SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
TALAK Di Malam Pertama

TALAK Di Malam Pertama

part 1 BUKAN AKU YANG PERTAMA

"Aku kecewa sama kamu, El!" ucap Regan pada wanita yang baru saja dinikahinya, setelah mereka habis bercampur.

"Tapi, Mas ... Aku korban, sama sekali tidak pernah menginginkan diriku jatuh dalam lubang hitam itu," ucap Elara memekik. Tak tahan dirinya terus disudutkan.

"Hah? Apapun alasannya, aku benar-benar kecewa. Nanti aku pikirkan lagi, mau dibawa ke mana arah hubungan kita ini." Regan meninggalkan Elara di kamar. Pintu ditutupnya dengan kasar, lalu menghilang dari baliknya tanpa peduli bagaimana perasaan istrinya di dalam sana.

Wanita berparas ayu itu duduk di tepi tempat tidur, terisak dalam tangis pilunya. Elara kecewa pada lelaki pilihan orang tuanya itu. Dia masih tak menyangka, Regan semudah itu menilainya hanya sebatas dari kisah masa lalu yang telah lama ditinggalkan nya.

Elara dahulu memang bukan wanita baik-baik, hingga untuk menjaga kehormatan dirinya saja dia sudah gagal. Kehilangan kesucian atau mahkotanya saat masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Namun, setelah satu tahun kelulusan, wanita itu berhijrah. Elara memilih untuk melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren waktu itu. Sayang, kedua orang tuanya tak mampu membiayai.

Elara tak habis akal, ia terus belajar dan memperbaiki dirinya dengan banyak menghadiri majelis ilmu di daerahnya. Tak peduli tempatnya jauh atau dekat, hujan atau panas. Elara selalu bersemangat menuntut ilmu agama, demi memperbaiki diri. Bukan menjadi lebih baik dari orang lain, melainkan menjadi lebih baik dari dirinya yang dulu.

Hingga tiba hari di mana dia dijodohkan dengan seorang lelaki yang masih kerabat dekat keluarganya. Regan Purnama, lelaki 28 tahun yang tampan, mapan, dan terkenal sangat murah hati. Benar-benar idaman para wanita, tak terkecuali Elara. Itulah yang membuat dia tak menolak pinangan lelaki tersebut.

Sayangnya ... kini, tepat di malam pertama mereka kenyataan berkata lain. Aroma bangkai masa lalu menguak mengacaukan semuanya. Regan tak terima wanita yang dinikahinya tidak memiliki selaput dara lagi. Ada yang lebih dulu merengut kesucian istrinya. Dan bagi Regan, ini penghinaan untuknya.

.

"Kamu kenapa, Gan?" tanya Bu Elsa--Ibu tiri Elara.

"Aku pergi dulu, Bu. Malam ini aku nginap di rumah ibuku saja." Regan mengecup punggung tangan mertuanya.

"Bukannya kalian--"

"Ssstt ... aku kecewa pada anakmu!" potong Regan, lalu melempar pandangan ke arah lain.

Elara keluar dari kamar dengan berlinang air mata. Ia lega saat melihat lelaki itu masih berdiri di hadapan sang ibu tiri.

Wanita berpiama merah muda itu pelan-pelan mendekat ke arah Regan. Belum juga menyampaikan maksudnya, lelaki itu berbalik dan berlalu meninggalkannya. Tak tahan lagi melihat wajah wanita yang dikatanya 'sok suci' itu.

"Mas, dengar penjelasanku dulu!" teriak Elara, suara pekikan nya menggema di dalam rumah. Sedangkan wanita yang berdiri di belakang Elara terkekeh melihat anak tirinya tak digubris suaminya.

Elara terus mengekor, tak peduli seberapa cepat langkah Regan menjarak di antara mereka. Dia hanya ingin Regan tahu, bahwa Elara yang saat ini bukanlah Elara yang dulu lagi. Berharap lelaki berparas tampan itu mau menerimanya.

"Mas!" Elara mencekal lengan Regan. Menguatkan cengkramannya di sana.

Regan mendengkus kasar, lalu memalingkan wajah menatap sang istri. Sinis, seakan ingin segera menerkam wanita di hadapannya.

"Apa lagi? Gak ada yang perlu dijelasin. kamu itu wanita kotor yang sok suci. Gak nyangka aku bisa ketipu dengan cover-mu ini!" Regan menepis tangan kurus Elara dengan kasar.

