31 Hari
...Nana memang aneh dan misterius....
...Bayangkan saja, sekeras apapun aku bersikap kasar padanya, dia selalu tersenyum manis....
...Seolah dia tidak memiliki emosi dan kepekaan....
...************...
Hari ini adalah anniversary pertama pasangan suami istri hasil perjodohan. Nana dan Farel berasal dari keluarga kelas atas. Untuk memperluas tahta dan kerajaan bisnis, mereka harus bersama dalam ikatan pernikahan.
Pagi menjelang Farel berangkat kerja, Nana menghidangkan masakan tradisional. Nasi tumpeng kerucut dengan berbagai hiasan yang cukup cantik.
"Kamu capek capek bangun subuh buat bikin makanan gak jelas kaya gini?" tanya Farel dengan ketus.
Nana tersenyum lebar, dia tidak menampakan wajah sedih ataupun kesal. Yang ada dia terlihat semakin sabar menghadapi suaminya yang rewel.
"Coba dulu Rel, pasti nasi tumpeng ini enak banget. Aku minta resep ini dari ibu Surti," balas Nana sambil sibuk mengurus meja makan.
"Ibu Surti? wanita yang suka jualan gado gado itu?" tanya Farel makin kesal.
"Iya Rel, Tumben inget sama tetangga rumah kita," sindir Nana dengan santai.
"Aku tuh gak suka kamu berbaur sama orang orang gak jelas kaya mereka. Kamu orang kaya dan berpendidikan. Jauhi mereka, ingat itu!" ancam Farel.
Nana hanya bisa tersenyum tipis, dia sama sekali menghiraukan semua omelan Farel. Dia terus bersikap lembut dan tidak melawan kemarahan suami.
"Sudah siap, ayo kita makan. Happy Anniversary yang pertama Farel," gumam Nana sambil memasukan sendok kedalam mulutnya.
Farel masih diam, dia tidak menyentuh sama sekali nasi tumpeng itu. Pikirannya terlalu sibuk untuk menilai sikap istrinya.
Selain aneh, Farel menilai jika istrinya selalu bertindak sesat sebagai orang kaya. Salah satunya dia lebih memilih tinggal di lingkungan padat penduduk, ketimbang harus tinggal di sebuah perumahan elit.
Nana terlalu ramah dan senang bergaul dengan orang sekitar. Dia akrab dengan siapa saja, dari tukang gado gado, tukang ojeg pangkalan, ibu ibu yang hobi ngerumpi, sampai tukang nagih hutang pun dia dekat.
Sejujurnya, Farel sangat muak dengan istrinya. Dia hanya ingin istrinya bersikap seperti orang kaya pada umumnya. Nana harus elegan dan berwibawa, bukan bersikap murah seperti itu.
Nana jauh sekali dengan teman wanita yang ia kenal. Dia tidak suka ikut arisan dengan sosialita, dia tidak suka jalan jalan keluar negri bahkan dia tidak punya baju baju branded.
Dia hanya suka diam di rumah, dia hanya suka berperan sebagai istri yang lugu dan lemah. Paling membuat Farel aneh, dia sama sekali tidak pernah marah ataupun membalas perilakunya yang jahat.
"Rel, ko ngelamun sih, ayo dong makan," ucap Nana dengan lembut. Sontak menyadarkan lamunan Farel yang terus termenung.
"Aku gak selera, makanan ini sangat menjijikan. Lebih baik aku langsung berangkat kerja saja," celoteh Farel sambil bergegas bangkit dari kursi dan berjalan keluar rumah.
Dengan tatapan kaget, Nana lalu segera menyusul suaminya. Dia pun berlarian menuju garasi mobil.
****
Di dalam mobil ada Nana yang ikut duduk di samping jok pengemudi. Saat Farel kabur dari meja makan, Nana memaksa ingin pergi bersama menuju kantor.
Tujuan Nana tak lain ingin membagikan nasi tumpeng kepada seluruh rekan di kantor. Sekalian dia ingin melihat bagaimana selama ini suaminya bekerja.
Di dalam mobil, Nana dengan ceria asik nyanyi musik dangdut dari saluran radio. Tanganya lincah bergoyang dan suaranya melekuk bak biduan Pantura.
Suara berisik dan melengking sontak membuat mood Farel tambah ancur. Tingkah laku Nana memang tidak pernah membuatnya tenang sedikit pun. Dia sangat bar bar dan tak bisa diatur.
