SweetNovel HOME timur angst anime barat chicklit horor misteri seleb sistem urban
I'M A Villain In My Own Game?

I'M A Villain In My Own Game?

Arc 1 : Prolog

Sebuah scene terpampang di layar komputer.

Aku sedang memainkan sebuah game RPG menceritakan mengenai seorang pahlawan yang ingin menghilangkan penderitaan umat manusia dari serangan monster, iblis maupun sesama manusia.

Game ini kubuat sendiri bersama beberapa timku dan akan release beberapa bulan lagi. Saat ini, aku tengah melakukan uji coba agar game ini minim kendala ketika dimainkan nanti.

"Mengapa kau menjadi seperti ini, Raul!? Mengapa kau menjadi orang sekejam ini!?"

Seorang gadis cantik berambut platinum sedang menangis. Di sampingnya terlihat seorang pria tampan berambut pirang tengah bersiap menghunuskan pedangnya jika pria di hadapan mereka akan menyerang.

"Kenapa kau tidak pernah mengerti, Ariel!? Aku melakukan semua ini untuk dirimu!" seru pria berambut hitam. Tubuhnya terlihat penuh dengan luka. "Mengapa kau lebih memilih dia!? Brian hanyalah rakyat jelata yang tidak pantas bersanding dengan seorang Saint sepertimu!"

Pria bernama Raul itu adalah salah satu Antagonis di game Path of Destiny. Dia merupakan salah satu karakter yang menghalangi Brian—Sang Hero pada Game ini untuk mencapai tujuannya.

Raul memiliki sifat posesif kepada Ariel. Awalnya, dia tidak menyadari, bahwa sifat kasarnya yang sering ia lakukan pada Ariel adalah sebuah cinta yang buruk, sebuah rasa ingin memiliki dan mengekang Ariel hanya untuk miliknya seorang.

Sikapnya ini muncul ketika Brian mulai mendekati Ariel. Raul yang dipenuhi rasa cemburu buta membuatnya sering menganggu Ariel dan Brian hingga akhirnya, Ariel mulai membencinya, membuat Raul jatuh ke jurang keputusasaan yang lebih dalam sampai melakukan sebuah kontrak dengan iblis untuk merebut Ariel dengan paksa dari Brian.

"Apa kau bodoh, Raul? Perlakuan kasarmu padanya selama ini kau lakukan demi dirinya? Apa kau sudah gila!?" kata Brian yang kali ini melangkah maju untuk melindungi Ariel.

"Diam kau, rakyat jelata! Jika bukan karenamu mendekati Ariel, hubungan kami tidak akan berakhir seperti ini!" umpat Raul, tatapan matanya kepada Brian penuh dengan api kebencian yang membara.

"Kau salah Raul," kata Ariel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku memilih Brian karena keinginanku sendiri, dia lebih baik daripada manusia yang menjual jiwanya kepada iblis sepertimu!"

Mendengar kata-kata pahit itu dari wanita yang ia cintai, Raul mengeluarkan sebuah aura hitam pekat. Hatinya dipenuhi amarah dan kebencian. Tubuhnya mulai berubah menjadi jelmaan iblis yang mengerikan.

"Jika aku tidak dapat memilikimu, Ariel... Maka tidak ada satu orangpun yang berhak mendapatkanmu!" seru Raul yang mulai melesat ke arah Brian dan Ariel.

Brian menghunuskan pedangnya kemudian tubuhnya diselimuti aura terang berwarna kuning. Kilatan petir mulai terlihat di sekitar tempat ia berpijak.

"Kau telah jatuh sampai sejauh ini, Raul," kata Brian terlihat menguatkan tekadnya. "Ternyata aku salah pernah berpikir kita dapat berteman baik. Sekarang, kupastikan kau tidak akan dapat menganggu Ariel lagi!"

