Wasiat Iblis
Pada akhir abad kelima belas, bangsa Portugis yang telah berhasil menguasai Malaka dan Pasai mulai menginjakkan kakinya di pulau Jawa. Saat itu yang menjadi perhatian mereka adalah pelabuhan Sunda Kelapa yang sedang berkembang pesat menjadi salah satu bandar perdagangan terbesar di pulau Jawa yang dikuasai oleh kerajaan Padjajaran.
Prabu Mundinglaya Dikusumah alias Prabu Arya Surawisesa, raja Padjajaran kala itu menerima kehadiran Portugis dengan tangan terbuka yang datang dengan iming-iming akan membantu Padjajaran mempertahankan diri dari Kesultanan Demak yang sedang berkembang pesat di pulau Jawa bagian tengah. Kabar ini segera tersiar pada telinga Sultan Trenggono, penguasa Demak kala itu. Sultan yang sedang resah oleh pengaruh Portugis di Nusantara tersebut murka ketika mendengar berita bahwa kerajaan Padjajaran telah menjalin kerjasama perdagangan dengan Portugis.
Sang Sultan segera berunding dengan para Wali Sanga untuk mengambil sikap atas apa yang sedang terjadi di Kerajaan Padjajaran tersebut, saat itu para Wali Sanga yang dipimpin oleh Sunan Giri Prapen sepakat untuk menyerbu Pelabuhan Sunda Kelapa dan Kerajaan Padjajaran serta mengusir Bangsa Portugis di bawah pimpinan adik ipar Sultan Trengono juga anak menantu Sunan Gunung Jati, yakni Fadillah Khan atau yang lebih dikenal dengan nama Fatahillah alias Wong Bagus Pasai. Kekuatan Demak, Cirebon, dan Banten pun dikumpulkan untuk memulai penyerbuan besar-besaran tersebut.
Penyerbuan ke bagian barat pulau Jawa tersebut pun dilaksanakan, dan pada tanggal 22 Ramadan 933 H, atau bertepatan dengan 22 Juni 1527 M, Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dari Bangsa Portugis. Keberhasilan Fatahillah merebut Sunda Kelapa kemudian disebut sebagai Fathan Mubina atau kemenangan yang nyata. Kata-kata ini dalam bahasa Sansekerta disebut Jayakarta. Oleh sebab itu, kota Sunda Kelapa diganti oleh Fatahillah menjadi kota Jayakarta atau Jakarta.
Setelah berhasil menguasai Sunda Kelapa, pasukan gabungan tiga negara Islam itupun langsung bergerak ke selatan menuju ke Kota Pakuan Ibukota Padjajaran. Namun satu kesalahan perhitungan dari Fatahillah adalah pasukan Portugis yang terhalang oleh blokade angkatan laut Islam di kepulauan seribu sehingga tidak bisa memasuki pelabuhan Sunda Kelapa, membelokan aah kapal-kapalnya dan mendarat di Pantai Subang dan Karawang, darisana mereka langsung bergerak cepat ke Kota Pakuan melalui jalan darat.
Prabu Surawisesa yang amat gelisah setelah mendapati pelabuhan terbesar di wilayah kekuasaannya jatuh ke tangan pasukan gabungan Islam dibawah pimpinan Fatahillah segera menghimpun kekuatan Padjajaran yang tersisa serta meminta bantuan negeri Mega Mendung, negeri bawahannya yang masih setia pada Padjajaran. Sang Prabu pun bisa bernafas lega ketika pasukan Portugis yang berjumlah besar serta seluruh persenjataan mereka yang modern telah tiba di kota Pakuan dibawah pimpinan Laksamana D’Almeida, dengan tergesa-gesa, mereka pun menyusun siasat pertahanan Kota Pakuan.
***
Kabut pagi mulai memudar, cahaya mentari mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur. Burung-burung berterbangan kesana-kemari sambil berkicau riang meriuhkan suasana, seiring dengan mulai ramainya orang-orang keluar dari rumahnya masing-masing dan berhilir mudik untuk memulai kegiatannya sehari-hari.
Namun nampaknya suasana pagi yang cerah ceria itu tidak sama dengan keadaan di perbatasan Kutaraja Pakuan Padjadjaran yang sangat mencekam. Dari seberang sebelah timur dan selatan serta barat, ribuan prajurit gabungan Demak, Cirebon, dan Banten di bawah pimpinan Senopati Demak Bintoro bernama Fatahillah, seorang pria asal Pasai keturunan Arab yang juga menantu Sunan Gunung Jati mengepung ribuan pasukan Padjadjaran yang berkumpul di mulut perbatasan Kutaraja Pakuan.
