari besi yang terkelupas dan sedikit berkarat.

Tok tok tok

Bayu mengetuk pintu dengan perlahan. Detik berikutnya terdengar suara langkah kaki yang diseret dari dalam rumah.

Cklik. . .kriieettt

Pintu terbuka dari dalam. Seorang nenek tua dengan rambut penuh uban membuka pintu. Melihat kedatangan Bayu, nenek itu nampak sedikit terkejut. Bola matanya bergetar menatap petugas kepolisian di hadapannya itu.

"Apa kabar Bu Ami?" Bayu tersenyum masam.

"Baik," Nenek yang bernama Bu Ami itu menjawab singkat.

"Mari, silahkan masuk," 

Bayu mengangguk, berjalan mengikuti sang tuan rumah. 

Bagian dalam rumah Bu Ami terlihat serupa dengan bagian luarnya. Tak terurus. Sarang laba laba menempel di setiap sudut rumah. Udara juga terasa pengap karena rumah minim ventilasi dan pencahayaan, serta lebih sering tertutup sepanjang hari.

"Silahkan duduk," Bu Ami mempersilahkan Bayu duduk di sebuah kursi rotan yang nampak usang. Bayu mengangguk, menuruti perintah tuan rumah.

"Mau minum apa Nak Bayu?"

"Nggak Bu. Ndak usah repot repot. Aku cuma sebentar kok ini nanti," Jawab Bayu mencegah nenek renta itu berjalan ke dapur.

"Memangnya ada perlu apa Nak Bayu kemari?"

Bayu menghela nafas sebentar, kemudian merogoh saku celananya.

"Aku ingin Bu Ami membaca ini" Bayu menyodorkan secarik kertas pada Bu Ami.

Secarik kertas, yang merupakan surat dari Zainul yang tadi pagi Bayu terima dari seorang kurir. Bu Ami membacanya, tangannya nampak gemetar. Sementara bola matanya terlihat sedikit melotot.

"Apa Bu Ami juga mendapatkan surat yang serupa?" Bayu bertanya, sambil menatap tajam pada Bu Ami.

"Tidak," Bu Ami menggeleng perlahan.

"Jadi, bagaimana menurut Ibu?" Bayu mengubah posisi duduknya. Badannya dicondongkan ke depan. Kini dia lebih dekat untuk mengamati nenek di hadapannya itu.

"Apa maksud pertanyaanmu Nak?" 

"Ibu adalah guru BK kami waktu itu. Zainul dekat dengan Ibu. Setiap masalah yang dia dapatkan di kelas selalu dia ceritakan pada Ibu. Bagi Zainul Bu Ami sudah seperti ibunya sendiri" Bayu memberondong Bu Ami dengan pernyataannya.

Bu Ami hanya diam saja. Mulutnya terkatup rapat.

"Kenapa Zainul mengundang teman sekelasnya dulu untuk datang ke rumahnya? Bagi bagi uang pula. Kupikir Ibu akan tahu apa tujuan dikirimkannya surat ini. Kupikir Ibu bisa memahami perasaan Zainul saat ini," Bayu berdiri dari duduknya. Dia merasa sia sia telah datang ke tempat Bu Ami, karena dia tidak mendapat keterangan dan jawaban apapun.

"Mungkin sebaiknya kamu jangan datang Nak. Aku takut dengan kesuksesannya sekarang, dengan pengaruhnya sekarang, Zainul akan berbuat jahat, untuk membalas sakit hatinya di masa lalu. Firasatku tidak enak," Bu Ami nampak berkaca kaca.

"Jika demikian, maka aku harus datang. Pertama, karena aku sekarang adalah seorang polisi. Kedua, mungkin memang aku perlu menebus kesalahanku pada Zainul di masa lalu," Bayu kembali menghela nafas.

"Apakah Bu Ami tidak merasa harus menebus kesalahan juga?" Bayu kembali menatap tajam mantan guru SMA nya itu.

