Janda Tangguh
"Kamu itu sudah besar, seharusnya bisa makan sendiri. Kenapa masih minta disuapin?" Ikram membentak putra pertamanya yang bernama Hanan.
Dada Ayu terasa sesak mendengar bentakan itu. Bukan hanya karena ucapan kasar Ikram terhadap putranya, namun juga suara isakan Hanan yang sedikit tertahan.
Pernikahan Ayu dan Ikram berjalan sepuluh tahun. Mereka dikaruniai tiga anak yang masih kecil. Setiap pagi, Ayu memang tak bisa mengurus anaknya sekaligus, harus bergantian hingga terkadang merepotkan.
"Ada apa ini, Mas?" Ayu masih bernada sopan. Merengkuh tubuh mungil Hanan yang bergetar hebat.
Menatap makanan yang berserakan lantai. Itu adalah makanan kesukaan Hanan.
"Mulai sekarang, suruh anakmu makan sendiri. Dia sudah besar dan tidak seharusnya minta disuapin, merepotkan." Ikram menjelaskan apa yang membuatnya marah.
Ayu tersentak. Ia bisa mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut Ikram. Bagaimana bisa, seorang ayah berbicara kasar pada anaknya sendiri, bahkan tadi ikram menyebut Hanan dengan kata, 'anakmu', bukan anak kita.
Ayu mengusap rambut Hanan yang masih tenggelam dalam tangis. Bukankah setiap hari ia yang mengurusnya? Kenapa Ikram bicara seperti itu?
"Kalau kamu memang tidak mau, bukan begini caranya, Mas. Kamu bisa bicara baik-baik. Hanan masih sangat kecil, belum saatnya menerima kemarahanmu yang gak beralasan itu," ucap Ayu dengan mata berkaca-kaca. Tak menyangka suaminya akan bersikap kasar pada putranya sendiri.
"Kamu membelanya?" pekik Ikram menunjuk Ayu.
Ikram melayangkan tamparan di pipi mulus Ayu. Ia tak bisa lagi membendung kemarahan yang kian membuncah di ubun-ubun.
"Apa gunanya memakai jilbab kalau kamu masih suka membantah suami, hah?" Ikram tak terima dengan ucapan Ayu yang berani melawannya.
"Jangan disangkut pautkan dengan jilbab, Mas. Tadi aku hanya bertanya dan memberi saran, tapi kenapa kamu yang nyolot?" Ayu membela diri. Sebab, ia tak merasa bersalah sudah meluruskan perkara. Akan tetapi Ikram salah menangkap.
Ikram memilih pergi meninggalkan Ayu dan Hanan. Menutup pintu dengan keras menandakan jika pria itu masih marah.
Ayu membawa Hanan ke kamar. Mendudukkannya di tepi ranjang. Mengusap kedua pipi bocah itu yang dipenuhi air mata.
"Maafkan papa ya, Nak. Papa itu sibuk, jadi gak bisa menyuapi Hanan. Lain kali minta sama mama saja," tutur Ayu dengan lembut.
Bagaimanapun juga ia tetap mengajarkan kebaikan pada putranya. Takut nanti itu akan menjadi momok saat mereka sudah dewasa.
Hanan mengangguk tanpa suara lalu kembali memeluk Ayu.
Ayu beralih ke kamar Alifa yang sedang bermain. Anak keduanya yang berumur lima tahun itu lebih anteng dan penurut, mungkin karena dia adalah perempuan hingga tak pernah merepotkannya.
"Alifa sedang apa?" Ayu duduk bersimpuh di samping putrinya.
Bocah itu duduk di pangkuan Ayu dan menunjuk bonekanya.
Terkadang Ayu juga jenuh dengan Ikram yang bersikap kasar, tapi ia memikirkan tiga anaknya dan bertahan demi mereka.
Ya Allah, semoga mas Ikram sadar dan tidak marah-marah ada anaknya.
Suasana rumah kembali tenang. Setelah mengurus tiga anaknya, Ayu ke kamar. Nampak Ikram duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.
"Aku tahu kamu itu super sibuk, Mas. Tapi gak baik membentak anak." Ayu masih tak terima dengan ucapan Ikram yang harus kasar di depan anaknya yang masih kecil.