Jumlah pasukan gabungan Demak, Cirebon, dan Banten tersebut nampak unggul dalam jumlah dibandingkan dengan pasukan Padjadjaran. Pasukan Padjadjaran hanya didukung oleh pasukan dari Mega Mendung yang masih setia mendukung Padjadjaran sementara Negara-negara bawahan Padjadjaran di tanah pasundan termasuk Galuh Pakuan sudah jatuh ketangan Cirebon atau Banten. Beruntung Padjadjaran mendapatkan dukungan dari pasukan Portugis yang mempunyai persenjataan modern hingga mereka unggul dalam hal persenjataan.
Prabu Surawisesa raja Padjajaran kala itu yang memimpin langsung pasukan yang didukung oleh pasukan Megamendung dan Portugis tersebut. Raja Padjajaran yang merupakan putra kedua dari Raja pertama yakni Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dari istrinya Mayang Sunda yang didampingi Prabu Kertapati dari Mega Mendung dan Laksamana D’Almeida dari Portugis, nampak nanar menatap gabungan tiga kesultanan Islam besar yang bergabung itu.
“Sungguh tak kukira, Syarif Hidayattullah yang masih keponakanku sendiri, cucu dari Ayahanda Prabu Sri Baduga Maharaja tega untuk menyerbu negeri leluhurnya! Malah ia bersekutu dengan orang-orang dari wetan yang masih keturunan Majapahit!” ucap Sang Prabu geram. Ia menatap tajam ke arah pasukan lawannya itu sambil mengingat-ingat sosok keponakannya sendiri yakni Syarif Hidayattullah yang kini bergelar sebagai Sunan Gunung Jati tersebut.
“Benar, Kakang Prabu. Nampaknya ia tidak mengindahkan larangan dari Eyang Prabu Wastu Kencana yang melarang kita untuk berhubungan dengan orang-orang Majapahit! Ia malah lebih mendengarkan mereka, daripada wasiat Ayahanda Prabu Sri Baduga Maharaja yang meminta kita keturunannya untuk hidup damai!” sahut Prabu Kertapati.
Prabu Surawisesa menoleh pada adik seayah lain ibunya tersebut, “Betul Adi Prabu, padahal ayahanda mengizinkan Islam untuk berkembang di wilayah Padjajaran ini, kita tidak membeda-bedakan kaum muslim dengan kaum kepercayaan kita! Apakah itu masih kurang untuk Syarif Hidayatullah!?”.
Laksamana D’Almeida, Komandan Pasukan Portugis yang ditugaskan untuk membantu Padjajaran menangkis serangan gabungan tiga negara Islam itu mendengus “Gusti Prabu, mereka hanya iri dan dengki dengan kemajuan Padjajaran! Apalagi kini Anda bersekutu dengan kami bangsa Portugis. Orang-orang Demak memang memusuhi kami, mereka juga tidak senang dengan perkembangan dagang Padjajaran yang bermitra dengan kerajaan Portugis!”.
“Apa yang diucapkan oleh Laksamana benar, Kakang Prabu. Mereka hanya iri pada kemajuan Padjajaran! Sultan Trenggono dari Demak hanya takut kalah bersaing dalam berdagang dengan kita, hingga memerintahkan Syarif dan menantunya Fatahillah untuk menyerang kita!” sahut Prabu Kertapati.
“Laknat!” bentak Prabu Surawisesa yang marahnya bukan main “Orang-orang wetan keturunan Majapahit itu hendak mengadu domba keturunan Prabu Wastukencana! Adi Prabu Kertapati, dan Laksmana D’Almeida! Siapkan pasukan kalian untuk menghadang dan meluluhlantakkan Pasukan Demak, Cirebon, dan Banten itu! Kita gunakan gelaran perang Madibya atau gedung tertutup! Hancurkan para penghianat itu!” (Madibya: Gelaran Perang atau formasi pasukan yang menyerupai sebuah gedung tertutup).
Gelegar perintahnya, Prabu Kertapati dan Laksamana D’Almeida pun berkuda menuju ke prajuritnya masing-masing.
