Naruto Reborn
Langit mendung menggantung berat di atas gedung-gedung tinggi kota. Hujan yang tak kunjung berhenti menambah kelam suasana hati seorang pegawai bank yang terjebak di balik layar komputer, tenggelam dalam tumpukan laporan dan target yang seakan tak pernah cukup. Namanya Yandy, 32 tahun, seorang pegawai yang hidupnya bergantung pada target yang selalu meningkat setiap bulan. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia bekerja hingga larut malam, menatap angka-angka yang seakan mengejeknya.
Di luar jendela kantornya, lalu lintas malam mulai sepi. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, tetapi Yandy belum juga beranjak. Suara ketikan keyboard dan dering telepon menjadi musik latarnya setiap malam. Matanya sudah lelah, tubuhnya terasa berat, tetapi pikiran Yandy tidak pernah berhenti berputar. Target. Meeting. Deadline. Angka-angka yang terus menghantui kepalanya.
“Kamu harus bisa, Yandy. Kalau nggak, bonus kita bisa hangus,” suara bosnya terngiang di kepalanya, menambah tekanan yang tak berujung.
Yandy memejamkan matanya sejenak, mencoba meredakan migrain yang mulai menusuk. Pikirannya berkelana, membayangkan betapa sederhananya hidup seandainya ia bisa lari dari semua ini. Tanpa target, tanpa deadline, tanpa tekanan yang membuatnya merasa seperti mesin tanpa perasaan.
Saat itulah, sesuatu di dadanya terasa begitu sesak. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi keningnya. Ia meraih dadanya yang terasa sakit, mencoba bangkit dari kursinya, tetapi tubuhnya tak menurut. Pandangannya mulai gelap, suara dering telepon di sekitarnya semakin menjauh, tenggelam dalam keheningan yang mencekam.
Yandy jatuh ke lantai, sendirian di ruangan yang dingin dan sunyi. Dalam detik-detik terakhirnya, ia hanya bisa menyesali hidup yang penuh tekanan tanpa arti. Lalu, semuanya berubah menjadi gelap.
Ketika Yandy membuka mata, ia tidak lagi berada di kantor yang penuh dengan kertas dan angka. Ia terbangun di tengah cahaya matahari yang menusuk matanya, terbaring di atas rumput yang terasa asing. Dengan kepala yang masih pening, Yandy mencoba bangkit, dan saat itulah ia menyadari ada sesuatu yang sangat salah.
Tubuhnya jauh lebih kecil, tangannya mungil, dan kulitnya lebih gelap dari biasanya. Pakaian oranye terang yang ia kenakan, rambut pirang cerah, dan refleksi yang muncul dari genangan air di sampingnya membuatnya terpaku. Itu bukan wajahnya. Itu adalah wajah yang sangat ia kenali—Naruto Uzumaki kecil.
“Tidak mungkin…” Yandy bergumam, suaranya yang dulu berat kini terdengar ringan dan kekanak-kanakan. Ia menyentuh wajahnya, rambutnya, dan semua terasa nyata. Yandy tahu karakter ini. Ia adalah Naruto, bocah yatim piatu yang selalu dipandang rendah oleh warga Konoha. Tetapi, bagaimana mungkin ia menjadi Naruto?
Panikan, Yandy berlari menyusuri desa yang juga tidak asing baginya. Bangunan kayu, toko-toko, dan para ninja yang melintas dengan tenang—semua tampak persis seperti di anime yang sering ia tonton saat menghindari realitas pekerjaannya. Namun, ini bukanlah layar kaca. Ini nyata.
Desa ini hidup. Orang-orang bergerak, berbicara, dan beberapa bahkan menatapnya dengan tatapan yang tidak bersahabat. Sebuah tatapan yang menusuk lebih dari yang pernah ia terima dari bosnya. Tatapan kebencian.
“Naruto! Apa yang kau lakukan di sini?!” teriak seorang pedagang tua dari balik gerobaknya. Yandy tertegun sejenak, sadar bahwa ia telah benar-benar menjadi bocah yang dibenci. Ingatan Naruto tentang kesepian, kemarahan, dan kesedihan seakan membanjiri pikirannya. Yandy terperangkap dalam tubuh bocah ini—bocah yang hidupnya jauh lebih sulit daripada apa yang pernah ia bayangkan.
Namun, ini bukan sekadar mimpi buruk. Ini adalah kenyataan baru. Yandy, yang kini menjadi Naruto, harus belajar menerima takdir barunya. Kehidupan sebagai seorang shinobi, dengan segala pertempuran dan tantangan yang akan datang, jauh lebih berat daripada tekanan angka-angka di laporan bank.
Tetapi Yandy bertekad. Jika ini adalah hidup keduanya, ia tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Sebagai Naruto, ia akan bertarung, bukan hanya untuk diterima tetapi juga untuk menulis ulang takdir seorang bocah yang seharusnya menjadi Hokage.
