SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
E - Rank Hero In Another World

E - Rank Hero In Another World

Arc 1 - Redemption

Dimas, seorang pemuda berumur 23 tahun yang memiliki kehidupan yang cukup suram.

Tak seperti kebanyakan pemuda seumurannya yang baru saja lulus perguruan tinggi, atau baru saja diterima di suatu perusahaan yang bergengsi. Dimas hanya mampu untuk bekerja sebagai seorang penjaga kedai minuman.

Semua itu bermula ketika keluarganya mengalami kecelakaan pada saat dirinya berumur 16 tahun. Menyebabkan tak hanya kedua orangtuanya, tapi satu-satunya adiknya meninggal dunia.

Sedangkan dirinya sendiri, bisa dikatakan cukup beruntung atau cukup sial, masih bisa bertahan hidup di tengah kejadian itu. Hanya saja, dirinya harus berada dalam koma selama beberapa waktu.

Bukan nasib baik yang menghampirinya dari seluruh keluarganya, tapi hanyalah hewan buas yang kelaparan terhadap kekayaan keluarganya.

Hal yang wajar karena Ayah Dimas adalah seorang pengusaha yang sukses. Sedangkan ibunya sendiri adalah seorang model kecantikan.

Kehidupan mereka seharusnya terjamin. Hingga kecelakaan itu terjadi.

Tak hanya rumah dan perusahaannya yang dihabisi, tapi satu-satunya orang yang selamat pun juga dibuang. Siapa lagi jika bukan Dimas.

Alasannya?

"Anak tak tahu berterimakasih! Kami menjagamu selama kau tertidur!"

"Anak yang bahkan tak bisa lulus SMA sepertimu, tak sepatutnya ada di keluarga kami."

"Hahaha! Lihat orang lemah ini! Jangan katakan bahwa dia adalah sepupuku?"

Hinaan demi hinaan terus menerus dilemparkan padanya. Ia yang berada dalam kondisi terlemahnya pun hanya bisa pergi meninggalkan satu-satunya hal yang bisa disebut sebagai keluarga.

Dan kini, merantau di Kota lain hanya untuk berusaha bertahan hidup.

Tempat tinggalnya hanyalah sebuah kos-kosan murahan. Hanya dengan 250 ribu rupiah perbulan, Ia bisa tidur di sebuah ruangan dengan ukuran 2.5 x 2.5 meter.

Sedangkan untuk pekerjaannya?

"Mas, Thai Tea dua ya." Ucap seorang gadis SMA yang mengunjungi tempat kerjanya itu. Yang tak lain hanyalah sebuah kios kecil di pinggir jalan.

Papan menu yang bertuliskan berbagai jenis minuman yang ada terpampang dengan rapi di samping kios kecil itu.

"Ya, tunggu sebentar ya kak." Balas Dimas dengan wajahnya yang terlihat begitu kelelahan itu.

Tapi apa yang ada di dalam pikirannya hanya satu.

'Gadis SMA ini.... Apa yang dilakukannya di malam hari seperti ini? Ini bahkan belum malam Minggu kan?' Tanya Dimas dalam hatinya sambil memperhatikan sosok seorang gadis dengan rambut yang lurus itu.

Jarum jam telah menunjukkan pukul 8 malam lebih. Tapi seragam putih abu-abu yang dikenakannya sama sekali belum diganti. Hanya tertutupi oleh Hoodie yang berwarna hitam itu.

Di sebelahnya terlihat seorang laki-laki yang juga masih mengenakan seragam sekolahnya.

'Hah.... Enak sekali ya, pemuda sekarang? Aku bahkan tak kenal satu pun gadis untuk ku dekati.' Pikir Dimas sekali lagi dalam hatinya.

Ia juga memperhatikan sebuah sepeda motor yang terlihat sangat keren baginya. Yang tak lain adalah salah satu jenis Motor Gede yang setidaknya seharga lebih dari 30 juta rupiah.