Prabu Kertapati menghampiri Ki Balangnipa, Patihnya. “Kakang Patih, ingat! Kita hanya berpura-pura perang! Jangan sampai banyak jatuh korban dari pihak kita, begitu ada kesempatan, kita akan tikam kedua belah pihak!” perintahnya pada Ki Patih.
“Daulat Gusti!” sembah sang Patih. Ia pun memberikan instruksi kepada seluruh kepala tantama rencana dari rajanya yang meminta mereka untuk hanya berpura-pura perang dan melihat setiap celah kesempatan untuk membokong Gabungan pasukan Islam dan Padjadjaran.
Sekitar satu jam kemudian, suara terompet sangkakala pun ditiup. Suara tambur mendebur dipukul-pukul tanda perang akan dimulai. Ribuan pasukan dari kedua belah pihak berlarian bagaikan ombak menerpa karang menuju musuhnya. Pasukan gabungan Demak, Cirebon, dan Banten menyerbu menggunakan gelaran perang ‘Garuda Ngelayang’ yang disambut oleh pasukan Padjadjaran yang bersikap defensive menggunakan gelarang perang ‘Madibya’ atau Gedung Tertutup! Baku hantam terjadi, tombak, pedang, perisai berdentingan mengeluarkan percikan api, anak-anak panah bertebangan mencari mangsa, suara senapan dan meriam meletus-letus, asap-asap mesiu berterbangan bercampur debu pasir, tubuh-tubuh mulai berjatuhan bermandikan darah segar! (Garuda Ngelayang: Gelaran perang yang formasi pasukannya menyerupai paruh dan kedua sayap burung garuda yang sedang terbang).
Menjelang senja hari, mulai Nampak siapa yang unggul. Pasukan gabungan tiga kesultanan Islam besar itu walaupun unggul dalam jumlah, namun kalah dalam persenjataan sebab Padjajaran dibantu oleh persenjataan Portugis. Mereka memang berhasil menekan pasukan pihak Padjadjaran sampai ke benteng kota, namun tidak berhasil menjebol benteng kota Pakuan yang sangat kokoh tersebut, sementara dari atas dan dari jarak jauh, mereka dihujani oleh tembakan-tembakan Meriam, senapan, dan panah yang sangat deras!
Mereka mulai terdesak, hingga pada saat matahari tenggelam, mereka terpaksa mundur dari medanlaga karena sudah terlalu banyak korban yang berjatuhan, berkat tembakan-tembakan senapan dan meriam-meriam Portugis dari tempat-tempat yang tinggi serta benteng keraton Padjajaran. Namun korban di Padjadjaran juga tidak sedikit, sehingga mereka tidak bisa melakukan balasan dan melakukan pengejaran pada pasukan gabungan kesultanan Islam tersebut, mereka pun terpaksa kembali kedalam benteng yang mengelilingi Kutaraja Pakuan untuk menyusun kekuatan kembali, jaga-jaga kalau ada serangan lagi dari pasukan Islam.
Sayang pula bagi Prabu Kertapati yang berniat untuk menghianati Prabu Mungdinglaya Kakaknya sendiri, karena peperangan yang berkecamuk dengan dahsyatnya serta pasukan-pasukan Portugis yang berada di tempat-tempat tinggi dan benteng keraton yang dapat melihat jalannya peperangan, ia dan pasukannya tidak mendapatkan kesempatan untuk membokong pasukan Padjadjaran maupun pasukan Islam.
***
Malam harinya, Laksama D’Almeida menghadap Prabu Surawisesa yang sedang disertai patihnya di kamar tamu kerajaan secara pribadi, “Laksamana, gerangan apakah yang hendak anda sampaikan pada malam hari begini?” tanya Prabu Surawisesa.
“Mohon maaf, Gusti Prabu. Apakah Gusti Prabu melihat ada keanehan pada Prabu Kertapati dan seluruh pasukan Mega Mendung seperti berperang dengan setengah hati?” ujar Laksamana Portugis tersebut.
Prabu Surawisesa berpikir sejenak “Ya… ya… Aku menyadarinya, seluruh pasukan Mega Mendung seperti diulur ke depan lalu ditarik ke belakang”. Dia lalu melirik pada Patihnya “Bagaimana menurutmu, Ki Patih?”.
Ki Patih menjura hormat terlebih dahulu sebelum menjawab “Ampun Gusti Prabu, hamba sendiri sudah menaruh curiga sejak lama pada Prabu Kertapati, maka hamba mengambil suatu tidakan tanpa sepengetahuan Gusti prabu, mohon ampun kalau hamba lancang Gusti”.
