The Misogynist
Derap langkah itu perlahan memecah kesunyian. Perlahan tangan itu membuka sebuah pintu kamar.
Kreek ...
Tampak sepasang suami istri tengah tertidur pulas dalam dekapan mimpi dan selimut mereka. Sosok itu mengeluarkan sebuah pisau dari belakang punggungnya. Perlahan ia mendekati ranjang itu dan ia menancapkan pisau secara brutal. Wanita yang juga tidur di ranjang itu pun terjaga mendengar erangan kesakitan suaminya.
Aaaaaaaaa .....
Teriakan itu menggemah ke seluruh ruangan dan rumah itu. Ia mencoba berlari, namun sosok itu menarik rambut panjangnya.
"Tolong jangan bunuh saya," ucap wanita itu dalam tangis dan dekapan rasa takutnya.
Namun sosok itu langsung menebas leher wanita itu.
Setelahnya ia menatap pisau bersimbah darah itu dan tersenyum. Ia kembali melangkah meninggalkan ruangan itu.
Marcella memperhatikan barisan kebun teh yang mempesona di kanan dan kirinya. Sejam sudah ia disana, namun belum jua ia menemukan perkampungan. Ia kembali mengecek google mapsnya dan memastikan dua km lagi di depannya ia akan temukan rumah para pemetik teh di daerah itu.
Sekali lagi ia melihat kalung yang mengantung di mobilnya. Dan perasaan sedih itu pun kembali hadir, namun gadis berusia 25 tahun itu kembali meyakinkan dirinya bahwa ia bisa menemukan titik terang dari peristiwa dua tahun lalu.
Tak lama hpnya berdering, sebuah pesan masuk dari tunangannya. Ia membacanya dan tersenyum. Seperti biasa pemuda itu mengingatkannya kembali untuk selalu berhati-hati, tak boleh lengah dan jangan mudah percaya kepada siapapun.
Akhirnya ia bertemu dengan beberapa pemetik teh disana. Dihentikannya mobil bewarna orangenya itu.
"Permisi Bu," iya menyapa mereka. Beberapa ibu-ibu itu tampak mengabaikannya. Hanya ada seseorang saja yang menjawabnya.
"Ada perlu apa neng?"
"Maaf ibu, kalau saya boleh tau, ini semua lahan milik siapa ya?"
"Milik keluarga Danubroto, tetapi sekarang tuan muda yang mengurusnya."
"Tuan muda?"
Ibu itu menunjuk ke jalan yang sedikit menanjak di perbukitan itu. "Rumahnya tuan muda ada ditas, tapi ia tak suka ada tamu."
"Oh, begitu terima kasih Bu."
Marcella mengingat kembali salah satu barang bukti di lokasi yang ia lihat dulu adalah potongan daun teh, dan ia yakin dengan kualitas terbaik.
Sejak dua tahun lalu, gadis itu mendatangi semua area perkebunan teh di Jawa Timur dan ini adalah perkebunan terluas dan terbaik yang pernah ia lihat. Sejauh memandang hanya ada deretan teh yang berbaris dengan indah di area perbukitan. Dan misi gadis yang kini berprofesi sebagai polisi bagian reserse kriminal ini adalah melacak pelaku pembunuhan kakaknya dua tahun lalu.
Kembali ia menghidupkan mesin mobilnya dan menyelusuri jalanan itu. Lantas ada yang menarik perhatiannya tak jauh di ujung tampak sebuah danau yang tak cukup besar dengan pepohonan tinggi di sekitarnya.
"Apakah dulu ini hutan? Bisa saja sebab area ini cukup luas." Gumamnya sendiri. Kembali ia tatap foto kakaknya di dompetnya.
"Kak, aku pasti akan menemukan orang itu bagaimanapun juga, sampai ke dasar samudera pun ia tetap akan aku kejar."
...*****...