Dengan tatapan yang iri, Dimas masih terus melanjutkan pekerjaannya. Jika tidak, mungkin Ia harus makan mie instan setiap harinya karena akan dipecat.

Pada saat Dimas masih memasukkan es batu pada gelas plastik itu....

Sebuah motor dengan cepat berhenti tepat di hadapan dua murid SMA itu. Mereka berdua mengenakan jaket dan celana hitam serta sebuah masker ski untuk menutupi wajahnya.

Dari balik jaket hitam itu, sebuah golok yang besar terlihat ditarik dengan tangan kanan salah seorang pemotor itu.

Satu dari mereka segera menyandera sang gadis SMA.

"Cepat serahkan kunci motormu atau aku akan membunuh kalian!" Teriak salah seorang perampok itu.

"Tu-tunggu dulu?!"

"Sayang! Tolong!"

Dua murid SMA itu pun seketika panik dan tak tahu harus bagaimana.

Memang sebuah keistimewaan dari wilayah yang berada di pinggiran. Bahwa jalanan akan segera sepi tepat setelah para pegawai kantoran yang bekerja di pusat pulang ke rumah.

Menyisakan jalanan yang cukup sepi meskipun belum tengah malam. Dan hal itu lah yang menjadi peluang emas dari banyaknya kasus pencurian dan pembegalan di sekitar tempat ini.

Oleh karena itu....

'Byyuurrr!!!'

Dimas melemparkan dua buah gelas plastik minuman yang baru saja dibuatnya. Dengan cepat, Ia melompat keluar dari kios kecilnya dengan tongkat kayu sebagai senjatanya.

'Braaakkk!!'

Ayunan yang sangat cepat dan kuat itu berhasil membuat penyandera segera melepaskan pegangannya, tepat setelah mengenai kepalanya.

"Sialan! Sakit kau tahu?!"

Dimas tak berhenti disitu, Ia dengan cepat sedikit berjongkok dan melakukan ayunan memutar. Target dari tongkat kayu itu tak lain adalah tulang kering yang ada di kaki perampok yang membawa parang.

'Braakk!'

"Sialan! Aku akan membunuhmu!" Teriak perampok itu.

Dalam pikirannya, Dimas beranggapan bahwa situasi ini akan sedikit menguntungkan.

'Tiga lawan dua, atau dua lawan dua. Bagaimanapun, nampaknya aku bisa....'

Tapi pikirannya segera runtuh setelah melihat dua murid SMA itu kabur dengan kendaraan mereka. Meninggalkan Dimas sendirian di tempat ini.

"Yang benar saja.... Kalian bahkan tak berterimakasih padaku?" Ucap Dimas dengan tatapan mata yang sedikit kosong.

Tubuhnya mulai lemas. Tangannya bahkan seakan tak lagi mampu untuk membawa tongkat kayu yang ringan itu. Hingga akhirnya, melepaskan dan menjatuhkannya ke tanah.

"Bocah sialan ini.... Apa yang harus kita lakukan?" Tanya sang perampok yang baru saja menerima pukulan di kepalanya. Ia terlihat masih kesakitan dan kebingungan.

Tanpa menjawab, Pria yang membawa parang itu telah mengayunkan parangnya tepat ke leher Dimas.

"Ghaahhkk!!!"

Teriakan keras terdengar dari Dimas segera setelah lehernya terpotong sebagian. Membuat luka yang cukup dalam sehingga Ia tak lagi bisa bernafas.

"Bodoh! Apa yang kau lakukan?"

"Dia akan melaporkan ke polisi! Makanya aku membunuhnya!"

"Lalau bagaimana sekarang kalau dia akan mati? Bukankah polisi akan lebih keras mengejar kita?!"

Perdebatan diantara kedua perampok itu adalah pemandangan terakhir yang dilihat oleh Dimas yang telah terkapar ke tanah.

Darah terus menerus mengalir dari lehernya. Tanpa mampu bernafas, sedikit demi sedikit.... Kesadarannya pun mulai memudar. Dan kini, hanya kegelapan yang bisa dilihatnya.