Prabu Surawisesa menatap Ki Patih dengan tegang, “Katakan saja, Ki Patih!”.
“Ampun Gusti Prabu, hamba telah mengutus seorang mata-mata untuk memata-matai Prabu Kertapati, dan memang beliau mempunyai maksud untuk memberontak pada Gusti Prabu, ada pun rencananya adalah mencari celah untuk membokong Pasukan Padjadjaran juga pasukan Islam saat perang tadi, namun untunglah mereka tidak berhasil mendapat celah tersebut” jelas Ki Patih.
“Biadab!” maki Prabu Surawisesa, dia lalu kembali menatap wajah Ki Patih yang telah sepuh itu. “Lalu menurut Ki Patih kita harus bagaimana? Saat ini di antara negeri-negeri bawahan kita yang masih mendukung kita hanya Mega Mendung, Kertapati juga adalah adikku sendiri, kami sama-sama putra mendiang Ayahanda Prabu Sri Baduga Maharaja… Dan yang terpenting kita masih membutuhkan dukungan kekuatan Mega Mendung!”.
Tanpa berpikir panjang Ki Patih langsung menjawab, “Ampun beribu ampun Gusti Prabu, bagi hamba akan lebih berbahaya apabila pembakangan Mega Mendung kita biarkan dalam situasi sekarang ini, lagipula mereka hanya berpura-pura mendukung kita… Dan yang paling berbahaya adalah mereka dapat membokong kita di setiap saat yang tak terduga! Bukankah begitu Laksmana?” sambung Ki Patih sambil meminta pendapat Laksamana D’Almeida.
“Benar Gusti Prabu, Gusti Prabu tidak perlu khawatir, seluruh kekuatan kerajaan Portugis akan mendukung Padjadjaran! Dan soal Mega Mendung, sebaiknya kita padamkan penghianatan mereka saat ini juga mumpung mereka masih setitik api kecil!”.
Prabu Surawisesa mengangguk-ngangguk setuju, maka menggelegarlah titahnya “Malam ini juga serbu perkemahan pasukan Mega Mendung! Dan besok, kita ratakan dengan tanah Negeri Mega Mendung di Kaki Gunung Gede itu!” maka Ki Patih dan Laksamana D’Almeida pun pamit untuk mengatur serangan terhadap Mega Mendung.
Lewat tengah malam. Di area perkemahan Pasukan Mega Mendung yang terletak di batas Kutaraja Padjadjaran, Prabu Kertapati masih saja berdiri mematung di luar kemahnya. Mata Sang Prabu menatap kosong ke atas langit malam, yang hitam pekat gelap gulita. Suara dendang riang serangga-serangga juga hewan-hewan malam yang biasanya terhidang kini enggan bersuara, seakan mengerti betapa gundah gulananya hati sang penguasa Negeri Mega Mendung, suatu negeri kecil yang berada di kaki gunung Gede yang beribu kota di Rajamandala, tapi tersohor akan kesuburan dan keelokan alamnya.
Ki Patih Balangnipa, sang Mahapatih Mega Mendung datang menghadap dengan perasaan tidak enak kala menatap raut wajah gusti junjungannya itu, dia lalu menjura hormat, namun Prabu Kertapati tetap diam mematung dengan mulut terkunci rapat. Diatas kepala mereka bulan yang biasanya lembut bersinar putih tertutup awan hitam, begitu pula bintang gemintang yang biasanya bercahaya berkerlap-kerlip diatas hamparan beludru biru kehitaman yang maha luas tak memancarkan cahayanya sedikitpun, raib ditelan gelapnya awan seolah ikut menggalau bersama sang prabu yang masih muda tersebut. Ki Patih Balangnipa pun ikut terdiam, dengan kepala tertunduk, matanya lekat-lekat memandang bumi yang ia duduki.
Beberapa saat kemudian terdengarlah desahan nafas berat dari Prabu Kertapati, Ki Balangnipa pun mengangkat kepalanya dan sekali lagi ia menghanturkan hormatnya, dengan pandangan lesu, Prabu Kertapati menatap patihnya yang sangat setia itu “Kakang Patih… engkau tentu sudah tahu maksudku memanggilmu kemari”.
“Ampun Gusti Prabu, maafkan kalau hamba salah… Tapi kalau yang dimaksud oleh Gusti tentang rencana kita dalam peperangan tadi siang, hamba nyakseni,” jawab Patih dengan suara pelan dan segan.
