The C Toxin
***
“Breaking News! Hari ini. Sebanyak lebih dari 300 siswa SD hingga SMA dinyatakan tewas di
Daegu International School. Berdasarkan keterangan salah satu orangtua korban,
peristiwa ini diduga terjadi sekitar 3 jam dari waktu makan siang. Adapaun
penyebab kematian massal ini belum ditemukan.”
“Tidak
ada yang selamat dari peristiwa ini, termasuk Kepala Sekol, dan direktur
kesiswaan. Saat ini tim investigasi telah dibentuk dan melakukan olah TKP.”
“Oh
Tuhan, ada apa ini?”
“Apa
ini? Pembunuhan massal? Genosida?”
“Ya
Tuhan, mengerikan sekali”
Daegu International School
16 April 2016
17.34 KST
Daegu sore itu begitu kelabu. Ratusan
orang berhamburan di lapangan sebuah sekolah elit terbesar Daegu yang akrab
disebut dengan singkatan DIS itu. Suara tangis, putus asa, tidak menyangka, dan
segala ekspresi tak terwakilkan membaur satu bersama ratusan jasad tak bernyawa
yang bergelimpangan di setiap sudut sekolah itu. Meskipun pelukan, guncangan,
bahkan makian putus asa yang terlontar dari orang-orang itu tidak akan
membangunkan jasad-jasad itu kembali, isak tangis itu semakin menjadi-jadi. Kedatangan
ambulance, mobil polisi, hingga militer dengan suara sirine, dan sorot lampu
yang menembus rintik hujan sore itu membuat suasana semakin mengiris hati.
“Bagaimana kondisi di seluruh penjuru
sekolah?” tanya Mark Tuan, kapten divisi detektif yang memimpin investigasi di
TKP. Mark berasal dari kepolisian wilayah Seoul, namun baru saja kembali
ditugaskan untuk memimpin investigasi kasus yang telah ditetapkan sebagai kasus
nasional.
“Tidak ada kehidupan, Kak. Semua
tewas.” jawab Jung Jeffrey, kapten tim CSI (Crime
Scene Investigation).
Mark menghela nafas, menenangkan
pikirannya. Baru saja semalam ia berhasil tidur delapan jam, karena tugas
terakhirnya selesai. Sekarang, ia harus kembali ke lapangan untuk kasus yang
lebih besar dan misterius di sekolah terbesar di kota Daegu ini.
“Kak, Lee Taeyong ahli forensik
sudah di tempat” lapor Kim Dean, detektif junior kepolisian Seoul dengan nafas
terengah-engah.
“Baiklah. Dean, Jeffrey, teruskan
olah TKP bersama yang lain.” perintah Mark kemudian berjalan setengah berlari
menuju gerbang utama, tempat Lee Taeyong menunggunya.
Kepolisian Daegu
19.30 KST
Tim investigasi, CSI, dan ahli
forensik telah berkumpul di kepolisian Daegu sebagai markas darurat. Suasana
sangat ramai, ratusan orang berdatangan untuk melaporkan kematian anggota
keluarganya. Tangisan orang-orang itu begitu nyaring dan menyayat hati, membuat
suasana malam di musim dingin itu bertambah dingin dan sendu.
“Selamat Malam. Kita akan segera memulai
rapat darurat malam ini. Dimulai dari ketua Jung, apa petunjuk yang ditemukan
di TKP?” ujar Mark straightforward.
“Kami telah melakukan penyelidikan
selama 6 jam dan tidak menemukan jejak pelaku. Namun kami mengambil beberapa
foto jenazah, dan sepertinya bisa kita jadikan petunjuk.”
Jeffrey kemudian mengarahkan
pointernya pada layar proyektor dan menampilkan foto belasan jenazah di ruang
kelas, dapur, toilet, ruang guru, hingga kantin. Jeffrey memberi lingkaran
merah pada ekspresi wajah, gestur, dan sistem gerak jenazah itu.
“Kita lihat disini, ekspresi korban
mengindikasikan ekspresi sebelum meninggal seperti kesakitan, matanya terbuka,
tangannya mengepal, kaki melipat, mulut terbuka lebar. Tidak ada tanda-tanda
kekerasan akibat pukulan, benda tajam, benda tumpul, dan sejenisnya.”
“Apa ditemukan benda tajam atau
senjata disana?” tanya Taeyong
“Tidak.”
