SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Aku Diceraikan Suamiku Di Depan Selingkuhannya

Aku Diceraikan Suamiku Di Depan Selingkuhannya

Bab 1

“Ken, kenalkan ini Hani,” kata suamiku.

Aku bangkit dari dudukku sembari menguncir rambut sebahuku yang sejak tadi tergerai karena basah.

Aku menggendong Sanjaya putra kami yang baru berusia satu tahun, meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun. Aku masih kesal dengan Mas Pras yang semalam tidak pulang.

Pulang-pulang justru membawa perempuan, istri mana yang tidak kesal coba?

“Kami mau menikah, Mbak!” seru Hani saat merasa kehadirannya tidak kuhiraukan.

Langkah kakiku terhenti, mataku rasanya panas. Dengan seenaknya mengatakan ingin menikah tanpa memikirkan perasaanku.

Aku melanjutkan langkah kakiku, rasanya berat tapi aku berusaha menyeretnya.

“Niken!” panggil Mas Pras dengan suara lantang.

“Aku mau menidurkan Sanjaya dulu, tidak baik ini didengar putraku,” jawabku sembari membuka pintu kamar.

Aku menidurkan Sanjaya, menatap bayi mungil berparas tampan.

“Bobok yang nyenyak ya sayang, ibu ada urusan sebentar,” kataku sembari mencium kening Sanjaya.

Aku berjalan seraya berusaha menata hati, agar siap mendengarkan kabar dari suamiku. Aku duduk di depan Mas Pras yang sedang asyik bercanda dengan Hani.

Hani duduk tegak setelah sejak tadi bergelayutan manja, ia tersenyum manis kepadaku. Seolah tidak memiliki salah apa pun kepadaku, Benar-benar wanita tidak tahu malu.

“Aku ingin ceraikanmu,” kata Mas Pras dengan enteng.

Aku menatap kedua mata Mas Pras tanpa berkedip, tubuhku sekan membeku mendengar kata talak itu. Lama-lama hatiku semakin memanas, aku tak mampu meredam percikan bara api yang membara di hatiku.

“Kamu mau menceraikanku?!” ucapku dengan bibir bergetar.

Aku tak percaya mulut suamiku itu dengan gampang melontarkan kata cerai. Setelah dua tahun bersama menjalani hiruk pikuk rumah tangga.

“Ya, kecuali kau mengizinkan aku menikah dengan Hani,” katanya dengan merangkul perempuan di sebelahnya.

Aku mengambil gelas yang ada di depanku, lalu kusiramkan di wajah perempuan itu.

“Kau tidak punya harga dirikah?” bentakku. Emosiku sudah meluap-luap sebenarnya ingin menjambak rambut lurus karena rebonding.

“Niken! Jaga omongan dan kelakuan kamu!” bentaknya sembari mengusap wajah Hani yang basah.

“Mas, kenapa istrimu ini sangat kasar?” katanya dengan suara yang manja yang dibuat-buat sampai aku ingin muntah.

Aku ingin mencubit ginjalnya, bisa-bisanya bertanya kenapa aku kasar? Anak SMP saja tahu kalau dia patut aku kasari. Bahkan aku bunuh sekali pun, mungkin orang-orang akan memaklumi.

“Niken, aku tegaskan sekali lagi. Kau terima aku menikah lagi atau kamu aku ceraikan?” tanyanya dengan menatapku tajam.

Hani tersenyum, sudah merasa menang karena pembelaan Mas Pras.

“Apa alasan kamu menceraikanku?” tanyaku.

Aku sudah merelakan pergi dari rumah orang tuaku karena dirinya. Aku lebih memilih menikah dengan Mas Pras daripada dengan orang yang dijodohkan kepada keluargaku. Kini seenak jidatnya mencampakkan diriku yang sudah berkorban untuk dirinya.

“Mbak, kamu tidak sadar ya? Coba deh berkaca,” katanya sambil tertawa. Hani melihatku dengan tatapan risih.

Aku melihat dia bergidik sembari berdesis pelan ke arahku. “Jadi perempuan itu, harus bisa jaga diri.”

Dua tahun lalu tubuhku juga sebagus Hani, tapi semenjak aku hamil dan memiliki Sanjaya. Aku tidak berdandan lagi, aku lebih banyak mengurus rumah dan anak. Kadang juga membersihkan rumah ibu mertuaku yang rumahnya ada di sebelah.