Dengan kesal, Farel langsung ini mematikan saluran radio itu. Dia melirik Nana tajam karena sudah menganggu konsentrasinya dalam berkendara.
"Kita harus bicara Na," ucap Farel dengan gelisah.
"Apa sih Rel, udah enak dangdutan malah berhenti," gerutu Nana manja.
"Sebaiknya kita bercerai," gumam Farel dengan wajah datar.
"Cerai?" tanya Nana dengan bingung.
"Aku ingin menyudahi pernikahan kita."
"Yah Farel bisa saja bercanda nya," balas Nana sambil tertawa cekikikan.
"Ini serius Na! aku muak sama kamu. Aku sudah gak tahan dengan sikap kamu yang selalu aneh dan memalukan, bisa gak sih sehari saja gak bikin aku pusing!" Farel menjelaskan semua alasan itu dengan penuh amarah.
Mendadak Nana mulai diam, tidak ada lagi gerakan ataupun celotehan Nana yang khas. Mereka kini saling termenung dan sibuk sendiri.
Sampai mobil itu pun melaju dengan tak fokus
Seorang kakek tua yang membawa gerobak rongsokan hampir ditabrak oleh mereka.
"Rel.. awas.. " teriak Nana dengan keras. Seketika Farel menginjak rem dengan paksa.
Untung saja, kakek tua itu tidak tertabrak. Dia masih dalam keadaan baik baik saja. Melihat kakek tua itu masih berdiri ketakutan, lantas Nana langsung keluar dari mobil.
Dia segera menghampiri kakek yang berprofesi sebagai pemulung barang bekas. Nana mulai memungut satu persatu barang bekas yang sedikit berjatuhan. Dia bahkan membantu si kakek untuk berdiri lebih tegak.
"Kakek gak papa kan?" tanya Nana sangat khawatir.
"Duh.. kakek baik baik saja nak, terimakasih sudah bantu kakek," balas kakek itu dengan senyum tipis dan mata menyempit.
Tanpa diduga si kakek pun menyentuh pundak Nana dengan lembut. Dia kembali mengembangkan senyum itu.
"Sekali lagi makasih ya nak cantik," kata si kakek dengan sangat ramah.
Nana masih mematung, matanya mulai melirik tangan kanan si kakek yang masih menempel pada pundaknya itu.
Kali ini dia tidak merespon apapun, Nana terlalu fokus pada tangan keriput si kakek. Dia diam cukup lama, sampai akhirnya tersenyum tipis.
****
"Selamat naik jabatan pak Farel...." teriak rekan kerja kantor dengan kompak. Mereka sedang memberikan sebuah kejutan kecil untuk bosnya yang sudah mendapatkan promosi dari perusahaan.
Ditiup lilin lilin kecil itu di atas kue, Farel seketika merubah raut wajahnya menjadi senang. Rasa kesal sejak pagi tadi mendadak hilang.
Kini ruang Presdir sudah menjadi miliknya, ruang megah dan besar itu disulap menjadi tempat party dadakan. Catering dari restoran Perancis, pelayanan chef profesional dan minuman anggur yang super langka.
Ditengah rasa senang dan antusias banyak orang di kantor. Nana datang membawa dua kresek hitam besar di kedua tangannya. Kedatanganya sontak mengejutkan banyak orang. Mereka pun mulai banyak melirik penampilan norak istri Presdir.
Farel mematung, dia sangat geram melihat Nana datang merusak suasana. Dia selalu bersikap sembrono dan tak tahu malu.
"Wah, banyak orang disini! Ternyata benar kata pak satpam kamu lagi di ruang Presdir," ucap Nana menggetarkan seisi ruangan.
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Nana menghampiri Farel. Dia lalu menaruh dua plastik hitam berisi nasi tumpeng itu di atas meja kerja.
"Rel, ko kayanya ada kejutan disini, emang siapa yang ulang tahun?" tanya Nana dengan polos.
"Emang ibu gak dikasih tau sama pak Farel, kalau beliau sudah di promosikan naik jabatan?" celetuk Dominic, sekertaris seksi Farel.
"Wah, selamat Farel! Kereeen banget," balas Nana dengan riang dan tambah semangat.
Mendengar reaksi Nana yang polos dan terlihat sangat bodoh. Lantas dia akhirnya ditertawakan diam diam oleh seisi kantor.