Hawa dingin pagi menyapa wajah Yandy, namun rasa dingin itu tidak lebih tajam daripada rasa sakit yang mulai menyelimuti hatinya. Sejak terbangun dalam tubuh Naruto Uzumaki, Yandy telah merasakan ketidaknyamanan yang menyakitkan—bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Kini, dengan rasa frustrasi dan kebencian yang mendalam, ia mulai menyadari penderitaan yang dirasakan Naruto.
Hari-hari pertama sebagai Naruto dipenuhi dengan momen-momen canggung dan mengerikan. Setiap kali ia berusaha berinteraksi dengan penduduk Konoha, ia dihadapkan pada tatapan penuh kebencian dan kata-kata kasar. Namun, apa yang tampaknya adalah perlakuan biasa dari orang-orang terhadap Naruto, kini dirasakan Yandy dengan intensitas yang jauh lebih dalam.
Malam itu, Yandy merasakan rasa sakit emosional yang mendalam. Ia terbangun dari mimpi buruk yang penuh dengan bayangan kebencian dan kesepian yang menghantui Naruto setiap hari. Dalam kegelapan malam, ingatan dan perasaan yang bukan miliknya mulai menyatu dengan miliknya sendiri. Penderitaan Naruto tidak hanya terasa seperti kenangan yang jauh, tetapi juga seolah-olah Yandy mengalami setiap luka emosional secara langsung.
Ia bisa merasakan setiap tatapan sinis, setiap kata hinaan, dan setiap penolakan yang diterima Naruto. Air mata mulai menetes dari mata Yandy, bukan hanya sebagai respons terhadap kesedihan Naruto, tetapi juga sebagai reaksi terhadap ketidakberdayaan yang menggunung dalam dirinya. Ia mulai membenci semua orang di Konoha yang telah menyebabkan penderitaan Naruto.
Di pagi hari, Naruto—atau lebih tepatnya Yandy yang berada dalam tubuh Naruto—berjalan melalui desa dengan perasaan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Ia merasa marah dan penuh kebencian terhadap penduduk desa yang terus-menerus menyakiti Naruto, dan kebencian ini mulai mengubah pandangannya terhadap hidupnya. Setiap tatapan sinis dari orang-orang di sekelilingnya memicu amarah dalam dirinya, dan ia tidak lagi bisa menahan perasaan itu.
Saat ia melewati pasar desa, seorang anak kecil lain yang tampaknya tidak mengenal Naruto berlari ke arahnya, tidak sengaja menabraknya dan menjatuhkan beberapa barang belanjaan. Alih-alih meminta maaf, anak itu menatap Naruto dengan tatapan penuh jijik, seolah-olah kehadiran Naruto adalah sebuah kesalahan besar. Rasa benci Yandy yang menyala semakin membara.
“Jangan sentuh aku!” teriak Yandy, suaranya bergema dengan emosi yang intens. “Kalian semua tidak layak mendapatkan pengertian atau perhatian dari orang seperti aku!”
Seketika suasana di pasar menjadi canggung. Orang-orang di sekitar mereka menatap dengan bingung dan beberapa dengan kemarahan. Yandy, dengan kemarahan yang tidak tertahan, melarikan diri ke hutan di luar desa. Di sana, di tengah hutan yang sunyi, ia berteriak penuh amarah, mengungkapkan semua perasaan yang selama ini terpendam.
Saat amarahnya mereda, Yandy duduk terdiam, mencoba memahami perubahannya. Naruto selalu memimpikan menjadi Hokage, melindungi desa dan semua orang di dalamnya. Namun, Yandy merasa berbeda. Penderitaan Naruto telah mengubah pandangannya, dan ia tidak lagi bisa melihat Hokage sebagai tujuan yang patut diperjuangkan.
Dengan penuh tekad, Yandy membuat keputusan penting. Ia tidak ingin menjadi Hokage hanya untuk melindungi semua orang yang tidak menghargai atau memperlakukannya dengan baik. Sebaliknya, ia ingin menjadi ninja sekuat mungkin, bukan untuk mengabdi pada semua orang, tetapi untuk melindungi mereka yang benar-benar pantas mendapatkan perlindungannya—orang-orang yang, meskipun sedikit, telah menunjukkan kebaikan dan kepedulian sejati.
Keputusan ini membawa Yandy pada sebuah perjalanan baru. Ia harus mempelajari keterampilan ninja dengan keras, berlatih tanpa henti, dan menemukan cara untuk mengatasi kesedihan dan kebencian yang mengelilinginya. Namun, tekadnya yang baru adalah untuk menjadi lebih dari sekadar pelindung—ia ingin menjadi simbol kekuatan dan keberanian untuk mereka yang benar-benar layak.
Dengan tekad yang baru dan tujuan yang jelas, Yandy mulai melangkah ke jalan yang penuh tantangan dan perjuangan. Jalan yang bukan hanya tentang menjadi ninja yang kuat, tetapi tentang menemukan arti sebenarnya dari perlindungan dan menghargai mereka yang patut mendapatkan perhatian dan cinta.