Mereka berdua mulai bertarung. Sebuah ledakan akibat pertarungan mereka terlihat jelas dari kejauhan. Suara dari tabrakan sihir mereka menggelegar bagaikan gemuruh petir di saat badai.

Di tengah pertarungan yang sengit itu, hanya ada satu pemenang yang terlihat masih berdiri. Sang Pahlawan umat manusia—Brian, dia telah membunuh Raul—Seorang bangsawan yang telah jatuh karena menjual jiwanya kepada iblis untuk mendapatkan kekuatan.

Pandangan terakhir yang Raul lihat sebelum dirinya mati meninggalkan dunia adalah Ariel, wanita yang sangat ia cintai sedang berciuman dengan Sang Pahlawan Brian—Pria yang teramat sangat ia benci.

Setelah pertarungan usai, sebuah kata 'Victory' terlihat di atas avatar Brian dan Ariel yang menandakan Player telah mengalahkan boss ketiga dari game yang kubuat.

"Well... Kurasa performanya tidak ada masalah. Akan tetapi, mengapa mereka membuat cerita game yang sangat klise seperti ini?" keluhku.

Untuk Storyline-nya sendiri, ada seorang penulis terkenal yang membuatkannya untuk kami. Aku dan timku hanya bertugas untuk mengembangkan gamenya saja. Ini adalah permintaan dari perusahaan yang membiayai proyek game kami. Mereka mengatakan bahwa, cerita model seperti ini sedang populer di kalangan remaja dan dewasa.

Tapi, membuat game ini adalah impianku sedari dulu. Melihatnya dapat dimainkan oleh para Player di seluruh dunia saja sudah membuatku bersyukur walaupun banyak yang harus dikorbankan untuk mencapainya.

Berbicara tentang pengorbanan, aku melihat sebuah bingkai poto yang ada di samping komputerku. Sebuah poto pria berambut hitam bersama seorang wanita cantik. Wanita itu adalah mantan kekasihku—Liana.

-Tengg...!

Aku mendengar bel rumahku berbunyi, terdapat sebuah kamera di pintu depan rumahku. Aku mengaktifkan kamera tersebut lalu melihat seorang wanita yang wajahnya sama dengan wanita yang ada pada poto tersebut.

"Hey, Aku ingin mengambil barang-barang yang dulu pernah aku titipkan padamu," kata Liana yang berbicara melalui mikrofon yang terpasang di sana.

"Baiklah, masuklah ke sini," kataku seraya membuka tombol untuk membuka pintu.

Liana memasuki rumah, tidak lama terdengar suara langkah kaki yang seperti sedang menaiki tangga. Pintu kamarku terbuka lalu munculah seorang wanita cantik dengan rambut hitam panjang lurus.

"Pagi, Evans. Maaf aku mendadak datang seperti ini," kata Liana terdengar menyesal. "Apakah kau masih menyimpan beberapa pakaianku di sini?"

Bulu matanya yang indah dan kulit yang mulus seperti salju. Aku berpikir kembali, mengapa aku melepaskan wanita sehebat Liana hanya untuk menyelesaikan sebuah game.

"Kau bisa mengambilnya di lemariku, aku sudah merapikannya agar kau dapat mengambilnya dengan mudah," jawabku menunjuk sebuah lemari besar di sudut kamar.

Liana kemudian berjalan ke lemari itu lalu mengambil beberapa tas yang ada di dalamnya.

Aku melihat keluar jendela, terlihat seorang pria tampan yang bersandar ke sebuah mobil mewah. Dia adalah tunangannya Liana. Seorang ahli waris dari sebuah perusahaan besar yang ada di negara ini.

"Terima kasih, Evans. Kau sangat membantu sekali," kata Liana yang tersenyum padaku.

"Kau memilih pria yang tepat, Liana." Aku mengatakannya dengan nada se-normal mungkin.