“Kamu benar Kakang Patih, sungguh aku tidak mengira dengan kelihaian para pasukan Portugis itu, karena mereka ditempatkan di tempat-tempat yang tinggi di dekat garis belakang mereka dapat dengan leluasa melihat gerak-gerik kita,” ucap Prabu Kertapati yang nampak jelas kemasygulan hatinya.
“Ampun Gusti Prabu, hamba dapat merasakan kegelisahan Gusti, namun dengan hormat saya meminta agar Gusti tidak terlalu khawatir, menurut hamba sekalipun pihak Padjadjaran mengetahui maksud kita yang berperang dengan setengah hati, dalam waktu dekat ini mereka tidak akan mengambil tindakan apa-apa sebab saat ini hanya Mega Mendunglah negeri bawahan mereka di tanah Pasundan ini yang masih mendukung mereka setelah Galuh, Talaga, dan Parakan Muncang habis disapu oleh para Prajurit Islam, sedangkan Sumedanglarang dan Sancang telah menerima Islam dan memilih untuk bersikap tidak memihak,” jelas Patih.
Prabu Kertapati berpikir sejenak, ia sangat setuju dengan pendapat Patihnya itu, namun hatinya masih saja gundah gulana, apalagi kalau diingatnya bahwa orang-orang Portugis yang kini berada disekitar keluarga keraton Padjadjaran sangat pandai, ia pun kembali menghela nafas berat
“Kamu benar Kakang Patih, namun hati saya masih tetap tidak tenang….” Prabu Kertapati menghentikan ucapannya sejenak, ia menatap ke perkemahan para pasukannya, Ki Patih terdiam menunggu Sang Prabu melanjutkan “Kakang Patih, hati saya benar-benar tidak enak! Sangat gelisah hingga membuatku ingin terus berjaga dan pulang saat ini juga ke Rajamandala, biasanya perasaan-perasaan seperti ini adalah suatu firasat buruk! Maka dari itu, Kakang Patih, aku perintahkan untuk memperketat penjagaan, dan persiapkan seluruh pasukan, kita akan langsung pulang begitu matahari terbit!”
Sang Patih pun yang paham akan kegelisahan rajanya segera menjura hormat “Daulat Gusti!”, dia beringsut meninggalkan Prabu Kertapati yang masih terdiam menatap lurus kearah Keraton Padjadjaran.
Sementara itu, di hutan dekat perbatasan Kutaraja Pakuan, Pasukan Padjadjaran dan Portugis bergerak dengan cepat namun sangat hati-hati nyaris tanpa menimbulkan suara menuju ke arah perkemahan pasukan Mega Mendung. Dengan cerdiknya mereka bergerak memutar tidak melewati jalan utama dari Kutaraja yang langsung menuju ke bumi perkemahan Mega Mendung di sebelah selatan, melainkan keluar melewati hutan di sebelah barat kutaraja dan bergerak menuju ke selatan tempat pasukan Mega Mendung berkemah.
Penyerangan itu dipimpin langsung oleh Prabu Surawisesa, Sang Prabu memerintahkan prajurit-prajuritnya secara berkelompok bergerak diam-diam pada malam hari melalui sungai dan hutan yang tidak dijaga dan tidak Nampak oleh pasukan Mega Mendung. Mereka akan menggempur setelah panah api dilepaskan ke langit oleh Sang Prabu sendiri. Serangan akan dilakukan mendadak yang dimulai oleh gempuran Prabu Surawisesa bersama pasukan pendobrak yang terdiri dari prajurit berkuda pilihan Padjadjaran yang ditunjuk untuk mengiringi.
Tak lama kemudian, pasukan Padjadjaran dan Portugis yang sudah sampai di bagian belakang areal perkemahan Mega Mendung segera menyebar. Ketika waktu yang direncanakan tiba, satu anak panah api segera melesat keangkasa yang nampak sangat jelas di tengah kegelapan penghujung malam itu. Kelompok prajurit berkuda pendobrak yang dimpimpin langsung oleh Prabu Surawisesa segera menggebrak pasukan Mega Mendung yang sedang berpatroli di sana tanpa suara sedikit pun! Belasan tubuh prajurit Mega Mendung segera roboh tak bernyawa dengan bersimbah darah!