“Tidak mungkin jika para korban
dibunuh dengan suatu benda tajam atau sejenisnya, jumlahnya terlalu banyak,
juga tidak ditemukan darah setetespun disana.” jelas Mark. Semua orang tampak
berpikir.
“Ah tunggu, bagaimana dengan rekaman
CCTV?” kali ini Dean yang bertanya.
“Rusak sebagian, dan tidak
menunjukan waktu dan rekaman awal mula korban berjatuhan.” Jawab Jeffrey
setengah frustasi.
“Dokter Lee, apakah pihak Anda sudah
melakukan autopsi?”
“Sedang berlangsung. Kami melakukan autopsi
acak pada korban disetiap lokasi berbeda di sekolah. Harapannya agar kita
mendapat gambaran awal mula kasus ini terjadi berdasarkan waktu kematian
korban”
“Kapan hasil autopsi akan dirilis?”
“Paling cepat tiga hari kemudian,
sekitar pukul 10.00 AM.”
“Dari sudut pandang biomedis, dan
psikologi forensik, apa hipotesis Anda?”
“Kemungkinan ini disebabkan oleh toksin
yang menyerang central nervous system, berdasarkan
kondisi jenazah, ditambah kejadiannya begitu cepat.” jawab Taeyong, membuat
semua orang berfokus padanya dengan tatapan tajam dan serius.
“Jika ini karena toksin, toksin
seperti apa dan diberikan melalui apa?” tanya Jeffrey
“Untuk jenis toksin kita akan
menunggu hasil autopsi. Terdapat kemungkinan jika toksin ini diberikan lewat makanan.
Mengingat kejadian ini terjadi di tiga jam setelah makan siang.” Tutur Taeyong
penuh keyakinan.
“It’s
makes sense. Dean, tolong temukan informasi jadwal kegiatan dan peraturan
sekolah itu, terutama apakah mereka diwajibkan makan siang disekolah dengan
makanan yang sama, di jam yang sama.” Perintah Mark cepat
“Baik, Kak. Mungkin besok pagi ak—”
“Sekarang! Tidak sulit mencari
informasi seperti itu.” potong Mark dengan tatapan dan nada tegasnya.
“Ah, Oke.” Jawab Dean, Ia sudah
hapal gaya kerja seniornya yang tidak sabaran itu. Ia lantas segera membuka
ponsel dan mengetikan beberapa kata kunci di mesin pencarian daring.
Rapat pun berakhir, dikarenakan
bukti kunci yang diharapkan datang dari hasil autopsi baru akan keluar tiga
hari kemudian. Sebelum kembali, mereka harus menghadiri siaran pers singkat
yang akan dipimpin oleh Kepala kepolisian wilayah Daegu Song Mino
“Kami turut berduka cita
sedalam-dalamnya atas kejadian yang menimpa keluarga Anda sekalian. Sampai saat
ini, kami belum bisa menarik kesimpulan terkait pelaku atau kemungkinan motif
dari insiden ini.” ujar Mino membuka siaran pers itu. Suasana halaman kantor kepolisian
yang berisikan jurnalis dan keluarga korban begitu hening ditengah angin malam
yang semakin dingin. Mark dan tim dibelakangnya turut hadir sembari memasang
ekspresi datar dan kelelahan.
“Namun beberapa petunjuk yang
mengarah kesana telah kami kumpulkan. Kami harap Anda semua dapat menunggu
proses hukum ini berlangsung, dan diberi ketabahan atas peristiwa ini.” nada
bicaranya kini terkesan dingin sedikit bergetar menyiratkan rasa sedih,
frustasi, marah, dan menatap nanar keluarga korban yang sedari tadi sore
menangis di depan kantor kepolisian.
“Demikian informasi yang dapat saya
sampaikan. Saya harap Anda semua dapat menenagkan pikiran, kembali ke tempat
masing-masing, dan beristirahat. Selamat malam.”
Siaran pers itupun berakhir.
Kerumuman massa perlahan mulai berkurang meskipun tetap ramai. Tampak seluruh
tim kepolisian turut membubarkan diri, begitupun dengan Mark dan Dean. Mereka
yang selalu pulang bersama, ke apartemen yang sama, dengan mobil yang sama.
Tidak ada pembicaraan diantara keduanya selama perjalanan dari halaman kantor
ke tempat parkir mobil, sebelum Dean menghentikan langkahnya.
“Kak, sekolah itu memiliki jam makan
siang terjadwal, di sekolah, dan mempunyai partnership dengan satu perusahaan supply bahan pangan.”
