SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Jejak Malam Alya

Jejak Malam Alya

Jejak yang Tak Terduga

Hujan turun dengan lembut di kota Serawak, menciptakan simfoni ritmis yang menenangkan, namun juga menambah suasana misterius yang melingkupi setiap sudutnya. Jalanan berkilau seperti permata saat lampu-lampu neon menciptakan pantulan yang memikat di genangan air. Suara deru mesin mobil yang lalu-lalang hanya menjadi latar belakang bagi detakan jantung Alya, yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Malam ini, dia tidak sekadar berjalan-jalan; dia berencana menemukan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar harta karun yang terpendam di rak-rak perpustakaan tua.

Perpustakaan umum Serawak bukanlah tempat yang ramai. Setiap sudutnya dipenuhi dengan aroma buku tua, mengundang siapa pun yang ingin menyelami dunia yang lebih dalam daripada kenyataan sehari-hari. Alya, seorang gadis berusia tujuh belas tahun, merasa nyaman di antara tumpukan buku. Dengan rambut panjangnya yang tergerai dan mata cokelatnya yang penuh rasa ingin tahu, ia terlihat seperti karakter dari novel petualangan yang tak terhitung jumlahnya.

Sejak kecil, Alya memiliki kebiasaan menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Buku-buku memberikan pelarian dari dunia nyata, tempat di mana ia bisa menjadi siapa pun—penyihir, petualang, atau bahkan pahlawan. Namun, malam ini, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Sebuah panggilan misterius menariknya untuk menjelajahi lorong-lorong yang jarang dilalui.

“Alya, kembali ke dunia nyata,” ia menggumam pada dirinya sendiri sambil tertawa kecil. Kecintaannya pada cerita-cerita fantasi kadang-kadang membuatnya melupakan batasan antara imajinasi dan kenyataan. Namun, ada sesuatu yang menggoda, suatu bisikan halus yang meminta agar dia menjelajah lebih jauh.

Saat menelusuri rak-rak tua, matanya tertangkap oleh cahaya samar yang memancar dari pojok ruangan. Ia mendekat, jantungnya berdebar tidak karuan. Di sana, di antara tumpukan buku-buku yang berdebu, sebuah buku tua berwarna cokelat dengan penutup yang usang terlihat mencolok. Tanpa pikir panjang, Alya meraihnya, merasakan getaran aneh saat tangannya menyentuh permukaan kulitnya.

Dia membuka buku itu dengan hati-hati. Halaman-halamannya kuning dan rapuh, tetapi tulisan di dalamnya tampak jelas. “Cincin Kuno: Kekuatan yang Hilang.” Alya mengernyit, tidak yakin apa yang dia harapkan untuk ditemukan. Namun, saat membaca isi buku tersebut, dia merasakan ketegangan yang melingkupi pikirannya. Buku itu tidak hanya membahas tentang cincin, tetapi juga menggambarkan kekuatan luar biasa yang dimilikinya, dan bagaimana cincin tersebut bisa mengubah nasib pemiliknya selamanya.

“Ini hanya fiksi,” dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, meskipun nalurinya memperingatkan bahwa ada kebenaran di balik kata-kata itu.

Ketika Alya menyelidiki lebih lanjut, ia menemukan gambar-gambar kuno yang menggambarkan cincin yang sama seperti yang ada dalam bayangannya. Gambar-gambar itu terlihat sangat hidup, seolah-olah siap untuk melompat dari halaman dan menjadi nyata. Tanpa sadar, Alya menelusuri jari telunjuknya di atas gambar, merasakan getaran seakan ada energi yang memancar dari halaman tersebut.

Perasaan ketidakpastian mulai merayap ke dalam dirinya. Alya menutup buku itu dengan hati-hati, berusaha menyimpan penemuan ini untuk dirinya sendiri. Saat dia berbalik untuk pergi, pandangannya teralih pada bayangan di ujung ruangan. Seorang pria berdiri di sana, tersenyum misterius, seolah dia telah menunggu saat itu.