Waktu itu juga, suara ratusan bedil locok atau yang biasa disebut tombak api oleh orang-orang pribumi meletus! Asap mesiu mulai berterbangan dan aromanya segera tercium bersamaan dengan rubuhnya puluhan tubuh prajurit Mega Mendung! Suara erangan dan jerit kesakitan maupun segera terdengar, namun segera hilang tertelan suara dentuman ledakan meriam-meriam Portugis yang menyasar tenda-tenda Mega Mendung! Para prajurit Mega Mendung pun kalang kabut!
Yang sudah terjaga segera membangunkan yang masih tertidur dan sebagian lagi membunyikn titir, namun setelah tembakan kedua dari bedil-bedil locok dan meriam-meriam Portugis, pasukan berkuda dan pejalan kaki Padjadjaran segera bergerak secepat kilat, melibas prajurit-prajurit Mega Mendung dengan pedang dan tombak mereka! Dalam sekejap, area perkemahan Mega Mendung seakan berubah menjadi Neraka! Darah membanjir menganak sungai, api berkobar memerah, menerangi daerah perkemahan tersebut!
Prabu Kertapati yang baru saja memasuki tendanya terkejut bukan mendengar suara dahsyat serangan mendadak tersebut, dia segera keluar dari tendanya dan menatap kearah selatan yang dikobari api seakan langit memerah dibuatnya. Dia pun segera memanggil Ki Patih Balangnipa, dengan tergopoh-gopoh Ki Patih segera menghampirinya “Kakang patih kita terlambat! Seandainya sedari tadi aku tidak ragu untuk mengambil sikap untuk segera pulang ke Mega Mendung mungkin hal ini tidak akan terjadi!”
Ki Patih segera menjura hormat, “Ampun Gusti Prabu, sekarang kita harus bagaimana? Saya beserta seluruh pasukan Mega Mendung siap melaksanakan titah Gusti.”
Prabu Kertapati yang ternama pandai bersiasat itu berpikir sejenak, lalu “Kakang Patih, bawalah seluruh sisa kekuatan kita untuk pulang ke Rajamandala, sisakan seratus orang pasukan balamati untuk bersamaku, aku akan mundur dan melarikan diri menuju ke Gunung Patuha, aku dengar di sana ada seorang pertapa hebat, aku akan meminta perlindungannya di sana!”
Ki Patih Nampak terkejut mendengar perintah gustinya yang diluar dugaannya itu “Apa?! Tapi… Mohon ampun Gusti, mengapa gusti tidak ikut mundur bersama saya ke Rajamandala? Kita masih menerobos serangan mereka di sebelah timur lalu membelok ke selatan untuk ke Rajamandala!”
“Tidak Kakang Patih, kalau saya ikut mundur ke Rajamandala, mereka akan ikut menyerang kita ke Rajamandala, saya tidak ingin Negeri kita hancur oleh mereka! Sekarang kita satukan seluruh sisa kekuatan kita, lalu kita jebol serangan mereka di sebelah timur, lalu kita berpisah di sana, aku kea rah tenggara dan Kakang ke arah selatan langsung ke Rajamandala!” jawab Prabu Kertapati.
“Ampun beribu ampun Gusti Prabu kalau hamba berani mempertanyakan titah Gusti, tapi menurut hamba walaupun gusti tidak ikut ke Rajamandala, pasukan Padjadjaran dan Portugis pasti akan tetap menyerang ke Rajamandala… Dan ingatlah bahwa gusti Ratu Nawangkasih sedang hamil tua putra sulung gusti!”
Prabu Kertapati tersenyum pilu sambil menepuk bahu Ki Patih “Kakang… Aku yakin mereka hanya akan mengejarku untuk menghukumku. Kalau aku tertangkap diluar Mega Mendung, maka Mega Mendung akan aman, kalaupun mereka menyerang ke Rajamandala dalam keadaan Padjadjaran seperti yang sekarang ini mereka tidak akan menduduki Rajamandala, melainkan untuk mendamaikan suasana di Mega Mendung dan memastikan sikap Mega Mendung, karena bagaimanapun mereka tetap membutuhkan dukungan dari seluruh rakyat Mega Mendung! Lain halnya jika aku ikut mundur ke Rajamandala, perang besar akan berkobar di sana. Mereka pasti akan lebih memilih untuk membumihanguskan Mega Mendung sebagai jaminan tidak akan ada pemberontakan!”
“Namun, walaupun Gusti tidak ikut mundur ke Rajamandala, masih ada kemungkinan besar tetap meletus di Rajamandala,” sahut Ki Patih yang masih meragukan titah rajanya.