Mendengar perkataanku, Liana menghela nafasnya seperti tidak mau membahas masalah ini. "Dia pria yang baik dan bertanggung jawab," jawabnya singkat.

Telapak tangan Liana tiba-tiba menyentuh pipiku. Wangi parfum yang selalu ia pakai tercium oleh hidungku, membangkitkan beberapa kenangan yang pernah kami bagi berdua.

"Evans, Aku pergi... "

Aku memandang matanya yang terlihat seperti akan menangis. Mengapa dia merasa emosional di saat-saat seperti ini? Bukankah kita sudah melalui masa-masa itu?

"Jaga dirimu baik-baik oke ... "

Dengan kata-kata terakhirnya itu, dia keluar dari kamarku. Kurasa, tadi adalah terakhir kalinya aku dapat berbicara hanya berdua saja dengannya. Mungkin tadi adalah kesempatan terakhirku untuk menyatakan perasaanku yang sebenarnya padanya.

Ya... Aku masih mencintainya, sungguh...

Jika aku diberi kesempatan untuk mengulang waktu untuk dapat bersamanya kembali dan melupakan impianku, maka tanpa pikir panjang aku akan mengambil kesempatan itu.

Sebesar itulah rasa penyesalanku, menyia-nyiakan cinta yang diberikannya waktu itu padaku.

Aku memegang pipiku yang tanpa kusadari telah basah oleh sebuah air mata.

Merobohkan diri ke kasur tidurku, aku mencoba untuk beristirahat sejenak untuk melupakan semua yang terjadi hari ini.

Tak kusangka, diriku masih belum move on dari bayangan hidupnya.

Tidak lama kemudian, pandangan mataku mulai kabur... Rasa kantuk mulai menguasai kesadaranku. Aku baru ingat, sudah 20 jam aku melakukan uji coba pada game itu hingga lupa akan istirahat sama sekali.

Semoga kau bahagia dengannya, Liana...

.

.

.

Ughh... Entah mengapa, seluruh tubuhku terasa nyeri sekali. Apakah ini karena terlalu sibuk menguji game-ku kemarin?

Aku perlahan membuka mataku, sebuah sorakan yang ramai terdengar oleh telingaku.

Apa yang sebenarnya terjadi...?

"Ayo Tuan Raul, kalahkan rakyat jelata itu!"

"Raul! Jangan biarkan manusia hina itu meremehkan para bangsawan!"

Dimana ini...?

Mengapa aku berada di sebuah arena tarung?

Di hadapanku, seorang pria berambut pirang tengah berjalan menghampiriku sambil memegang sebuah pedang kayu.

Bukankah dia Brian...?

"Apakah hanya seperti ini kemampuanmu, Raul? Hanya dengan kemampuan seperti ini kau bertindak arogan dan merendahkan siswa lain!?" seru Brian yang terlihat marah padaku. "Ambil pedangmu! Kita akhiri ini secara jantan!"

Raul...? Apa yang ia bicarakan? Pemandangan seperti ini... Kurasa aku pernah melihatnya di suatu tempat...

"...!"

Tempat ini adalah Arena Duel Akademi Grunbelt...

Dan peristiwa yang terjadi sekarang adalah... Duel pertama antara Raul dan Brian yang menandakan dimulainya event pertama dari game Path of Destiny.

...----------------...

...Author Note :...

Yang suka MC punya kekuatan OP minggat aja jangan baca novel ini.

MC Novel ini mengandalkan otak untuk bertarung bukan kemampuan broken seperti yang dimiliki oleh MC2 Novel lain pada umumnya.

Ga ada System dan Ga ada status Window yang ukur kekuatan dengan angka2.

Power System dan Powerscaling Novel ini beda dengan novel-novel sejenis yang memiliki banyak tingkatan-tingkatan dan level-level yang menggunakan angka untuk mengukur kekuatan karakter.

Yang sudah terdoktrin sama Novel2 yang sudah disebutkan di atas ga usah baca novel ini! Novel ini ga akan cocok sama kalian mending cari novel lain aja.