“Buku yang menarik, bukan?” suara pria itu dalam dan menggoda, membuat Alya merasa seolah-olah dia berada dalam cerita horor yang menegangkan.

Alya menegakkan punggungnya, mencoba menampilkan keberanian. “Siapa kamu?” tanyanya, nada suaranya bergetar meski ia berusaha tetap tenang.

“Nama saya Raka. Saya mencari seseorang yang memiliki ketertarikan pada hal-hal seperti ini.” Dia melangkah mendekat, wajahnya disinari cahaya lampu yang temaram, dan Alya dapat melihat bahwa matanya berkilau dengan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa ingin tahu biasa.

“Apakah kamu tahu apa yang ada di dalam buku itu?” Raka bertanya, nada suaranya mengundang, seperti dia tahu lebih banyak daripada yang dia ungkapkan.

Alya menelan ludah. “Itu hanya cerita tentang cincin kuno,” jawabnya, meskipun ia sendiri tidak begitu yakin.

“Cincin itu bukan sekadar cerita,” Raka mengingatkan. “Cincin itu nyata, dan siapa pun yang memilikinya bisa memiliki kekuatan yang luar biasa. Tetapi kekuatan itu datang dengan tanggung jawab yang besar.”

Alya merasa campur aduk antara ketakutan dan rasa ingin tahu. “Apa maksudmu? Bagaimana kamu tahu tentang itu?”

Raka tersenyum, tetapi tidak ada kehangatan dalam senyumnya. “Karena saya adalah salah satu penjaga rahasia cincin itu. Dan sekarang, cincin itu mungkin mencari pemilik baru.”

Alya merasa tubuhnya kaku. Setiap kata yang diucapkan Raka terasa seperti benang tak terlihat yang menariknya lebih dalam ke dalam misteri yang lebih besar dari dirinya. “Apa yang kamu inginkan dariku?” tanyanya, suaranya bergetar.

“Buku itu mengindikasikan bahwa kamu memiliki potensi. Kita bisa mencari cincin itu bersama-sama,” jawab Raka, seraya mendekat, matanya menyiratkan keinginan yang kuat. “Tapi kita harus bergerak cepat. Ada orang-orang yang juga mencarinya, dan mereka tidak segan-segan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.”

Kata-kata Raka mengguncang Alya. Sebuah organisasi rahasia? Cincin yang bisa memberikan kekuatan? Semua ini terdengar seperti cerita dari novel petualangan, tetapi ketika dia melihat ke dalam mata Raka, dia tahu ini bukan sekadar permainan. Raka adalah sosok yang serius, dan bahaya mengintai di sekitarnya.

“Jika kamu berani, temui saya di perpustakaan lagi besok malam. Kita akan mulai pencarian kita,” Raka berkata, menggeser sedikit ke arah pintu. “Tetapi ingat, tidak semua orang bisa dipercaya. Hati-hati dengan orang-orang di sekitarmu.”

Sebelum Alya sempat menjawab, Raka menghilang ke dalam kegelapan malam, meninggalkan Alya sendirian dengan pikirannya yang berputar-putar. Dia merasa bersemangat dan ketakutan sekaligus. Apa yang baru saja terjadi? Apakah dia benar-benar ingin terlibat dalam pencarian cincin misterius ini?

Ketika Alya meninggalkan perpustakaan, hujan mulai turun lagi, tetapi kali ini rasanya sejuk dan menyegarkan, seolah menyeka rasa bingung dari benaknya. Dia berjalan pulang, langkahnya ringan meskipun pikirannya penuh dengan pertanyaan.

Alya membuka bukunya kembali saat tiba di rumah, mencoba mencari tahu lebih banyak tentang cincin yang disebutkan. Namun, informasi lebih lanjut tampaknya sulit didapat. Di balik lembaran-lembaran kuno itu, ia menemukan petunjuk tentang penyihir yang mungkin memiliki hubungan dengan cincin itu. Namun, semakin ia membaca, semakin ia merasa terjebak dalam jaring misteri yang tak bisa dipahami.