Ikram terbangun. Melempar ponselnya ke sembarang arah. Merasa risih dengan ocehan Ayu saat mengungkit masalah yang sudah berlalu.
"Sekarang kamu mulai berani melawanku?" Berjalan mendekati Ayu.
Menarik hijab Ayu hingga lepas. Mencengkeram dagu wanita itu dengan kuat.
Ayu mencoba mencengkal tangan Ikram, namun tenaganya yang sangat kecil tak mampu untuk melawan Ikram.
"Aku bukan melawan, cuma mengingatkan kalau perbuatanmu itu salah," ucap Ayu tegas. Selama berada di jalan yang benar, sedikitpun tak merasa takut dengan Ikram.
Ikram mendorong tubuh Ayu hingga wanita itu terhempas di atas ranjang.
"Terserah kamu." Ikram membuka lemari. Lantas, pria itu memakai baju kantor. Mengabaikan baju yang sudah disiapkan Ayu.
Ayu menarik lengan Ikram yang hampir keluar dari kamarnya. Namun, pria itu segera menepis dan melanjutkan langkahnya.
"Papa..." Suara gadis mungil itu kembali menghentikan langkah Ikram yang sudah tiba di ruang depan.
Ikram hanya melambaikan tangannya tanpa ingin mendekat.
Sungguh, itu membuat hati Ayu sakit bak diremas-remas. Buliran bening menetes begitu saja.
Ia menghampiri ketiga anaknya dan memeluk mereka bersamaan.
Malam semakin larut, namun belum ada tanda-tanda Ikram pulang. Ayu yang dari tadi menunggu pun dilanda gelisah. Setelah memeriksa ketiga anaknya yang terlelap, ia memilih duduk di ruang tengah. Menyalakan tv untuk menghilangkan kejenuhan.
"Jangan-jangan mas Ikram menginap di kantor, tapi kenapa gak menelponku?" gumamnya.
Ayu bukan orang yang tinggal diam, ia merasa ada yang aneh dengan suaminya. Tidak biasanya pria itu tidur di kantor, bahkan sesibuk dan semarah apapun tetap menyempatkan untuk pulang dan tidur di rumah.
Apa mungkin mas Ikram masih marah padaku?
Ayu berbaring di pembaringan. Menatap langit-langit kamarnya. Menelisik kesalahan yang membuat Ikram berubah.
"Aku harus minta maaf padanya."
Mentari belum sepenuhnya terbit, Ayu yang hendak datang ke kantor itu sudah menyelesaikan semua tugasnya, termasuk membuat beberapa makanan kesukaan Ikram. Membangunkan ketiga anaknya bergantian. Membantu mereka untuk bersiap ke sekolah.
Hanan yang baru tiba di ruang makan menatap kursi yang sering ditempati Sang papa.
"Papa di mana, Ma?" tanya Hanan polos. Bocah yang duduk di kelas empat sekolah dasar itu hanya bisa berkumpul saat weekend dan sarapan pagi hingga ia tak tahu saat ini bahwa papanya tidak pulang.
"Semalam papa gak pulang, Nak. Dia lembur." Ayu meletakkan susu di depan Hanan dan Alifa. Menyuruh mereka untuk segera meminumnya.
Hanan tak bertanya lagi, ia langsung menyantap makanannya. Ucapan Ikram terngiang-ngiang di otaknya hingga ia tak ingin merepotkan orang lain, termasuk mamanya.
Dari sekolah Alifa dan Hanan, Ayu langsung ke kantor Ikram.
"Selamat pagi, Bu," sapa satpam yang berjaga di depan pintu.
Ayu menjawab dengan ramah lalu menanyakan Ikram.
"Bapak sudah datang lima belas menit yang lalu."
Deg
Baru datang, itu artinya mas Ikram tidak tidur di sini, lalu dia tidur di mana?
Ayu semakin diselimuti rasa gelisah.
Ia langsung masuk menuju ruangan Ikram. Menahan dadanya yang kian gemuruh dengan perubahan Sang suami yang semakin jelas.