Arc 1 Chapter 1 : Raul de Garcia

'Kebingungan' Itulah kata yang tepat mendeskripsikan apa yang sedang kurasakan sekarang. Namun, aku tidak memiliki waktu untuk mencari informasi mengenai apa yang terjadi sekarang. Di hadapanku, Brian sedang berlari hendak menyerangku dengan pedang kayunya.

Dia melakukan sebuah tebasan Horizontal ke arahku. Merespon serangannya, aku melompat mundur ke belakang untuk menghindarinya. Entah mengapa, aku dapat dengan mudah menggerakkan tubuhku ini yang jarang sekali berolahraga karena selalu menghabiskan waktu di depan komputer.

"Walaupun ini hanyalah sebuah Sparring, setidaknya lawanlah aku dengan serius, Raul!"

Lagi, Brian memanggilku dengan sebutan Raul—salah satu Antagonis yang ada di dalam game buatanku. Apakah aku berpindah tubuh ke karakter itu? Itukah mengapa aku dapat dengan ringan menggerakkan tubuh ini?

Dilihat dari ban lengan yang ada di bahu Brian, dia dan Raul merupakan siswa tahun ajaran kedua Akademi Grunbelt. Sebuah Akademi yang menciptakan para Ksatria, Penyihir dan Priest resmi Kekaisaran Aragon.

Ini artinya... Aku berada di event pertama Game Path of Destiny dimana Raul melakukan Sparring dengan Brian di pelajaran pertama ilmu berpedang kelas Unggulan.

Brian terlihat akan menyerang kembali. Dari kuda-kudanya, sepertinya dia akan melancarkan salah satu teknik andalannya.

Pilihan apa yang harus kuambil?

Membiarkan Brian mendaratkan serangannya padaku? Membuat Raul kalah di sesi Sparring ini?

Jika itu terjadi, kemungkinan besar rute cerita yang ada di dalam game akan terjadi setelah ini. Para bangsawan akan meninggalkan Raul, membuatnya terisolasi dengan murid-murid lain, dan pada akhirnya, dia akan menjual jiwanya kepada iblis untuk mendapatkan kekuatan agar dapat melawan Brian—Sang Hero.

Namun, jika aku mengalahkan Brian di sini, para petinggi Akademi tidak akan memperhatikan Brian dan mengabaikan potensinya. Peran Brian cukup penting untuk melawan serangan pasukan Iblis yang akan terjadi beberapa tahun lagi.

Apa pilihan yang harus kuambil?

Dari kejauhan, aku melihat seorang gadis cantik berambut platinum yang memandang Brian dengan Khawatir. Dia adalah Ariel de Lusignan—Cinta matinya Raul de Garcia—pemilik sebelumnya dari tubuh yang aku tempati sekarang ini.

Entah mengapa, melihat Ariel yang menatap Brian dengan penuh khawatir membuat emosiku naik. Apakah perasaan Raul masih tertinggal dalam tubuh ini? Aku tidak tahu, tapi... Kurasa aku akan menyenangkan jiwamu—Raul, dengan menghajar Brian beberapa kali.

"Bersiaplah, Raul! Aku datang!" seru Brian. Terlihat pedang kayunya samar-samar dilapisi cahaya berwarna kuning.

Dia menggunakan sihir Temper, kah? Salah satu sihir penguat untuk membuat benda yang kau sentuh jauh lebih kuat dari biasanya.

Brian berlari ke arahku lalu melakukan sebuah tebasan horizontal diikuti dengan serang diagonal. Aku dapat dengan mudah menghindarinya. Namun, serangannya tidak berhenti di situ. Dia melancarkan kombo tujuh serangan.

Aku kemudian menghindari empat serangannya dan menangkis tiga sisanya.

