Sistem Yang Merubah Nasib
Setelah berhenti dari sebuah sekolah swasta tempat dia menjadi salah seorang guru honor, Haris melanjutkan kehidupannya menjadi seorang petani.
Honor yang cuma berkisar tiga ratus ribu per bulannya, tidak lagi memadai dan mencukupi untuk membiayai hidupnya beserta keluarga kecilnya.
Namun hal yang paling mendasar sebagai alasan dari semua kebuntuan itu adalah sikap dan prilaku pimpinan terhadapnya yqng dirasa kurqng baik dan kurang saat mendukungal saat Haris dqn keluarga kecilnya berada disana.
Seringkali dia harus berada pada suasana dilema, antara harus pergi atau tetap bertahan.
"Sebenarnya aku merasa cukup sedih kalaulah harus meninggalkan profesi, terlebih lagi tempat aku telah mengabdi ini.
Aku sudah terlanjur punya hubungan yang erat secara emosional, dengan para muridku yang bagiku sudah seperti anak anakku sendiri.
Suasana sekolah yang memiliki metode bermalam di tempat, atau sekolah berasrama, benar-benar telah membuat ikatan yang terjadi antara aku sebagai guru kepada para muridku, sangat dekat layaknya keluarga.
Alasan itulah yang membuat aku selalu terhalang untuk keluar dari tempat ini, untuk mencari pekerjaan lain.
Alasan itu pula yang membuat suasana, dimana hatiku menjadi begitu berat untuk meninggalkan tempatku mengabdi beberapa tahun belakangan ini, meski karenanya pahit getir kehidupan yang sangat kental dan begitu keras harus aku tanggung dan rasakan disini.
Namun kebutuhan dan keutuhan keluargaku saat ini lebih mendesak, karenanya hal ini mengharuskanku untuk tetap mengambil pilihan keluar dari tempat ini, walaupun rasanya cukup berat.
Honor yang sangat kurang dan jam terbang yang full time 24 jam, benar-benar membuatku tidak bisa mengambil penghasilan sampingan di luaran, untuk menutupi kekurangan kebutuhan belanja keluarga kami."
Begitulah suasana suara hati dan jeritan batin Haris saat sedang berada dalam dilema akan keadaannya itu.
Terkadang rasa ingin pergi dari tempat itu lebih kuat dan dominan, namun di saat yang lain pula, tidak jarang rasa ingin bertahan dan sabar untuk menerima semuanya, menjadi pemenang dalam perdebatan hatinya itu.
Semua dilema yang Haris rasakan bukanlah sesuatu yang tidak beralasan.
Untuk uang sejumlah tiga ratus ribu sebulan, Haris harus bekerja dengan banyak profesi, mulai dari guru biasa, guru pengawas yang mengawasi hukuman murid bila ada anak yang melakukan indisipliner, seperti pelanggaran berupa bolos sekolah atau tidak masuk kelas, keluar komplek sekolah, dll.
Profesi lain yang harus dia kerjakan adalah mengantar dan mengurusi urusan surat menyurat, baik ke kantor pemerintahan, ke sekolah lain, kerumah orang tua murid atau ke dinas yang mengayomi bidang pendidikan di sekolah tempatnya mengabdi.
Beban tugas lainnya yang dia pikul adalah sebagai tata usaha dadakan, sebab seringkali Haris disulap menjadi pemungut uang sekolah dari semua murid.
Lalu ada pula tugas tak tertulis untuknya, yakni sebagai pengantar murid yang sakit ke rumah orang tuanya, termasuk menjadi satpam menjaga dan mengawasi gerbang sekolah dan kegiatan lainnya.
Bagitupun hati Haris tidak pernah mengeluh sebelumnya, sampai pernah terjadi satu peristiwa yang menimpanya.
Peristiwa itu terjadi, saat berada di sekolah tepatnya setelah gajian di sekolah, karena perutnya saat itu terasa sakit, Haris terpaksa pergi ke sungai yang merupakan pemandian umum atau pusat kegiatan MCK di sekolahnya.
Naas hari itu entah bagaimana ceritanya, gaji yang dia terima terjatuh atau hanyut, tidak dia ketahui secara jelas.