Ayu membuka pintu ruangan Ikram tanpa mengetuk, ia menatap pria itu duduk di kursi kebesarannya.
Ikram yang sadar dengan kedatangan Ayu pun terkejut dan berdiri.
"Mau apa kamu datang ke sini?" tanya Ikram panik. Menatap rantang yang ada di tangan sang istri.
"Kamu kenapa sih, Mas? Aku istrimu. Kenapa bertanya seperti itu?" Ayu mengusir keraguannya. Berpura-pura bersikap biasa saja saat di depan Ikram.
"Ta–tapi aku __" Ikram terlihat semakin panik dan bingung, bahkan pria itu tak bisa melanjutkan ucapannya.
Ayu duduk di sofa. Membuka makanan yang sengaja ia bawa khusus untuk suaminya. Sedikit curiga yang tampak bingung.
Gawat, sebentar lagi Rani datang.
Ikram tersenyum saat Ayu menepuk sofa kosong di sampingnya. Terpaksa ia ikut duduk dan mengambil piring yang sudah berisi nasi.
"Sayang…" Suara renyah dari arah pintu menghentikan Ikram yang hampir saja menyendok makanan.
Matanya membulat sempurna melihat gerangan yang datang.
"Sayang." Ayu mengulang ucapan itu, seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar beberapa detik lalu.
Wanita itu terdiam. Ia sudah terlanjur terperangkap dan tak bisa pergi lagi. Percuma saja, ini yang ia inginkan supaya Ikram cepat menikahinya.
Ruangan itu terasa senyap. Tidak ada yang bersuara, namun tatapan Ayu penuh dengan tanda tanya.
"Ini maksudnya apa, Mas? Siapa dia? Kenapa memanggilmu sayang?" tanya Ayu bertubi-tubi. Dadanya meletup-letup saat melihat Ikram yang semakin kebingungan.
Wanita itu mendekat dan berdiri di samping Ikram, mengusap lengan pria itu, kode.
"Namanya Rani, Dia pacarku," ucap Ikram dengan lugas. Tanpa rasa ragu ia mengatakan status wanita itu pada Ayu yang jelas masih istrinya.
Ayu tersenyum paksa, ia masih tak mengerti dengan apa yang menimpanya saat ini. Meskipun ucapan Ikram sudah sangat jelas, tapi tak masuk akal.
"Kamu bercanda kan, Mas?" tanya Ayu sekali lagi.
Ada rasa berat yang memenuhi dada Ikram. Namun, ia sudah tak bisa menutupi semuanya. Cepat atau lambat Ayu pasti akan tahu bahwa Ikram memiliki wanita lain selain dirinya.
"Aku tidak bercanda, dia pacarku, dan aku akan menikahinya." Ikram kembali menjelaskan.
Sebagai seorang istri hati Ayu hancur lebur mendengar itu. Seakan dunia runtuh seketika. Rumah tangga yang dibina selama sepuluh tahun seperti tak ada artinya lagi saat Ikram mengatakan ingin menikah lagi.
"Aku gak mau di madu, Mas," ungkap Ayu dengan bibir bergetar. Ia benar-benar tak sanggup berbagi suami dengan wanita lain.
"Tapi aku akan tetap menikahi Rani, dengan atau tanpa persetujuan kamu," jelas Ikram sedikit membentak.
Ayu tersenyum dan beranjak. Jawaban itu sudah cukup membuatnya yakin untuk mengambil keputusan. "Itu artinya kamu akan kehilangan aku dan anak-anak."
Tidak ada tanggapan dari Ikram, karena ia yakin Ayu hanya menggertaknya saja.
Tatapan Ayu kosong. Ucapan Ikram yang lebih memilih wanita lain itu masih terngiang-ngiang di otaknya. Seolah kebersamaannya sepuluh tahun tak ada artinya lagi.
Kini ia harus siap menjalani kesendirian bersama dengan ketiga anaknya yang masih sangat kecil. Ia harus bisa melawan ketakutan yang terkadang terselip.
Takut tidak bisa membesarkan ketiga anaknya dengan baik, dan takut mereka tidak bisa bersekolah tinggi seperti harapannya.
Ayu melepas mukenanya lalu membangunkan Hanan yang masih tenggelam di alam mimpi.