Para rekan kerja kantor itu sangat tidak menyukai istri Presdir. Ada banyak kecemburuan tertuju pada Nana. Selain dilahirkan dari keluarga kaya, mereka merasa Nana tidak pantas mempunyai suami seperti Farel.
"Oh iya, kebetulan banget nih, aku kesini mau mampir buat kasih nasi tumpeng," ucap Nana dengan penuh semangat.
Semua mendadak hening dan tak berkutik, ketika Nana mengeluarkan banyak rice box kecil. Seketika bau khas nasi tumpeng mulai menyengat keseluruhan penjuru ruangan.
Bau tempe orek, telor dadar, sambal terasi bercampur aduk jadi satu. Lantas para pekerja elite itu malah menutup hidung mereka dengan sombong.
"Maaf bu, makanan itu berbau tak sedap, kami tidak berselera. Apa ibu tidak lihat? Kami sudah memesan banyak makanan Prancis," ujar Dominic dengan berani.
"Ahh.. maaf, maaf," balas Nana dengan wajah malu. Dia langsung merapihkan kembali rice box tersebut dan memasukan kedalam kresek lagi.
Melihat Nana sudah mempermalukan harga dirinya, Farel sudah tidak tahan. Bahkan dia tidak peduli jika istrinya dipermalukan begitu saja.
"Sebaiknya kamu pergi," ucap Farel ketus.
"Tapi ini nasi tumpengnya masih banyak," balas Nana sedikit ngotot.
"Apa kamu gak denger tadi? Nasi itu bau, mereka gak makan kaya gituan Na, ngerti ga sih!" sentak Farel dengan marah.
Nana akhirnya terdiam, dia menunduk paham. Tidak ada tangis, namun hanya wajah kecewa. Tapi inilah Nana, dia selalu mengalah dan tak melawan.
"Aku pulang dulu ya, aku tunggu di rumah," ucap Nana dengan senyum tulus.
Dia akhirnya pergi dari ruang kerja Presdir. Dia meninggalkan kerumunan dan pesta penyambutan Presdir baru.
Nana menerima pengusiran suaminya sendiri dengan tegar. Walau sebenarnya perusahaan itu adalah milik ayahnya.
Dengan menunduk malu dan lemas, Nana terus membawa dua plastik besar. Pandanganya kosong dan hampa, Nana sadar jika kehadirannya memang tak diharapkan siapapun.
****
Larut malam Farel baru bisa pulang dari kantor. Kepalanya sedikit pusing karena pengaruh alkohol. Sebelum itu dia habis berkumpul dengan teman temanya di sebuah bar.
Dia mengendarai mobil dengan sedikit lelah dan kantuk. Setelah mobil masuk daerah lingkunganya, dia melihat banyak kerumunan warga sedang memadati tempat pembuangan sampah.
Awalnya Farel tidak tertarik, namun ketika banyak mobil polisi mengepung tempat itu. Dia mulai menepikan mobil. Dengan sangat penasaran dia pun ikut nimbrung di tengah kerumunan warga.
Banyak orang mulai berbisik dan bergosip. Farel bisa mendengar obrolan mereka jika ada kakek tua yang meninggal secara aneh.
Tak ayal mata Farel makin ingin dekat melihat objek gosipan warga. Farel melihat jika disana ada sebuah gerobak tua yang terciprat banyak d*rah merah segar.
Di dalam gerobak rongsokan itu ada m*yat kakek yang sedang terbujur kaku. Matanya tertutup rapat, warna kulitnya pucat pasi dan telapak tangan kanan hancur.
Farel tambah mendekat, dia ingin tahu wajah kakek itu lebih jelas. Betapa kagetnya Farel, jika wajah kakek itu mirip dengan kakek yang hampir tertabrak oleh mobilnya.
Melihat kejadian yang sangat mengerikan di depan matanya. Farel lekas meninggalkan kerumunan tempat kejadian p*mbunuhan.
Insting Farel sangat yakin jika kakek itu adalah korban dari kejahatan. Jelas terlihat dari banyaknya cipratan d*rah yang keluar. Tidak terlihat ada tanpa perlawanan, ini seperti serangan brutal yang sangat mendadak.
Dia bahkan masih merinding, ketika terus mengingat tangan kanan m*yat yang hancur. Lapisan daging manusia yang terkoyak koyak.