...

Tapi tiba-tiba....

"Hmm? Kenapa aku masih hidup?" Tanya Dimas pada dirinya sendiri.

Kini Ia berada di sebuah tempat yang dipenuhi dengan cahaya. Dan di ujung dari pandangannya, adalah sebuah kursi emas yang begitu indah.

Seseorang nampak duduk di atasnya. Penampilannya begitu memukau hingga membuat siapapun yang melihatnya terpesona.

"Apakah aku sudah mati?" Tanya Dimas kepada sosok wanita yang duduk di kursi emas itu.

Mengibaskan rambut keemasannya yang indah, wanita itu pun segera berdiri dari kursinya dan berjalan secara perlahan ke arah Dimas.

Gaun putihnya yang begitu indah terlihat bergerak seiringan dengan langkah kakinya.

Tepat setelah tiba di hadapannya, Wanita itu pun segera berbicara.

"Katakan, wahai jiwa muda yang telah tiada. Apakah kau ingin hidup kembali di dunia yang berbeda?" Ucap wanita itu dengan senyuman yang begitu indah. Tudung putih nampak menutupi bagian atas dari wajahnya, sehingga kedua matanya tak bisa terlihat dengan jelas.

Hanya dengan kalimat itulah, Dimas akhirnya menyadari. Bahwa kejadian ini, adalah satu-satunya kesempatan bagi dirinya untuk merubah nasib buruk yang selalu dialaminya.

Atau....

Itulah yang dipikirkan olehnya.

Chapter 1 - Pergi ke Dunia Lain

"Hah? Apa maksudmu dengan itu?" Tanya Dimas dengan wajah yang terlihat kesal.

Tapi wanita yang ada di hadapannya hanya tersenyum sambil kembali duduk di kursi emasnya.

Setelah menjentikkan jarinya, pemandangan yang ada di sekitar tempat ini segera berubah. Membuat mereka berdua seakan-akan terbang di langit.

"Apa yang terjadi?!"

"Seharusnya kau sudah paham dengan situasi ini kan?" Tanya wanita itu tanpa kehilangan senyumannya.

Dimas dengan cepat berusaha untuk mencerna semuanya. Dari berbagai pengalaman dan pengetahuannya, termasuk berbagai literatur dari komik, novel dan anime selama masa hidupnya, Dimas akhirnya sadar.

"Jangan katakan kau adalah Dewi?!"

Wanita itu pun mengangguk seakan mengiyakan perkataan Dimas. Tanpa memberikan jawaban yang lebih lanjut.

"Lalu.... Jangan katakan bahwa aku harus mengalahkan raja iblis dan semacamnya?!" Teriak Dimas dengan wajah yang sedikit takut dan kesal.

Ia telah membayangkan betapa merepotkan nya kehidupannya di dunia baru itu jika itu adalah tugasnya. Belum lagi bahaya yang harus dihadapi.

Seakan mengetahui apa yang ada di dalam pikirannya, wanita yang mengaku sebagai Dewi itu pun menjawab.

"Tentu saja aku menaruh harapan besar bagi orang-orang sepertimu mengenai hal itu. Itulah mengapa aku mengirimkan kalian kesana." Jelas Dewi itu sambil membuka tudung putih di kepalanya.

Wajah yang begitu cantik dan menawan terlihat dengan jelas. Matanya yang berwarna emas itu terlihat begitu cocok dengan warna rambutnya.

Akan tetapi....

"Yah, meskipun.... Aku ragu bahwa orang sepertimu akan mampu melakukannya." Lanjut Dewi itu kini dengan senyuman yang terlihat mengejek.

Emosi dalam diri Dimas yang selalu terpendam kini meledak seketika setelah mendengar perkataan itu.

"Apa kau bilang?! Aku tidak mampu melakukannya?! Akan kutunjukkan bagaimana...."