“Mungkin ini hanya kebetulan,” gumamnya kepada diri sendiri saat menatap cermin. “Atau mungkin ini adalah panggilan untuk sesuatu yang lebih besar.”

Malam itu, Alya berbaring di tempat tidurnya dengan pikiran yang tidak menentu, membayangkan berbagai kemungkinan. Dia terbangun di tengah malam dengan keringat dingin, teringat akan mimpi aneh yang selalu menghantuinya. Dalam mimpinya, dia melihat seorang penyihir dengan mata yang berapi-api, melambai-lambaikan tangannya, memanggil sesuatu yang gelap dan berbahaya. Apakah penyihir itu terkait dengan cincin kuno yang dia temukan?

Setelah berusaha keras untuk kembali tidur, Alya akhirnya tertidur dengan harapan bahwa semua ini hanyalah bagian dari imajinasinya. Namun, di dalam mimpinya, dia merasakan kehadiran yang lebih kuat. Rasa ketidakpastian ini semakin menggelayuti jiwanya, seperti bayangan yang tidak mau pergi.

Saat pagi menjelang, Alya bangun dengan semangat baru. Dia tahu bahwa dia tidak bisa hanya menunggu—dia harus mencari tahu lebih banyak. Dia menyiapkan sarapan, tetapi pikirannya melayang pada Raka dan cincin itu. Akankah dia benar-benar pergi menemui Raka malam ini? Apakah dia siap menghadapi konsekuensi dari pencarian yang akan membawanya ke dalam dunia yang lebih dalam dan berbahaya?

Dengan tekad yang menggelora, Alya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan lagi. Kembali ke tempat itu, di mana semuanya dimulai, terasa seperti langkah pertama menuju takdir.

Mimpi Aneh

Alya bangun dengan mata berat, cahaya pagi menerobos masuk melalui tirai jendela, menciptakan pola halus di dinding kamarnya. Namun, tidak ada sinar matahari yang dapat menyingkirkan bayang-bayang yang menghantui pikirannya. Rasa penasaran dan ketakutan berjuang untuk menguasai dirinya setelah pertemuan aneh dengan Raka di perpustakaan semalam. Suara detakan jam dinding mengingatkannya bahwa hari itu adalah hari yang menentukan—hari di mana ia akan bertemu dengan Raka lagi.

Setelah menyiapkan sarapan sederhana, Alya berusaha menenangkan pikirannya. Ia menyendok sereal ke dalam mangkuk, tetapi tidak dapat menelan makanan itu. Pikiran tentang cincin kuno dan Raka berputar-putar di benaknya, seolah-olah mereka adalah bagian dari pusaran yang tak berujung. Tanpa sadar, ia mencatatkan di dalam buku harian kecilnya, mencoba mengeluarkan semua kekhawatiran yang menggelayut di pikirannya.

“Cincin kuno… kekuatan yang hilang… penyihir…” dia menulis, sambil menggambar garis-garis melingkar di sekelilingnya, berusaha memahami hubungan antara semua elemen yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Dengan setiap kata yang dituliskan, rasa ingin tahunya semakin membara, seolah-olah ada sesuatu yang menantinya untuk dijelajahi.

Setelah berjam-jam merenung, Alya akhirnya memutuskan untuk berangkat lebih awal ke perpustakaan. Dia mengenakan pakaian santai—kaus putih dan celana jeans, dengan hoodie yang menutupi rambutnya yang panjang. Meskipun matanya masih terasa berat, semangatnya untuk menemukan jawaban lebih besar dari ketakutannya. Langkahnya cepat dan mantap saat dia melintasi jalan-jalan basah, aroma tanah basah menyambutnya di setiap sudut.