Setelah lelah mencari seharian akan tetapi yang dicari tidak juga di temukan, maka dengan mengumpulkan semua keberanian dalam dirinya, Haris menghubungi pihak yayasan untuk meminta bantuan.
Setelah menceritakan nasib malang yang menimpanya, dia meminta tolong agar pihak yayasan membantunya memberikan pinjaman, tetapi malang tak dapat di elak untung tak dapat diraih keinginannya berbuah kekecewaan.
" Pak Yayasan saya terkena musibah har8 ini, uang gaji bulan ini yang baru saja saya terima hilang atau tercecer entah di mana. Saya sudah mencari-cari ke tempat yang saya perkirakan merupakan tempat jatuhnya uang itu, tapi tetap saja tidak ditemukan, jadi saya bermaksud untuk meminjam pada pihak yayasan.
Saya berjanji akan mengganti kembali uang itu dengan potongan gaji tiap bulannya Pak."
"Oh tidak bisa, semua uang itu sudah pas begitu dan semua orang sudah dibagi sesuai dengan honorarium jam mengajarnya."
Tapi saya benar-benar tidak punya uang lagi Pak, bagaimana saya dan keluarga bisa bertahan satu bulan ini, sementara saya hanya bekerja di sini dan Bapak sebagai pihak yayasan adalah pengayom bagi kami para guru-guru, yang tentunya hubungan ini sudah seperti orang tua kepada anaknya. Kalau bukan kepada Bapak kepada siapa lagi saya minta tolong.?"
"Iya tapi memang sedang tidak ada uang lagi Pak Haris, sama sekali tidak ada lagi uang. Itu sudah dibagikan pas begitu.
Jadi mau bagaimana lagi.?"
"Lalu bagaimanalah Pak saya dan keluarga saya selanjutnya ini.?"
"Entah saya pun tidak tahu lagi memikirkannya, kalau sudah begini."
Dengan hati pilu dan rasa sesak di dada Haris pulang ke rumah tempat tinggalnya, tetapi bayangan keluarganya yang akan kelaparan kalau segera tidak ada solusi, menggerakkan hati dan langkah kakinya untuk pergi ke arah perumahan penduduk di luar komplek sekolahnya, untuk meminjam sejumlah uang sebagai pengganti gajinya yang telah hilang.
Sesampainya di rumah salah seorang warga, setelah mengucapkan salam dan dipersilahkan masuk, Haris masih belum berkata apa apa, tetapi air matanya telah tumpah ruah.
Melihat hal tersebut warga pemilik rumah heran sehingga langsung bertanya.
"Ada apa pak Haris? kenapa bapak menangis"
Dengan bibir bergetar Haris berkata
"Uang gaji saya untuk bulan ini hilang pak!
Saya tidak tahu persis di sekitar mana hilangnya, saya sudah seharian ini mencari dan berulangkali berputar disana."
Haris lalu menceritakan semua proses dan rute perjalanan pencariannya hari itu, termasuk usahanya yang sudah berulang kali menelusuri jalan jalan tempat yang dia lalui seharian penuh untuk mencari.
Warga penduduk itu mendengar dan menyimak penuturan Haris dengan seksama,
menunjukkan sikap simpati yang tampak pada ekspresi wajahnya.
Haris yang memang begitu terpukul hari itu juga menceritakan penolakan pihak sekolah untuk memberinya bantuan berupa pinjaman.
Lalu dengan sikap yang terpaksa merendahkan dirinya, karena merasa khawatir kalau keluarganya tidak punya bekal makanan untuk dimakan sebelum gajian berikutnya, dia menyatakan maksudnya untuk meminjam sejumlah uang dari warga tersebut.
"Jadi kalau boleh meminta tolong, saya mau meminta tolong sama Bapak, untuk meminjamkan saya sejumlah uang untuk beberapa waktu lamanya, yang mana uang itu akan saya kebalikan nantinya setelah gajian pak."
Dengan senyum yang begitu hangat tersungging di bibirnya, Pak Tua yang dia temui berkata
"Sebentar ya Pak Haris saya ambilkan".
Begitu mendengar ucapan Pak Tua warga desa tersebut, Haris rasanya ingin sekali langsung bersujud, karena begitu bersyukur tetapi dia malu dengan pemilik rumah.