Dua tahun sebelumnya
Marcella beru kembali dari kampus saat sebuah pesan masuk dari ibunya. Ia terduduk lemas namun segera ia membereskan barangnya dan menuju bandara. Dar Singapura ke Surabaya ia harus transit di Batam. Ia menahan air matanya yang hampir tumpah sepanjang perjalanan. Saat tiba di rumah betap hancur hatinya.
Kakak yang paling ia sayangi telah terbaring tak bernyawa dengan bekas luka sayatan di perut.
"Apa yang terjadi dengan kakak ibu?" Pekiknya sambil menangis.
Seorang kolega kakaknya pun menghampirinya, itu kali pertamanya bertemu dengan Alex, yang menjadi tunangannya kini. Alex adalah sahabat baik kakaknya di kepolisian. Ia pula yang menangani kasus kematian kakakknya Marcella.
"Dia dibunuh dengan brutal, namun ia seperti tak menduga akan hal itu."
"Maksud anda?"
"Ia mengenal pelaku dengan baik, atau pernah dekat dengannya. Yang paling parah adalah orang gila itu mengambil jantungnya."
"Apa?" Marcella tak percaya mendengarnya.
"Diman lokasinya?"
"Kami menemukannya di jalan menuju hutan di daerah barat. Tetapi kelihatan ia tidak dibunuh disana."
"Bisakah anda memberitahukan alamat pastinya?"
"Kamu akan kesana?"
Marcella mengangguk. "Mungkin cukup berbahaya jika pelaku mengenalimu."
"Aku tak takut dengan apapun. Orang itu dengan sadis telah membunuh kakakku. Ia harus membayarnya." Gadis itu berucap dengan amarah dan dendam di dadanya.
"Besok aku akan menemanimu."
Marcella mengangguk.
Keduanya pun kembali ke lokasi kejadian. Masih ada garis polisi disana. Marcella meneliti setiap detail aspal di mana kakaknya tergeletak.
"Dapat."
"Daun teh?" Ucap Alex tak percaya.
"Pasti ia dihabisi di perkebunan teh."
"Tetapi Jawa Timur ada begitu banyak perkebunan teh juga."
"Aku akan mencari ke setiapnya. Oh ya Kak Alex aku ingin menjadi polisi?"
"Polisi?"
Marcella pun akhirnya berlatih dan diterima menjadi polisi, selanjutnya ia mengambil bagian reserse kriminal, ia meminta agar kasusu kakaknya dialihkan ke dia, namun kasus itu hampir di tutup karena waktu yang sudah lama. Marcella tetap tak menyerah setiap waktu libur panjangnya satu per satu perkebunan teh ia datangi untuk menemukan pembunuh kakkaknya itu. Dan begitu juga satu per satu tak juga ia temukan titik terang, namun entah mengapa ia merasa ada yang tak biasa dengan perkebunan satu ini dan ia memutuskan untuk mengamatinya pelan-pelan.
...*****...
"Apa yang kamu dapat?" Tanya Alex saat melihatnya kembali keesokan harinya.
"Cukup mencurigakan."
"Benarkah?" Yang lainnya menyahut.
"Aku belum temukan sih, tapi kebun teh satu ini paling luas dan paling bagus."
"Ohh."
Alex hanya melirik ke arahnya dan menggeleng. "Kamu belum lelah kesana kesini sayang? Aku yakin kakakkmu juga tidak mau kamu dalam bahaya."
"Aku bisa jaga diri. Minggu depan aku akan mencari tahu pemiliknya."
"Pemiliknya?"
"Katanya keluarga terpandang. Danubroto."
"Danubroto? Kamu tak salah sebut? Mereka bangsawan keraton solo."
"Benarkah? Kenapa mereka tinggal disini?"
"Bisnis karenanya mereka membuat rumah di Surabaya. Tetapi kini kedua suami istri itu tinggal di Jerman."
"Begitu."
"Satu hal yang pasti berhati-hatilah saat berurusan dengan mereka."
Marcella mengangguk.
"Aku harap kali ini kamu mendengarkanku."