“Maka aku akan perintahkan kau dan seluruh rakyat Mega Mendung untuk menyerah jika pasukan Padjadjaran menyerbu ke Mega Mendung! Kecuali, kalian boleh berperang apabila pasukan Padjadjaran berniat untuk menduduki Mega Mendung dan menjarah harta serta kehormatan seluruh rakyat Mega Mendung! Akan tetapi kalau maksud mereka hanya untuk untuk mendamaikan suasana di Mega Mendung dan memastikan sikap Mega Mendung, kalian harus menyerah tanpa syarat untuk menghindari pertumpahan darah! Ingat, kalian harus mundur dan menyerah di Rajamandala, bukan disini atau di perjalanan menuju kesana!” tegas Prabu Kertapati.
Akhirnya dengan lemas Ki Patih segera menjura “Daulat Gusti, titah Gusti akan hamba laksanakan!”
Prabu Kertapati mengangguk-ngangguk “Baiklah, sekarang lakukan apa yang telah aku perintahkan! Jangan buang waktu lagi!”
Ki Patih Balangnipa segera melakukan apa yang diperintahkan oleh rajanya, karena tindakan yang diambilnya terlambat, dari seribu orang prajurit Mega Mendung yang ada di sana, hanya tersisa enam ratus orang. Seratus orang pasukan Balamati segera menjemput Prabu Kertapati dan mundur pontang-panting ke arah tenggara, sedangkan lima ratus lainnya dipimpin oleh Ki Patih, mundur dengan cara memusatkan serangan ke arah timur untuk membukakan jalan bagi Prabu Kertapati untuk melarikan diri, kemudian mundur membalik ke arah selatan langsung menuju ke Rajamandala, sedangkan empat ratus orang lainnya banyak yang meninggal, dan yang luka-luka menjadi tawanan Padjadjaran.
Sementara itu di kubu Padjadjaran, Prabu Surawisesa nampak sedang berada diatas kudanya sambil melihat situasi peperangan bersama dengan Patihnya dan Laksamana D’Almeida. Seorang lurah tantama menghampiri mereka “Ampun Gusti Prabu, seluruh sisa pasukan Mega Mendung menggempur pasukan kita di sebelah timur, dan di sana mereka membagi kekuatannya, satu lari ke arah tenggara dengan dipimpin langsung oleh Prabu Kertapati, sedangkan satu mundur ke arah selatan dipimpin Patih Balangnipa!”
Prabu Surawisesa terdiam sejenak lalu melirik pada Patih dan Laksamana D’Almeida “Sepertinya pasukan yang dipimpin oleh Patih Balangnipa akan langsung menuju ke Mega Mendung… Tapi hendak ke mana pasukan yang dipimpin Adi Kertapati?” tanyanya.
“Ampun Gusti Prabu, menurut hamba Prabu Kertapati tahu bahwa yang kita incar adalah dirinya, maka ia hendak melarikan diri ke arah lembah-lembah dikaki Gunung Tangkuban Perahu dan gunung lainnya disekitar sana diluar wilayah Mega Mendung yang ditutupi hutan-hutan lebat, ia tidak ingin terjadi pertumpahan darah di Rajamandala dan seluruh wilayah Mega Mendung!”
Prabu Surawisesa mengangguk-ngangguk “Baiklah, kalau begitu kita bagi dua pasukan untuk melakukan pengejaran, yang satu dipimpin oleh Tumenggung Aryakerta menuju ke Rajamandala tugas kalian bukan untuk menduduki Rajamandala, melainkan untuk mendamaikan dan memastikan posisi Mega Mendung agar mereka tidak berbalik memihak ke Banten dan Cirebon, pasukan kedua di bawah pimpinan Rakean Rangga Sumpena langsung mengejar Prabu Kertapati ke tenggara, kalian berangkatlah saat ini juga!”
Keesokan harinya menjelang senja hari, pasukan berkuda Balamati Mega Mendung yang dipimpin Prabu Kertapati menghentikan kudanya di daerah danau dan rawa-rawa yang berada di lembah Tangkuban Perahu setelah dari tadi subuh terus dipacu, kuda-kuda itu sudah Nampak lemas dan mulutnya berbusa saking kelelahannya dipacu-terus menerus.
