SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
Tidak Pernah Ada Kata Perpisahan Antara Kita

Tidak Pernah Ada Kata Perpisahan Antara Kita

Chapter 1 -

"Jadi, mas mau nikah lagi?"

Kepala pria di depannya menunduk dalam. Tampangnya terlihat merasa bersalah.

"Maaf, Mei... Tapi ini bunda yang minta..."

Perkataan pelan itu membuat Mei membuang mukanya. Wajah wanita itu mungkin terlihat datar, tapi hati di dalamnya terasa sangat sakit.

Ia sangat sakit.

Ruangan itu senyap sebentar, sampai terdengar suara Mei lagi. "Kapan rencananya?"

Pria itu menelan ludahnya. Tangannya mengepal di pahanya.

"Bulan depan..."

Nafas Mei sesak. Ia benar-benar tidak bisa menatap lelaki yang saat ini duduk di seberangnya.

"Cepet banget. Aku kenal orangnya?"

"Mei..."

Menoleh pada suaminya, mata wanita itu yang sipit menatap tegas.

"Aku kenal orangnya, mas Aslan?"

Bola mata lelaki itu yang cokelat terang bergerak-gerak dan akhirnya mengangguk.

"Christine."

Kerutan kecil terbentuk di kening Mei. "Christine? Christine yang itu? Bukannya itu-"

Kata-kata itu terhenti.

Dua orang itu bertatapan sebentar, dan Mei mengalihkan lagi pandangannya. Matanya mengerjap cepat dan terlihat, bulu mata lentik itu mulai basah. Wanita itu menelan ludahnya seret.

"Mei..."

Satu tangan Aslan berusaha meraih tangan isterinya dan terkejut, saat wanita itu refleks menepisnya.

Ekspresi pria itu mengeras, ketika Mei tidak memandangnya tapi hanya mengangguk kaku.

"Aku mengerti, mas."

"Meichan... Aku bisa menjelaskannya. Aku tidak ingin kamu salah paham, sayang. Aku-"

Wanita itu tiba-tiba berdiri dari duduknya dan menarik nafas panjang. Ia akhirnya memandang suaminya. Tampak senyuman canggung terukir di bibirnya yang merah muda.

"Tidak. Aku sudah mengerti, mas Aslan. Tidak perlu mas jelaskan lagi. Mas sudah dapat izinku."

Perkataan itu membuat ekspresi Aslan yang keras berubah kosong. "Mei?"

Kedua bola mata wanita itu yang jernih tampak berkaca-kaca. Mulutnya masih tersenyum.

"Maaf, mas. Malam ini, aku izin untuk tidur sendiri dulu. Aku perlu waktu mencerna semuanya. Tapi sebagai isteri, aku sadar tidak punya hak menolak permintaan mas. Selamat malam mas."

Tidak memberi kesempatan pada suaminya, Mei masuk ke kamar dan terdengar suara kunci dari baliknya.

Sedangkan Aslan terlihat menunduk dalam duduknya. Mata pria itu nanar menatap tangannya sendiri.

Keesokannya, tidak ada yang berubah dari rutinitas mereka. Tampak Mei menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya dan ia pun menghidangkan sarapan di meja makan seperti biasa.

Keduanya makan dengan tenang di pagi hari yang cerah itu.

Bola mata Aslan mengikuti langkah isterinya yang terlihat biasa-biasa saja, saat wanita itu merapihkan meja makan dan mulai mencuci piring. Ekspresi Mei tampak tenang ketika tangan-tangan kecil itu mengeringkan piring-piring bersih dan menaruhnya di rak.

Pria itu menyesap kopinya sebelum berkata, "Kamu tidak kepikiran untuk kerja lagi, Mei?"

Tangan Mei yang sedang mengeringkan tangannya terhenti sejenak.

Mulutnya perlahan tersenyum, dan ia melanjutkan kegiatannya. Matanya belum menatap suaminya.

"Kan bunda yang pengen aku berhenti dulu. Bukannya mas pengen supaya aku fokus untuk program anak?"

"Tapi ini sudah hampir 2 tahun, Mei... Kamu tidak bosan?"

Perkataan itu diucapkan pelan, tapi efeknya membuat hati Mei serasa teriris sembilu. Ada sesuatu dalam kata-kata suaminya yang sekarang dimaknai Mei berbeda.

Ia merasa diusir.

Mungkin hal ini akan berbeda bila tidak ada pembicaraan tadi malam. Tapi nasi telah jadi bubur. Apa yang dikatakan suaminya semalam, membuat semua angan yang ada dalam benak Mei mulai meluruh.

"Benar juga kata mas. Aku akan memikirkannya."

Puas dengan jawaban isterinya, Aslan meletakkan cangkir kopinya dan memeluk Mei. Ia mencium pelipisnya. Pelukan pria itu masih terasa kaku, meski mereka sudah hampir 2 tahun menikah.

"Aku hanya mau kamu senang, sayang..."

"Hmm..."

Menunduk menatap isterinya, bibir Aslan dengan ragu-ragu mengecup wanita itu. Matanya mengerjap saat menatap ekspresi wanita itu yang datar, membuat lelaki itu akhirnya melepas pelukannya. Ia mundur.