Kecewa saja, selama ini dia mengira Elara adalah gadis baik-baik. Memang kenyataannya seperti itu, hanya saja masa lalu kelam tak semudah itu lengser begitu saja dengan kenyataan yang terjadi pada Elara saat ini. Ya, dia sudah pernah digauli sebelumnya. Hanya saja Elara masih tak tahu, siapa lelaki yang tega melecehkannya malam itu.

"Aku gak tau siapa yang melakukannya, Mas!" Elara menegadah, menampakkan raut memelas pada wajahnya.

Regan meludah ke samping kanan tubuhnya, lalu kembali mengarahkan manik mata tajam pada sang istri. Socanya menyapu pandang pada Elara, mulai dari bawah kaki hingga ujung kepala. Selepas itu, ekspresi jijik terpampang nyata pada wajah Regan.

"Wanita murahan! Kutalak satu kauuuu!" Regan berteriak lantang di depan wajah Elara, menyisakan jarak beberapa senti saja.

Elara menggigit bibir bawah, lalu membekap mulut dengan kedua tangan, tak menyangka. Lututnya gemetar, tak lama kemudian kedua kakinya melemas, hingga pandangan wanita itu menjadi gelap.

Elara kehilangan kesadaran....

part 2 Jatuh Talak Satu

Menikahi Elara bukan keinginan Regan sebenarnya, melainkan wujud kepatuhan terhadap ayah dan ibunya. Jika dibiarkan memilih, Regan akan memilih wanita yang telah lama bersamanya. Wanita yang jauh lebih segala-segalanya daripada Elara.

Lelaki itu mendengkus kasar saat sudah masuk ke dalam mobil. Wajahnya terasa sangat panas sesaat ucapan Elara kembali terngiang di kepala.

Percakapan beberapa saat lalu di antara mereka masih membekas kuat di kepala. Setiap kali ingatan itu datang, Regan lagi-lagi memukul keras setir mobilnya.

"El, kenapa kamu gak berdarah?" tanya Regan saat mereka tengah memadu kasih di malam pertama beberapa saat lalu.

Regan sangat ingat bagaimana wajah Elara kala ditanya soal itu. Bibirnya gemetar, pun wanita itu cepat menarik tubuh menjauh dari suaminya. Siapa yang tak curiga, ini patut diselidiki, menurutnya.

"Kenapa, El? Apa yang membuat kamu jadi diam dan takut?" Regan kembali merapikan piamanya.

Ditatapnya Elara dengan tajam, seolah saat itu Regan ingin ******* habis wanita di hadapannya. Dia benar-benar penasaran pada jawaban sang istri.

"Jawab, El! Setidaknya aku tahu alasanmu. Kita 'kan suami istri, aku berhak tahu semuanya. Aku pernah membaca tentang selaput dara, jadi aku tahu soal itu, dan ... tadi, kenapa bisa tidak ada?" Tatapan menyelidik Regan membuat Elara semakin diselimuti rasa takut.

"A-aku ... pernah dilecehkan, Mas." Elara menutup wajah dengan kedua tangan. Dia malu, sekaligus tak menyangka suaminya akan mengungkit sesuatu yang telah lama dikuburnya dalam-dalam. Kisah beberapa tahun lalu saat dirinya masih SMA.

Regan tak habis pikir, wanita yang cover-nya tak diragukan lagi, ternyata adalah wanita yang nyatanya pantas diragukan.

Elara telah meluluhlantakkan kepercayaan yang berusaha dibangun Regan sekokoh mungkin sebelum mereka akad. Meski dia terpaksa, tetap saja menikah itu sangat sakral, perlu melibatkan hati untuk sepenuhnya percaya dulu, sebelum memulai mengucap ijab kabul.

"Sial! Kupikir kau wanita baik-baik! Ternyata gak ada bedanya dengan ja*ang!" umpat Regan, teramat kesal kala itu.

.

Kini, di luar sana sang istri sudah tak sadarkan diri. Elara tergeletak lemas di lantai teras setelah ditalak satu suaminya. Regan tak peduli lagi, dengan perasaan jengkel dan dada yang bergemuruh, dia memacu kendaraannya menjauh dari kediaman Elara.

Di pertengahan jalan Regan merogoh ponsel pada saku celana, segera mencari kontak wanita yang selalu bisa menenangkan nya dikala gundah seperti saat ini.

"May, kamu di mana?" tanya Regan dalam sambungan telepon.

"Di tempat biasa. Kenapa lagi? Mau bilang kalau kamu udah bahagia? Gak perlu dijelasin ke aku, Kak!" sahut seorang gadis di seberang telepon.

"Aku ke sana!" jawab Regan, lalu memutus sambungan telepon.