****
Sesampainya di rumah, Farel langsung bergegas masuk kedalam ruang tamu. Dia mendapati sang istri tengah sibuk dengan banyak barang aneh dan cukup bau.
Melihat suaminya telah pulang, Nana tersenyum lebar pada Farel. Dia lalu berdiri dan lekas membantu melepaskan jaket suaminya.
"Ko baru pulang sih?" tanya Nana sumringah.
"Apa itu penting buat kamu?" balas Farel dengan cuek.
Farel lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa, dia meregangkan semua kelelahan yang terasa menyiksa. Kemudian dia kembali melihat Nana, wanita itu kembali asik dengan aktifitas yang selalu membuatnya kesal.
Istrinya sedang mengumpulkan botol plastik bekas, tumpukan kardus dan banyak sedotan warna warni berserakan.
"Kali ini apa lagi sih Na? Kenapa banyak sekali barang bekas di rumah kita?" tanya Farel dengan gusar.
Nana lalu membalikan badanya, dia sedang memotong botol plastik itu dengan gunting besar.
"Ini namanya kerajinan barang bekas, berguna juga loh buat bikin wadah unik," ucap Nana sambil terus fokus pada botol plastik itu.
Mendengar kata barang bekas, Farel jadi ingat dengan kejadian tadi. Pikirannya kembali membuka memori tentang mayat si kakek pemulung barang bekas.
"Sebaiknya kita harus hati hati, lingkungan rumah kita sudah tidak aman," ucap Farel serius.
"Apa yang tidak aman?" tanya Nana penasaran.
Farel memilih untuk tidak mengatakan yang sesungguhnya. Dia tidak ingin menakuti Nana jika di sekitar lingkungan ini telah terjadi pembunuhan.
Hanya saja dia cukup penasaran, dari mana dia mendapatkan semua barang bekas ini. Karena setahu Farel, istrinya tidak mengumpulkan barang bekas.
"Kamu dapat dari mana semua barang bekas ini?" tanya Farel sedikit acuh tak acuh.
"Menurut kamu dari mana?" tanya Nana balik dengan senyuman tipis merekah.
...Aku yakin, hanya Nana saja mahluk di muka bumi ini yang menyuruh suaminya untuk menulis diary sebagai syarat perceraian....
...**************...
Di depan Nana kini tergeletak surat persetujuan perceraian. Nyatanya Farel tidak main main dengan perkataanya saat itu. Dia sudah memantapkan niat dan tujuan untuk berpisah.
Mereka sedang duduk saling berhadapan di ruang santai. Dengan segelas ice coffee dan cookies kering sebagai kudapan. Tapi semua itu hanya pemanis saja, nyatanya nasib pernikahan mereka sedang menelan pil pahit.
Nana hanya bisa menghela nafas panjang. Dia sesekali melihat kertas itu lalu menaruhnya kembali. Dari tutur wajahnya, Nana nampak terlalu santai. Padahal dia sedang menghadapi hal sangat serius.
"Baiklah, jika itu yang selama ini kamu inginkan, mari kita bercerai," ucap Nana sambil terus melirik kertas itu.
Sontak saja mata Farel membesar, dia sungguh tidak menyangka jika Nana langsung setuju. Dia pikir proses ini akan sulit dan rumit. Tapi nyatanya Nana telah mempermudah segalanya.
Ada rasa senang dan lega, Farel akhirnya akan menuju dunia baru. Sebentar lagi Farel! dia akan menjadi pria yang bebas.
"Tapi dengan satu syarat." Nana ternyata menambahkan sebuah kalimat lain.
Kedua mata Farel menyempit, dagunya mengkerut. Dia cukup bingung dengan ucapan Nana yang mendadak.
"Syarat?"
Nana mengangguk. Dia kini menatap balik Farel dengan serius.
"Mmmm baik lah, aku dengar sih banyak orang di luar sana mengajukan syarat harta gona gini sebelum bercerai, begitu kan?" ujar Farel dengan lagak tidak peduli.
"Aku gak mau harta ataupun lainya."
"Ya terus, syarat apa sih Na."
"31 hari sebelum kita bercerai, aku mau kita rutin tiap hari nulis diary," ucap Nana dengan wajah datar.
"Apa?.. Apa?..." celetuk Farel kaget.