Jakun Aslan naik-turun memandang isterinya. Satu tangannya terlihat sedikit mengepal. Gerakannya tampak canggung saat ia meraih tas kantornya.

"Kalau begitu, aku berangkat dulu."

Tangan Aslan hampir meraih pintu, saat ia merasakan tarikan pelan di kemejanya. Kepalanya menoleh.

"Dasimu agak miring, mas. Biar aku benerin dulu."

Kedua tangan Mei memegang lengan suaminya yang besar dan membalikannya pelan. Tampak tangan lentik itu meraih dasi suaminya dan sedikit merapihkan posisinya.

Pandangan wanita itu masih tertunduk dan matanya menatap bagian leher suaminya sedikit lama. Jari-jari Mei sedikit mengelus jakun Aslan yang menonjol, membuat pria itu menelan ludahnya.

"Mei?"

Kepala Mei terdongak. Mata wanita itu menatap pria tinggi di depannya dan tersenyum cantik.

"Sudah rapih mas. Hati-hati di jalan."

Suami-isteri itu bertatapan sejenak. Perlahan, udara di ruangan itu mulai terasa berat.

Tubuh keduanya sedikit bergoyang, terlihat daya tarik-menarik kuat antara dua orang itu. Sayangnya, tidak ada yang berani menginisiasi duluan. Keduanya malah hanya berdiri kaku, dengan jantung memompa kuat di d*da masing-masing dan dalam tarikan nafas mereka yang mulai memberat.

Jantung Aslan berdebar keras, tapi hal itu sama sekali tidak tertampil di wajahnya yang dingin.

"Hmm. Aku pergi dulu."

"Hati-hati mas."

Senyuman Mei masih terukir di bibirnya, sampai ia melihat mobil pria itu menghilang dari pandangannya.

Menutup pintu rumahnya, wanita itu menyender dan menghembuskan nafasnya keras. Ia melihat tangannya yang sedikit bergetar. Jantungnya masih berdebar-debar.

Telapak wanita itu membuka lebar dan matanya yang menunduk, terlihat mulai berkaca-kaca.

"Kenapa kamu ga berani, Mei? Dia suamimu..."

Setetes air turun mengalir di pipinya yang memerah.

Dan sekarang, semua sudah terlambat kan?

Ia baru saja mengusap air matanya, saat terdengar suara mobil mendekat di halaman rumahnya. Mengintip, ternyata sudah ada mobil yang terparkir. Tanpa harus melihat siapa penumpangnya, Mei sudah sangat tahu.

Menelan ludahnya, wanita itu nembersihkan wajahnya dan berusaha memasang senyuman di wajahnya.

Tepat di saat bersamaan, bel pintu di depannya berbunyi.

Sama sekali tidak ada jejak kesedihan di wajah cantik itu, saat ia membuka pintu dan tersenyum lebar.

"Bunda. Tumben main ke rumah?"

Chapter 2 -

"Terima kasih, Mei."

Wanita itu tersenyum dan duduk di samping mertuanya.

Memandang wanita baya di depannya, benak Mei berkelana ke beberapa tahun lalu saat ia pertama kali jadi seorang mualaf. Ia berasal dari keluarga dengan tradisi tertentu dan ketika akhirnya memutuskan menganut kepercayaan yang berbeda, seluruh keluarga besar menentang dan mengeluarkannya dari akta.

Ia bukannya tidak memiliki uang sama sekali. Namun, tidak akan ada seorang pun yang mau untuk berada dalam situasinya saat itu. Ia memang sudah punya pekerjaan, tapi pengasingan keluarga intinya secara cepat mempengaruhi pandangan orang-orang di sekitarnya.

Dirinya terpaksa pindah dari lingkungan tempat tinggalnya semenjak ia lahir. Belum lagi pandangan yang mencemooh dari beberapa rekan saat mengetahui keputusannya.

Tidak pernah sekali pun ia menyesali jalan yang ia ambil. Ia hanya menyesal, kenapa pada waktu itu ia mau saja menerima saat dilamar dan belum cukup pengalaman untuk lebih memperdalam keyakinannya.

Hal yang tidak ia pikirkan akan jadi masalah, ternyata sekarang justru menimpa dirinya di saat ia belum siap.

"Mei?"

Panggilan lembut itu membuat Mei menengadah.

Di depannya, tampak mertuanya memandanginya lembut. Wanita baya yang telah melahirkan suaminya ini selalu memperlakukannya sangat baik. Seolah ia adalah anaknya sendiri. Tapi...

"Ya, bunda?"

Terdengar helaan nafas dari mertuanya. Wanita baya itu meletakkan cangkirnya di meja.

"Mei... Apa Aslan sudah... mengatakan niatnya pada kamu?"

Pertanyaan itu membuat hati Mei seolah dirajam ribuan batu. Hatinya sakit. Hatinya berdarah. Ia hancur.

Bibir merah muda itu tersenyum lembut. "Iya. Mas Aslan sudah ngomong sama Mei tadi malam, bun."

