Tanda Merah Di Jasad Putriku
"Adel, Sayang. Bangun, ini Papa!"
Aku terus meminta putriku untuk membuka matanya, air mata ini tak lagi terhitung berapa banyak membasuh pipi ini.
"Apa yang terjadi kepada putriku?" Aku menatap nyalang kepada wanita yang berjasa melahirkan putriku, wanita yang tiga tahun lalu masih berstatus istriku kini wanita itu berstatus istri dari pria lain.
#Flash back On
Aku tengah bekerja di kantor, menyiapkan beberapa dokumen yang di minta bosku.
Tiba tiba ponselku berdering berkali kali. Untuk sesaat aku mengabaikannya karna diri ini tengah fokus memisahkan dokumen dan surat surat penting, namun ponselku kembali berdering hingga aku tak tahan dan meraih gawaiku.
Kulihat nama Andin, mantan istriku di sana. Tumben sekali, Andin menelponku berkali kali, padahal biasanya tak pernah, lagi pula aku sudah mengirimkan uang bulanan untuk putriku, rencananya nanti sore aku akan mengajaknya jalan jalan.
Terlalu larut bertanya tanya, ponselku mati, kemudian berdering kembali dari pemanggil yang sama, Andin.
"Hallo," kusapa mantan istriku.
Namun Andin tak lekas menjawab, aku justru mendengar suara isakan tertahan dari sebrang sana, ku pikir Andin tengah mengerjaiku, hingga aku berniat menutup panggilan.
"Biar aku saja yang berbicara pada Arfan." aku mengenal suara pria itu, pria yang menikahi Andin beberapa bulan lalu, ya suara dari suami baru Andin.
"Mass,"
Andin memanggilku parau, suara sesegukan terdengar pelan di telingaku, meski aku tak dapat melihat, aku yakin Andin tengah menangis.
"Din, ada apa?" tanyaku tanpa basa basi.
"Adel Mas,"
Saat aku mendengar nama Adel aku tegapkan tubuh ini dengan serius.
"Katakan pada Adel, aku akan menemuinya sore ini setelah pulang kerja."
Tak ada jawaban, untuk beberapa waktu hanya isakan Kecil yang kudengar.
"Mas, Adel sudah tiada." lirih mantan istriku.
"Andin, jangan membuat lelucon seperti ini, aku tak suka!"
Bagaimana bisa Andin, membuat lelucon semengerikan ini? wanita itu mengatakan jika putriku, putri kami telah tiada. Aku tak suka ucapan buruk seorang ibu untuk putrinya.
"Aku tak bercanda Mas, Adel putri kita sudah tiada. Hwaaa ..." Andin meraung lalu setelahnya ponsel itu mati begitu saja, hingga aku berkali kali menelponnya kembali masih tak ada hawaban.
Gegas aku segera mengambil kunci mobil dan melajukan mobilku kerumah mantan istriku, aku tetap berharap jika ini adalah lelucon Andin.
Aku tak percaya jika putriku telah tiada, dua hari lalu aku mengajaknya makan siang dan Adelku terlihat sehat sehat saja.
Jantungku semakin tak terkendali, saat aku melihat sepasang bendera kuning menancap dan berkibar di depan rumah mantan istriku.
#Flash back Off.
"Andin apa yang terjadi?"
"Adel, meninggal Mas." Suaranya terdengar parau, bahkan kata ibuku Andin sempat pingsan beberapa kali.
"Aku tau, putriku meninggal! Tapi apa penyebabnya?" Aku meninggikan suaraku hingga beberapa orang terkesiap dan memandangku dengan penuh pertanyaan.
"Adel, tersengat aliran listrik, yang berasal dari kabel yang bocor." ucap Andin pelan.
"Lalu apa yang kau lakukan seharian ini Hah?" Aku beralih mendekat ke arah Andin aku guncang bahu yang bergetar itu dengan sangat kencang, untuk sementara aku mengabaikan putriku yang malang.
"Apa yang kau lakukan hingga putriku tiada? Apa kalian sibuk bersenang senang sehingga mengabaikan putriku?"
"Tidak, Mas sungguh. Aku juga tak mengira ini akan terjadi. Aku masih di ruko saat bibi menghubungiku dan mengabariku."
Kulihat Andin sangat ketakutan oleh reaksiku, wanita itu menunduk dengan air mata yang terus menganak sungai.
"Berhenti menyalahkan istriku Arfan!"