Aku menganggukkan kepala, tanda mengerti titik permasalahan yang sedang terjadi ini. Mas Pras mulai tidak mencintaiku karna tubuhku yang mengembang.

“Bagaimana?” tanya suamiku.

“Cerai saja Mas, kita akan lebih bahagia,” katanya dengan memeluk Mas Pras.

Hani sengaja memancing emosiku, dia tahu aku akan mengamuk. Dan tentu saja dengan mudah Mas Pras akan menceraikanku.

Hatiku memang terbakar, tapi aku tidak bisa terus menggunakan emosiku untuk melawan mereka.

“Menikahlah,” kataku dengan suara berat.

Aku bukan kalah dengan mereka berdua, tapi aku tidak bisa melihat mereka berdua itu hidup bahagia di atas penderitaanku.

Aku ikut andil merenovasi rumah, dan mengisi semua perabot rumah. Aku tidak akan sudi perempuan itu menikmatinya.

“Bagus, mulai sekarang kalian harus rukun. Aku akan berlaku adil dengan kalian berdua,” ucapnya dengan bibir yang merekah.

Dia sekarang sedang di atas angin setelah mendapatkan restu dariku. Mungkin dalam hati sedang menyenandungkan lagu madu tiga atau lagu jawa bojo loro.

“Semua tergantung Mbak Niken, kalau dia baik tentu saja aku bisa lebih baik,” katanya dengan tersenyum. Seolah di sini akulah yang menjadi penjahat.

“Hari sudah semakin malam, Mas suruh dia pulang,” suruhku.

Aku sudah muak dengan Hani yang terus bercengkerama dengan suamiku.

“Dia akan tidur sini malam ini, aku akan mengenalkan Hani kepada keluargaku,” kata Mas Pras.

“Mas, kamu tidur denganku ya malam ini. Aku takut tidur sendiri,” katanya dengan suara manjanya yang ingin membuat aku ingin menampar mulutnya dengan sendal.

“Bagaimana kalau kita tidur bertiga?” ajakku yang langsung di tatap aneh dengan Hani dan Mas Pras.

“Jangan macam-macam kamu,” kata Mas Pras tidak setuju. “Kamu tidur ruang tamu dulu, sayang. Setelah nikah baru kita tidur bersama,” kata Mas Pras dengan mengusap rambut Hani.

Aku menahan tawa, melihat Hani yang seperti anak remaja labil saat ngambek.

“Aku mau tidur bertiga dengan kamu sama Mbak Niken,” ujarnya bersikeras ingin tidur bareng.

Aku yakin, dia pasti tidak rela jika Mas Pras tidur berdua denganku.

“Ya sudahlah Mas, kasihan kan dia takut,” kataku sembari berjalan lebih dulu ke kamar.

Aku lebih dulu merebahkan tubuhku, sengaja aku taruh Sanjaya di tengah agar kami bertiga tidak tidur satu ranjang.

"Mas, aku tidur mana?" rengek Hani saat melihat tidak ada tempat untuk dia tidur.

"Kamu tidur di sebelah Sanjaya saja," kata Mas Pras sambil menunjuk anak lelaki kami.

"Mas, kamu tidak kangen sama Sanjaya?" ujarku mengkode Mas Pras agar dia yang tidur di sebelah Sanjaya.

Aku turun lagi dari kasurku, menarik tangan kekar Mas Pras.

"Sebenarnya, Sanjaya semalam demam dia terus memanggilmu, Mas," cetitaku dengan memasang wajah cemas.

"Lalu, bagaimana keadaan sekarang?" Pras panik sembari mengecek kening Sanjaya.

"Sudah membaik, kamu tidur sambil peluk dia. Pasti akan cepat sembuh," ujarku.

Mas Pras mengikuti omonganku, padahal semua itu hanya akal-akalanku saja.

Mas Pras menggendong Sanjaya sembari menyenderkan tubuhnya, aku pun duduk di sampingnya.

"Mas, aku tidur mana?!" rengeknya dengan wajah masam.

"Tidur saja di lantai," aku menunjuk lantai tepat dibawahku.

"Mas, aku tidak mau tidur di bawah!" bentaknya sampai membuat Sanjaya kaget dan menangis.

"Hani, bisa tidak kau pelankan suaramu. Anakku kaget," omel Mas Pras.

"Kamu menyalahkanku, aku mau pulang sekarang," katanya berlari keluar dengan mata yang berkaca-kaca.

Mas Pras menidurkan Sanjaya lalu mengejar Hani, aku berjalan pelan mengintip di pintu kamar.