"Kakak waktunya sekolah, cepetan mama mau kerja," ucap Ayu menyibak selimut sang putra.
"Sebentar lagi, Ma. Aku masih ngantuk."
Ya, sejak perdebatan itu Ayu memutuskan bekerja di sebuah restoran untuk menghidupi ketiga anaknya. Sebab, Ikram sudah tak lagi mengirim uang padanya. Bahkan, pria itu tak pulang sama sekali.
Ingin sekali Ayu pergi sejauh mungkin dari rumah itu, namun ia belum memiliki uang untuk menyewa rumah, hingga ia harus bekerja. Terlebih, Hanan pun kekeh dan tidak ingin pergi.
Ayu berdiri di samping ranjang dengan kedua tangan dilipat.
Dalam hati ingin membentak, namun bibirnya kelu. Anak bukan ajang pelampiasan kemarahannya saat emosi terhadap Ikram. Namun, mereka adalah sumber kekuatan yang harus dijaga, sekarang dan selamanya.
Meskipun cinta Ikram untuk anak-anaknya mulai surut, Ayu tidak peduli dan akan tetap menyayangi mereka seutuhnya.
"Ini bukan saatnya bermalas-malasan, Nak. Mama mau kerja," ucap Ayu menegaskan. Ia tak bisa membuang waktu yang cukup berharga.
Hanan mengangkat kepalanya. Memaksakan matanya yang terasa berat untuk terbuka.
"Iya, Ma." Turun dari ranjang dan ke kamar mandi.
Ayu menyiapkan kebutuhan Hanan, setelah itu bergantian mengurus Alifa. Seharusnya tahun ini bocah itu juga akan sekolah, namun harus gagal karena keadaan orang tuanya yang berada ambang perceraian.
"Alifa, bangun yuk! Mama mau kerja, Nak." Mengusap kening Alifa dengan lembut. Mencium kedua pipinya sampai bocah itu membuka mata.
Melihat jam yang ada di nakas. Ternyata waktunya sudah terlalu mepet hingga Ayu harus mengangkat tubuh mungil Alifa ke kamar mandi.
Jika dulu Hanan diantar jemput mobil sendiri, kini Ayu menitipkan Hanan pada sahabat nya yang juga satu sekolah.
Ayu memandikan dan mengganti baju Adiba. Memasukkan beberapa popok ganti ke dalam tas. Kemudian menghampiri Alifa yang duduk di ruang tamu.
"Ayo, Nak. Kita harus berangkat sekarang."
Menggandeng tangan Alifa dan melangkah cepat. Buru-buru takut terlambat dan dimarahi oleh atasan.
Sebelum ke restoran, Ayu menitipkan Alifa di sebuah panti, karena ia tak bisa membawa kedua anaknya sekaligus, takut ditegur pihak restoran dan juga sesama waitress. Hanya Adiba yang selalu bersamanya. Ia belum tega meninggalkan bocah itu bersama orang lain.
Layaknya pelayan yang lain, Ayu bekerja sesuai prosedur, anak bukan halangan baginya untuk mencari rezeki.
"Ayahnya ke mana?" Salah tayu pelayan bertanya pada Ayu yang nampak sibuk memindahkan Adiba ke punggung.
"Sudah satu bulan papanya gak pulang," jawab Ayu singkat, tangannya terus mengelap meja.
Ini kali pertama Ayu mengungkap tentang suaminya pada orang lain.
Seorang wanita cantik yang bernama Runi menghampiri Ayu.
"Kenapa kamu gak pergi saja, sih. Ngapain laki-laki seperti itu diharapkan."
Ayu membalikkan tubuh. Menatap beberapa teman seperjuangannya yang berdiri di sampingnya.
"Aku sudah tidak mengharapkannya lagi. Aku belum pergi karena masih butuh uang untuk menyewa rumah. Gak mungkin aku ajak anak-anak tidur di kolong jembatan, dan gak mungkin aku meminta uang pada suamiku yang sudah jelas memiliki wanita lain," jelas Ayu panjang lebar.
Mereka yang mendengar ikut prihatin dengan kondisi Ayu, meskipun begitu wanita itu tak ingin dibantu.