Tidak butuh waktu yang lama bagi Pak Tua itu untuk keluar dari kamar rumahnya yang memang kecil, sehingga segera dia sampai kembali ke posisi duduknya semula di dekat Haris.
Dengan tangan tertutup Pak Tua itu menyerahkan uang, sejumlah tiga ratus lima puluh ribu rupiah dalam keadaan gulungan bulat yang di ikat dengan karet.
Sambil menggenggam tangan Haris, Pak Tua itu berkata
"Ini Haris saya beri ya, bukan pinjam, kalau bapak kembalikan saya akan tersinggung."
Mendengar perkataan Pak Tua warga desanya yang begitu tulus, jiwa Haris sempat bergetar tak tahu lagi mau berkata apa apa, selain kata terima kasih yang berulang kali dia ucapkan.
Haris tidak menyangka si bapak yang bila dilihat dari keadaan rumahnya itu, sebenarnya tidaklah begitu jauh lebih mapan dari segi ekonomi dibandingkan dengan dirinya, tetapi punya hati yang sangat luar biasa.
"Ya Tuhanku beri aku rezeki yang lapang agar aku kelak bisa membalas kebaikan Bapak ini."
Haris berdo'a dalam hatinya.
Dengan penuh rasa syukur, Haris sangat berterima kasih atas jalan yang Tuhan berikan
Tetapi kejadian hari ini juga membuka matanya, membawanya merenungkan tentang segala kejadian yang telah dia lalui.
Bahwa boleh jadi terkadang orang yang tampak berpendidikan itu, justru seringkali tidaklah lebih terdidik jiwanya untuk mampu memberikan kepekaan dan rasa kasih pada sesama.
Orang yang senantiasa bersama melewati lembaran kehidupan baik dalam wadah dan lingkungan yang sama, belum tentu akan menjadi orang yang akan lebih dekat pada kita dalam hal hati dan perasaan.
Haris sama sekali tidak memberitahukan dari siapa pinjaman uang itu dia dapatkan dan hanya menyatakan ada orang baik yang memberinya,.
Sebenarnya Haris baik dari dirinya maupun istrinya, masih punya jalur kekekerabatan yang masih sangat dekat, pada sosok pengelola yayasan tempat dia bernaung sebagai guru honor disana.
Namun kesenjangan perbedaan status sosial, seringkali menjauhkan sebuah hubungan kekerabatan yang bahkan tadinya sangat dekat.
Pikiran Haris kini teringat akan ajakan ibu mertuanya, yang menyebutkan bahwa mereka punya bahagian tanah dari mertuanya tersebut, sebagai bahagian dari si Diana isitrinya.
"Jadi Ris, karena kalian sudah menikah dan hidup bersama, kenapa tanah itu tidak dibangun saja agar jadi kebun yang produktif seperti sawit atau pohon karet atau apapun daripada dibiarkan saja menjadi hutan.?"
Ucapan ibu mertua Haris itu kembali terngiang di telinganya.
"*Haahh telah bertahun lamanya sejak ajakan itu disebutkan oleh ibu, namun aku diamkan begitu saja, karena tidak ingin bergantung pada mertua.
Tetapi setelah melihat fakta hari ini, bahwa ternyata loyalitas atau kesetiaan itu tidaklah timbal balik, yakni dua arah antara aku dan pimpinan, maka sepertinya aku sudah harus menyisihkan waktu untuk keperluan dan masa depanku kelak bersama keluargaku*."
Haris mulai terbuka hatinya, untuk membangun lahan yang menjadi bahagian istrinya tersebut, menjadi kebun karet.
Harispun telah mulai membawa bibit karet, ke lahan kosong yang akan dia jadikan kebun.
Pkiran polosnya rentang pertanian, membuatnya berpikir agar cepat bisa di ambil manfaatnya, maka dia sengaja menanam bibit yang telah cukup besar seukuran, pergelangan kaki orang dewasa.
Tentu karena itu dia harus mengeluarkan tenaga lebih dan jumlah bibit yang akan dia bawa ke lahannya, juga menjadi sangat terbatas
Untuk beberapa saat Haris terus menyisihkan waktunya.
Disaat saat luang saat jadwal mengajarnya kosong, Haris pergi ke kebun untuk membawa dan menanam bibit pohon karet.