Samar-samar aku mendengar rengekan manja Hani.

Aku menutup pintu kamar lalu menguncinya, "Ini baru permulaan, kita buat permainan makin seru besok."

Bab 2

"Pasangan serasi," kataku sembari memotret suamiku yang tidur berpelukan dengan Hani.

Aku pergi ke dapur untuk memasak, beberapa hari ke depan mungkin aku sudah tidak akan sibuk seperti ini.

Aku menaruh wajan keras mungkin lebih tepatnya membanting. Aku mengintip ke arah ruang tamu. Tampak Mas Pras dan Hani kaget.

"Mas, sepertinya istrimu itu sengaja!" rengeknya sembari mengucek kedua matanya.

Aku pura-pura fokus memotong sayur yang akan aku masak.

"Maksud kamu apa banting-banting wajan, bikin kaget tahu. Kasihan Hani," bentak Mas Pras.

"Mas, gosok gigi dulu. Bau,ih," kataku dengan lembut.

"Mas, dia itu tidak suka denganku," ujarnya sembari gelayutan di lengan Mas Pras.

"Udah tahu tidak suka, masih saja di sini. Kan cari penyakit," kataku dengan memotong wortel dengan keras.

"Tuh kan, Mas," tunjuknya sambil berdiri di belakang Mas Pras.

"Sudah sayang, jangan dengarkan. Sekarang mandi, nanti dandan yang cantik," katanya sembari mencubit pipinya. "Kita pergi ke KUA," imbuhnya sembari mendorong tubuh Hani meninggalkan dapur.

Aku mendengkus kasar, Mas Pras sengaja membuatku meradang. Tapi, aku tidak bisa emosi sekarang.

Setelah sayur sop yang kubuat matang, aku pergi mengunjungi rumah mertuaku. Aku menaruh mangkuk, lalu membuatkan teh hangat untuk kedua mertuaku.

"Buk, mungkin ini hari terakhir aku mengantar makanan dan bebersih rumah," kataku sembari menaruh nampan di meja.

"Kenapa?" tanya Rahayu ibu mertuaku sembari melipat koran yang sedang dibacanya.

"Sebentar lagi, ibu punya menantu baru," ujarku dengan menaruh cangkir.

"Oh, jadi mereka menikah?" tanya bapak mertuaku dengan santai.

"Jadi, ibu sama bapak sudah tahu?" tanyaku sembari menarik nampan dari meja.

"Kami memang sudah tahu, lagian apa masalahnya jika Pras menikah lagi?" tanya ibu mertuaku mengambil cangkir teh.

Hatiku rasanya semakin hancur, bisa-bisanya ibu mertuaku menanyakan masalah dengan perbuatan anaknya. Aku pikir, mereka akan kaget dengan pemberitahuanku ini. Ternyata aku salah.

Melihat respon dari mereka aku rasa meraka sudah tahu lebih dulu. Mungkin saja sudah diperkenalkan tapi belum resmi.

"Pak, bapak tidak mau menikah lagi?" tanyaku dengan seulas senyum dibibirku. "Aku punya teman, Janda sudah lima tahun. Dia cantik," imbuhku yang membuat ibu mertuaku meradang sampai membanting koran di meja.

"Maksud kamu apa suruh bapak menikah lagi?!" katanya dengan kedua mata melotot.

"Memang masalahnya apa buk kalau bapak menikah lagi?" tanyaku dengan sengaja membalikan perkataannya yang sangat ringan tadi.

Ibu mertuaku terpaku, sepertinya dia sadar jika ucapannya menjadi boomerang untuk dirinya sendiri.

"Ada apa?" tanya Mas Pras melihat wajah ibunya masam. "Niken, kau buat masalah, ya?" tuduh Mas Pras.

Aku masih dia memeluk nampan, aku ingin melihat pertunjukan yang akan terjadi.

"Mas, memangnya seperti ini ya perlakuan Mbak Niken sama keluargamu?" ucapnya sembari duduk di samping ibu.

Aku yakin, semua ini dia lakukan untuk mendapatkan simpati dari kedua mertuaku.

"Buk, kenalkan ini Hani," kata Pras memperkenalkan calon istrinya itu.

Ibu mertuaku melirik ke arah Hani, yang sejak tadi memasang bibir senyumnya.

"Hani, Buk," katanya sambil mencium punggung tangan ibu mertuaku.

Aku melihat Hani yang berlaku sangat sopan, memberikan energi positif setelah aku membut keributan sebelum kedarangan mereka berdua.