Lelaki yang tengah dirundung duka berkali-kali lipat itu memacu kendaraan jauh lebih cepat menuju ke sebuah taman. Ada titik cahaya yang segera ingin ditemuinya, setidaknya gadis itu bisa menjadi penerang atas hitam dan pekatnya problem yang dihadapi Regan saat ini.

Setelah sekitar tiga puluh menit perjalanan, akhirnya kendaraan roda empat itu berhenti di depan taman. Tempat yang beberapa hari ini tak dikunjunginya lagi karena sibuk menyiapkan pernikahan. Pernikahan yang pada akhirnya hancur juga karena ulah wanita pilihan orang tuanya itu.

Regan membuka daun pintu mobil, lalu kembali menutupnya rapat setelah keluar. Selepas menetralkan irama jantung dan menghela napas hingga dirasa cukup memenuhi dadanya, Regan pun mengayunkan langkah seraya menyapu pandan ke segala arah. Mencari sosok gadis yang baru saja mengabari bahwa dia berada di tempat ini.

"Maya ... kamu di mana, Dik?" teriak Regan, sambil celingak-celinguk mencari.

"Di sini, tepat di belakangmu."

Regan berbalik, socanya mendapati seorang gadis terpaku menundukkan wajah menatap rumput hijau yang tampak menggelap karena tak mendapat penerangan dari binar lampu kuning pada taman.

"Maya." Regan membentangkan kedua tangannya, tanpa menunggu lama Maya sudah menghambur ke dalam pelukan lelaki pujaan hatinya.

"Sepuluh hari ... Maya sangat rindu, Kak! Setiap malam di sini, sendirian. Maya gak nyangka akan ketemu Kak Regan lagi setelah menikah." Maya mendongak, masih dengan posisi melingkarkan tangan di pinggang Regan.

Regan membelai wajah polos itu, tak lama kecupan hangat mendarat di pucuk kepalanya. Ada cairan bening yang seketika luruh saat Maya merasakan sesuatu melekat di dahi. Sudah lama dia menantikan ini. Seakan telah dibuat candu pada setiap perlakuan manis Regan terhadapnya.

"Maya ... kau tau, Dik? Dia ...." Regan tak sanggup meneruskan ucapan. Dia kembali berpikir panjang, ini adalah aib rumah tangganya. Akhirnya setelah beberapa menit menimang-nimang dalam kepala, Regan mengurungkan niat menyampaikan kegundahan hatinya.

"Dia siapa? Istri Kakak, ya?" tanya Maya, lalu melepaskan pelukan.

"Kakak gak siap cerita. Nanti saja. Maya mau diantar pulang?" tanya Regan, lalu merapikan rambut Maya yang mulai tak beraturan sebab dimainkan angin.

Gadis itu mengangguk. Mereka pun berjalan beriringan menuju mobil di depan sana.

Maya memang hanya gadis biasa, berasal dari keluarga sederhana, tetapi Regan amat menyayanginya. Pernah Regan mengajukan keinginan menikahi Maya pada ibu dan ayahnya. Sayang, mereka tak ada yang setuju. Masih dengan alasan klasik, 'Maya bukan wanita baik. Rugi jika keturunan keluarga kita lahir dari perempuan sepertinya'.

Dari segi penampilan, Maya memang tak ada bagus-bagusnya. Kaos oblong, rambut yang tergerai berantakan, dan satu lagi ... Maya masih sekolah. Seorang siswi SMA yang masih menempuh pendidikan di bangku kelas tiga, jauh dari Regan yang sudah lama lulus kuliah dan melanjutkan karirnya menjadi seorang pengusaha kuliner muda yang sukses.

.

Maya sudah duduk di kursi sebelah pengemudi, gadis itu kembali asik dengan ponselnya. Sesekali ia mengabadikan gambar dirinya dengan Regan, tentu lelaki itu menyambut dengan pose yang manis pula, meski saat ini hatinya sedang menangis.

Regan tak tahu pasti, apa isi hatinya saat ini. Dia masih sangat menyukai Maya, meski sudah berstatus suami orang. Namun, dia menepis pikiran terhadap statusnya itu. Toh, Elara juga telah menghancurkan kepercayaannya, maka Regan merasa tak salah jika saat ini dia masih menjalin hubungan dengan kekasih kecilnya, Maya.

.

Selepas mengantar Maya ke rumahnya, Regan kembali memacu kendaraan menuju ke rumah orang tuanya. Tempat pulangnya saat ini, yang diharapakan Regan bisa menenangkan sedikit segala kalut dalam dada.

.

"Assalamu'alaikum ... Ayah, Ibu. Ini Regan," sahut Regan sambil mengetuk pintu.