Di suatu hari saat Haris sedang tidur malam, dia dibangunkan oleh salah seorang murid untuk menghadap kepala sekolah, yang memang juga tinggal di area sekolah, sebagai anggota keluarga pemilik sekolah itu sendiri.
"Pak ... Pak...!
Pak Haris dipanggil pak kepala"
"Iya berangkatlah lebih dulu, sebentar lagi bapak akan datang menyusul"
Ucap Haris tampak tak berdaya.
"Ada apa sih bang ? sudah malam begini, masih saja di panggil dasar tidak tahu aturan dan tidak tahu waktu.
Pasti abang akan disuruh menjaga anak anak yang dihukum lagi, karena ketahuan keluar komplek, lalu abang tidak akan tidur semalam, tetapi besok mereka tidak akan mau tahu, abang yang tidak tidur semalaman juga harus masuk mengajar seperti biasa.
Ini sih bukan menjaga hukuman, tetapi abang yang dihukum.
Anak anak ini mereka bergantian menjalani hukuman, sementara abang yang jadi korban untuk terus mengawasi mereka, jadi intinya abang yang dihukum."
Haris hanya bisa pasrah pada apa yang disebut oleh istrinya, semua itu memang adalah kebenaran, terkadang dia harus tidak tidur selama berminggu minggu hanya untuk menjaga apa yang disebut hukuman itu.
Baik istri dan anaknya yang umurnya masih hitungan bulan harus ditinggal sendiri dirumah, pernah dia beberapa kali mempertanyakan atau yang lebih tepatnya disebut sebagai protes itu, dengan maksud agar jadwal menjaga hukuman murid yang melanggar itu dibagi pada guru lain, selalu jawaban dan alasan yang dia peroleh adalah
"Ini perjuangan pak Haris, kita sedang berjuang.
Kita harus sabar pak Haris, karena kita ini sedang berjuang"
Faktanya apanya yang berjuang?
Pihak pengelola sekolah kalau makan di rumah makan mudah menghabiskan uang sejumlah dua sampai tiga bulan gajinya bahkan lebih, sementara Haris dan keluarganya tiga ratus ribu itulah untuk segalanya dan untuk mendapatkannya dia harus full time disana, tidak ada waktu untuk bisa mencari tambahan di luar.
Selain itu dia harus menyiksa matanya, tidak tidur entah sudah berapa malam lamanya, kalau harus di total seluruhnya.
Sementara di saat yang sama si pimpinan tidur nyaman dan bobok cantik di tempat tidur empuk, dengan kehangatan selimut tebal dan pelukan isitrinya.
Menyadari semua itu, hati Haris semakin berontak atas ketidak adilan yang dia terima.
Seringkali terjadi ada saat dimana setelah malamnya dia tidak tidur karena menjaga hukuman, saat dia mengganti waktu tidurnya pada pagi harinya karena memang tidak ada jadwal mengajar.
Di saat masih nyenyak terlelap dalam tidur, istrinya yang sedang mencuci mendengar panggilan murid, yang mengatakan bahwa kepala sekolah menyuruh memanggil Haris agar mengimpal, atau menggantikan guru yang berhalangan hadir, untuk mengajar di kelas.
"Pak....! pak Haris, bapak disuruh masuk ke kelas kami pak, bu' Is ngak bisa datang hari ini."
Lagi lagi haris harus jadi korban, seperti biasanya.
Setelah beberapa hari menanam pohon karet, kegiatan Haris mulai terpantau dan diperhatikan pihak yayasan.
Selama ini dia bisa cukup bebas, karena pihak ketua yayasan, sedang melakukan perjalanan jauh ke luar kota.
Di suatu pagi hari seperti biasanya, karena kosong jadwal mengajar dan telah satu malam penuh menjaga murid yang dihukum, Haris mengganti tidurnya di pagi itu.
Tak lama terdengar namanya dipanggil lewat corong TOA rumah milik ketua yayasan, yang merupakan ayah dari kepala sekolah.
Panggilaan dengan cara yang tidak hormat itu sangat menyakitkan, seolah yang dipanggil berulang kali dengan cara tidak hormat dan memalukan itu, adalah murid yang sudah berulang kali membuat masalah berat di sekolah.
Tak pelak panggilan itu bisa di dengar semua makhluk yang memiliki telinga di sekolah itu.