"Nulis diary, itu saja Rel syaratnya."
"Kamu gila apa! Emang aku anak SD nulis kaya gituan," tolak Farel dengan tegas.
"Ya sudah, kalau kamu gak mau. Berarti sampai kapan pun Nana gak mau tanda tangan surat perceraian ini," timbal Nana semakin serius.
"Ya ampun, mau minta cerai saja ribet banget, mending kamu rubah saja syaratnya, apa ke! Mau akusisi saham? atau mau aku berikan jabatan presdir sama kamu?" protes Farel makin gencar.
"I said no, apa sih harta mulu. Aku tuh cuman mau kamu nulis diary selama 31 hari saja. Gak sulit ko, nanti kita bisa tukar diary sebelum tidur," ujar Nana semakin ngotot mempertahankan keinginannya.
"What? Tukar diary!! Aku sama kamu tukar diary? Gak.. gak.. aku gak setuju! Pokoknya kamu tarik semua ide absurd itu. Ganti sama yang lebih masuk akal," jelas Farel dengan sangat marah.
Dia kemudian meninggalkan Nana sendirian saja. Dia sudah tidak tahan harus berdebat dengan masalah perceraian ini.
Apalagi dengan ruwetnya permintaan syarat Nana yang sangat aneh. Dia sama sekali tidak menyangka, di zaman Metaverse Nana masih saja ngeyel untuk meminta hal kuno.
*****
Tempat pacuan kuda menjadi hal yang menyenangkan bagi Farel. Setiap seminggu sekali, dia menyempatkan berlatih kuda bersama teman teman kuliahnya.
Hari ini dia sedang berkumpul dengan teman baik, ada Dion, Nathan dan Maria. Ketiga temannya itu berasal dari keluarga kalangan atas. Dion dengan bisnis properti, Nathan dengan bisnis perbankan dan Maria si ratu bisnis kecantikan.
Keempat kuda mereka dengan kondisi fit terus berlari mengitari lintasan berkuda. Mereka terus memacu kuda lebih cepat agar bisa menjadi pemenang.
Farel dengan mahir menunggang dan mengendalikan gerakan kuda. Dia memang paling lihai dalam menjaga ketahanan fisik kuda. Sampai pada putaran pertama, Farel memenangkan lari maraton ini.
Setelah pertandingan selesai, mereka berempat kini sedang meluangkan waktu untuk bersantai. Seperti biasa, banyak sekali obrolan menarik untuk dibahas.
Masalah bisnis, kehidupan sosial dan rumah tangga. Ketiga pria itu sudah menikah, kecuali Maria. Dia betah melajang di usia yang sudah cukup dewasa.
"Ayolah, ajak sekali kali istrimu Rel. Diantara kami bertiga, cuma kamu saja yang selalu pergi sendiri," ucap Dion dengan sedikit menggoda Farel.
"Kalian tahu sendirikan, istriku Nana dia lebih suka diam di rumah," balas Farel santai.
"Nana memang aneh sejak dulu, aku pernah satu club science sama dia. Waktu itu praktek anatomi hewan mamalia, dia dengan sendirinya membelah perut kelinci dengan pisau besar. Betapa hebohnya Lab saat itu," jelas Nathan dengan senyum merinding.
Farel tidak peduli dengan masa lalu Nana. Dia hanya terus berpikir bagaimana caranya bisa bercerai dengan mudah. Mengingat permintaan untuk membuat tulisan diary, masih membuatnya jengkel setengah mati.
Nathan dan Dion sepakat untuk meninggalkan tempat istriahat. Mereka berdua pergi kembali ke kandang kuda untuk melihat kondisi kuda masing masing.
Kini hanya ada Maria dan Farel berdua. Mereka saling menuangkan wine dan bersulang dengan akrab.
"Aku lihat kamu murung terus, ada masalah dengan Nana ya," ucap Maria memecah keheningan.
"Kamu memang wanita paling peka," jawab Farel sambil terus menunduk lesu.
"Kenapa sih Rel? Cerita dong, kan kita udah lama temenan," rayu Maria dengan sangat meyakinkan.
"Aku sudah meminta perceraian dengan dia."
"Apa? Cerai!" jawab Maria dengan kaget namun sedikit ada rasa senang.
"Dia setuju dengan perceraian itu, tapi dengan satu syarat aneh, aku sampai bingung kenapa dia ngotot sekali dengan syarat itu," gumam Farel dengan frustasi.