"Tidak mungkin, kau dapat menghindari semua kombo seranganku!?" Brian nampak terkejut melihatku dapat dengan mudah membaca serangannya.

Well ... Yang mendesain seranganmu itu aku kau tahu. Setidaknya aku hafal gerakan dari teknik-teknik yang Brian gunakan untuk melawan beberapa Villain utama.

"Tapi, jangan harap hanya segini saja kemampuanku! Accelerate !" seru Brian. Kakinya terlihat mengeluarkan butiran cahaya.

Dia memang sangat berbakat ...

Untuk menggunakan sihir Accelerate tingkat dasar, bahkan siswa tahun ketiga pun cukup kesulitan untuk mempraktekannya dengan baik.

Brian kembali berlari ke arahku. Kali ini, kecepatannya bertambah dua kali lipat dari pada sebelumnya.

- Tak!

Pedang kami beradu, terlihat sebuah retakan muncul di pedang kayu yang kugenggam ini. Brian kembali menebas pedangnya dengan kuat, kali ini aku harus menghindar.

Aku melompat ke belakang menghindari tebasan Brian. Akan tetapi, dia dengan cepat mengejarku lalu kembali menyerangku dengan tebasan diagonal ke bawah.

- Crack!

Pedang kayuku hancur menahan serangan dari Brian. Melihat pertahananku yang terbuka lebar, dia kemudian melancarkan serangan yang melebar, bertujuan untuk memberiku cidera yang fatal.

Hee~ Kau terlalu naif, Brian.

Kedua tanganku samar-samar mengeluarkan sebuah cahaya karena mengaktifkan sihir Temper. Aku menahan tebasan Brian dengan tangan kiri lalu meninju perutnya dengan tangan kanan.

"Gughhh!"

Brian menjatuhkan senjatanya lalu tertunduk memegangi perutnya terlihat kesakitan.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, aku memukuli wajah tampannya itu beberapa kali. Dia tidak dapat merespon sama sekali seranganku ini.

"Stoopp! Pertarungan berakhir!"

Mendengar perintah instruktur, aku melancarkan serangan terakhir menuju dagu Brian, membuatnya terpental jauh hingga tak sadarkan diri.

Terlihat Ariel dan Instruktur berlari menghampiri Brian untuk mengecek kondisinya. Ariel kemudian melakukan sebuah sihir untuk menyembuhkan Brian.

"Pemenang Sparring kali ini adalah—Brian!" seru Instruktur menatapku dengan dingin. "Raul de Garcia, minus 30 poin!"

Well... Aku tahu ini akan terjadi. Pemenang Sparring ditentukan jika salah satu murid tak sadarkan diri ataupun pedang salah satu dari mereka hancur.

Setelah menyembuhkan Brian, Ariel berjalan menghampiriku. Dilihat dari raut wajahnya, sepertinya dia tidak senang melihat Brian kuhajar sampai babak belur.

Rambut platinum yang indah bagaikan benang sutera, mata berkilau bagaikan permata, wajah yang cantik bagaikan perwujudan seorang Dewi. Jantungku berdebar melihat sesosok gadis super cantik dan menawan berada tepat di hadapanku.

...Author Note : Ariel de Lusignan...

Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Ariel de Lusignan—salah satu Heroine dari game Path of Destiny yang kubuat ternyata jauh lebih cantik dilihat secara langsung daripada melihatnya dari layar komputer.

"Mengapa kau melakukan itu!? Pertarungan sudah berakhir ketika Brian menghancurkan pedangmu bukan!?" seru Ariel dengan emosi yang memuncak. "Apa kau tidak terima dikalahkan olehnya—orang yang kau hina lebih rendah daripada dirimu!?"

Air mata Ariel mulai membasahi pipinya. Kembali, hatiku terasa berat melihat pemandangan ini. Kata-kata pedas dari wanita yang Raul cintai ini bagaikan sebuah pisau yang menyayat hati.