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya membukakan pintu sambil menjawab salam. Sontak ia terperangah melihat putrnya kembali ke rumah. Pun sosok lelaki tua melangkah mendekati Regan dengan wajah keheranan.

"Kenapa kamu pulang, Nak? Ada apa?!" tanya sang Ibu.

Regan ingin menjelaskan semua, tetapi lagi-lagi dia mengurungkan nya. Ini urusan rumah tangganya, tak patut kedua orang tuanya tahu aib istrinya. Pasti mereka akan turut merasa terluka jika tahu kenyataan wanita pilihannya ternyata bukan wanita terjaga.

"Regan mau nginap bentar, Bu. Besok 'kan mau berangkat awal ke restoran, kalau dari rumah Elara, jaraknya agak jauh dan memakan waktu lama. Kalau di sini 'kan dekat," ucap Regan, lalu terkekeh.

"Oh, begitu ... ya, sudah cepat masuk. Entar masuk angin, loh. Sudah makan, Nak?" Mama Zaina--Ibu regan--menarik pelan putra bungsunya ke dalam.

"Udah, Ma." Regan memulas senyum tipis, lalu beralih menuju kamar.

Pak Nas dan Mama Zaina sama sekali tak berprasangka buruk terhadap Regan. Padahal putranya itu sedang menutupi rahasia besar.

Regan masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Lagi-lagi adegan beberapa jam yang lalu bermain dalam alam khayalnya yang liar. Saat-saat yang harusnya berbuah bahagia dan kemesraan, nahas berakhir pada kepedihan.

"Tega kau, Elara!" lirihnya, lalu mencengkram seprei tempat tidur kuat-kuat.

"Aku sudah menjatuhkan talak satu padanya. Itu pantas untuk wanita pembohong! Bedebah, sial." Lagi, Regan mengumpat kasar.

.

Malam pertama yang seharusnya masih berlangsung hingga detik ini, malah berakhir pisah ranjang di antara keduanya. Tak ada binar bahagia, hanya gurat kecewa. Tak ada lengkungan senyum yang menyipitkan mata, melainkan bulir bening yang menggenang pada pelupuk soca.

.

Drrt ....

Ponsel Regan bergetar. Lelaki berdada bidang itu menggapai benda pipih di atas nakas. Nama Elara terpampang pada layar. Tanpa berpikir panjang, Regan segera mengangkat telepon.

"Apa?! Jangan memancing emosiku! Aku bisa saja menalak tiga dirimu malam ini juga, jika aku mau. Dengar kau, ya! Kita menikah bukan karena cinta, tapi karena orang tuaku menginginkan kamu. Mau punya cucu darimu. Cih! Mereka tidak tau saja, Elara wanita seperti apa," tuding Regan, tak peduli bagaimana perasaan wanita di seberang telepon akan hujaman kalimat tajam nan pedih dari bibirnya itu.

"Pulanglah besok ... aku akan ceritakan semuanya pada, Mas. Tak baik jika kita menyudahi tanpa kejelasan yang pasti, Mas," bujuk Elara.

"Perempuan sepertimu tak layak memberitahuku mana hal baik dan buruk! Kau bahkan lebih hina dari seorang wanita penghibur! Mau tahu kenapa? Ya, kau balut dirimu tampak suci, sedangkan ternyata kamu tak lain bangkai yang sedang menyamar. Sialan!" Regan kembali mengumpat.

Elara cepat memutus sambungan telepon. Ia duduk memeluk lutut dan bersandar pasrah di belakang pintu. Kesakitan yang dirasakannya saat ini ibarat sebuah belati yang ditancapkan ke dadanya berkali-kali tanpa belas kasih.

"Apa Ibu bilang! Kamu itu anak sial, selamanya akan sial juga ... baru malam pertama sudah ditinggal aja, malu-maluin!" cecar Ibu Elsa--ibu tiri Elara.

Mendengar penuturan sang Ibu, Elara semakin bersedih. Sedari dulu, Ibu Elsa memang tak pernah menyayanginya. Elara selalu disebutnya 'anak sial'.

Wanita di balik pintu yang tengah tersedu-sedu dalam tangisnya itu sebenarnya telah lama menelan kepahitan hidup.

Ditambah lagi ujiannya saat ini, ditinggal pergi sang suami, wanita itu ingin sekali melambaikan tangan ke langit, pernyataan bahwa dirinya tak sanggup lagi. Namun, di dalam dadanya telah lama tertanam firman-Nya, bahwa 'Allah tak akan memberi ujian melebihi batas kemampuan hamba-Nya

Terpopuler