"Manis sekali, pantas Pras kepincut," celetuk ibu mertuaku.

"Buk, Pak, aku sudah mempersiapkan semua persyaratan pernikahan. Kami akan segera pergi ke KUA," katanya meminta izin dari kedua orang tuanya.

Aku diam, pura-pura kuat melihat tekad suamiku. Aku menghayalkan, menyaksikan pernikahannya laku ku bakar semua yang ada. Pasti seru.

"Bapak tidak sekalian?" sarkasku yang membuat Mas Pras menatapku heran.

"Kenapa memandangiku seperti itu, Mas?" imbuhku ketika pandangannya tidak segera beralih. Sorot matanya mengatakan jika dia membutuhkan penjelasan dari lontaran kalimatku.

"Kenapa kamu ngomong seperti itu sama bapak?" ujarnya masih bertanya-tanya dengan maksud ucapanku.

"Ya siapa tahu bapak mau menikah lagi, soalnya kan kata ibu nggak ada masalah," ujarnya sembari beranjak keluar dari ruang tamu.

...----------------...

"Sekarang aku sudah resmi menjadi istri Mas Pras," katanya dengan menunjukan cincin dan buku nikah mereka.

Aku tak bergeming, aku sibuk mengajak Sanjaya bercanda.

"Niken, selama seminggu ke depan aku akan tidur dengan Hani," ucapnya sembari duduk di sofa sembari melepas peci yang dipakainya.

Disusul dengan Hani yang masih memakai kebaya warna putih dengan mahkota siger.

Aku tidak tahu sejak kapan mereka menyiapkan semua ini, sampai-sampai langsung menikah pagi itu juga setelah mendapatkan restu dariku dan kedua orang tuanya.

Aku juga tidak tahu, mereka resepsi di mana sampai menjelang isyak baru pulang ke rumah.

"Kita akan tidur di mana Mas?" tanya Hani dengan memeluk manja Mas Pras. "Di kamarmu gimana?" tanya Hani dengan senyum ke arahku.

Aku tahu dia sedang mempermainkanku, dia mulai ngelunjak ketika sudah resmi menjadi istri ke dua.

"Niken ...," kata Mas Pras terdengar menggantung.

Aku mengangkat kepalaku, "Mas, sebenarnya aku sudah merapikan kamar sebelah. Seperti waktu kita menikah dulu," ujarku dengan menggendong Sanjaya yang mulai merengek.

"Kamar yang wangi dipenuhi dengan bunga," ucapku ku hentikan. Aku mengingat malam itu kami sangat bahagia. Melepaskan masa lajang dengan ikatan cinta.

"Kamu tidak mau tidur di sana?" kataku pura-pura menginginkan tempat itu.

Aku tahu, Hani pasti tidak ingin kalah denganku duku saat menikmati malam pertama dengan Mas Pras.

"Ok, aku akan tidur di kamar itu sama Sanjaya," kataku sembari berjalan mendekati kamar.

Aku lumayan ketar-ketir karena prediksiku salah, Hani tidak tergoda dengan kamar yang sudah aku sediakan.

"Tunggu, aku mau tidur di kamar itu!" teriaknya ketika aku hendak membuka pintu.

Aku menghela napas, lalu memutar tubuhku, "Yakin kamu tidak mau tidur di kamarku sama Mas Pras?" tanyaku membuat dia bingung.

"Yakin," jawabnya sembari menggandeng Mas Pras. "Atau kamu mau mengungsi dulu ke rumah ibu? Takutnya kamu tidak bisa tidur karena terganggu," ejeknya.

Aku tersenyum, "Aku akan tidur sangat nyenyak malam ini. Selamat menikamati," ujarku segera masuk ke kamar.

"Satu, dua, tiga ...," hitungku lalu tertawa saat mendengar jeritan dari Hani.

Aku puas sekali malam ini, aku memang menyiapkan bunga di kamar yang akan di tiduri oleh Mas Pras dan Hani.

Pasti Hani dan Mas Pras pikir taburan bunga mawar yang sangat banyak. Sehingga membuat kamar bernuansa romantis.

Nyatanya bunga yang kutabur adalah bunga macan kerah. Bunga yang biasanya digunakan sebagian orang mandi untuk menghilangkan sawan.

Aku tidak menghiraukan teriakan dan umpatan sari Hani dan Mas Pras. Aku memeluk batal guling, bibirku tak bisa berhenti tertawa sampai pipiku pegal.

"Besok apa lagi ya?"