Karena kuda-kuda itu sudah tidak bisa dipacu lagi, Prabu Kertapati dan seluruh prajuritnya melepaskan kuda-kuda itu ke tengah hutan. Dia lalu terdiam sejenak nampak berpikir Dia lalu melihat tempat itu diapit oleh dua tebih yang tidak begitu curam namun lebat tertutupi tumbuh-tumbuhan, dia lalu melirik pada seluruh prajuritnya.
“Dengar, malam sudah hampir tiba, kita sudah kehilangan kuda kita dan sangat kelelahan, sementara pasukan Padjadjaran akan terus mendekati kita. Jadi daripada kita terus berlari, sebaiknya kita cegat pasukan Padjadjaran disini. Aku yakin saat malam tiba mereka akan melintas di tempat ini! Sekarang kalian dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama untuk berdiam di tebing sebelah kanan, dan satu lagi di sebelah kiri. Begitu pasukan Padjadjaran melintas di tempat ini, hujani mereka dengan panah! Setelah anak panah kalian habis, hunus tombak dan pedang kalian, kita gempur mereka sampai titik darah penghabisan!” semua prajurit Mega Mendung pun menuruti siasat itu.
Menjelang malam, tepat ketika matahari terbenam dan keadaan di hutan itu menjadi sangat gelap, rombongan pasukan Padjadjaran di bawah pimpinan Rakean Rangga Sumpena sampai di tempat itu, celah di antara tebing itu segera dipenuhi oleh ratusan pasukan Padjadjaran yang meliuk-liuk bagaikan ular raksasa. Rakean Rangga Sumpena memerintahkan pada seluruh pasukannya untuk memperlambat gerakan mereka dan berhati-hati, matanya menatap nanar keseluruh area di tempat itu dengan perasaan tidak enak dan jantung berdebar. Meskipun tidak ada yang Nampak mencurigakan di tempat itu, namun nalurinya sebagai seorang prajurit memerintahkan dirinya untuk bersiaga.
Ketika setengah dari barisan prajurit Padjadjaran itu masuk ke celah itu, tiba-tiba suara siulan nyaring yang bagaikan suara siulan burung sirit uncuing yang teramat nyaring terdengar memekakan telinga. Rakean Rangga Sumpena segera memerintahkan seluruh pasukannya bersiaga, namun terlambat! Seratus satu anak panah bersiutan melesat bagaikan kilat dari kedua tebing di kiri kanan mereka! Korban-korban dari pihak Padjadjaran pun langsung berjatuhan!
Dengan sigap Rangga Sumpena memerintahkan untuk melemparkan obor-obor mereka ke semak-semak di tebing kiri-kanan mereka. Semak-semak itupun terbakar dengan cepat, dan menjadi penerang para prajurit Padjadjaran untuk melihat para pembokong mereka. Mereka pun balas menyerang walau korban di pihak mereka sudah tidak sedikit.
Perang berkecamuk di gelapnya malam di lembah gunung Tangkuban Perahu tersebut! Darah segera bercucuran menganak sungai, suara teriakan-teriakan pemberi semangat bercampur dengan teriakan-teriakan kesakitan, tubuh-tubuh segera bergelimpangan! Karena unggul berada di posisi yang lebih tinggi dan melakukan serangan terlebih dahulu yang menelan korban cukup banyak dari pihak Padjadjaran, pasukan Mega Mendung nampak lebih unggul dalam peperangan tersebut, namun karena kalah jumlah, akhirnya mereka pun terdesak dan harus bertempur mati-matian, sedangkan Prabu Kertapati terlibat pertarungan hidup dan mati dengan Rangga Sumpena.
Akhirnya setelah sekitar lima jam kemudian, perang di celah sempit hutan lembah Gunung Tangkuban Perahu itupun berakhir. Seluruh pasukan Mega Mendung dan Padjadjaran mati mengenaskan tanpa tersisa, hanya Prabu Kertapati yang tadi mengamuk habis-habisan membantai pasukan Padjadjaran lah yang tersisa seorang diri dengan tubuh penuh luka. Setelah sesaat mengatur nafas dan menenangkan dirinya, ia mengambil kuda yang tadi dipakai oleh seorang ponggawa Padjadjaran, lalu memacunya terus kearah selatan menuju ke gunung Patuha.
Kelak tempat bekas peperangan dahsyat yang merenggut banyak nyawa ini dianggap menjadi tempat angker dan sangat mengerikan oleh orang-orang disekitar tanah Pasundan, mereka menyebut tempat ini sebagai “Lembah Akhirat”.