Kota Serawak seolah-olah memiliki kehidupan sendiri saat pagi tiba, suara riuh lalu-lalang mobil dan orang-orang yang bersiap untuk hari mereka. Namun, Alya merasa seolah dunia di sekelilingnya tidak lebih dari latar belakang yang membosankan, tidak sebanding dengan petualangan yang mungkin menantinya. Pikirannya berkelana pada imaji yang tampak lebih mendebarkan—cincin kuno dan rahasia yang mungkin akan terungkap.

Sesampainya di perpustakaan, Alya merasakan ketegangan yang familiar. Ruangan itu tetap tenang, hanya suara langkah kakinya yang menggema. Dia langsung menuju ke area tempat dia menemukan buku kuno itu. Kali ini, dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggali lebih dalam.

Alya mencari buku-buku lain tentang mitologi dan sejarah kuno, berusaha mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Di antara tumpukan buku, dia menemukan catatan lama tentang berbagai artefak kuno yang hilang, termasuk cincin yang diyakini memiliki kekuatan magis. Ia membaca setiap kata dengan seksama, berusaha menyerap semua yang bisa membantu menjelaskan misteri di sekeliling cincin tersebut.

Ketika larut dalam bacaan, suara langkah kaki mendekat. Alya menoleh dan mendapati Raka sudah berdiri di depannya, mengenakan jaket hitam yang memberikan kesan misterius. Senyumnya yang menawan tidak dapat menyembunyikan aura intens yang menyelimutinya.

“Sepertinya kamu siap untuk petualangan, Alya,” katanya, nada suaranya penuh percaya diri. “Aku berharap kamu menemukan sesuatu yang berguna.”

“Buku ini,” Alya berkata sambil mengacungkan buku catatan, “berisi informasi tentang cincin dan artefak lainnya. Namun, masih banyak yang belum jelas.”

Raka melangkah lebih dekat, melihat halaman-halaman yang terbuka. “Ini hanya permulaan. Kita harus mencari informasi lebih dalam, mungkin bahkan mencari orang-orang yang tahu lebih banyak tentang cincin itu.”

“Siapa yang tahu?” Alya bertanya, ingin tahu seberapa jauh Raka telah memikirkan rencananya.

“Khalidun,” jawab Raka tegas. “Mereka adalah organisasi yang menginginkan cincin itu. Mereka memiliki banyak sumber daya dan pengetahuan, tetapi mereka juga berbahaya. Jika kita tidak hati-hati, mereka akan menemukan kita sebelum kita menemukan cincin itu.”

“Bagaimana kita bisa menghindari mereka?” Alya bertanya, ketakutan merayap kembali ke dalam dirinya. “Apa yang harus kita lakukan?”

Raka mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Pertama, kita harus menemukan lokasi cincin itu. Ada sebuah petunjuk di dalam buku ini yang mungkin bisa membantu kita.” Dia menunjuk ke catatan yang ditulis Alya. “Kamu mencatat semua informasi penting, kan?”

Alya mengangguk. “Tentu. Aku mencatat semua yang bisa kutemukan tentang cincin dan penyihir yang terhubung dengannya.”

Dengan langkah cepat, mereka mulai mencari lebih banyak informasi di perpustakaan. Raka terlihat berpengalaman, melintasi rak-rak buku dengan mudah. Alya merasa terinspirasi oleh kepemimpinan dan kepercayaan diri Raka, meskipun ketakutan masih menyelinap di hati kecilnya.

Setelah berjam-jam mencari, mereka akhirnya menemukan buku tua yang menyinggung lokasi cincin itu—sebuah gua yang terletak di pinggiran kota. Gua itu disebut sebagai “Gua Penyihir,” tempat di mana konon penyihir kuno mengumpulkan kekuatan mereka.

“Ini dia,” Raka berkata, mengangkat buku itu dengan semangat. “Kita harus pergi ke sana.”