"Setidaknya, dari 3000 lebih manusia yang terus kukirim ke sana sama sepertimu sejak 100 tahun yang lalu, kini hanya tersisa beberapa puluh orang saja." Jelas Dewi itu memotong perkataan Dimas.

Jantungnya seketika seakan berhenti berdetak. Ia tak lagi mampu berpikir dengan lurus. Penyebabnya tak lain adalah kenyataan yang mengerikan itu.

Ekspresi wajah Dimas yang sebelumnya penuh dengan kemarahan pun berubah drastis. Kini wajahnya hanya dipenuhi dengan ekspresi takut.

"Ya-yang benar saja.... Kau mengada-ngada bukan?" Tanya Dimas untuk memastikan.

Tapi pada saat itu juga, Dewi itu melakukan hal yang diluar dugaannya.

"Oi, Silvie! Berapa banyak pahlawan yang kau kirim kesana?" Tanya Dewi itu sambil mengarahkan wajahnya ke samping.

Seketika sosok seorang gadis dengan rambut kehijauan yang indah muncul entah darimana.

"Aku? Aku hanya mengirim sekitar 2000 pahlawan, tapi saat ini semuanya telah mati. Aku sedang sibuk untuk mencari kandidat pahlawan yang lain. Ah, kau menemukan kandidat yang baru?" Tanya wanita itu sambil berjalan secara perlahan ke arah Dewi itu.

"Ya begitulah. Tapi jujur saja kali ini calonnya cukup lemah."

"Kau serius? Lalu kenapa kau memanggilnya?" Tanya Silvie yang terkejut dengan pernyataannya.

"Bagaimana lagi, aku menghabiskan banyak poinku di pahlawan yang sebelumnya. Saat ini dia justru sibuk untuk mengumpulkan wanita. Benar-benar Pria sialan."

"Ah, yang sebelumnya itu ya. Pantas saja. Kau membuang terlalu banyak poinmu untuk memberinya dukungan awal, Cyrese." Balas Silvie sambil tertawa ringan.

Pembicaraan mereka pun terus berlanjut, mengabaikan Dimas yang saat ini sedang sangat kebingungan.

'Poin? Pahlawan sebelumnya? Dua ribu? Kalah?'

Pikirannya dipenuhi dengan tanda tanya terhadap situasi ini. Hingga akhirnya, Silvie mengingatkan Dewi bernama Cyrese ini.

"Ah, Cyrese.... Pahlawanmu...." Ucap Silvie sambil menunjuk ke arah Dimas yang hanya berdiri dengan mulut terbuka lebar dan mata yang setengah mati itu.

Yah, meskipun dia sudah benar-benar mati.

"Aaaah! Maafkan aku! Aku terlalu asyik berbicara dengan rekanku. Jadi bagaimana? Kau akan menerimanya kan? Iya kan?!" Ucap Cyrese dengan wajah yang semakin lama terlihat semakin menakutkan.

Dimas pun mengatur nafasnya sebaik mungkin. Berusaha untuk tersadar dari situasi yang sangat aneh ini.

"Lagipula aku terlihat tak bisa menolaknya. Baiklah, segera kirimkan aku kesana. Aku akan mendapat semacam bantuan kan? Ah, tapi apakah aku akan mengulang dari bayi? Jika bisa berikan keluarga yang...."

"Maaf. Tapi aku sudah tidak punya poin untuk melakukan itu." Balas Cyrese menyela perkataan Dimas.

Kali ini bukan tanda tanya, melainkan sedikit amarah. Emosi itu terlihat begitu jelas pada tatapan wajah Pria itu.

"Hah?! Katakan sekali lagi?!" Balas Dimas kesal.

"Sebenarnya.... Aku menghabiskan 200 poin untuk memanggilmu. Dan sisa poinku hanyalah 8, cukup untuk memberimu perlengkapan dasar setibanya disana...." Ucap Cyrese tanpa berani menatap mata Dimas. Ia terlihat sibuk memainkan dua jari telunjuknya untuk mengalihkan perhatian.