"Mengapa kau jadi pria kejam seperti ini, Raul?"

Tubuhku bergetar, mendengar kata-katanya membuatku sulit menjelaskan alasanku melakukannya yaitu untuk membela diri. Aku ingin mengatakan, bahwa Brian-lah yang mencoba menyerangku terlebih dahulu ketika pertahananku terbuka tadi.

Namun, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku untuk menjawab semua pertanyaan Ariel.

Sebagai pencipta dari karakter Ariel, seharusnya aku tidak akan terpengaruh oleh kata-kata pedasnya kepada Raul. Akan tetapi, sepertinya emosi Raul masih tersimpan di dalam tubuh ini, membuatku ikut merasakan kesedihan Raul.

Aku mencoba untuk tidak menghiraukan kata-kata Ariel lalu pergi keluar arena. Tubuhku masih merasakan rasa kebencian Ariel yang sepertinya masih menatapku dari belakang.

Baru kali ini aku merasakan emosi Raul sesungguhnya ketika Ariel mengatakan kata-kata pedas itu padanya.

Setelah keluar dari arena duel, aku berjalan menuju asrama khusus Akademi Grunbelt. Asrama ini hanya diperuntukan untuk keluarga bangsawan saja. Terlihat dari luas bangunan dan interior asrama yang sangat mewah dibandingkan dengan asrama murid biasa.

Akademi Grunbelt memiliki sekitar 200 murid di masing-masing tahun ajaran. Raul berada di kelas unggulan murid tahun kedua yang memiliki murid sebanyak 20 orang. Sedangkan sisa 180 murid dibagi menjadi enam kelas reguler dengan jumlah 30 murid perkelas.

Sesampainya di kamar asrama, aku menghampiri sebuah cermin yang tertempel di dinding. Terlihat wajah pria berambut hitam dengan ekspresi dingin terpantul pada cermin tersebut.

Raul de Garcia—Pewaris dari Duke Alvaro de Garcia.

Salah satu Antagonis di game buatanku—Path of Destiny. Karakter ini di segala skenario game hanya bertahan paling lama tiga chapter saja sebelum dibunuh oleh Brian—karakter utama yang dimainkan di Game Path of Destiny.

Sifatnya yang arogan, sombong dan penuh harga diri, membuat Ariel—Wanita yang ia cintai mulai menjauhinya. Raul bukanlah karakter yang berbakat dalam ilmu berpedang maupun sihir, kemampuannya hanya ada sedikit di atas rata-rata dari murid lainnya di Akademi ini.

Akan tetapi, Raul memiliki sebuah Blessing unik yang bernama Villain Destiny.

Blessing merupakan sebuah kemampuan unik setiap karakter yang mereka dapat ketika lahir ke dunia ini. Sebuah Mark akan muncul di salah satu bagian tubuh karakter itu ketika menggunakan Blessing mereka.

Kemampuan Villain Destiny cukup berguna bagi Raul. Ketika diaktifkan, pengguna akan mendapatkan sebuah buff berupa tahan rasa sakit dan meningkatkan seluruh aspek kekuatan yang ada pada karakter tersebut. Akan tetapi, Raul sering kali kehilangan kendali ketika menggunakan Blessing ini.

Satu-satunya kekurangan dari kemampuan ini adalah semakin dirimu dibenci oleh seseorang, maka semakin kuat Buff yang kau terima dari kemampuan ini. Ini artinya, jika aku ingin bertambah kuat, maka resiko orang lain ingin membunuhku akan jauh lebih tinggi.

"Apakah dengan menyelesaikan akhir dari game ini dapat membuatku kembali ke dunia asalku?"

Aku tidak tahu, yang pasti ... Ini adalah realita yang ada saat ini. Aku harus bertahan hidup di dalam tubuh Raul de Garcia, menghindari semua Death Flag dan memastikan umat manusia tidak dihancurkan oleh para Iblis.