"Emang syarat apa?" tanya Maria dengan penasaran.
"Dia menyuruhku untuk menulis diary selama 31 hari."
"What? Diary? Oh my god, she is insane," celoteh Maria dengan senyum julid.
"Apa sih yang dipikirkan Nana? Sampai harus nulis diary segala."
"Mungkin dia ingin kenang kenangan sebelum perceraian. Sudahlah ikutin saja kemauan Nana, toh dia emang sudah aneh dari dulu. Kaya gak tau saja Nana kaya gimana," jelas Maria.
Sejenak, hati Farel mulai luluh. Apa yang dikatakan Maria ada benar juga. Jalan pikiran Nana memang sulit untuk ditebak, dia misterius dan aneh.
Seharusnya dia tidak terlalu ambil pusing dengan permintaan Nana. Mungkin Nana hanya ingin bersenang senang sebelum mereka berpisah.
Farel tidak bisa mencari jalan lagi, dia terpaksa harus menuruti permintaan Nana.
*****
Tengah malam, Nana terlihat masih asik duduk di depan TV. Dia tertawa terbahak bahak melihat kontes menyanyi dangdut, dengan 5 host acara yang terlihat banyak drama.
Farel mendekati istrinya, dia ikut duduk di atas sofa. Dia sekejap melihat isi tontonan di layar TV. Namun dia segera memalingkan, Farel sangat tak tahan melihat acara penuh kerusuhan itu.
"Na, besok kamu ikut aku," ucap Farel tenang, tidak ada nada ketus seperti biasanya.
"Kemana?" balas Nana terus fokus melihat layar TV.
"Toko buku."
"Ngapain ke toko buku, aku sukanya pergi ke tanah abang," celoteh Nana cuek.
"Kita beli buku, diary book."
Lantas mendengar ajakan Farel untuk membeli buku diary, sontak Nana bangkit dari sofa itu. Dia berdiri menghadap Farel dengan wajah sumringah.
"Jadi kamu setuju dengan persyaratan itu Rel?" tanya Nana mulai histeris.
"Iya," balas Farel dengan malas.
"Ya ampun, akhirnya my dream comes true," teriak Nana sambil berjalan berputar putar mengitari sofa.
Melihat istrinya senang kegirangan karena buku diary, Farel hanya bisa pasrah. Dia tidak mengerti, dia tidak paham apa yang direncanakan Nana sebenarnya.
Tak sengaja mata Farel menangkap tawa Nana yang riang gembira. Dari jauh dia terlihat seperti anak kecil yang lucu.
Terkadang Nana bisa membuat Farel terhibur. Walau dia sering bertingkah konyol, diam diam Farel suka tersenyum sendiri.
Ting nong..
Ting nong...
Suara beli pintu berbunyi, sepertinya ada seseorang yang sedang menunggu di depan pintu. Farel kemudian bangkit dari sofa, dia berjalan menghampiri gagang pintu.
Setelah pintu itu terbuka, dia melihat seorang pria asing dengan kumis tipis di atas bibir. Badanya sedikit kurus dan bajunya berantakan.
"Maaf cari siapa?" tanya Farel dengan tatapan curiga.
"Saya hanya ingin numpang tanya sebentar," balas pria asing itu ramah.
Namun gelagat dan penampilannya membuat Farel sedikit khawatir. Dia harus waspada dengan segala kemungkinan terburuk.
"Maaf saya tidak berbicara dengan orang asing," balas Farel ketus, dia lalu segera menutup pintu itu kembali.
"Tunggu.. tunggu.. aku bukan orang jahat! janganlah kau lihat bajuku yang kumel. Aku bahkan seorang polisi," ucap pria asing itu sambil menahan pintu itu tertutup.
"Polisi?" tanya Farel semakin curiga.
Sadar jika pemilik rumah adalah orang yang sangat hati hati. Pria asing itu lalu menunjukan lencana resmi kepolisian.
Farel melirik identitas polisi itu, didapati jika pria aneh ini bernama Agus Malik. Barulah saat itu juga Farel tidak jadi menutup pintu.
"Ada perlu apa polisi ke rumahku?"
"Aku hanya ingin menanyakan tentang pembunuhan yang telah terjadi di sekitar kecamatan ini," jelas Agus dengan sopan.