"Semangat." Memeluk Ayu dengan erat. Memberikan dukungan untuk tetap tersenyum dibalik masalah yang membelit.
Waktu begitu cepat berlalu, sehari penuh Ayu bekerja, ia hanya beristirahat saat menjalankan kewajibannya, selebihnya menjalankan aktivitasnya dengan rajin.
"Da—da…"
Lambaian tangan terus mengiringi saat Ayu keluar dari restoran. Ia segera menjemput Alifa dan Hanan sebelum pulang ke rumah.
Entahlah, ini adalah awal dari kehancuran atau justru kebangkitannya dari kebodohan, Ayu merasa berada di titik terendah. Meskipun begitu, ia mengesampingkan semua kesulitan demi anak-anak.
Hanan tersenyum lebar saat melihat Sang mama yang sudah tiba. Bocah itu berhamburan memeluk Ayu, seperti yang dilakukan Alifa.
"Maaf ya, mama terlambat. Lain kali mama akan menjemputmu tepat waktu." Ayu mengecup kening Hanan.
Ayu pulang ke rumah jalan kaki karena jaraknya yang tinggal dekat.
Kesepian kini dirasakan jelas oleh Hanan dan Alifa, dulu saat malam mereka bisa bermain dengan Ikram, kini ia hanya bisa bertanya-tanya tentang keberadaan papanya.
"Aku mau dipeluk papa, Ma." Alifa merengek sambil menarik baju Ayu. Dari semua anaknya hanya gadis kecil itu yang paling dekat dengan Ikram, hingga sepenuhnya merasakan kehilangan.
Ayu tersenyum tipis. Membaringkan Adiba yang sudah setengah terlelap. Bergantian menggendong Alifa mengelilingi rumah. Memperlihatkan keindahan malam supaya bisa lupa dengan sosok yang terus di carinya.
"Mulai sekarang Alifa gak boleh menanyakan papa lagi. Mama bisa memberikan apapun yang pernah diberikan papa," rayu Ayu meyakinkan.
Alifa menyandarkan kepalanya di dada Ayu, berharap bisa terlelap meskipun tanpa kehangatan seorang ayah.
Pekerjaan Ayu tak selesai di situ saja. Pasca menidurkan Alifa dan Adiba, ia harus mengurus Hanan yang masih sibuk bermain game.
"Kakak, cepetan tidur!" Ayu memeriksa semua pintu dan jendela. Menutup gorden dan mengunci pintu.
Hanan berdecak kesal, sedikitpun tak menghiraukan Ayu. Beralih posisi memunggungi sang mama.
"Kakak dengerin mama gak sih? Sudah malam, sini!" Merebut benda dari tangan Hanan yang membuat sang empu cemberut.
Hanan menatap Ayu yang nampak merapikan ponsel miliknya ke dalam tas tanpa membantah sepatah kata pun.
"Mulai hari ini kakak gak boleh main lagi. Mama gak suka," ucap Ayu menekankan.
Hanan beranjak dan berlari ke kamarnya. Suara pintu tertutup dengan keras menandakan bahwa bocah itu marah.
Ayu meredam amarahnya. Bagaimanapun juga ia harus mendidik anaknya seorang diri dan tidak boleh emosi. Ia membuka pintu kamar Hanan menatap sang putra yang berbaring di atas ranjang.
"Hanan marah sama mama?" tanya Ayu mengusap punggung Hanan yang ada di balik selimut.
Tidak ada jawaban, Hanan memilih untuk memejamkan mata. Pura-pura tidak melihat Ayu yang duduk di tepi ranjang.
"Hanan harus belajar hidup tanpa papa. Mulai sekarang harus mandiri dan bisa melakukan apapun sendiri."
"Tapi kalau papa gak melarang aku main game, Ma," protes Hanan.
Seketika Ayu menangkup kedua pipi Hanan.
"Jangan samakan mama dan papa. Mulai sekarang dan seterusnya Hanan harus pintar dan tidak bergantung lagi pada papa," Ayu menegaskan.
Hanan hanya bisa mencerna setiap kata yang meluncur dari bibir Ayu.