Ricko mengurai cekalan tanganku dari bahu istrinya, pria itu terlihat marah saat aku berbuat kasar kepada istrinya.
Tak ingin menanggapi pria itu, aku kembali mendekati putriku, kembali aku berlutut dengan putriku yang diam seribu basa, semua orang menatap kearahku dengan tatapan yang bermacam, tapi pandangan orang di dominasi dengan tatapan mengiba.
"Sayang bicaralah! Papa mohon, katakan apa yang sebenarnya terjadi?"
Kuusap wajah pucat dengan bibir membirunya, kusentuh wajah dingin itu dengan hati hati, aku menarik kain yang menutupi putriku lebih bawah, alangkah terkejutnya diri ini saat kudapati beberapa tanda merah di bagian leher hingga ke dadanya.
Aku pria dewasa yang pernah menikah, aku hapal betul tanda itu berasal dari mana, ini janggal! Sungguh ini benar benar tak wajar
Bagaimana bisa putriku yang baru kelas satu sekolah dasar memiliki tanda merah? yang kuketahui sebagai bercak tanda cinta, mata ini terus menatap tubuh putriku yang berambut panjang, dengan banyak prasangka yang berkecamuk di dada.
Ya, kematian putriku ini tak bisa di katakan wajar, apa lagi Andin mantan istriku mengatakan jika putriku tiada karna tersetrum.
"Arfan, apa yang kau lihat?" ibu mertuaku buru buru menutupi tubuh putriku yang telanjang di balik kain jarit yang menutupi tubuhnya.
"Kami menunggumu, untuk memandikan Adel, kasian jika dia terlalu lama tanpa di urus. Ayo kita mandikan Adel, hari sudah mulai sore, kita harus menguburkan Adel hari ini." Mata Ibu mertuaku juga terlihat sembab, sepertinya dia juga sangat sedih akan kepergian cucu satu satunya itu.
Aku melirik Andien yang lagi lagi menangis di pelukan suaminya, namun wajah Ricko terlihat begitu tenang, pria itu mengatakan kalimat kalimat bijaknya.
"Andin, iklaskan Adel semua makhluk hidup pasti mati, kita juga tak tau umur kita sampai kapan. Tenang dan iklaskan." Tak ada yang salah dengan kalimatnya, hanya saja feelingku mengatakan jika suami baru Adel terlibat dengan penyebab putriku tiada.
"Adel."
"Adel, maafkan Papa, Papa tak bisa melindungimu." Aku menangis kembali dengan tersedu, aku bahkan bersumpah akan mengusut kematian putriku dan memberikan penghukuman yang sepadan kepada pelakunya.
Aku menduga jika Adelku meninggal di karnakan dia mengalami pelecehan, tanda merah di leher dan dadanya adalah bukti nyata dari dugaanku.
Dugaanku semakin di perkuat, kala aku mengangkat jenazah putriku untuk di mandikan, dari bawah tubuh putriku terdapat rembesan darah yang cukup banyak sehingga mengotori kain yang menjadi alasnya.
Mataku melotot, jantungku bertalu talu, di sertai ketakutan yang luar biasa, aku nyaris saja menjatuhkan tubuh mungil dalam gendonganku.
Tak mungkin putriku datang bulan di usianya yang baru menginjak tujuh tahun.
Bukan hanya aku yang terkejut akan hal itu, Andin dan Rickopun sangan terkesiap, sampai sampai Andin jatuh pingsan di pelukan suami barunya.
Ini tak boleh di biarkan, aku tak ingin menguburkan putriku sebelum ku ketahui pasti apa penyebab dari putriku meninggal.
Kuabaikan semua orang, termasuk Andin, ibu mertuaku dan ibuku sendiri, yang harus kulakukan saat ini adalah membawa jasad putriku pergi dari rumah itu, aku akan kerumah sakit, akan ku autopsi sendiri penyebab kematian putriku.
Aku berlari dan terus berlari, dengan tubuh mungil di gendonganku, aku tak perduli semua orang menghalangi dan memanggilku untuk menyerahkan putriku, aku ayahnya!
Aku berhak tau penyebab kematian putriku!
Aku terus berlari menjauhi semua orang.
Aku juga membenarkan kain yang membalut tubuh putriku, dengan kain yang sama yang sempat menutupi seluruh tubuhnya tadi.
Rasanya aku masih tak percaya jika tubuh dalam pelukanku sudah tak lagi bernyawa.
"Mas mau bawa Adel kemana?"