"Kesalahan?" Tanya Bu Ami, suaranya terdengar bergetar.

"Kupikir, Ibu tidak perlu berpura pura tak tahu ataupun lupa. Kejadian yang terjadi tiga belas tahun silam ada andil Ibu di dalamnya," Bayu melangkah pergi.

Bayu keluar dari rumah Bu Ami. Udara yang begitu dingin kembali menyergap, seakan merangkulnya hingga membuat tubuhnya kembali menggigil. Bayu menoleh sejenak ke dalam rumah, Bu Ami terlihat masih diam di tempat duduknya. 

Bayu kembali berjalan menuju motornya. Dengan sedikit terburu buru, dia menyalakan motornya dan kembali melesat menembus kabut yang semakin pekat.

Sementara itu, Bu Ami masih belum beranjak dari tempat duduknya. Pintu depan dibiarkan terbuka, sehingga udara yang dingin menerobos masuk ke dalam rumah. Bu Ami tidak peduli, dia tenggelam dalam lamunan.

Ucapan Bayu sangat mempengaruhi perasaannya. Dia kembali teringat dengan kejadian belasan tahun lalu yang selama ini berusaha sekuat tenaga dia lupakan. Rasa bersalahnya begitu besar. Dia telah gagal melindungi seorang murid yang mengalami perundungan.

Bu Ami menghela nafas, dia beranjak dari duduknya. Dia hendak menutup pintu depan, tak tahan dengan hawa dingin yang menambah rasa nyeri di hatinya. 

Sekilas terlihat, di halaman depan, di antara pekatnya kabut, seseorang memakai seragam putih abu abu duduk bersimpuh di tanah. Bu Ami tertegun, hatinya terasa gusar. Keringat mulai membasahi keningnya di tengah udara yang terasa sangat dingin.

Sosok berseragam SMA itu terdengar menangis, lirih. Terdengar pula sosok itu meracau tak jelas. Bu Ami mencoba mendengarkan, kalimat apa yang terucap dari sosok misterius di halaman rumahnya itu.

"Ibu, kenapa Bu? Kenapa kamu tak menolongku?"

Sepenggal kalimat yang terdengar seakan dari tempat yang jauh, namun kini tertangkap jelas di indera pendengaran Bu Ami.

Bu Ami masih tak bergeming, diam terpaku di tempatnya berdiri. Sosok di halaman rumahnya itu masih tertunduk dan menangis tersedu. Hingga secara tiba tiba, sosok itu menoleh ke arah Bu Ami. Betapa terkejutnya pensiunan guru BK itu saat melihat wajah sosok yang menangis tadi. Wajah yang hangus terbakar, dengan kulit yang terkelupas dan melepuh.

"Ahhh," Bu Ami terpekik. Seketika dia membanting pintu rumahnya, menutupnya rapat rapat.

"Maafkan aku, maafkan aku," Bu Ami meracau. Dia terlihat sangat ketakutan.

Bu Ami berjalan gontai ke arah dapur. Tatapannya kosong, nampak seperti orang linglung. Bu Ami mengambil kursi plastik yang ada di sebelah kompor. Dia memanjat kursi tersebut, meraih tali tambang yang tertancap kuat pada langit langit dapur.

Sebelum Bayu datang berkunjung tadi, Bu Ami memang sudah menyiapkan segalanya. Kedatangan Bayu semakin meyakinkan dirinya untuk mengakhiri rasa sakit di hatinya. Bu Ami sudah tak mampu lagi bertahan dari bayang bayang kesalahan masa lalu.

Glodaakk

Kursi pijakan Bu Ami jatuh terjungkal. Wanita tua itu mengerang sesaat, kemudian tubuhnya mulai berubah menjadi kaku. Di meja dapur tergeletak sebuah buku bersampul merah. Sebuah buku dengan pengarang yang tercetak tebal di bagian depan. Zainul Rikhman.

Bersambung . . .