"200 poin? Apa itu? Apakah itu besar? Lalu perlengkapan dasar apa yang kau maksud?" Tanya Dimas penasaran.

Tapi sayangnya Cyrese enggan untuk menjawab. Memaksa Silvie untuk membisikkan kenyataan itu pada Dimas.

"Sebenarnya.... Itu adalah poin terendah yang pernah kudengar untuk memanggil seseorang dari dunia lain. Jika disetarakan, itu sama seperti memberikan sebuah skill tingkat D atau satu kantung kecil emas...." Bisik Silvie dengan wajah yang terlihat akan menangis kapan saja.

Mendengar kenyataan itu, Dimas pun mulai tersadar.

"Ja-jadi.... Aku bahkan lebih buruk daripada sebuah kantung emas kecil?" Tanya Dimas kembali pada Silvie.

Tak ingin menjawab, Silvie hanya menganggukkan kepalanya sambil mengusap sedikit air matanya.

"Yang benar saja?! Aku itu...."

Secara tiba-tiba, sebuah lingkaran sihir yang sebesar 7 meter lebih itu muncul di bawah pijakan kaki Dimas. Lingkaran sihir itu memiliki warna putih keemasan yang indah.

Secara perlahan, tirai cahaya mulai mengelilingi sisi terluar dari lingkaran sihir itu. Menjebak Dimas di dalamnya.

"Hei Dewi sialan! Apa yang kau lakukan! Aku tak ingin melakukannya! Kau dengar aku?! Raja Iblis atau apapun itu! Aku akan mengabaikannya! Tidak! Aku sendiri yang akan menghancurkan dunia itu jika kau memaksaku kesana!" Teriak Dimas sambil menggedor-gedor tirai cahaya yang jauh lebih keras daripada kaca itu.

Di samping tempat Dimas berdiri, muncul satu kantung kulit kecil yang berisi beberapa koin perunggu, serta sebuah pisau kecil.

Tak ada benda lainnya. Bahkan tak ada satu pun skill yang diberikan padanya.

"Wahai pahlawan manusia dari dunia lain, selamatkanlah dunia ini dari kekejaman Raja Iblis Valkazar. Seluruh dunia ini bergantung padamu." Ucap Cyrese yang memasang wajah seakan-akan memberikan berkah kepada Dimas.

Yang pada kenyataannya, Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawanya.

"Kau bercanda kan?! Jangan bergantung padaku! Kau dengar sendiri dari rekanmu kan?! Aku hanya seharga satu kantung emas! Maka dari itu lepaskan aku!" Teriak Dimas berusaha untuk tetap melawan. Tapi sebaik apapun Ia memukul, tirai cahaya itu hanya menjadi semakin terang dan tebal.

Di kejauhan, terlihat sosok Silvie yang seakan tak tega melihat dirinya. Meski begitu Ia tak mampu melakukan apapun.

Seakan kesialan masih belum cukup baginya....

"Dan jangan lupa, hasilkan banyak poin untukku." Ucap wanita bernama Cyrese yang mengaku sebagai Dewi itu.

"Tidak akan pernah!!!"

Dengan balasan terakhir itu, Dimas pun segera berpindah tempat. Pandangannya yang silau akan cahaya putih yang sangat terang, kini secara perlahan berubah.

Pemandangan Padang rumput yang cukup luas, serta jalan tanah yang tak terlalu lebar itu terlihat di hadapannya.

Tak lupa pohon kecil yang menaunginya dari panasnya matahari.

Di samping dirinya yang masih mengenakan baju kotak-kotak, celana jeans biru dan sepasang sepatu berwarna hitam putih itu, terlihat satu kantung kecil berisi puluhan koin perunggu. Termasuk juga sebuah pisau kecil dengan penutup kulit.

"Indah sekali.... Eh bukan begitu! Kenapa aku benar-benar dilempar kesini?!" Teriak Dimas dengan penuh kesal sambil membanting kantung uang itu.

Akhirnya, perjalanan Dimas di dunia lain pun dimulai.