Tiba tiba Andin mantan istriku, sudah berada di belakangku saat aku baru saja meletakan tubuh Adel di kursi penumpang.
Kulihat juga Ricko suami baru Andin menyusul dan mendekati istrinya.
"Jangan halangi aku! Aku ingin memastikan sendiri pnyebab kematian putriku." kulirik sekilas tubuh putriku yang ku baringkan di kursi penumpang, terlihat jelas beberapa lebam di beberapa bagian tubuhnya.
"Adel harus segera di kebumikan Mas! Ini sudah sore, sebentar lagi matahari tergelincir dan hari mulai malam." Andin seakan menghalangi niatku, dan aku juga mencurigai Andin, semua bisa saja mrnjadi tersangka penyebab kematian putriku.
"Kenapa? Kenapa kau teelihat menghalangi niatku untuk menguak kebebaran tentang kematian Adel. Kau seakan menutup mata akan kematian putri kita, atau kau justru mengetahui sesuatu yang tidak ku ketahui?"
Rasanya sangat wajar jika aku juga turut mencurigai Andin, bisa saja wanita itu mengetahui kebenaran tentang kematian Adel tapi Andin lebih memilih menutupinya.
"Tidak Mas, bukan seperti itu. Aku juga ingin tau penyebab sebenarnya Adel tiada, tapi kita perlu memakamkan Adel terlebih dahulu."
"Persetan dengan pemakaman, aku ingin mengusut kasus ini hingga selesai. Aku akan mengadili siapapun penyebab meninggalnya putriku.!" teriakku tepat di hadapan wajah Andin.
"Maksudmu putri kita tiada karna di bunuh seseorang?" tanya Andin dengan bibir bergetar, ia bahkan menutup mulut setelah mengatakan hal itu.
Bodoh sekali Andin! Apa selamanya prasangka wanita itu akan baik kepada setiap orang? apa Andin percaya dan benar benat mengira jika putrinya tiada karna tersengat aliran listrik?
"Apa kau tak melihat darah yang keluar dari milik putriku Sialan!" Aku semakin geram terhadapnya yang menampilkan wajah cantik tapi bodoh itu.
"Ta-tadi pagi Adel sempat mengeluh tak bisa buang air kecil Mas, aku mencoba membujuknya untuk pergi kedokter tapi Adel tak mau, Mas. Dia bahkan tak sekolah karna aku melarangnya, tubuhnya hangat Mas."
"Dan kau menurut dan tidak membawa Adel kedokter? Kau itu ibu macam apa Andin! Kau benar benar bodoh!" umpatku tak terima.
"Kau bahkan meninggalkan putriku, padahal kau tau badannya hangat. Ibu macam apa kau?" aku kembali menyalahkannya, sedangkan Andien kembali menangis sesegukan.
"Tidakkah kau curiga akan kematian Adel yang tiba tiba?"
"Aku juga curiga, tapi ibu mengatakan ini sudah takdir, dan aku harus menerimanya." Aku Andin polos, aku semakin marah dengan jawabannya. Tak tau kah jika aku tengah hancur lebur.
"Maafkan aku. Aku tak tau ingin akan terjadi."
"Arfan, aku tau kau emosi. Tapi berhenti membetak bentak dan menyalahkan istriku!"
Aku semakin emosi saat melihat Ricko menjadi sang pahlawan kesiaanga. Tak ingin membuang buang waktu ku abaikan keduanya aku lebih memilih untuk meninggalkan mereka.
"Kau mau membawa Adel kemana? Kita harus segera mengurus pemakaman Adel, Arfan!" Ricko menghalangiku, pria kekar itu seakan tak rela aku membawa jenazah putriku.
Kuraih kerah kemeja pria itu, tubuhnya juga kuhantukkan ke body mobil milikku, hingga tubuh itu memantul dan menimbulkan suara.
"Itu tak akan terjadi! Aku akan mengusut tuntas apa yang terjadi kepada putriku. Jika kau terlibat dengan kepergian putriku, aku akan melenyapkanmu dengan tanganku sendiri." Kuhempas tubuh kekar itu hingga tersungkur keatas tanah.
"Aku ikut, aku juga ingin mengetahui penyebab Adel tiada." Andin berujar parau, matanya nyaris tak terlihat.
Aku mengangguk pelan, ku sadari bukan hanya diri ini yang merasa kehilangan, Andinpun demikian, kurasa bahkan wanita itu lebih terpukul, terbukti wanita itu sampai pingsan beberapa kali.