“Gua Penyihir? Apakah kita benar-benar siap untuk itu?” Alya merasa ragu. Dia membayangkan kegelapan yang menyelimuti gua, terowongan yang sempit dan mengancam. Rasa takut menyelimuti keberaniannya.

“Jika kita tidak pergi, kita tidak akan pernah tahu. Ini adalah kesempatan kita untuk mengubah segalanya,” Raka membalas, matanya bersinar penuh harapan.

Alya merasa terombang-ambing antara rasa takut dan rasa ingin tahunya yang membara. Dia mengingat kembali semua cerita yang pernah dibacanya—petualangan para pahlawan yang menghadapi bahaya demi mencapai tujuan mulia. Mungkin inilah saatnya baginya untuk menjadi bagian dari cerita itu.

Mereka akhirnya memutuskan untuk berangkat ke gua tersebut setelah matahari terbenam. Alya merasakan campuran antara ketakutan dan semangat saat mereka meninggalkan perpustakaan.

Malam tiba, dan kegelapan menyelimuti kota Serawak. Bulan bersinar lembut, memantulkan cahaya di jalan setapak saat mereka berjalan. Suara malam hari memberikan suasana menakutkan, tetapi juga menggugah semangat petualangan dalam diri Alya. Setiap langkah menuju gua terasa seperti langkah menuju ketidakpastian, tetapi rasa penasaran mendorongnya untuk maju.

Saat mereka tiba di pinggiran kota, Alya melihat gua yang terlihat mengancam. Mulut gua terbuka lebar, seolah-olah menunggu untuk menelan mereka hidup-hidup. Raka mengamati gua itu dengan serius, seolah mengukur ancaman yang mungkin ada di dalamnya.

“Siap?” tanya Raka, suaranya terdengar lebih tenang daripada yang Alya rasakan.

“Aku… tidak yakin,” Alya menjawab, suaranya bergetar. Dia merasa seolah semua cerita yang pernah dibacanya sekarang menjadi kenyataan di hadapannya.

“Percayalah, kita akan menghadapinya bersama,” Raka berkata sambil mengulurkan tangannya, menawarkan dukungan. Alya mengambil napas dalam-dalam dan menggenggam tangan Raka.

Mereka melangkah ke dalam gua. Kegelapan menyelimuti mereka, dan suara tetesan air terdengar dari jauh. Alya merasa setiap detak jantungnya menggema di dalam gua. Saat mata mereka beradaptasi dengan kegelapan, mereka melihat dinding gua yang dilapisi dengan lumut dan batu-batu tajam.

Setiap langkah terasa berat, tetapi Alya berusaha tetap fokus. Dia menyadari bahwa ini adalah ujian untuk dirinya sendiri—ujian keberanian dan tekad. Dia tidak bisa mundur sekarang.

Di dalam gua, mereka menemukan banyak ukiran kuno di dinding, menggambarkan berbagai makhluk dan penyihir. Salah satu ukiran menggambarkan sosok dengan cincin yang bersinar di jarinya, dan Alya merasa seolah sosok itu mengawasi mereka. Ada sesuatu yang magis dan menakutkan dalam ukiran itu.

“Lihat,” Raka berbisik, menunjuk ke salah satu ukiran. “Mungkin ini adalah petunjuk tentang di mana cincin itu disimpan.”

Alya mendekat, matanya menyelidik setiap detail. “Tapi bagaimana kita tahu jika itu benar-benar cincin yang kita cari?” tanyanya, rasa skeptisnya muncul kembali.

“Kita tidak bisa yakin, tetapi kita harus mengikuti petunjuk yang ada. Mari kita cari tahu lebih banyak,” Raka menjawab, semangatnya menular pada Alya.

Mereka terus menjelajahi gua, mencari tanda-tanda yang mungkin mengarah ke cincin. Waktu terasa melambat, dan setiap suara kecil di dalam gua membuat jantung Aly

Terpopuler