Kepolisian Seoul
20 April 2016
13.00 KST
Hari ini, rapat investigasi kembali dilanjutkan untuk membahas hasil autopsi korban
oleh Laboratorium Forensik Itaewon. Mark, Dean, Jeffrey, dan Taeyong sudah siap
dengan laporan di tangan masing-masing.
“Dokter Lee, bagaimana hasil autopsi korban?” tanya Dean yang bertugas sebagai
moderator atau lebih tepatnya pengarah agenda rapat siang itu.
“Baik—” Taeyong mengela nafas panjang
“Kami melakukan autopsi masing-masing empat jenazah di tempat berbeda, yaitu kelas,
dapur, kafetaria, ruang guru, toilet, perpustakaan, aula, dan tempat parkir.”
“Berdasarkan waktu kematian, jenazah di kafetaria, yang teridentifikasi sebagai juru masak,
tewas terlebih dahulu, diperkirakan pukul 13.30.”
“Dan sesuai hipotesis yang saya sampaikan, kematian disebabkan oleh kerusakan CNS,
dimulai dari lobus optik otak, dan saraf motorik.Kedua bagian sistem saraf itu cukup vital, dan dapat menyebabkan kematian dengan cepat jika rusak.”
“Kejanggalan yang kami temukan, ada substansi asing yang mengendap di serum, eritrosit, dan
sel liver jenazah, dan laboratorium kami tidak bisa mengidentifikasi senyawa
tersebut saat ini. Substansi tersebut kami curigai, karena bukan komponen
biologis, namun bukan juga komponen artifisial atau sintetik.”
“Apakah itu toksin yang Anda maksud?” tanya Mark menyimpulkan.
“Bisa jadi. Salah satu karakteristik toksin adalah keasingan senyawanya.” Taeyong menjawab dengan tatapan cukup meyakinkan.
“Jeffrey, hubungi Profesor Eric Sohn dari departemen toksikologi KAIST. Beliau adalah
profesor yang mengusut kasus keracunan pangan masal lima tahun silam di Busan, bersama saya. Kebetulan, ini mirip bisajadi.” titah Mark yakin.
“Baik Kak!” jawab Jeffrey. Ia tampak segera meraih ponselnya, dan mengetikkan sesuatu disana.
“Lalu apalagi yang Anda temukan, dokter Lee?” tanya Dean yang sedari tadi sibuk menyusun puzzle dikepalanya. Ekspresinya tidak berbeda dengan Mark yang sangat serius.
“Kami berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi karakteristik fisik dari senyawa tersebut, dan ternyata substansi tersebut merupakan liquid-plasma berukuran nano dengan enkapsulasi bilayer”
“So, it’s inhaled and dissolved? What the hell!” umpat Dean setelah merasa memecahkan teka-teki yang rumit.
“Untuk jenis substansi tersebut, kami benar-benar tidak menemukan identitas apapun dalam database forensik ataupun biomedis. Baik nasional maupun internasional. Bahkan kami sudah membuka database beberapa negara.” ujar Taeyong. Semua orang menghela nafas panjang.
“Bagaimana dengan sampel makanan?”
“Ah! Senyawa yang sama ditemukan di seluruh jenis makanan hari itu. Saya bekerjasama dengan Profesor Lee Ji Eun dari departemen Analisis Pangan SNU untuk analisis PCR dan GC-MS. Tapi lagi-lagi, kami hanya bisa mengidentifikasi karakteristik fisiknya. Substansi tersebut bersifat volatil dan—” Taeyong menggantung ucapannya,
membuat semua orang di ruangan itu menatap tajam penasaran.
“Terdeteksi senyawa benzyl alcohol, senyawa itu penyusun utama flavor sintetik ceri.” lanjut Taeyong dengan ekspresi yang juga menunjukan keheranan.
“Che-cherry?” tanya Jeffrey memastikan, Ia tampak belum bisa mencerna arah penjelasan dari Taeyong itu.
“Ya, kemungkinan untuk menyamarkan identitasnya sebagai toksin. Profesor Lee mengatakan, pembuat toksin ini sangat cerdas dan out of the box.”
Penuturan Taeyong membuat dua detektif di ruangan itu mengerutkan dahi. Suasana hening sejenak, hanya deru
nafas yang terdengar.
Beberapa saat kemudian
TING!!
Handphone Jeffrey berbunyi tanda notifikasi.
“Profesor toksikologi Eric Sohn dari KAIST bersedia bekerjasama dalam kasus ini.”
"Minta beliau untuk datang esok hari."