Mata tua itu memandanginya ragu-ragu.

"Boleh bunda tahu, apa keputusanmu, Mei?"

Merasakan tangannya mulai gemetar, Mei ikut meletakkan cangkirnya di meja. Pandangannya tertunduk.

"Mei akan ikut keputusan mas Aslan saja."

Sejenak, suasana di ruang tamu kecil itu senyap. Hanya suara samar cuitan burung terdengar di luar.

"Mei... Boleh bunda cerita kenapa Aslan minta itu ke kamu?"

Bola mata Mei yang sipit naik dan menatap mertuanya. Wanita baya itu tersenyum lembut.

"Boleh bun..."

Kembali terdengar helaan nafas dari mertuanya. Ia sedikit menyender.

"Bunda yakin, kamu sudah tahu siapa Christine kan?"

Kepala Mei mengangguk. Tatapannya tertunduk ke arah tangan yang ada di pangkuannya.

"Dia mantan pacar mas Aslan dulu."

Lagi-lagi suasana hening sejenak, sampai mertuanya bicara kembali.

"Kamu sudah tahu kenapa mereka sampai putus kan?"

Kedua tangan Mei mencengkeram erat, dan kepalanya mengangguk pelan.

"Beda agama."

Wanita baya itu menghembuskan nafasnya sedikit keras, menandakan kegalauan hatinya.

"Sudah dari awal, bunda memperingatkan. Pacaran beda keyakinan itu, tidak akan membawamu ke mana pun. Tidak ada masa depan. Membuang waktu, juga tenaga. Karena tidak akan pernah ada jalan temunya."

Penjelasan itu membuat Mei semakin mengeratkan tangannya. Ia masih menunduk.

Mengamati menantunya yang masih diam, wanita baya itu memutuskan melanjutkan lagi.

"Kamu tahu mereka dekat berapa lama?"

"Empat tahun, bunda..."

"Benar. Empat tahun. Aslan menghabiskan 4 tahunnya sia-sia, hanya untuk menjalin hubungan yang pada akhirnya kandas juga. Dari awal, anak itu tahu orangtua Christine tidak akan pernah merestui mereka. Meski hubungan mereka terjalin baik, meski Christine adalah wanita yang baik dan calon isteri yang sempurna bagi Aslan, tapi apa manfaatnya kalau itu tidak membawa ke mana pun?"

Sesuatu dalam kata-kata itu membuat nafas Mei sedikit cepat, tapi ia masih menundukkan kepalanya.

Memandang menantunya, tatapan wanita baya itu terlihat sedih. Perlahan, ia mengambil kedua tangan Mei yang putih dan menggenggamnya erat.

"Tapi sekarang, Christine butuh bantuan kita, Mei... Dia butuh... Aslan."

Barulah pandangan Mei naik. Sorot matanya bercampur antara sakit dan heran.

"Bunda?"

Genggaman di tangan Mei mengerat. Mertuanya itu terlihat menelan ludahnya beberapa kali.

"Saat putus dari Aslan, Christine akhirnya menerima lamaran pria lain. Mereka menikah hampir tiga tahun ini Mei, dan sudah dikaruniai seorang putri cantik... Tapi dalam perjalanannya, Christine ternyata mendapat hidayah. Ia baru menemukan tujuan hidupnya saat sudah menikah dengan lelaki lain."

Kali ini, jantung Mei serasa mencelos ke bawah. Ia sangat tahu pasti yang akan dikatakan selanjutnya.

"Suaminya menceraikannya, Mei. Dan karena Christine memutuskan membawa anaknya serta, pria itu sama sekali tidak mau menafkahi keduanya. Ia menganggap hubungan darah mereka sudah putus, sejak Christine pindah keyakinan. Saat ini, ia tidak punya siapa pun, Mei. Ia tidak punya suami. Ia tidak punya keluarga. Dia tidak punya tempat tinggal. Dia sebatang kara dan butuh bantuan kita, Mei..."

"Tapi kenapa mesti mas Aslan..." Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutnya juga.

"Karena hanya Aslan yang dia tahu, Mei... Aslan juga yang dulu mencoba mengajaknya pindah keyakinan. Anak itu sampai mengenalkannya pada seorang guru untuk belajar agama, tapi dia menolak. Tapi sekarang saat dia sudah mendapatkan petunjuk, apa kita tega menolaknya, Mei?"

Bola mata Mei bergerak-gerak menatap mertuanya, tapi tidak satu pun kata keluar dari mulutnya.

"Bunda tahu, ini tidak adil buat kamu. Kamu juga pernah melalui yang sama, tapi saat itu, Aslan sudah ada di sampingmu. Kamu tidak sendirian. Tapi Christine... Dia sendirian. Dia butuh orang mengarahkannya. Dia butuh seseorang mengajarkannya. Ia butuh orang untuk menyakinkannya bahwa pilihannya tidak salah...."

Dan saat kata-kata terakhir keluar dari mulut wanita baya itu, Mei menundukkan matanya yang basah.

"Dia butuh seorang imam, Mei... Karena itu, bunda meminta Aslan menikahinya."

Terpopuler