Andin memasuki kursi penumpang belakang, wanita itu memangku kepala juga tubuh atas Adelia, kami tak memperdulikan orang orang juga kerabat yang mrnghalangi jalan kami.
"Aku ikut."
Aku tak menggubrisnya, bagiku Ricko tak akan ada kepentingan jika ikut memeriksakan penyebab kematian putriku, yang ada justru pria itu akan semakin menghalangiku menguak kebenarannya.
Tiiiinn ... Tiiiinnn ...
Kubunyikan klakson mobilku hingga beberapa orang yang mengdang jalan kami memenyingkir, ayah tiri dan adik Andin sampai menggedor kaca mobilku agar aku menghentikan niatku.
Cih, sekalipun malaikat sendiri yang menghadang jalanku, aku tak akan memperdulikannya.
Deru suara kendaraan mengisi pendengaranku, selain itu irama rangis Andin mengisi runguku dengan jelas, wanita itu menangis juga mrnyalahkan dirinya sendiri.
"Tubuhnu dingin sayang, biar Mama peluk." Andin mendekap tubuh lemas di pangkuannya.
"Mas, darah dari milik putri kita terus merembes keluar." Andin berujar juga menatap kearahku dari balik spion yang menggantung di atas kepalaku.
Meski berulang kali aku merapal mantra supaya diri ini terlihat tegar, nyatanya air mataku tak setangguh itu, bahu kokoh inipun kini bergetar kembali, duniaku hancur lalu bagai mana bisa aku terlihat baik baik saja?
Kujalankan mobil ini membelah jalanan kota, tak aku perdulikan angka kecepatan yang di atas rata rata, aku bahkan menantang maut, mengabaikan nyawa mantan istriku juga.
Sepertinya Andin juga tidak keberatan jika mati bersamaku dan putrinya saat ini.
"Adel putriku yang malang."
Aku tiba di rumah sakit yang kukenal pemiliknya, aku segera berlari mencari ruangan salah satu kenalan dokterku, dengan Adel dalam gendonganku, tubuh putriku nyaris polos karna aku tak memperhatikan kain yang ku balutkan di tubuhnya tersingkap.
Aku juga mengabaikan petugas resepsionis untuk mendaptar terlebih dahulu.
"Sean tolong aku." aku meletakan putriku di berangkar pasien yang terdapat di riangan dokter Sean, spesialis obgyn di rumah sakit ini.
"Ada apa Arfan? Ya Tuhan apa yang terjadi?" Sean terlihat terkesiap saat melihat tubuh putriku.
"Putriku telah tiada, tapi aku ingin mengetahui penyebab kematiannya, lakukan apapun agar aku mengetahui penyebabnya, aku memberikan wewenang kepadamu." ujarku dengan suara serak.
"Dok, putriku terus mengeluarkan darah dari kema luan miliknya. Tolong putriku, jika bisa hidupkan kembali putriku."
Pernyataan konyol serta ungkapan putus asa Andin terdengar menyedihkan di gelingaku.
Bagai mana bisa Sean dapat menghidupkan putriku yang telah tiada, tapi aku memahaminya, mungkin ini bentuk dari kehilangannya.
Sean tak banyak bertanya, meski terlihat masih terkejut pria itu segera mengenakan sarung tangan berbahan latex di kedua tangannya. Sejenak dokter Sean menatap dan meneliti tanda merah di tubuh putriku.
"Kiss mark." ucapnya pelan, vonisnya seperti dugaanku.
Dokter Sean mengitari ranjang, ia menekuk kaki putriku, kemudian menelitinya.
"Ya Tuhan."
Sean beranjak kemudian mengambil sesuatu dari mejanya sebuah senter kecil juga dengan capitan stainles.
"Arfan, lihatlah kemari!" perintahnya, bukan hanya aku yang mendekat, Andinpun penasaran, ia juga turut mencondongkan tubuhnya melihat ke arah pangkal paha Adel yang di buka Sean degan lebar.
Sean menyenter vag ina bagian dalam putriku, baik aku maupun Andien sama sama terkejut saat kami mendapati suatu benda asing di dalam ke ma luan putriku.
Sean meraih capitannya dan mencapit benda berlumur darah itu kemudian menariknya dengan perlahan hingga-
Byurr ...
Semburan darah dari inti putriku mengotori wajah serta kaca mata dokter Sean.
"Ya Tuhan. Apa yang terjadi?"